Day 278
Notre Kaléidoscope=278=
“Bagaimana kalau nanti aku trauma pada cewek?”
Mungkin ini adalah akhir dari kisah cintaku di SMA. Aku benar-benar tidak tahu di mana pacarku sekarang. Aku tidak suka perasaan mendadak duda seperti ini. Cewek itu benar-benar jahat. Dia berhasil membuatku menyukai segala sesuatu tentangnya, tetapi pada akhirnya dia meninggalkanku begitu saja.
Chanyeol yang sedang membaca komik di sofa favoritku langsung menatapku dengan ngeri. “Baekhyun, aku masih normal. Tolong jangan libatkan aku sedikitpun jika kau berniat mengubah orientasi seksualmu itu.”
Aku menghempaskan tubuhku di kasur, menatap lampu kamar yang menatapku kembali dalam bisu, keningku perlahan berkerut. “Bahkan lampu kamarku terlihat mirip dengannya. Chanyeol, aku bisa gila. Aku akan menjadi gila di usia muda hanya karena seorang cewek!”
“....”
Tidak ada sepatah kata apapun keluar dari mulut Chanyeol. Dia pasti muak dengan perkataanku barusan. Harus aku akui kalau Chanyeol cukup tangguh untuk mendengar rengekanku tentang si cewek gila selama liburan musim panas. Aku jadi takut pada diriku sendiri. Umma bahkan menyuruhku pergi ke dokter. Aku mendudukkan diriku di kasur untuk melihat pemuda jangkung itu. Dugaanku salah, kupikir dia masih bercinta dengan komikku. Namun, ternyata dia sibuk mencari sesuatu di laciku.
“Ayo kita cari petunjuk tentangnya. Dia sering main ke sini kan? Bisa jadi dia meninggalkan petunjuk untuk kita pecahkan.”
“Dia hanya ke sini untuk menonton film bersamaku. Aku selalu mengamati setiap gerak-geriknya, Chanyeol.”
Chanyeol tidak menggubrisku. Sekarang dia malah beranjak dari meja belajar menuju lemari pakaianku.
“Coba ceritakan dari awal bagaimana kau bertemu dengannya. Katakan setiap detil yang kau ingat. Aku sering membaca buku misteri. Mungkin saja kau punya penyakit Skizofrenia dan pacarmu itu hanya khayalan saja.”
“Oh yeah, kau benar! Aku pengidap Skizofrenia kronis. Kau juga termasuk imajinasiku, hanya saja kau memberitahuku kalau aku sakit jiwa,” sahutku dengan nada sinis dan penuh sarkasme, “bicaralah hal-hal yang masuk akal, Park Chanyeol! Kau tahu dia itu nyata. Bahkan kau sendiri melihatnya di hari pertama, bukan?” Aku melempar bantal ke kepalanya.
Dia berhenti mengobrak-abrik lemariku kemudian memutar tubuhnya dan menatapku. “Kalau begitu ceritakan.”
Aku menghela napas dan mulai bercerita.
“Aku tidak mengenal cewek itu sebelumnya. Kami tidak pernah bertemu, tapi tiba-tiba dia datang ke kelas kita dan memintaku jadi pacarnya. Aku bahkan tidak tahu kalau dia cewek yang cukup terkenal di sekolah kita. Karena dia tidak jelek dan wangi, aku putuskan untuk mencoba saja. Kapan lagi bisa punya pacar tanpa PDKT?
Setelah menjalani beberapa hari, aku rasa keputusanku untuk menjadi pacarnya adalah kesalahan terbesar. Dia kasar, tidak berkeperimanusiaan, dan sikapnya tidak seperti seorang cewek pada umumnya.”
“Kenapa kau bertahan? Kenapa kau tidak berhenti menemuinya saja?” tanya Chanyeol sambil bersedekap.
“Aku tidak mengerti bagian itu, Yeol-ah. Setiap kali aku mencoba untuk memutuskan hubungan kami, pasti ada saja halangannya. Kupikir dia menjampi-jampi makanan atau minumanku sehingga aku bertekut-lutut padanya, tapi semakin ke sini aku bisa melihat caranya memandang dunia. Dia bukan tipe cewek seperti itu.”
“Apa ada sesuatu yang aneh tentang dirinya? Misalnya ketika dia marah warna kulitnya berubah jadi hijau seperti Hulk atau Shrek mungkin?”
Aku menatap Chanyeol dengan datar. Pertanyaannya sungguh bego. “Tidak. Hal aneh darinya hanyalah sikap tertutupnya. Dia selalu absen di hari Kamis pada akhir bulan. Dia sangat melarangku untuk bertanya di mana rumahnya atau siapa keluarganya. Namun, dia pernah bercerita tentang ibu kandungnya yang sudah meninggal. Dia punya ibu tiri. Itu saja,” jelasku.
“Ada lagi?”
Ekspresi wajah pacarku saat menceritakan tentang ibunya tiba-tiba berkelebat, membuatku teringat akan satu hal. “Dia pernah memakai wig! Aku melihat sendiri kalau rambutnya dipotong pendek sekali seperti anak lelaki.”
“Kenapa dia memotong rambutnya sendiri?”
“Entahlah, dia bilang sih karena banyak kutu di rambutnya.” Aku mengangkat bahu.
“.....” Chanyeol tidak berkata-kata. Dia memandangku dalam keheningan, kedua matanya melotot seperti Do Kyungsoo.
“W-wae?”
“Ya Tuhan! Byun Baekhyun! Bagaimana mungkin kau tidak sepeka itu? Kau... kau benar-benar tidak mengerti tanda-tandanya?”
Aku menggaruk kepalaku yang sebenarnya tak gatal kemudian menggeleng pelan.
“Cewek itu mungkin...,” Chanyeol memejamkan matanya dan mulai mengacak-acak rambutnya sendiri. Aku semakin tidak mengerti.
“Kenapa? Dia kenapa?”
“Kanker, Baekhyun,” dia berbisik dan memandangku dengan iba, “coba pikirkan! Mana ada cewek waras yang memotong rambutnya sendiri karena banyak kutu? Mereka bisa memakai obat, kan? Setiap hari Kamis di akhir bulan dia menghilang untuk melakukan kemoterapi, maka dari itu rambutnya rontok! Dia selalu bersikap kasar padamu agar kau tidak khawatir, dia tidak ingin kau main ke rumahnya juga supaya kau tidak khawatir. Pikirkanlah semua hal yang telah kalian lakukan bersama, Baekhyun.”
Deg!
“K-kanker? Kanker seperti di film-film?”
Aku menatap Chanyeol tidak percaya. Dia masih berdiri di depan lemariku dengan kedua tangan memegang kepalanya sendiri. Chanyeol menggumamkan sesuatu, tapi otakku sibuk mengaitkan semua kejadian, kenangan, dan kata-kata yang pernah diucapkan pacarku. Dari sekian kemungkinan, kenapa kanker? Dan jika itu benar, dari sekian orang, kenapa harus dia? Kenapa harus pacarku?
“Ambil sepedamu, kita ke rumah Jongin,” ujarku setelah berdiam cukup lama.
“Hei tunggu! Kenapa kita ke sana?”
***
Aku memacu sepedaku sekencang yang aku bisa. Mataku terasa perih karena menahan butiran air mata yang siap tumpah. Aku tidak boleh menangis karena belum tentu pacarku terkena kanker. Bisa saja Chanyeol hanya menjadi katalis pada pikiran-pikiran buruk. Akan tetapi hatiku seakan mengiyakan semua itu.
Semua perasaan buruk membentuk gumpalan awan mendung yang perlahan menurunkan gerimis di hatiku. Menepis semua kemungkinan buruk ternyata tidak semudah menggaruk betis yang gatal. Aku tidak pernah sekhawatir ini dalam hidupku kecuali saat kakak perempuanku mengalami kecelakaan hingga tulang-tulangnya harus disusun ulang atau apalah itu.
Rumah Jongin sebenarnya tidak terlalu dekat, tapi juga tidak begitu jauh dari komplek rumahku dan Chanyeol. Angin musim panas menghantamku berkali-kali, aku terus melaju melewati belokan demi belokan. Aku tidak tahu apakah Chanyeol masih berada di belakangku atau telah tertinggal jauh. Jantungku berdetak-detak tak sabaran ketika pagar rumah Jongin telah berhasil di tangkap mataku.
Brak!
Aku langsung membanting sepedaku di depan rumah Jongin. Memencet bel berkali-kali dengan sedikit barbar, mulutku berkomat-kamit tanpa henti, “Cepatlah buka pintunya, Jongin!”
Di belakangku Chanyeol baru saja tiba. Aku menoleh pada sahabatku itu. Napasnya terengah-engah, keningnya penuh dengan bulir-bulir keringat. Dia berlari ke arahku setelah memarkirkan sepedanya dengan benar.
“Jongin... hosh... sedang... hhh... liburan ke... hosh... rumah neneknya,” ucap Chanyeol dengan susah payah, antara menyampaikan berita barusan atau mengatur napasnya terlebih dulu.
“Mwo? Sial!” Aku memukul pagar rumah Jongin yang tertutup itu dengan kencang, menyisakan denyut nyeri di tanganku. Detik berikutnya seseorang dari dalam membuka pagar tersebut.
“Yah! Tidak bisakah aku tenang sekali saja, eoh? Apa yang kalian inginkan?!”
Ah! Itu Bibi Lee, pembantu di rumah Jongin yang cerewetnya melebihi seluruh mulut perempuan di dunia ini jika digabungkan. Aku langsung memegang tangannya dengan erat.
“Ahjumma! Di mana rumah Soojung? Anak perempuan seumuran kami dan Jongin yang tinggal di sekitar sini, Jung Soojung. Kau pasti tahu kan ahjumma?”
Bibi Lee langsung menghempaskan tanganku lalu mulai berceracau panjang lebar tentang betapa tidak sopannya kami, “Rumah keluarga Jung ada di sebelah rumah ini. Cepat pergi dan jangan ganggu aku! Dasar anak-anak bandel!” dia memekik lalu menutup pintu gerbang dengan kasar.
Aku tidak mempedulikannya. Tanpa berpikir panjang aku langsung berlari ke rumah sebelah lalu memencet belnya berkali-kali, persis seperti yang kulakukan kepada bel rumah Jongin.
“Baekhyun, apa yang sebenarnya kau lakukan? Kupikir kau ingin menemui Jongin,” ujar Chanyeol dengan suaranya yang telah normal kembali. Aku masih terus memencet bel rumah Soojung, berharap gadis itu ada di dalam rumah.
“Kau lupa? Jung Soojung adalah salah satu bestie-nya si cewek gila. Dia pasti tahu sesuatu—”
Kriet! Pintu terbuka. Aku tidak pernah sebahagia ini melihat wajah teman dari pacarku itu.
“Baekhyun?”
“Soojung-ssi! Di mana pacarku berada? Kau pasti tahu kan? Di mana dia sekarang? Cewek gila itu tidak sakit kanker kan? Dia baik-baik saja, benar kan? Katakan di mana dia, Soojung-ssi,” aku mencecarnya dengan sederet pertanyaan yang berputar-putar pada inti yang sama.
Aku menunggu jawaban dari Soojung. Namun, raut wajahnya yang semula agak terkejut perlahan berubah. Alih-alih menjawab pertanyaanku, gadis itu malah berlari ke dalam rumahnya, membiarkan aku dan Chanyeol yang tidak tahu apa-apa hanya bisa saling menatap dengan penuh tanda tanya. Tak sampai dua menit Soojung kembali, tapi perasaanku semakin tidak enak saat melihat matanya yang sedikit merah dan berair seperti baru saja menangis.
“Ini surat untukmu, Baekhyun. M-maaf aku tidak memberitahumu sejak kemarin-kemarin, dia melarangku.” Jung Soojung menyodorkan sebuah amplop berwarna merah, air matanya meluncur bebas mengenai pipinya, dengan sigap tangannya langsung menghadang air mata tersebut agar tidak tumpah-ruah lebih banyak.
Tanganku sedikit bergetar saat menerima suratnya. Seakan disodorkan dua pilihan, berkaca atau memalingkan wajah dari kenyataan. Jika aku membaca surat itu dan mendapatkan jawaban terburuk dari semua pertanyaanku tentang cewek itu, aku takut tidak siap menerimanya. Namun, jika aku mengelaknya, aku akan terus dihantui bayang-bayang tentang cewek itu dan hidup dalam ketidakpastian.
Chanyeol menepuk bahuku, seolah bisa membaca pikiranku dan menyuruhku untuk membaca surat itu. Aku menatap Soojung sekilas, dia tampak menahan diri untuk tidak menangis. Jantungku berdebar-debar saat membuka amplop tersebut, aku takut merobek isinya, aku takut merusak semuanya. Aku mengeluarkan kertas yang dilipat dengan rapih dari dalam amplop, aroma parfumnya yang begitu kukenal langsung menyapa indra penciumanku, membuatku rasa rindu itu mencuat kemana-mana.
Kepada yang berhak tahu,
Byun Baekhyun...
....
......
.........
Pernahkah kau merasakan udara yang kau hirup mengkhianatimu? Ketika kau percaya bahwa udara itu akan membuatmu tetap hidup, tapi yang terjadi malah sebaliknya. Udara itu menghantarkan sengatan listrik yang menembus jantungmu bahkan hatimu. Aku butuh waktu untuk mencerna semua ini dengan pikiran yang sehat. Ada sebuah paragraf dalam surat itu yang bagiku sangat tidak masuk akal, aku tidak bisa menerimanya. Tidak untuk saat ini.
Aku menatap kata-kata yang ia tulis di akhir surat.
Yang mengharapkanmu hilang ingatan,
H.R
“Jung Soojung, apa kau membaca surat ini sebelumnya?” aku bertanya setelah mengusap ujung-ujung mataku. Aku memasukkan surat tersebut ke dalam amplop bersamaan dengan butiran air mata yang merembes lagi.
“Tidak, dia melarangku untuk membacanya,” jawab Soojung dengan suara sedikit parau, “a-aku akan mengantarkanmu ke m-maka—”
“Antar aku ke sana, Soojung-ssi. Antar aku ke sana apapun yang—” aku tidak sanggup melanjutkan kalimatku karena akhirnya Soojung meledak dalam tangisan, membuatku ikut-ikutan menangis. Aku ingin berteriak sekencang-kencangnya ketika wajah pacarku mulai bermunculan satu persatu seperti slide power point.
“Kemana? Kita akan kemana Baekhyun? Hey kalian! Katakanlah sesuatu padaku, apa yang terjadi? Kenapa kalian menangis tersedu-sedu seperti itu?”
Aku mengabaikan pertanyaan Chanyeol dan terus terisak.
Dalam pelukan Jung Soojung.
A/N: Yosh! 1 chapter lagi menuju ending. Sebenernya ending ff ini ada 3 atau 4 versi, author sampe bingung mau pilih yg mana ‘ ‘a. Maaf banget kalo chapter ini gaje e_e Pengennya sih ff ini selesai sebelum tahun 2015, well let’s see~ xD
ps: kalau ada pertanyaan tentang ff ini langsung tanya aja di chapter ini, author bakal bales di chapter depan. Pertanyaan apapun kecuali siapa si cewek gila itu. xD Ya misalnya "Kenapa si cewek gila bisa kenal Taeyeon?" atau "Kenapa Soojung tentanggaan sama Jongin?" #plak. Kalau gak ada yg ditanyakan juga gak apa-apa sih, tapi ya gitu.. di chapter selanjutnya mungkin cuma fokus ke ending hehe. xD
Comments