Day 143
Notre Kaléidoscope=143=
BGM: Princess Disease - Sweeter
“Baekhyun-ah, ayo kita melakukan sesuatu yang berarti dalam hubungan kita.”
Aku menelan ludah. Jika dia mengusulkan sebuah ide dengan istilah ‘sesuatu yang berarti’ maka itu adalah tipu muslihat terkeji yang pernah ada di muka bumi. Pasti ada yang tidak beres, sama seperti otaknya yang mungkin sudah bergeser beberapa derajat.
“Aku ingin kau memakai baju putra mahkota seperti Lee Hwon lalu datang ke kelasku sambil membawa bunga. Uwaah itu pasti sangat romantis!”
Kubesarkan volume musik yang sedang kuputar di ponsel, berpura-pura tidak mendengarnya.
“Baekhyun-ah,” dia menyebut namaku dengan lembut lalu memiringkan kepalanya dan tersenyum. “Kau mau kan melakukannya untukku?”
Dan inilah bagian yang paling kubenci darinya. Senyumnya. Aku benci senyumnya yang selalu meninggalkan perasaan aneh. Rasanya seperti ada lonceng yang berdentang di hatiku berkali-kali. Apalagi kedua bola matanya yang jernih seakan-akan memancarkan butir-butir sinar imajiner! Ditambah dengan suaranya yang... yang... ahhhhh! Imut sekali! Kalau saja aku tidak tahu sisi lain dirinya, mungkin aku sudah jatuh cinta dengannya sejak dulu.
“Eh? Kau bilang apa tadi?”
Senyuman di wajahnya makin berkembang hingga kedua matanya menyambut senyuman itu. Dia mendekatkan wajahnya tepat di depan wajahku kemudian berbisik dengan lembut. “Jugulae?”
Selalu! Selalu saja ancaman itu! Kali ini tidak bisa dibiarkan. Harga diriku sebagai lelaki nyaris terkikis habis, hampir setara dengan harga diri Park Chanyeol si pecinta Totto-chan. Aku langsung mencopot earphoneku lalu membantingnya ke atas meja. Pluk!
“Oh? Earphone-mu terkena sambal.” ujar cewek itu dan dengan polosnya menunjuk pada earphone hitam yang telah tenggelam seperti Titanic di samudra penuh biji cabai.
Argh! Sialan! Aku buru-buru mengambil earphoneku lalu mengelapnya dengan tisu. Kutatap pacarku dengan gusar. Dia terlihat bingung, ekspresi polosnya semakin kentara.
“Dengar, aku tidak mau pakai baju putra mahkota. Nanti terlihat seperti orang gila!” sergahku.
Dia mendengus lalu meniup-niup poninya. “Kau tidak pernah mau melakukan hal romantis pada pacarmu. Kau ini lelaki macam apa sih?” tantangnya, masih meniup-niup poni sialannya.
“Y-ya! Aku mengirimkan surat cinta selama 30 hari penuh, menyemangatimu saat pertandingan basket, bahkan rela makan-makanan kambing! Apakah itu tidak cukup?!”
Dia terdiam cukup lama hingga aku berpikir bahwa kata-kataku barusan menusuk hatinya. Lalu dia membuka mulutnya. Kupikir dia akan ngamuk dan melontarkan kalimat penuh sensor seperti biasa, tapi kali ini dia berbicara dengan nada kalem. Terdengar prihatin.
“Kau benar-benar tidak mengerti perempuan. Memangnya surat cinta saja cukup? Cobalah jadi perempuan sekali-kali dan rasakan sendiri bahwa kalian—” cewek itu menghela napas panjang lalu menggeleng-gelengkan kepalanya. “—kaum lelaki sama sekali tidak berperasaan. Tidak bisa mengerti perasaan kaum kami sedikitpun.”
Dan dimulailah drama play-victim andalannya. Tapi detik ini aku bersumpah bahwa aku tidak akan menuruti permintaan gilanya lagi!
“Aku tidak akan melakukannya bahkan jika aku tetap perjaka sampai mati, aku tidak akan melakukannya.”
***
Aku menelan ludah berkali-kali saat siswa lain memandangiku dengan tatapan bocah-itu-teler atau apa-kepalanya-kejeduk. Teman-teman sekelasku mungkin sudah mati karena kebanyakan tertawa ketika melihatku masuk kelas dengan pakaian aneh ini untuk menaruh baju seragam yang telah kuganti. Kuharap mereka benar-benar mati tersedak karena menertawakanku.
Lapangan olahraga outdoor yang menjadi pemisah gedung kelas anak cowok dan cewek di sekolah kami terasa begitu mengerikan hari ini. Aku tidak pernah melintasi gedung cewek sendirian. Setidaknya bukan dalam kondisi seperti ini—terjebak dalam pakaian gonryongpo; pakaian raja atau putra mahkota berwarna biru dengan lambang naga empat jari di bagian depan, belakang, dan bahu kiri lengkap dengan ikseongwan atau mahkota berwarna hitam yang sebenarnya lebih mirip seperti topi dengan sayap capung. Harusnya aku memakai sabuk gakdae dengan hiasan giok.. tapi yang benar saja! Memangnya aku putra mahkota sungguhan? Kalau aku memang putra mahkota, aku tidak akan tertindas oleh putri mahkotaku sendiri.
Ini semua ulah pacarku. Dia ingin sekali aku melakukan sesuatu untuknya. Ralat, maksudku.. dia ingin sekali aku melakukan segala sesuatu yang dia perintahkan baik itu masuk akal atau tidak. Tidak peduli apakah aku setuju atau tidak, aku akan selalu melakukan yang diperintahkan olehnya. Kau tahu? Kurasa diriku telah dijampi-jampi. Cewek gila itu pasti main dukun, menyebar jimat di sekitar rumahku atau meracuni minumanku dengan bubuk yang telah dimantrai supaya aku menuruti setiap keinginannya yang tidak masuk akal.
“Oi! Ada putra mahkota Joseon! Berikan hormat untuknya hahahaha!”
“Baekhyun wangjanim! Hahahaha!”
“Apa dia pikir ini adalah drama Rooftop Prince? Kenapa berpakaian seperti itu?”
“Dasar aneh.”
“Hahahahahaha!”
“Hahaha!”
“Haha!”
Aku berusaha untuk menulikan indra pendengaranku saat melangkah menyebrangi lapangan. Entah kenapa tiba-tiba angin berhembus dengan kurang ajar ke arahku, menampar-nampar wajah dan topi capung yang kukenakan serta mengibarkan pakaian putra mahkota yang kupakai sehingga memberikan efek dramatis. Seharusnya ini akan terlihat keren jika dilakukan dengan benar. Tiba-tiba aku berharap ada orang dari agensi entertainment yang mengintipku dari kejauhan lalu mengejar-ngejarku untuk ikut casting drama. Pesonaku memang tak terbantahkan.
Setelah kurang lebih tiga menit berjalan sambil melawan angin, akhirnya aku sampai di depan gedung wanita. Rasa maluku telah hilang sejak ditertawakan habis-habisan oleh anak cowok di gedungku. Lalu tiba-tiba aku merasa ada yang terlupakan. Apa ya? Sabuk giok? Ah aku memang tidak memilikinya. Kipas-kipasan? Aku melebarkan kipas itu lalu mengibaskannya di udara. Kipas juga sudah.
“Aku ingin kau memakai baju putra mahkota seperti Lee Hwon lalu datang ke kelasku sambil membawa bunga. Uwaah itu pasti sangat romantis!”
Mampus! Aku lupa bawa bunga. Bagaimana ini?! Kutengok sekelilingku untuk mencari keberadaan bunga atau apapun itu yang bisa kubawa sebagai penggantinya untuk pacarku. Alih-alih menemukan bunga, aku malah mendapati kaum cewek SMA kami melemparkan pandangan aneh sambil terkekeh geli dengan jari telunjuk mengacung padaku. Bahkan ada yang mengeluarkan ponselnya dan seenak jidat mengambil gambarku!
Kepercayaan diriku langsung turun drastis. Kupikir cewek-cewek ini akan ber-uwoo-tampan-sekali-dia tapi nyatanya mereka malah ber-idih-aneh-banget-cowok-itu. Mendadak aku takut tidak akan punya pacar lain sepanjang usiaku sebagai siswa SMA kalau begini terus. Aku tidak bisa membiarkan ini terjadi. Hidupku jadi seperti kue waffle yang tertimpa pantat anak bayi obesitas. Hancur lebur.
Aku terus melangkah menyusuri koridor gedung perempuan. Sebuah ide cemerlang langsung terlintas di benakku. Bukan tentang bunga— lupakan bunga idiot itu, aku tidak peduli—tapi tentang cara mengakhiri hubungan yang tidak sehat ini. Aku akan mempermalukan cewek itu di depan teman-temannya. Aku akan memutuskannya di depan kelas! Biar dia tahu rasa bagaimana rasanya dipermalukan di depan orang banyak. Ini kelewatan!
Kulihat beberapa orang cewek menatapku sambil berbisik-bisik di depan kelas pacarku. Bukan beberapa, tapi nyaris semuanya memandangku. Kali ini pandangan mereka berbeda dari anak-anak cewek sebelumnya. Aku mengerutkan kening heran ketika sampai di depan kelas cewek sinting itu. Pintunya tertutup. Apakah ada guru?!
“Oh! kau sudah datang Baekhyun.” cewek yang kuketahui bernama Jung Soojung itu tersenyum lebar.
“Dia sudah menunggumu di dalam. Cepatlah masuk!” satu lagi temannya yang dikenalkan padaku dengan nama Yoon Bomi mulai mengomporiku untuk segera masuk.
Ini mencurigakan. Aku bisa mencium keanehan dari cara mereka cengengesan. Aku menatap pintu yang tertutup dari atas ke bawah. Mungkin saja si cewek sinting gila miring itu menaruh jebakan di atas pintu. Bisa jadi ember berisi tepung, telur, bahkan yang lebih buruk lagi.. air comberan.
“Aish! Ayolah masuk saja. Dia sudah tak sabar ingin melihatmu.” Bomi memegang tanganku dan menaruhnya pada gagang pintu. “Tidak ada jebakan apapun kok!”
Aish! Peduli setan dengan jebakan itu. Aku akan segera mengakhiri hubungan dengan cewek gila yang menyuruhku berpakaian aneh di hari sekolah. Kutekan kenop pintu itu ke bawah lalu mendorongnya perlahan.
“.....”
Aku terperanjat. Tidak kutemukan sosok pacarku di dalam ruangan ini. Tapi aku menemukan seorang perempuan dalam balutan pakaian hanbok berwarna ungu muda berdiri di tengah-tengah kelas. Meski dia menundukkan kepalanya, senyumnya yang khas tetap terlihat—menampakan rona merah muda pada tulang pipinya. Kedua tangannya terselip di balik hanbok yang ia gunakan. Rambutnya digelung ke belakang dengan rapih, tak lupa hiasan kecil berbentuk bunga tersemat di puncak kepala perempuan itu.
“Woohooo! Wangjanim telah datang menjemputmu! Chukkaeyo!”
“Gila! Ini keren!”
“Kyaaa! Sangat romantis!”
Dia mengangkat wajahnya, kedua matanya menatap mataku. Saat itu suara anak-anak yang entah mengapa terdengar semakin riuh terasa menghilang perlahan digantikan oleh suara lonceng. Lonceng itu berdentang-dentang dengan keras dalam hatiku. Mulutku hanya terbuka, membulat seperti huruf o saat dia tersenyum padaku. Tak ada hal lain yang bisa kulakukan selain tersenyum balik padanya. Pada putri mahkotaku.
Detik itu juga aku lupa soal rencana untuk mencampak pacarku di depan umum. Yang kutahu hari itu adalah.. kurasa tanpa sadar aku menyukai segala ketidaknormalan yang telah kami lakukan. Kurasa aku menyukainya.
Benar-benar menyukainya.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Comments