Day 162 (Part 2)
Notre Kaléidoscope=162=
Part 2
“Baekhyun, aku akan membunuhmu—bbuing bbuing,” ucap cewek itu dengan suara seperti anak kecil, “—aku benar-benar akan membunuhmu jika kau tidak mau bicara,” lanjut pacarku yang menatapku sambil memiringkan kepala, kedua tangannya terkepal dan bergerak naik turun di dekat tulang pipinya, sedangkan matanya tersenyum padaku dengan sangat manis.
Tiga puluh menit aku mengabaikannya karena berbohong soal perjodohan dengan oppa-oppa sialan itu (ternyata lelaki tersebut adalah tetangganya sejak kecil dan sudah dianggap keluarga sendiri, ck). Dia berusaha membuat pertahananku luntur dengan berbagai cara demi mendengarku bicara. Salah satunya dengan melakukan aegyo. Aku penasaran kenapa hati kami, orang-orang Korea, mudah sekali tergugah dengan aegyo semacam itu. Aku berusaha keras untuk tidak meliriknya dan demi Tuhan, ini lebih sulit daripada berhenti menonton video xxx.
“Satu ditambah satu sama dengan mati. Dua ditambah dua sama dengan mati. Tiga ditambah tiga sama dengan mati. Empat ditambah empat sama dengan mati. Lima ditambah lima sama dengan mati. Enam ditambah enam sama dengan chu chu chu chu chu chu mati kau Byun Baekhyun.”
Aku menoleh pada cewek itu, heran bercampur ngeri karena dia mengubah lirik lagu Gwiyeomi seenak angin menggetarkan bulu hidung namun sama sekali tidak mengurangi ke-aegyeo-annya. Aku sedikit ragu mengenai identitas pacarku. Bisa jadi dia adalah Do Min Joon versi cewek SMA yang sinting kuadrat.
“Baiklah! Aku memaafkanmu,” ujarku, menjulurkan tangan menuju kepalanya kemudian mengacak-acak rambutnya pelan, “jangan berbohong lagi.”
“....”
Dia terdiam sejenak dengan pupil mata melebar, sedikit kilatan terkejut tampak memancar dari kedua matanya. Aku balas menatapnya, posisi tanganku masih berada di puncak kepala cewek itu, tanpa sadar malah mengusapnya dengan lembut. Lewat kedua matanya yang jernih aku bisa melihat pantulan diriku yang terjebak dalam keheningan. Tiba-tiba aku melihat rona merah muda menyembul malu-malu di kedua pipinya.
Deg...
K-kenapa gambaran itu malah membuat jantungku berdetak-detak lebih liar dari biasanya? Rasa hangat mulai menjalari pipiku. Aku tak berani bergerak sedikitpun, tanganku masih berada di atas kepalanya, bibirku terasa berat untuk menggelontorkan kata-kata. Khawatir jika aku bergerak sedikit saja, dia akan meledak-ledak emosi. Aku takut dimutilasi.
“A-apaan sih,” akhirnya ia berkata sambil menghalau tanganku dari kepalanya, memalingkan wajahnya, dan memutus kontak mata denganku. Aku menghela napas lega karena kalau dia kelamaan menatapku seperti tadi, aku takut menjadi tidak waras betulan.
Aku menyandarkan bahuku pada kursi, masih memilih bungkam sampai situasi benar-benar aman untuk bicara. Seorang pelanggan menyelamatkan kami dari keheningan absurd ini, dia menanyakan dimana komik terbaru. Cengiran lebar aku berikan sebagai bonus ketika menyodorkan komik yang telah kuambil tadi pagi. Pelanggan itu menggumamkan sesuatu seperti ‘terimakasih’ kemudian berlalu menuju meja bacanya lagi.
Aku melirik pacarku yang tidak bersuara sejak kejadian tadi. Dia terlihat sudah tenggelam dalam ribuan kata yang ada pada sebuah novel berjudul Eommareul Butakhae karya Shin Kyungsook. Meski novel tersebut adalah novel best seller yang terjual lebih dari satu juta kopi, aku belum berminat membacanya. Efek samping yang diberikan novel itu tidak bagus, terakhir aku melihat Chanyeol sesenggukan dengan mata merah seperti kemasukan serangga setelah membacanya. Bahkan Kim Jongin pun menutup mulutnya dengan tangan untuk menahan isakan saat membaca novel tersebut. Bibirku terbuka untuk mengeluarkan beberapa pertanyaan, namun kuurungkan niatku karena dia terlihat begitu serius dengan konsentrasi penuh.
Masih memperhatikan cewek di sebelahku membalik halaman kertas kekuningan yang mempunyai bau khas itu dengan khidmat, aku mendapati beberapa helai rambut—yang tidak ia kuncir hari ini—menempel pada pipi kanannya. Sebuah dorongan kuat untuk mengambil sejumput rambut tersebut dan menyelipkannya di balik daun telinga pacarku tiba-tiba muncul. Tapi otakku memperingatkan; bisa saja sebelum ujung jariku mendarat di pipinya, cewek itu akan menghantamku dengan buku yang ia pegang.
Aku memiringkan tubuhku, menopang kepala dengan tangan dan menatapnya dari samping. Dia memang bukan gadis tercantik di sekolah kami, tapi aku yakin orang lain akan setuju bahwa kata jelek tidak cocok untuk menggambarkannya. Cukup. Jika cantik diibaratkan sebagai gula, maka kecantikan pacarku tidak akan membuat diabetes. Dan aku menyukai itu. Aku tidak pernah benar-benar memperhatikan saat dia bergeming, terlihat begitu tenang dan aura yang berbeda terpancar darinya. Tiba-tiba sebuah butiran air menempel pada pipinya.
“Hei, kau menangis?” kataku beretorika sambil menegakkan posisi.
“Tidak,” jawabnya dengan ketus lalu menoleh padaku. Aku agak terkejut karena matanya sedikit merah. “Aku hanya pipis lewat mata,” lanjutnya dengan bulir-bulir air mata yang berjatuhan lebih deras.
Aku mengabaikan sikap defensifnya, mengambil beberapa helai tisu yang ada di laci lalu menyodorkannya pada pacarku. Jujur saja aku tidak berani menyentuhnya. Tidak sedetik, tidak sesenti kulit pun. Aku tidak pernah menggenggam tangannya ketika kami jalan berdampingan sepulang sekolah. Atau merangkul bahunya untuk mengecilkan jarak di antara kami. Aku ...tidak berani. Aku hanya takut sesuatu yang buruk terjadi jika aku melakukan apa yang tidak ia minta. Sama halnya jika aku tidak melakukan apa yang ia minta.
Cewek itu menggumamkan terimakasih lalu menutup buku bersampul hijau yang ia pegang dan meletakkannya di atas meja. Dia memanfaatkan tisu itu dengan sangat baik, beberapa kali mengerutkan hidung untuk membuang ingusnya. Kami belum bertukar kata lagi, aku memberikannya waktu untuk menenangkan diri. Aku tidak akan bertanya macam-macam kenapa dia menangis. Dugaanku, mungkin dia terkena efek samping dari novel Shin Kyungsook tersebut.
“Novel ini membuatku merindukan ibu,” ujarnya tiba-tiba. Telunjuknya mengetuk-ngetuk sampul novel tersebut tepat di bagian kata ‘Eomma’. Aku menatapnya penuh tanda tanya namun yang kudapat hanyalah air menggenang yang siap tumpah dari ujung matanya.
“Dia meninggal saat melahirkanku. Aku baru tahu bahwa ibu yang ada di rumahku sekarang bukan ibu kandungku di kelas 2 SMP. Sejak saat itu aku merasa bersalah karena secara tidak langsung telah membunuh ibu,”
Dari setiap pemikiran yang selalu ia berikan padaku, aku tidak bisa membayangkan pacarku berpikiran dangkal seperti itu. Seperti bukan dirinya. Aku mengerutkan kening, siap untuk membantah pikiran konyolnya, namun dia melanjutkan, “Kau tahu?” Aku melihat refleksi diriku pada iris hitamnya saat ia memandangku. “Rasanya aneh sekali untuk merindukan orang yang tidak pernah kau lihat sebelumnya. Perasaan itu tiba-tiba muncul begitu saja. Orang-orang yang kusayangi satu per satu mulai pergi.”
Dan begitulah caranya bercerita padaku tentang sisi lain dirinya yang tidak pernah kulihat. Ia mengalir seperti air yang tenang. Hari itu aku menahan diri untuk tidak menginterupsi ceritanya sedikitpun. Aku kembali menopang kepalaku, mendengarkan setiap kata yang ia ucapkan padaku dengan serius. Sesekali aku tersenyum—bukan karena ceritanya yang lucu atau manis, tapi karena senyumnya yang ia selipkan saat menceritakan bagian tertentu. Senyumnya telah membuatku tersenyum.
“Baekhyun-ah, apa kau pernah dengar cerita tentang Daekyung?”
Aku mengangguk pelan. Daekyung, singkatan dari Kim Daehyun dan Lee Hakyung. Tentang sepasang kekasih muda. Kim Daehyun adalah seorang siswa kelas 12 yang cukup populer di sekolahnya, dia berpacaran dengan adik kelasnya yang tak lain dan tak bukan adalah Lee Hakyung. Orang-orang menyebut mereka ulzzang couple karena paras mereka yang rupawan meski bukan benar-benar ulzzang. Namun suatu hari Lee Hakyung divonis menderita kanker dan tujuh bulan kemudian meninggal. Selama pengobatan, Daehyun selalu setia menemani kekasihnya. Bahkan setelah kematian Hakyung, Daehyun selalu pergi memperingati hari jadi mereka. Setiap tahun dia memenuhi makam Hakyung dengan bunga-bunga indah. Cerita itu sangat tenar dan membuat banyak orang tergugah karena memang benar-benar terjadi di kehidupan nyata. Kabarnya kini Lee Daehyun sedang kuliah dan berbisnis di luar negeri. Malah ada yang berceletuk bahwa pria itu berjanji tidak akan menikah.
“Memangnya kenapa?” tanyaku.
“Jika aku seperti Hakyung, apakah kau akan melakukan hal yang sama?”
Aku terdiam. Pertanyaan yang ia berikan sebenarnya tidaklah sulit. Tinggal menjawab iya dan tidak. Lebih mudah lagi jika aku menjawab iya untuk menghindari ‘penganiayaan’ yang biasa ia lakukan padaku. Jauh di lubuk hatiku yang paling dalam, aku kalut mencari jawaban yang bisa membuat hati dan otakku saling terhubung. Apakah aku akan melakukan hal yang dilakukan Daehyun? Atau aku hanya akan mendatangi pemakaman Hakyung dan melupakannya? Move on.
“Tent—”
“Jangan. Jangan seperti Daehyun,” katanya memotong ucapanku, “pikirkan tentang istrimu kelak. Bagaimana perasaannya jika dia tahu bahwa kau mencintai Hakyung sedalam itu? Orang-orang akan terus berkata bahwa kisahmu begitu hebat, cinta sejati, cinta selamanya, dan sebagainya. Tapi kau tidak bisa terus-menerus memperlakukan orang mati seperti itu. Akan ada perasaan mengganjal dalam hati istrimu. Cinta pertama memang indah dan selalu dikenang, semua orang berhak memilikinya. Tapi tidak berlebihan seperti itu.
Jika aku jadi Hakyung, aku akan meminta pada siapapun di alam baka sana untuk menghapus ingatan Daehyun tentangku. Aku tidak ingin hatinya terbagi-bagi. Aku tidak bisa memilikinya, jadi untuk apa? Lebih baik dia mencintai orang lain, istrinya kelak dan anak-anak mereka. Lagipula bunga yang ia sebarkan akan layu. Siapa tahu harga bunga akan meroket nanti? Aku yakin sebenarnya Daehyun pergi ke luar negeri untuk menikah diam-diam.”
Sudut-sudut bibirku terangkat, pacarku memang memiliki sudut pandang yang berbeda terhadap dunia. Aku mengangguk berkali-kali, menyetujui ucapannya. Dia tersenyum lebar lalu mengangkat jempolnya dan kembali membaca novel Shin Kyungsook yang membisu di atas meja selama lebih dari satu jam sejak terakhir kali pacarku menyentuhnya. Aku melakukan hal yang sama, melanjutkan bacaan komikku yang tertunda.
Selebihnya kami tenggelam dalam bacaan masing-masing, seperti pelanggan lain—terhanyut dalam keheningan yang menenangkan. Kemudian bahuku terasa agak berat. Aku mengedipkan mata saat mendapati pacarku tertidur dengan kepala bersandar di bahuku. Buku yang ia pegang telah terjatuh di lantai. Aku memiringkan kepalaku untuk memastikannya benar-benar tertidur namun jantungku langsung berdetak-detak seperti orang kesetanan karena bibir cewek itu begitu dekat dengan wajahku.
Aku memegang dadaku, sedikit menekannya dengan harapan jantungku akan berhenti menggila. Aku takut salah satu arteriku putus karena sang jantung yang begitu bersemangat memompa darah. Rasa hangat itu menjalar lagi tiap kali aku menoleh ke samping dan menemukan bibirnya. Napasnya berirama dengan tenang, tergambar lewat leher putihnya yang menunjukkan detak kehidupan.
Aku tidak pernah merasa segugup ini dalam hidup. Bola mataku bergerak dari ujung ke ujung, mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru ruangan. Orang-orang sibuk berkutat dengan bacaan mereka. Aku menoleh pada pacarku yang tertidur seperti seorang bayi. Melihat orang lain berciuman rasanya begitu mudah dilakukan. Tapi ini adalah yang pertama untukku. Sial. Pikiranku mulai berteriak untuk menyambut kesempatan ini dengan baik. Hatiku berkata sebaliknya.
Perlahan-lahan aku semakin menekan dadaku dengan telapak tangan, berusaha menetralkan detak jantungku—takut kalau suaranya akan menembus rusuk dan kulit hingga membangunkan pacarku. Aku membungkam hatiku dengan memenangkan pikiranku, kapan lagi kesempatan ini datang? Lagipula dia sedang tidur, pasti tidak akan merasakan apapun kalau aku ... dengan secuil keberanian mendekatkan wajahku pada wajahnya. Aku memejamkan mataku, diam-diam berdoa agar dia tidak membuka mata.
.
Napasnya hangat, aku menyukai aroma parfum yang ia gunakan.
.
Bibirku menuju bibirnya,
.
Tapi b-bagaimana caranya ciuman?
.
.
Di tengah kebuntuan, tiba-tiba aku merasakan serat-serat halus menyentuh lenganku. Aku segera menjauhkan wajahku sebelum pacarku terbangun. Kupegang serat tersebut, menatapnya dengan saksama. Sebuah sengatan listrik tiba-tiba mengenai jantungku. Aku menatap pacarku yang masih tertidur dengan lelap, tampak tak terusik sedikitpun.
.
Hanya saja tanpa rambut panjangnya.
.
Deg
A/N: Karena aku bukan lelaki, jadi mohon maaf kalau penggambaran perasaan Baekhyun yang degdegan kurang mengena(?). x'D OOT: Novel Shin Kyungsook itu emang beneran ada. Judulnya setelah diterjemahkan itu 'Please Look After Mom', ceritanya tentang sebuah keluarga yang kehilangan ibu di stasiun kereta. Lalu munculah berbagai kenangan dan perasaan kehilangan (plus bersalah) dari anak-anaknya hingga suami si ibu itu. Bahwa selama ini mereka menyia-nyiakan keberadaan si tokoh utama. Yang unik dari novel ini adalah sudut pandang yang digunakan. Ada 1st POV, 3rd POV serta sudut pandang 'Kamu'. Dan kisah Daekyung itu sebenernya ada loh di Indonesia, tapi aku rubah di beberapa bagian.
Comments