Day 18
Notre Kaléidoscope=18=
Aku berjalan dengan gontai sepanjang koridor gedung lelaki. Hari ini tak ada sedikitpun semangat menghampiri diriku. Sudah dua minggu lebih aku kekurangan jatah tidur. Umma pikir aku lebih giat belajar bersama temanku. Hah! Teman apanya?! Nyaris tiap malam cewek itu melempar kerikil ke jendela kamarku yang terletak di lantai dua. Aku khawatir kaca jendela itu akan pecah jika dia terus melemparinya sambil berteriak-teriak "Baekhyun-ah! Baekhyun-ah! Baekhyun-ah! Baekhyun-ah ayo keluar!". Aku heran kenapa tidak ada tetangga kami yang melempar kepalanya dengan sendal atau menyiramnya dengan kuah sup yang panas karena telah mengganggu ketentraman lingkungan kami.
"Byuntae!"
Langkahku terhenti saat melihat Jongdae melambaikan tangannya dan berlari ke arahku dari ujung koridor. Dia langsung merangkul leherku lalu kami berjalan.
"Kau pakai mantra apa? Kok si kapten basket mau denganmu?" dia terkekeh mengejek.
Aku mendengus, ini adalah bagian yang paling tidak kusuka. Nyaris setiap orang yang mengenalku akan menanyakan hal serupa. Bagaimana bisa aku pacaran dengan cewek itu? Aku pergi ke dukun mana? Aku pakai racun apa untuk membuat cewek itu mau pacaran denganku? Pertanyaan sinting yang bahkan tidak kuketahui jawabannya. Aku berusaha melepaskan tangan Jongdae dari leherku dengan perasaan terhina tapi dia malah merangkul lagi.
"Ya! Aku tidak mau pacaran dengannya. Dia sendiri yang mau denganku. Aku sih tidak." bahuku terangkat tak peduli.
"Aigoo bocah bodoh!" sebuah toyoran mendarat di kepalaku. "Sudah untung kau bisa dapat pacar cantik seperti dia, eh masih sok jual mahal." Jongdae mencibir lalu menarik tangannya dari leherku. Aku mendesis pelan mendengar ucapannya. Sepertinya Jongdae harus bertukar raga denganku sehari saja agar tahu penderitaan yang kualami. Taruhan, dia tidak akan tahan berada di sekitar cewek itu lebih dari dua jam.
Karena kelas kami yang kebetulan bersebelahan, jalan yang kami tempuh sama. Kelas kami terletak di lantai tiga. Aku meragukan kredibilitas orang yang mengatur tata ruang di SMA ini. Lantai tiga sangat tidak strategis untuk siswa kelas 11 seperti kami yang sering terlambat masuk kelas. Tangga-tangga jahanam itu menjadi musuh abadi di pagi hari. Harusnya yang ditempatkan di lantai tiga adalah anak-anak kelas 10 karena mereka masih semangat-semangatnya menapaki kehidupan baru sebagai siswa SMA. Sedangkan kami kelas 11, setidaknya harus diberi kesempatan untuk bisa bernapas dan ongkang-ongkang kaki menikmati kehidupan dengan cara melebarkan pesona untuk menjelajahi seluk-beluk asmara di SMA. Dan untuk kelas 12, biarkan mereka berada di awang-awang dan bercinta dengan soal-soal persiapan ujian.
“Jadi apa kalian sudah kisseu?”
“...”
Pertanyaan Jongdae langsung membuatku bulu kudukku meremang. Memegang tangan pacarku saja aku ragu. Bisa jadi ujung-ujung jariku langsung mengkerut saat mendarat di punggung tangan si cewek gila sebelum sempat menggenggamnya. Atau yang lebih buruk lagi, mungkin saja jari-jariku akan terpotong kecil-kecil layaknya kimbap mini. Membayangkan diriku punya niat untuk melakukan hal tersebut saja membuatku bergidik ngeri. Apalagi ciuman! Bisa-bisa dia langsung mencekikku hingga mampus.
“Tidak, aku masih sayang nyawaku.” Tukasku.
“Mwo? Jadi seorang byuntae sepertimu tidak memanfaatkan kesempatan ini? Whoa! Whoa!” Jongdae menghentikan langkahnya sambil menatapku tidak percaya. Ekspresinya mengingatkanku pada Squilliam Fancyson—musuh sehidup semati Squidward—yang terbelalak melihat Krusty Crab telah disulap menjadi restoran bintang lima. Mungkin sebentar lagi Jongdae akan berhomina-homina dengan mulut megap-megap seperti ikan.
“Aish ini berbeda. Hubungan kami tidak seperti yang kau pikirkan, bodoh.” jawabku sambil meneruskan langkah mendahului keturunan Kim itu. Jongdae menyusulku beberapa detik kemudian. Ia berusaha menyamakan langkahnya denganku, aku bisa merasakan cowok sableng itu akan melontarkan pertanyaan-pertanyaan berikutnya. Kau tahu? Rasanya seperti idola dari boyband nasional yang dicecari pertanyaan mengenai hubungannya dengan rakyat jelata oleh wartawan Dispatch di bandara sehabis pulang konser di luar negeri. Jelas, di sini aku adalah idola grup ternama itu dan si cewek gila adalah rakyat jelatanya.
“Aku tidak mengerti dimana letak perbedaannya,” Jongdae masih berusaha mengorek-ngorek hubunganku dengan si cewek gila. “Kau tidak pernah dengar soal perjodohan chaebol di sekolah kita? Kim Suho kabarnya sudah dijodohkan dengan pacarmu itu sejak masih berbentuk embrio.”
“Kim Suho? Si ketua osis?” Aku mengangkat alisku tepat setelah kami sampai di lantai dua, tempat anak-anak kelas 10 bernaung. Apa yang sebenarnya dibicarakan Kim Jongdae? Kenapa tiba-tiba dia jadi seperti nuna-nuna pembawa acara gosip di KBS?
Jongdae mengangguk, “Ya, si bogel kaya itu. Bahkan dia bersaing dengan Senior Wu untuk mendapatkan hati pacarmu. Makanya aku heran kenapa kau yang malah jadi pacarnya. Ada sesuatu yang aneh, bukan?”
Kata-kata Jongdae membuatku merenung cukup lama. Rasanya aku akan meloncat-loncat kegirangan karena ada titik terang dimana aku bisa mengakhiri hubunganku dengan si cewek gila. Ujung-ujung bibirku terangkat tanpa beban saat berbagai macam gambaran kebebasan secara bergantian memenuhi benakku. Aku bisa tidur dengan normal lagi, berhenti memakan makanan herbivora, tebar pesona ke adik kelas sesuka hati, dan yang paling penting... tidak akan ada lagi yang mengancam akan membunuhku jika aku melakukan kesalahan. Speedometer semangatku perlahan mulai bergerak ke kanan.
“Oi, kenapa kau malah cengengesan?”
Kami telah sampai di lantai tiga. Aku berhenti di depan kelas Jongdae lalu menepuk kedua pundak teman dekatku itu. Raut wajahnya heran melihat senyumku yang semakin lama semakin melebar. Aku mengguncang-guncang bahunya dengan bersemangat. “Aku akan segera bebas, Kim Jongdae. Terimakasih sobat, kau memang moodbosterku!”
***
Punya pacar itu tidak seindah yang orang-orang kira. Sama sekali tidak ada bagusnya sedikitpun bahkan jika pacarmu cantik, disukai banyak lelaki, hingga punya bakat atletik yang lebih besar presentasenya dari yang kau punya. Orang awam akan melihatmu sebagai lelaki paling beruntung di Korea Selatan. Padahal kenyataannya aku merasa julukan lelaki paling nahas penuh derita dan nestapa lebih cocok. Kurasa detik saat pacarku mendeklarasikan hubungan kami adalah detik dimana hidupku mulai terjajah.
Pada hari-hari biasa di jam istirahat, aku akan berkumpul bersama anak-anak cowok yang lain dan membicarakan banyak hal berguna. Sekarang jam istirahat selalu kuhabiskan untuk menemui pacarku entah di kantin, perpustakaan, atap sekolah, taman, lapangan, hingga ruang guru. Pokoknya semua permintaannya harus kuturuti. Tak hanya itu! Jika aku telat lebih dari lima menit, dia akan memberikanku hukuman untuk menghapal lagu kesukaannya yang kebanyakan berbahasa Inggris. Jujur saja kemampuan bahasa Inggrisku tidak baik. Aku tidak berminat menjadi penerjemah atau apapun itu.
Kali ini dia meminta untuk bertemu di kantin. Sebuah plastik berisi kotak makan bergelayutan di tanganku. Sejak pacaran dengannya aku harus meminta umma untuk mengisi kotak makanku—yang terakhir kali dilakukannya saat aku kelas 3 SD. Pacarku bilang makanan rumah itu lebih sehat daripada makanan di luar sana. Dia bersikeras dan mengancam akan menyabotase seisi kantin jika aku tidak menuruti permintaanya itu. Daripada dibenci satu sekolahan, lebih baik aku ikuti saja apa maunya si cewek gila.
Aku meletakkan plastik tersebut di atas meja kantin. Dia terlihat sibuk dengan handycamnya yang sudah ia bawa kemana-mana sejak beberapa hari yang lalu.
“Oh, kau sudah datang?” ujarnya sambil tersenyum lebar seperti biasa. “—ayo katakan ‘selamat siang jagiya~ kau cantik sekali hari ini, aku terpesona karena wajahmu mengalihkan duniaku. Tetaplah jadi pacarku bbuing-bbuing~’ dengan aegyo.” lanjutnya sambil mengarahkan lensa kamera ke wajahku.
“M-mwo? Haruskah?”
“Tentu saja, lakukan itu untukku ya? Ayolah kau pasti sangat manis dan lucu.”
Demi lubang hidung Oh Sehun yang sering kembang-kempis kalau nonton video triple X, aku bisa merasakan suhu wajahku naik beberapa derajat. Rasanya seperti ada orang kurang kerjaan yang menempelkan telur rebus di kedua pipiku ketika pacarku melontarkan kalimatnya barusan. Tidak pernah ada seorang pun yang mengatakan aku manis dan lucu kecuali nuna-nuna kantoran yang satu bus denganku beberapa kali.
Aku berdeham pelan sambil melihat sekitar. Ramai.
“Y-yah, kau lebih manis dan lucu. Aku tidak akan bisa melakukannya,” aku berbisik sambil mengangkat sebelah tanganku untuk menghalangi wajah. “—lebih baik kita makan saja. Nanti kau keriput kalau membiarkan perutmu kelaparan terlalu ramai.”
Tap! Terdengar suara handycam ditutup. Aku bisa melihat sirine merah imajiner mulai berputar di atas kepala pacarku. Sial! Pertanda buruk.
“Aku tidak memintamu melakukan sesuatu di luar batas kemampuanmu, Byun Baekhyun. Melakukan bbuing-bbuing saja tidak bisa, eoh? YA! KAU INI LELAKI MACAM APA—”
Aku sedikit tersentak saat dia mulai berteriak dan berhasil membuat beberapa pasang mata menoleh ke arah kami. Ya Tuhan, kenapa aku harus dilahirkan sebagai Byun Baekhyun dan bertemu dengannya? Kenapa aku tidak dilahirkan sebagai putra pendiri S.M Entertainment saja? Pasti aku sudah bersekolah di SOPA dan sekelas dengan Bae Suzy sekarang. Malah kemungkinan kami berjodoh akan jauh lebih besar.
“H-hei tenanglah du—”
“BAGAIMANA JIKA ANAKMU NANTI INGIN APPANYA MELAKUKAN AEGYO—”
Sepertinya semua orang memandang kami sekarang. Ditambah was wes wos bisik-bisik dari berbagai celah. Aku menelan ludah saat beberapa anak cewek mulai menunjuk ke arah perut pacarku.
“A-aniya, bukan seperti itu ma—”
“HAH! KAU TIDAK MAU JUGA? KAU AKAN MEMBIARKAN ANAKMU MENANGIS?!!”
“ARASSEO! ARASSEOYO!” Aku menyerah.
“Cha!” cewek itu membuka handycamnya lagi. Ekspresi marah yang sebelumnya menghiasi wajahnya, kini telah hilang tergantikan oleh senyuman lebarnya yang khas. Kalau tadi dia terlihat seperti mama singa yang mengamuk karena papa singa tertangkap basah selingkuh, sekarang dia terlihat seperti boneka anak singa yang tersenyum manis dan bisa ditemukan pada rak pajangan di toko souvenir kebun binatang nasional.
“Ayo kita mulai! Lihatlah ke kamera dan katakan seperti yang kubilang tadi.”
Kuhela napas samar lalu mengepalkan kedua tanganku di sisi wajah. “Selamat siang jagiya~ oneul neomu yeppeoyo! Bbuing bbuing!”
“Kyaaa kiyeowo! Ayo lakukan bbuing-bbuing lagi jagiya.”
“Bbuing-bbuing, bbuing-bbuing, bbuing-bbuing!”
“Kau benar-benar manis!” celetuknya seraya mengulurkan tangan kanannya dan mencubiti pipiku. “—sekarang ceritakan tentang dirimu. Semua tentang dirimu, ok? Anggap saja kau sedang audisi.”
Nah, apalagi sekarang? Aku mengusap-usap pipiku yang memerah karena cubitannya. Masih menatap kamera, sebelah tanganku yang bebas menggaruk bagian belakang kepalaku yang tak gatal sambil bertanya-tanya. Otaknya terbuat dari apa sih? Kenapa idenya aneh-aneh sekali? Kenapa moodswingnya sangat ekstrim? Aku menatapnya, bertanya apa yang harus kulakukan lewat gerakan mata. Dia menjawab pertanyaanku melalui alisnya yang bergerak ke atas, menyiratkan jika aku tidak segera melakukannya maka lebih baik pesan peti mati sekarang.
“Ehm, annyeonghaseyo,” aku melambaikan tanganku ke lensa kamera. “—namaku Byun Baekhyun. Umurku 18 tahun. Hidupku hanc—” ucapanku langsung berhenti di situ sebelum dia menyadari apa yang akan kuucapkan.
“Kenapa berhenti? Ayo lanjutkan.”
“Ehem. Umurku 18 tahun, aku adalah pacar—”
“Katakan bahwa kau adalah pacarku dan sangat menyukaiku.”
“Aku adalah pacarmu,” sengaja kuberi jeda pada kalimatku. Aku menatap mata cewek itu alih-alih fokus pada lensa kamera. “Aku sangat—” ini adalah bagian tersulit. Aku sama sekali tidak menyukainya. Aku membencinya hingga ke ubun-ubun karena cewek itu telah menjajah kehidupanku dan mulai menghancurkan reputasi yang telah kubangun. “—menyukaimu.”
“Aniya,” cewek itu tampak menekan sebuah tombol pada handycamnya. Kutebak itu adalah tombol pause karena berikutnya dia meletakan benda tersebut di atas meja. Tak lama berselang kedua matanya langsung menatap intens pandanganku. “—katakan seakan-akan aku adalah gadis yang paling kau cintai di dunia ini,” nada bicaranya terdengar serius. Dia melanjutkan, “—anggap saja aku adalah gadis impianmu, incaranmu, atau apapun itu. Kau harus melakukannya dengan penuh penghayatan, arasso?”
Aku mengerutkan kening, tak mengerti. Cewek itu mengangkat handycamnya lagi dan aku masih dalam kondisi mencerna kata demi kata yang baru saja keluar dari mulutnya. Sebenarnya ada yang berbeda dari nada bicara pacarku. Dia tidak terdengar mengancam seperti biasanya, tapi lebih terdengar serius dan jika indra pendengaranku masih berfungsi dengan baik.. aku bisa mendengar nada permohonan dalam suaranya.
“Camera, roll, action!”
Beep. Aku menarik napas.
“Annyeonghaseyo. Byun Baekhyun imnida. Aku adalah pacarmu, kau pasti tahu itu kan? Sebenarnya aku tidak tahu apa yang harus kukatakan. Kita belum lama bertemu tapi sudah menjadi sepasang kekasih. Awalnya aku tidak mengerti, sampai sekarang pun aku tidak mengerti apa yang kulakukan. Kau selalu menyuruhku melakukan hal-hal yang aneh dan sejujurnya itu sangat kekanak-kanakan. Tapi entah kenapa kau selalu berhasil membuatku tidak bisa menolaknya. Apa kekuatan rahasiamu, hm?”
“Kurasa kau adalah gadis baik di luar semua perilaku abnormalmu. Jangan salah paham dulu, maksudku.. kau adalah gadis yang berbeda dari yang lain. Teman-temanku bilang aku sangat beruntung karena bisa menjadi pacarmu. Bahkan aku bisa mengalahkan Si Bogel Kaya dan Menara Sute—” aku terbatuk pelan untuk menyamarkan ucapanku sebelumnya. “—maksudku Kim Suho anak konglomerat dan Senior Wu sang atlet basket kebanggan sekolah kita. Aku tidak tahu kenapa kau memilihku bahkan di saat kita belum kenal sekalipun. Aku juga tidak tahu berapa lama waktu yang diperlukan untuk kita saling jatuh cinta.”
Aku melihat dia tersenyum di balik handycamnya. Tanpa kusadari sudut-sudut bibirku pun terangkat. Kuharap ini pertanda bagus. Mungkin dia tidak akan menggangguku untuk beberapa hari ke depan jika aku bisa berakting dengan baik.
“Ya begitulah. Aku akan mencoba untuk tetap bersamamu sampai aku benar-benar jatuh cinta. Kau akan jatuh cinta padaku juga, kan?”
Beep.
“Tidak buruk.” Cewek itu menutup handycamnya lalu membetulkan ikatan rambutnya. “Mungkin beberapa hari ke depan kita tidak bisa bertemu. Dan kurasa kita harus sering-sering rekaman seperti tadi. Kau tahu, membuat kenangan itu bagus.”
Sedikit terkejut dengan ucapannya, aku bersedekap sambil memandangnya dengan penasaran. Apa dia bisa membaca pikiranku? Dari awal memang gerak-geriknya mencurigakan, penuh kejutan.
“Kenapa?”
“Mulai bulan ini aku tidak akan sekolah setiap hari Kamis.”
“Kenapa?”
“Ada sesuatu yang harus kulakukan.”
“Kenapa?”
Dia menatapku dengan enggan. “Aku akan menyelamatkan planet lain jadi kau harus menungguku di Bumi dan menjadi namja chingu yang baik, arasso? Jangan lirik-lirik gadis lain, jangan makan daging terlalu sering, jangan suka menggosip seperti anak perempuan. Ckckck, apa itu barusan? Kim Suho dan Senior Wu?”
“Aish, kau ini siapa sih sebenarnya?”
Kini cewek itu menaruh dagunya di atas kedua tangannya yang tertangkup. Dia tersenyum manis sebelum akhirnya berkata, “Pacarnya Byun Baekhyun.”
Comments