Day 275
Notre Kaléidoscope= 275 =
“Dia masih tidak bisa dihubungi.” Aku memulai pembicaraan begitu Chanyeol membuka pintu rumahnya.
Chanyeol menarik gagang pintu berwarna hijau tua di belakangnya dengan mata setengah terpejam. Terdengar sebuah bunyi klik pelan ketika tangannya yang bebas menepuk pundakku untuk menyeimbangkan tubuhnya saat ia menjejakkan kaki di anak tangga ketiga dari empat anak tangga yang ada menuju pintu kediaman keluarga Park. Ia menempelkan pantatnya di anak tangga ke empat. Rambutnya terlihat masih acak-acakan dan iler tampak membekas di ujung bibir kirinya, membuat sebuah jalur sepanjang kelingking anak bayi. Perlahan Chanyeol mengedipkan matanya beberapa kali sambil mendongak. Langit masih memakai selimut hitam bercorak bintang yang berserakan seperti ketombe. Atau komedo.
Aku duduk di sebelah Chanyeol, ikut memandang langit gelap yang berketombe. “Yeol-ah, kurasa dia pergi berlibur ke Honolulu lalu bertemu dengan cowok yang tidak lebih tampan dariku dan selingkuh,”
“.....”
“Ponselnya sama sekali tidak aktif. SNS-nya juga tidak pernah dibuka sejak hari terakhir sekolah. Komentar teman-temannya pun tidak muncul. Aku sudah stalking setiap orang dekatnya. Jung Soojung, Yoon Bomi, Kang Seulgi.. tidak ada satupun yang tahu dimana cewek gila itu berada. Aku yakin sekali dia pasti selingkuh,”
“.....”
“Kira-kira berapa harga tiket dari Incheon ke Honolulu?” Aku mencoba untuk melakukan kalkulasi singkat dalam otakku. Beberapa detik kemudian aku menyerah. Kuraih ponsel yang ada di saku celana pendekku kemudian mencari harga tiket pesawat dari Korea ke ibukota Hawaii tersebut lewat internet.
“.....”
Keningku mengkerut saat melihat deretan angka yang tertera pada layar ponsel. “Aish kenapa harganya mahal sekali! Kalau begini aku harus merampok bank dulu,” gerutuku dengan kesal. Tidak mungkin aku punya uang sebanyak itu sekarang. Orangtuaku pasti hanya akan tertawa terbahak-bahak jika aku minta ongkos ke Honolulu untuk menemui pacarku yang gila. Bahkan jika aku merengek sampai ngompol di depan mereka, aku sangsi hati mereka akan tersentuh.
“.....”
Aku melirik Chanyeol yang sama sekali tidak bersuara sejak menutup pintu. Kedua matanya terpejam rapat. Ia sengaja memeluk pegangan tangga untuk menahan tubuhnya agar tak jatuh tapi tidak cukup pintar untuk menahan ilernya yang mengalir deras dari ujung bibir menuju lehernya. Kalau dalam keadaan normal, mungkin aku sudah menendang kakinya sekarang. Tapi aku merasa sama sekali tak bertenaga. Kuguncang bahu Chanyeol pelan, berusaha membangunkan raksasa yang tertidur.
“Bangunlah!”
“.....”
“YAH PARK CHANYEOL! BANGUNLAH!”
“Hng?” dia langsung menegakkan tubuhnya dan mengusap-usap sisi wajahnya yang nyaris banjir air liur pada kaos oblong kuning bergambar bola mata dan hidung Spongebob yang ia kenakan.
“Apa yang harus kulakukan?” tanyaku padanya dengan nada putus asa.
Chanyeol masih sibuk membersihkan iler di wajahnya. “Mungkin dia memang bosan denganmu. Aku rasa dia lebih suka cowok yang punya choco abs daripada pengidap gizi buruk yang uring-uringan setiap jam 5 pagi didepan rumah temannya. Jadi, relakan saja.”
Aku menghela napas panjang. Bercerita pada Chanyeol sama sekali tidak membantu. Dia tidak punya yang namanya periketemanan. Jika dia berkata seperti itu di hari-hari biasa, aku tidak akan membiarkannya bisa menghirup okisgen lagi. Mungkin sudah kejejali mulutnya dengan asam sulfat pekat atau mengikatnya di kursi penyiksaan dan mendongkrak kakinya yang terikat dengan dua bilah kayu seperti pada zaman Joseon. Tapi yang bisa kulakukan saat ini hanyalah mengacak-acak rambutku dengan frustrasi. Akan menjadi lebih baik jika aku menambahkan teriakan panjang. Namun saat aku hendak membuka mulut, Chanyeol langsung membekap mulutku dengan telapak tangannya. Kedua mataku langsung melebar saat bau iler menusuk-nusuk indra penciumanku tanpa ampun.
“Mmmmffff!!!”
“Sst jangan teriak! Sudah seminggu ini kau berteriak-teriak di depan rumahku di pagi buta.”
“MMMMMFFHH!!!!!!” Telapak tangan Chanyeol semakin menekan mulutku. Aku nyaris megap-megap, tentu saja untuk mendapatkan suplai oksigen yang bersih dan bebas bau. Demi leluhurku yang menyaksikan di langit, aku tidak ingin mati konyol karena keracunan bau iler Park Chanyeol. Jika aku memang harus mati lewat indra penciuman, lebih baik aku mati di ruangan penuh gas beracun, sungguh. Aku langsung menendang lutut anak sinting itu sekeras mungkin hingga terdengar suara duk!
“Adaw!!” pekik Chanyeol yang melepaskan tangannya dari mulutku untuk mengusap lututnya yang membentur ujung anak tangga. Dia meringis kesakitan dan aku meringis bahagia karena terhindar dari skenario mati konyol di tangan Park Chanyeol. Aku bisa merasakan Chanyeol menatapku dengan tajam namun aku terlalu sibuk untuk meraup oksigen sebanyak mungkin dan membersihkan mulutku.
“Salahku apa, hah?” tanyanya dengan nada tak terima kuperlakukan seperti tadi.
“Tanganmu bau iler, bodoh!” balasku tak kalah galak.
Chanyeol menatap telapak tangannya yang ia gunakan untuk membekapku tadi. Dia mendekatkan hidungnya ke sana lalu mengernyit. Dasar bego, gumamku dalam hati. Ekspresi kesalnya beberapa detik lalu langsung terganti oleh ceringaian bodoh yang menampilkan deretan giginya. Ia mengusap-usap telapak tangannya itu betisnya yang berbulu tipis.
“Kupikir kau akan teriak lagi seperti kemarin-kemarin,” kata Chanyeol dengan nada defensif terdengar dalam suaranya. “Ibuku mengomel tiap sarapan karena tidurnya terusik di pagi hari. Kuharap masalahmu cepat selesai, Baek.”
Aku menghela napas lagi untuk yang kesekian kalinya. Memang sudah seminggu aku selalu mengetuk pintu rumah Chanyeol saat matahari belum terbit. Aku butuh teman untuk bicara dan bersedia mendengarkan pikiran-pikiran gilaku tentang dia yang tak ada kabar sama sekali. Terdengar agak berlebihan, tapi aku tidak bisa tidur nyenyak akhir-akhir ini. Otakku selalu terpaku pada pertanyaan “apa”, “dimana” dan “kenapa” ketika diajak beristirahat di malam hari. Apa yang terjadi pada cewek gila itu? Dimana dia sekarang? Kenapa aku tidak bisa menghubunginya tiga minggu terakhir ini? Bahkan angin yang berhembus pun tidak mengirimkan kabar apapun padaku.
Keheningan tiba-tiba menyeruak di antara kami. Pikiranku melayang-layang, naik turun seperti burung gereja yang menggoda udara pagi sambil mengepakkan sayapnya tak beraturan. Banyak hal yang tidak kuketahui tentang pacarku. Di balik tawanya yang kencang, bola matanya yang jernih, gestur tubuhnya yang tajam, suaranya yang nyaring, senyumnya yang belakangan selalu membuat jantungku mati gaya, aku baru menyadari bahwa aku tidak benar-benar tahu siapa dia yang sebenarnya.
Aku tidak tahu apa-apa soal keluarganya kecuali tentang ibunya yang sudah meninggal, sedangkan dia tahu seluk-beluk keluargaku. Aku tidak pernah diizinkan untuk berkunjung ke rumahnya, sedangkan dia bisa seenak jidat keluar masuk kamarku. Bahkan lebih buruk lagi, aku tidak pernah bertanya soal perasaannya karena yang selama ini kupikirkan hanyalah perasaanku. Muak, benci, kesal, marah, bahagia.. aku bisa mendefinisikan semua itu dengan baik saat bersamanya dengan sudut pandangku tapi aku tidak pernah berpikir untuk mengetahui isi kepalanya saat dia bersamaku. Dia memang sering membentakku dan meluapkan emosinya dengan pukulan-pukulan atau tendangan yang ia daratkan padaku. Tapi ada sesuatu yang lain dari sikapnya. Apa yang ada di dalam pikirannya saat aku berada di sekitarnya? Apa yang sesungguhnya dia rasakan?
Aku selalu menganggapnya cewek yang berpikiran abnormal alias sinting. Dia tahu banyak tentang diriku, mulai dari makanan yang paling kukutuk keberadaannya di galaksi ini hingga bakat terpendam yang kusia-siakan. Baginya aku seperti buku yang terbuka di suatu meja dalam perpustakaan. Mudah terbaca. Tapi bagiku, dia adalah buku yang berada di rak paling atas dan susah diraih. Butuh tangga untuk mengambil buku tersebut—selangkah demi selangkah. Kupejamkan mataku dengan harapan bisa mengingat segala sesuatu tentang dirinya lebih detail.
Ketika aku menyaksikannya bermain basket untuk yang pertama kali dalam kejuaraan nasional, sebenarnya rasa percaya diriku langsung terpuruk. Dia begitu fokus dan cekatan dalam permainannya. Aku merasa melihat sosok yang berbeda hari itu. Bukan sosok gadis cerewet nan galak selangit selautan, tapi aku melihat seorang gadis yang kesepian dan rapuh. Aku tidak percaya dengan apa yang dipikirkan perasaanku. Aku hanya mendengarkan otakku yang selalu berhasil membuatku teringat akan perlakuan gilanya terhadapku.
Di toko buku dan alat tulis ketika aku harus membeli perlengkapan melukis untuk kelas seni, aku pernah mendapatinya melamun sendirian. Kedua matanya terpaku pada sebuah buku, terlihat begitu tertarik pada isi buku itu tapi sekaligus menyiratkan bahwa sang pemilik mata tersebut tengah menyelam jauh ke dasar lautan pikirannya. Kurasa pikirannya dikelilingi oleh tembok baja berlapis-lapis yang menjulang tinggi dan sulit untuk ditembus. Ketika aku menepuk pundaknya dan berpura-pura tak melihat apapun, dia langsung meninju perutku sambil menggerutu kesal karena telah membuatnya menunggu. Dan sepanjang jalan dia terus menggerutu, meniup-niup poninya, dan mengancam akan membunuhku seperti biasa.
Dia paling benci orang yang buang sampah sembarangan, bahkan tak segan-segan akan menendang bokong orang tersebut jika keras kepala tidak ingin membuang sampah pada tempatnya. Pacarku sangat mahir di bidang atletik dan selalu menyuruhku ikut dalam kegiatan olahraganya yang menjelaskan kenapa tenaganya sangat kuat. Nilai-nilai pelajarannya tergolong cemerlang. Aku tidak tahu bagaimana dia belajar di kelas, tapi dia selalu memaksaku untuk mengerjakan semua tugas sekolahku tepat waktu. Bahkan dia membuatku terpaksa ikut kursus bahasa Inggris pada akhirnya. Dia akan memaksaku menelan sayuran atau makanan yang dikukus tak peduli seberapa keras lidahku menolak.
Begitu banyak hal kecil yang bisa kuingat tentangnya tapi tak satupun yang bisa memberitahuku tentang perasaan pacarku yang sesungguhnya. Satu hal yang aku ketahui dengan pasti selama ini adalah fakta bahwa pacarku itu gila dan galak segalak-galakanya cewek paling galak yang pernah lahir di planet ini. Dan aku sangat menyukainya.
“Sebenarnya aku lebih takut kalau sesuatu yang buruk terjadi padanya,” suaraku memecah keheningan. “—aku tidak keberatan jika dia selingkuh. Yang kutakutkan lebih besar dari itu.”
“Memangnya apa?”
Kutatap langit yang mulai tersentuh oleh warna matahari pagi. Aku terdiam cukup lama sambil terpaku menyaksikan efek rotasi bumi terhadap sentral bima sakti. Perasaan tidak enak langsung mengerubungi hatiku seperti setitik gula yang dihadang oleh gerombolan semut.
“Dia meninggalkanku,” kuhentikan kalimatku, sedikit ragu untuk melanjutkan karena pikiran konyol yang tiba-tiba terbersit dalam benak. “—untuk waktu yang lama.”
Comments