Day 100 & 1
Notre Kaléidoscope
= 100 =
Hidupku hancur. Aku akan mati dalam hitungan menit jika aku melangkah keluar dari ruangan ini. Sayup-sayup terdengar suara tuts keyboard tertohok masuk ke dalam penyangganya tiap beberapa detik sekali, membuat ritme tertentu bersama putaran baling-baling kipas yang sepertinya disetel pada kekuatan paling kencang. Kadang suara kucuran air dispenser yang menyentuh permukaan gelas plastik menambah kesan tertentu dalam orkestra merakyat tersebut.
"Kau masih di situ, bocah?"
Kedua telapak tanganku menekan meja kayu yang ada di depan secara otomatis, seakan memberikan nilai tambah sebagai jawaban atas pertanyaan pria dengan dagu bergelambir barusan. "Ya. Aku tidak akan pergi sampai kau menangani kasusku."
Pria itu berhenti memencet tuts keyboard. Dia menatap tepat pada mataku dengan tatapan kasihan-sekali-bocah-sakit-jiwa-ini.
"Dengar—siapa namamu tadi?"
"Baekhyun. Byun Baekhyun."
"Dengar Baekhyun, laporanmu tidak masuk akal. Kami tidak bisa menindaklanjutinya."
Bahuku menegak. "Tapi hidupku dalam bahaya. Bagaimana bisa kau membiarkan hidup seorang warga terancam begitu saja, ahjussi?!"
"Terancam dari apa? Pacarmu? Aigo! Ceritamu tadi tidak masuk akal. Mana mungkin pacarmu itu akan benar-benar membunuhmu? Semua orang Korea memang suka menggertak. Tidakkah kau tahu itu?" Dia bersikeras, mendecak-decakkan lidahnya beberapa saat sambil menggumamkan sesuatu seperti 'semakin banyak saja orang stres' kemudian mengangkat gelas plastiknya untuk ditengok sekilas. Kosong.
Aku menghela napas, memikirkan bagian mana yang tidak masuk akal. Apa ahjussi ini berkata bahwa aku hanya bermimpi? Sungguh, aku pun berharap semua ini hanya mimpi buruk yang akan berakhir ketika umma menyiramku dengan air cucian beras.
"Dia bukan pacarku—maksudku, bagaimana mungkin seorang pacar selalu mengancam akan membunuhmu di setiap kalimatnya? Tidakkah itu aneh, ahjussi? Sejak bertemu dengannya siklus hidupku berantakan. Aku tidak bisa bermain lagi dengan teman-temanku, tiap malam dia meneleponku dan mengganggu waktu tidur. Lalu dia memaksaku untuk makan-makanan beracun!" ujarku dengan berapi-api untuk yang kesekian kalinya.
Polisi itu memutar bola matanya. “Makanan beracun? Bukankah tadi kau bilang sayuran, eoh?”
“Ya aku memang bilang begitu. Tubuhku akan menolak sayuran secara otomatis. Bukankah itu sama saja dengan racun? Pokoknya—”
Drrt drrrt.
Aku langsung terdiam. Jantungku berhenti berdetak selama nol koma sekian detik. Suara kematian menggetarkan pahaku berkali-kali. Aku mencengkram ponsel yang terbalut serat jeans di saku sebelah kanan celanaku dengan erat. Kutatap polisi gendut yang kini mulai terpaku pada layar komputernya lagi, mengabaikanku yang sedang bergelut dengan 'maut'.
“Baiklah jika kau benar-benar tidak percaya, aku akan membuktikan kalau dia mengancam keselamatan hidup dan jiwaku,” Tantangku seraya mengeluarkan ponsel yang masih bergetar dari saku celana. “—bersiaplah ahjussi. Aku tidak main-main. Mungkin setelah keluar dari sini aku akan mati dan kau akan merasa bersalah karena telah mengabaikan permohonan seorang warga negara yang meminta perlindungan.”
Bahuku terangkat naik ketika kuhirup oksigen sebanyak yang aku bisa, persiapan jika aku mati mendadak mendengar sumpah serapah dari cewek gila itu. Kuarahkan ponsel ke depan sejauh yang aku bisa agar tidak menyesal setelah menerima panggilan maut—aku masih sayang telingaku. Aku mengaktifkan loudspeaker, menekan tombol penjawab telepon lalu menutup mataku erat-erat.
Hana... dul.. set..
“Chagiya, kau dimana? Tidakkah kau ingat ini hari jadi kita yang ke-100?”
Hn? Tidak ada suara meledak-ledak kah?
“.....”
“Chagiya, apa kau marah padaku? Kenapa kau tidak menjawabku, eoh? Mianhaeyo. Jeongmal mianhaeyo. Kau tidak perlu memberikanku apapun. Aku hanya ingin mendengar suaramu. Jawablah teleponku, jebal?”
Mwo?! Apa-apaan ini? Kenapa si cewek gila jadi bersikap manis begitu? Seharusnya dia berteriak kencang dan mengomel sampai telingaku pengang. Aku menelan ludah saat melihat pak polisi bersedekap dan menggelengkan kepalanya. Pertanda bahwa aku telah mengecewakan dan membuang-buang waktunya.
“Chakkaman, pasti ada yang salah di sini,”
Aku mematikan fitur loudspeaker lalu memberanikan diri menempelkan ponsel itu di telingaku. “Y-yobose—”
“YA BYUN BAEKHYUN EODISSEO?!!! JUGULAE?!!! TIDAKKAH KAU INGAT INI HARI APA?! KAU BENAR-BENAR TERKUTUK KARENA TELAH MELUPAKAN 100 HARI KITA! CEPAT TEMUI AKU DI KAFE BIASA! AKU AKAN MEMBUNUHMU BYUN BAEKHYUUUUUN! YAAA! KENAPA KAU TIDAK MENJAWAB HAH?!!!!! KAU BENAR-BENAR MINTA DIBUNUH HAH?!”
Kubiarkan ponselku jatuh di pahaku. Kedua telapak tanganku kembali menekan meja kayu, aku menundukkan kepala lalu menghantamkan keningku beberapa kali pinggiran meja tersebut.
“AAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA!!”
***
= 1 =
Tahun ajaran baru sudah berjalan selama satu bulan. Di kelas 10 aku mengalami masa-masa transisi yang tidak buruk namun juga tidak selalu menyenangkan. Pubertas tidak merubahku jadi lebih tampan seperti Wonbin. Wajahku mudah sekali berjerawat di musim semi tahun lalu. Lalu suaraku berubah menjadi sedikit lebih berat. Hanya sedikiiit saja perubahannya hingga nyaris tak terlalu kentara. Tinggiku juga tidak bertambah banyak. Aku masih sering dikira anak SMP ketika berjalan sendirian.
Sebenarnya aku sedikit bersyukur karena pubertas tidak merubahku menjadi raksaksa dadakan seperti Park Chanyeol, temanku sejak SD. Dulu tubuhnya gempal seperti bola baseball. Tingginya bahkan tidak lebih dariku. Suaranya juga sama cemprengnya denganku. Pertumbuhan kami berdua memang lambat. Tapi setidaknya Chanyeol tumbuh sekitar dua senti menyamai tinggiku di akhir kelas 2 SMP.
Bagian yang mengejutkan adalah perubahan drastis tubuhnya setelah libur panjang kelulusan SMP. Chanyeol tiba-tiba muncul dengan tubuh nyaris setinggi pintu, perut yang buncit telah menipis, suaranya menjadi SANGAT berat, dan kacamata Harry Potter—yang mungkin telah menjadi aksesorisnya sejak masih berwujud fetus (atau sperma?—-telah dilepas. Aku nyaris tidak mengenalinya kalau dia tidak menunjukkan bekas luka gigitan anjing di betisnya atau menampakkan senyum pasta gigi bodohnya yang khas. Di waktu senggang, aku menerka-nerka apa yang telah dia lakukan di masa lalu hingga ditimpa musibah pubertas kelewat batas. Bisa jadi dia diracuni puluhan pil steroid saat liburan di Jepang bersama keluarganya waktu itu. Tidak ada yang waras dengan inovasi negeri matahari tersebut.
Biar bagaimanapun juga, Chanyeol adalah sahabatku. Wajar jika aku khawatir akan pertumbuhannya yang mendekati level gigantisme. Bagaimana jika dia tidak mendapatkan pacar seumur hidupnya? Aku prihatin dari lubuk hati yang terdalam. Tentu saja aku akan membantunya menjalani kehidupannya yang keras nanti. Tidak perlu mengkhawatirkan diriku sendiri, apalagi soal urusan menggaet wanita karena aku sudah punya rencana.
Di usiaku yang ke 18 ini mungkin perkembangan fisikku tidak akan tertolong oleh yang namanya pubertas. Aku akan melakukan cara doityourself. Misalnya berolahraga secara rutin untuk mendapatkan paket tubuh yang akan membuat ovarium para cewek terlonjak girang; otot lengan berukuran sedang dengan abs yang tidak terukir terlalu dalam, mungkin aku juga harus mencoklatkan kulitku sedikit? Lalu soal tinggi badan, sudah banyak susu atau suplemen peninggi badan yang manjur di pasaran. Dan soal attitude, itu adalah tempaan orangtua sejak mereka memberimu makan pertama kali. Kurasa orangtuaku cukup waras dan baik-baik saja. Aku tidak punya masalah dengan attitude. Aku akan menaklukan hati cewek dengan mudah.
"Oi Byuntae,"
Kecuali yang satu itu.
"Mwo?" aku menoleh pada Kim Jongin yang duduk di belakangku. Dia menyeringai sambil menggerakkan alisnya naik turun. Aku langsung membuka mulut. "Aa! Belum, aku belum dapat edisi baru. Kemarin kau minta adegan apa sih?"
"Babysitter."
"Babysitter... babysitter," aku berusaha mengingat-ingat koleksiku sambil menerawang ke arah pintu kelas. Sepertinya aku pernah menonton. Tapi apakah itu babysitter ataukah suster ya? Tiba-tiba Chanyeol masuk sambil membawa beberapa tumpuk buku. Ia meletakkan buku-buku itu di mejanya dan semenit kemudian wajahnya sudah terhalang oleh cover buku bertuliskan Totto-chan. Oh man, dia benar-benar butuh pertolongan. Aku tidak akan heran jika dia masih menyimpan DVD Power Ranger. Bahkan Teletubbies.
"Baiklah, akan kucari sampai dapat untukmu." ujarku, kembali memberikan atensi pada Jongin.
Jongin tersenyum lebar. "Harga teman, oke?"
"Tentu saja! Kau kan pelanggan setia.” Aku mengangkat kedua jempolku padanya kemudian kembali meletakkan kepalaku di atas meja dengan kedua lengan sebagai bantalan. Sambil menunggu guru datang, tidak ada salahnya tidur sebentar.
“Eh, kenapa si ratu basket ke sini?”
“Mana?”
“Kenapa dia ke kelas cowok?”
“Sepertinya habis tanding basket tuh.”
“Whoa jarang-jarang kelas ini dikunjungi kaum hawa.”
“Lihat wajahnya, ternyata cakep juga.”
Aish jinjja. Tidak bisakah makhluk-makhluk ini tutup mulut sebentar saja? Aku butuh konsentrasi tinggi untuk lepas landas ke alam bawah sadar. Aku melepas jaketku kemudian menggunakannya untuk menutupi kepala. Namun detik berikutnya jaket itu terangkat dari kepalaku.
“Hng?” aku membuka mata, berniat melontarkan sumpah serapah untuk orang yang mengganggu tidurku. Namun ketika aku menegakkan tubuh dan menatap si pengganggu, aku hanya bisa mengernyit heran.
“Byun Baekhyun?”
Aku mengangguk.
“Kau benar-benar Byun Baekhyun, huh?” tanyanya lagi sambil menyilangkan kedua tangannya di depan dada dan memandangku dengan penuh penilaian. “Coba keluarkan kartu pelajarmu.”
“Mwo? Untuk apa?”
Cewek itu menghela napas tidak sabar. “Tentu saja untuk memastikan kalau kau bukan Byun Baekhyun palsu.”
Aku makin mengernyit heran dengan ucapan cewek tersebut. Kutatap wajahnya dengan heran. Aku sama sekali tidak mengenalnya. Meski berada di sekolah yang sama, kelas cowok dan cewek terpisah jadi wajar kalau aku tidak tahu siapa anonim aneh yang tiba-tiba meminta kartu identitasku.
“Dia memang Byun Baekhyun.” celetuk Chanyeol. Aku melirik padanya. Oh bagus, ternyata sensor kelaki-lakiannya masih bekerja. Perhatiannya teralih dari Totto-chan kepada cewek yang sekarang menjulurkan tangannya padaku.
Dia memutar bolat matanya dengan malas. “Bisa saja kalian bersekongkol untuk membohongiku. Cepat perlihatkan kartu pelajarmu. Apa susahnya, sih?”
Aku masih tidak mengerti apa yang sedang terjadi di sini. Rasanya semua pandangan di kelas ini mengarah padaku. Aku merogoh saku celanaku lalu mengeluarkan kartu pelajar dari dompet kulit berwarna hitam yang sudah kupakai selama tiga tahun namun masih awet meski hanya KW dari merk terkenal. Kuberikan kartu itu pada si anonim. Dia langsung menyambarnya dan memicingkan mata saat melihat... fotoku.
Ah sial! Foto di kartu pelajarku adalah salah satu petaka terbesar dalam kehidupan remajaku. Aku hampir saja lupa. Buru-buru kurebut kartu tersebut darinya.
“Rambutmu—”
“Rambutku baik-baik saja.” aku buru-buru memotong ucapannya sebelum dia berkomentar yang aneh-aneh dan membuat seisi kelas penasaran dengan foto di kartu pelajarku.
“Terserahlah,” dia mengibaskan tangannya. “kau adalah pacarku sekarang.”
Uhuk. A-apa katanya?
“MWO?” aku menganga, terlampau kaget dengan ucapannya.
“Kau mendengarku, jagiya. Kau adalah pacarku sekarang.” ulangnya dengan penuh penekanan pada setiap kata yang ia lontarkan barusan. Dia menatap tepat pada kedua mataku dan entah mengapa tatapannya menyiratkan sesuatu yang membuat sensor ancamanku berkedap-kedip.
“Tapi aku tidak mengenalmu, nona. Dan kau juga tidak mengenalku.. bagaimana bisa?”
Cewek berkuncir kuda itu melangkah ke depan kelas. Dia mengetuk-ngetuk papan tulis dengan penghapus untuk memancing perhatian seisi kelas. Sejujurnya tanpa dia melakukan hal itu, semua atensi telah ia dapatkan.
“Apakah di sini ada yang keberatan jika orang itu,” telunjuknya mengarah padaku. “—menjadi pacarku?”
“.........”
Hening seketika. Aku terkejut dengan pemandangan ini. Bagaimana bisa kelas yang biasanya lebih berisik dari kandang orang-orang barbar menjadi senyap tiba-tiba karena seorang cewek antah-berantah?
“Lihat kan? Tidak ada yang keberatan. Kau adalah pacarku, Byun Baekhyun. Mulai hari ini kita pulang sekolah bersama, arachi? Aku akan menunggumu di depan kelasku,” dia tersenyum dan sebenarnya otakku menafsirkan senyuman itu sebagai senyuman yang manis kalau saja perkataan berikutnya tidak ia lontarkan. “—sebaiknya kau tidak telat apalagi lupa atau kau akan mati di tanganku.”
Ige mwoya?
Comments