Chapter 24

Runaway With The Bachelor

Perjalanannya tidak terlalu menyenangkan.

 

Sejak tadi Chaehyun diam, dan hal itu membuat Sehun heran. Chaehyun tidak pernah diam. Dia selalu bicara.

 

Dan lebih anehnya, Hayoon juga diam. Dia tidak mendiskusikan tentang kepergian mereka, atau tentang aktifitas Sehun di Shanghai nanti. Melihat Chaehyun yang memandang keluar, Sehun hanya bisa menaikan alis. Tidak, kok. Sehun tidak merasa kesepian sama sekali. Dia tidak merasa rindu dengan tawa jahil Chaehyun atau sentuhannya atau senyumnya atau—

 

Ya ampun. Sehun memang butuh cowok nanti untuk melayaninya di dalam kamar.

 

Atau cewek?

 

Sehun menggelengkan kepala dan memandang Hayoon. Walaupun dia diam, Hayoon memancarkan aura yang aneh… aura kemenangan? Sehun mengerutkan dahi dan menatap lurus. Yacht mereka sudah berjalan, dan Hayoon sudah menyuruh Sehun ke kamarnya. Hal yang aneh adalah, Chaehyun mengikuti Sehun.

 

“Kau,” Chaehyun berkata dengan nada rendah, “Apa kau memberi tahu dia?”

 

Sehun menatap Chaehyun, bingung. “Apa?”

 

“Tentang perjanjian kita. Kau beri tahu pelacur itu?”

 

Sehun yakin benar siapa yang dimaksud pelacur disini. “Hayoon bukan pelacur.”

 

Chaehyun mengangkat mukanya, dan Sehun hampir yakin kalau dia… berkaca-kaca? “Bagus! Terus saja kau bela dia! Bagaimanapun dia kan yang paling superior?” desis Chaehyun, dan matanya yang berkaca-kaca kembali kering. Sehun butuh kacamata. “Dia tidak superior.” Kata Sehun datar, berusaha memukul kembali beberapa kepintaran Chaehyun ke dalam kepalanya. “Kau harus menurunkan suaramu, soalnya bukan Cuma kita yang ada di yacht ini.”

 

Chaehyun tidak peduli. “Jawab pertanyaanku!” dan Sehun menghela nafas. “Oke.” Kata Sehun, “Aku memberi tahu Hayoon tentang perjanjian itu. Dengar,” Sehun tiba-tiba menyela sebelum Chaehyun bisa melontarkan argumen. “Aku memberi tahu dia karena dia adalah sekretarisku. Dia yang memonitor keuangan perusahaanku, dan dia akan curiga ketika tahu ada uang dicairkan masuk dalam jumlah besar masuk ke rekening perusahaan. Harusnya, kau tahu itu.”

 

Tapi Chaehyun tidak tahu. Chaehyun memandang Sehun dengan tatapan tidak percaya. “Ini Cuma antara kita berdua!” bentak Chaehyun. “Bukankah aku sudah bilang untuk..” Chaehyun menurunkan suaranya ketika ada dua orang pria melewati mereka, tatapan menusuk. “…Untuk tidak memberi tahu siapapun, dasar kau penipu?!”

 

“Aku tidak punya pilihan lain.” Sehun merasa lelah, dipojokkan begini. Yang lebih aneh, dia tidak dapat membuat dinding pertahanan dan Chaehyun, seakan ingin membuat Sehun semakin lelah, menyerang balik. “Pilihan itu ada banyak! Kau bisa memecat cewek itu dan—“ Chaehyun berhenti mengatakan hal selanjutnya. Dan mereka bisa kembali ke waktu dulu, ketika hanya ada mereka berdua dan tidak ada yang lain tapi Chaehyun punya harga diri yang tinggi untuk mengatakan hal itu. “Tidak bisa. Luhan-hyung akan marah, dan dia merupakan aset perusahaan kami.” Sehun berkata dingin. Chaehyun mengeratkan giginya. Marah dan malu bercampur jadi satu.

 

“Apa kau tidak memikirkanku sedikit saja?!” bentak Chaehyun, akhirnya tidak mempedulikan orang-orang disekitar. “Apa kau tidak berfikir betapa malunya aku tadi, ketika dia menuduhku sudah menyuapmu?!”

 

“Hal itu fakta.” Ucap Sehun.

 

“Dan kau terima!” bentak Chaehyun. “Kau tidak menampiknya! Aku tanya kau, kawan, apa kau tidak merasa agak sedikit berat sebelah disini!?”

 

“Aku tidak memihak siapapun, aku memihak logika dan keuntungan.” Sehun akhirnya memakai satu-satunya pembelaan di dalam otak jeniusnya.

 

 Dia kenapa? Kenapa hanya karena seorang Chaehyun, dia jadi tidak bisa berfikir jernih? Kenapa dia jadi begini? Kebingungan membuat Sehun kehilangan kendali.

 

Chaehyun memandangnya, dan Sehun yakin itu pandangan yang tidak akan Sehun lupakan. “Kau lebih memilih Hayoon?” dari pada aku? Tapi Chaehyun sangat tahu kalimat terakhir yang tidak dia bisikkan memantul lebih keras dari pada dia teriakan jadi dia diam saja. Sehun memandang mata hitam Chaehyun, dan dia menguatkan dirinya. Sehun tidak akan jatuh hanya karena seorang anak kecil. Dia tidak akan jatuh, tidak akan pernah.

 

Jadi Sehun menyiapkan dirinya sendiri dan untuk yang akan dia katakan selanjutnya.

 

“Iya. Aku lebih memilih Hayoon dari pada kau, puas?” kata Sehun dingin dan berbalik menuju kamarnya. Dalam sepersekian detik, Sehun merasa sangat puas. Dia menang. Dia bisa mengalahkan perasaannya. Mungkinkah ini berarti dia bisa menjauhkan Chaehyun dari hidupnya nanti? Tapi kemudian, Sehun tahu bayangan itu tidak akan mungkin bisa—karena detik berikutnya, ketika dia berbalik dan tidak menemukan Lim Chaehyun di belakangnya, hati Sehun terasa terperas habis.

 

Dia menang, tapi dia juga kalah.

 

 

 

 

Chaehyun tidak percaya. Tidak percaya! Bagaimana bisa Sehun memberi tahu aibnya? Memberi tahu soal perjanjian mereka? Bagaimana bisa Sehun memberi tahunya! Kalau Cuma masalah uang saham itu sih tidak apa-apa, tapi dia bahkan memberi tahu Hayoon soal kalau dia adalah perempuan? Darimana Sehun tahu ini semua?

 

Ini tidak adil, pikir Chaehyun. Kalau Sehun tahu dia perempuan, kenapa dia masih mau berada dalam satu kamar dengan Chaehyun? Kalau sudah tahu dia bukan laki-laki, kenapa Sehun masih saja membiarkan Chaehyun berkeliaran disekitarnya, memberikan dia semacam harapan?

 

Harapan?

 

Harapan apa?

 

Chaehyun ingin tertawa, tapi kalau dia tertawa dia akan sesenggukan. Apa yang dia harapkan? Tidak tahu. dia Cuma tahu dia menyukai sentuhan Sehun, dan Chaehyun menyukainya. Lembut namun sangat tegas dan tidak ragu-ragu.

 

Chaehyun berlari menuju koridor di luar yacht, bau laut yang bersemi menusuk hidungnya. Ini tidak adil! Chaehyun merasa dadanya sesak sekali, tapi Chaehyun tidak tahu kenapa dia merasa tidak bisa bernafas. Ketika Chaehyun menarik nafas dalam-dalam, yang ada dia terbatuk, dan matanya terasa panas.

 

Dia tidak pernah menangis. Lim Chaehyun—tidak, Nameless tidak pernah menangis, apa lagi hanya karena pertengkaran kecil. Kalau bertengkar sih, di rumah dia senang sekali bertengkar dengan Brigghitta. Lalu kenapa dengan Sehun, dia tidak merasa senang? Air mata mengalir dari mata Chaehyun, dan Chaehyun tidak tahu dia harus merasa lega atau terhina karena mudahnya dia menangis.

 

Sekalinya Chaehyun menangis, dia tidak akan berhenti. Jadi, daripada ketahuan siapapun soal dia menangis, dia mencari pojokan yang sepi dan menangis sekuat-kuatnya disitu. Dia bahkan tidak tahu kenapa dia menangis. Satu hal yang dia tahu—kalau dadanya sakit sekali, seperti ditorehkan pisau berkarat dan bergerigi.

 

Chaehyun tidak suka perasaan itu dan menyalahkan Sehun atas semuanya. Padahal setelah apa yang sudah mereka lewati bersama, Chaehyun kira Sehun akan menyerah. Sehun sudah menjadi suatu sosok permanen di hati Chaehyun yang tidak dapat dihapus, sekalipun dengan cambuk besi yang keras. Sehun merupakan faktor krusial kemenangan Chaehyun melawan ayahnya, dan Chaehyun tahu benar akan hal itu. Hubungan mereka tidak lebih dari hubungan mutualisme saling menguntungkan.

 

Padahal Chaehyun tahu. tapi dadanya masih saja berdetak detak, memukul-mukul dan menjerit keras. Kenapa kau lakukan ini padaku. Kalau saja jantung bisa berbicara...

 

Tenggelam dalam kesedihan dan pengkhianatan, Chaehyun merasa sangat lemah ketika air mata meluncur turun dari matanya, nafas tercekat kuat. Setelah beberapa puluh menit duduk disitu tanpa memikirkan apapun, Chaehyun bangun dan menghela nafas. Matanya bengkak, dia sangat yakin. Chaehyun segera berjalan keluar ketika tiba-tiba sebuah tangan kuat menekan lehernya, yang mana membuat dia refleks menyentuh tangan tersebut dan melemparnya—tapi sebelum dia dapat melaksanakan hal itu, sebuah sapu tangan menutupi hidungnya dan perlahan kesadarannya kabur.

 

 

 

 

Sehun tenggelam.

 

Tenggelam dalam sebuah pusaran kertas-kertas bertuliskan abjad dan huruf, tenggelam dalam kesibukan seorang CEO. Tangannya menari-nari di atas keyboard laptop, matanya fokus ke desktop. Kendati begitu, pikirannya melayang, jauh, jauh sekali dari tempat tersebut. Tidak, pikirannya tidak melayang ke seorang anak perempuan yang menyamar jadi laki-laki.

 

Dan tidak, dia juga tidak berfikir dan merindukan teriakan keras anak tersebut di dalam kamar tidurnya. Dia juga tidak diam-diam mengintip ke pintu kalau-kalau ada sosok tersebut memasuki kamar tidurnya dan bertanya, ‘makan malam kita apa?’ dengan kasual. Dia sama sekali tidak memandang tempat tidurnya, berharap tempat tidur tersebut tidak kosong dan dingin, setengah mati ingin melihat gumpalan selimut yang familiar di atas tempat tidur tersebut.

 

Sehun bohong pada dirinya, tapi dia tidak peduli. Sekarangpun dia tidak tahu apa yang tengah dia ketika, tengah dia tulis—karena semuanya serasa fana, kepalanya melayang dan tubuhnya juga. Sehun mengacak kepalanya frustasi dan tidak ada yang menyalahkannya ketika dia mendengar suara pintu terbuka dia langsung berbalik secepat kilat. Hanya untuk dikecewakan oleh sosok Hayoon.

 

“Sehun-ssi.” Ucap Hayoon lembut. Sehun menghela nafas. “Ada apa lagi, Hayoon-ssi?” tanya Sehun agak sedikit datar. Bagaimanapun ini semua karena Hayoon memberi tahukan Chaehyun soal rahasia itu. kalau saja Hayoon menjaga mulutnya sedikit...

 

“Chaehyun-ssi hilang.”

 

Satu kata itu berhasil membuat Sehunmembeku dan menatap mata Hayoon dengan sungguh-sungguh. “...hilang.” kata Sehun, berusaha menekankan kata hilang tapi yang keluar tidak lebih dari desiran halus. “Saya sudah mencoba menelepon handphone nya, tapi tidak diangkat.”

 

“Hilang.” Ulang Sehun lagi. “Dia tidak mungkin hilang. Dia berada di dalam yacht. Freaking yacht. Bagaimana bisa dia hilang?”

 

“Entahlah, tapi sekarang waktunya makan malam. Chaehyun-ssi tidak pernah melewatkan makan malam.” Poin itu ada benarnya juga. Bagaimanapun makanan adalah satu-satunya yang membuat Chaehyun tidak pergi kemana-mana dari sisi Sehun. Selain ambisinya untuk memukul mundur ayahnya, tentu saja. “Mungkin dia jalan-jalan.” Sehun kembali ke kertasnya walau jantungnya sudah berdentum keras, darah menderas di telinganya. Hayoon hanya menatap Sehun lalu menjawab, “Baik. Terserah anda, Sehun-ssi.”

 

Sebelum Sehun dapat mengetik kata ‘finansial’ di laptopnya, suara Hayoon terdengar. “Maaf, Sehun-ssi.”

 

Sehun menutup mata sejenak dan tanpa sedikit pun memandang Hayoon balik dia menjawab, “Kalau maaf saja sudah cukup, buat apa ada polisi dan hukum?”

 

Hayoon tersenyum tipis. “Terdengar seperti sebuah kata-kata murahan untukku.”

 

“Tak semurahan kau yang melemparkan diri ke setiap laki-laki yang ada.”

 

“Bukankah kita sudah sepakat untuk melupakan kejadian saat pesta waktu itu?” suara Hayoon keluar keras dan bersalju, membuat Sehun ingin merenggut muffler atau seseorang yang bertemperamen panas untuk menghangatkannya... kalau kau mengerti apa maksudku. “Aku tidak bilang akan melupakannya. Aku bilang akan coba melupakannya.” Sehun menangkis dengan cermat. Hayoon hanya memandang rambut Sehun yang acak-acakan dan membuka suara, “Kau pasti sudah tahu kan, soal Chaehyun adalah perempuan?”

 

Jemari panjang Sehun berhenti mengetik untuk seperempat detik, namun akhirnya memutuskan untuk melanjutkan pekerjaannya. Tidak ada waktu untuk drama sekarang. “Apa maksudmu?”

 

“Harusnya kau sudah tahu.” kata Hayoon, suara itu mendekat. “Harusnya kau tahu dia membohongimu, Sehun-ah.”

 

“Mana sopan santunmu?” Sehun bersuara, nadanya datar. “Kemana Sehun-ssi pergi?”

 

“Aku bicara sebagai seorang wanita, bukan sekretaris.” Tangan jenjang yang lembut itu memeluk leher Sehun dari belakang, serta merta menghentikan Sehun mendadak dari laptop. “Dia sudah membohongimu. Dia takut aku memberitahumu soal dia adalah seorang wanita, dan sekarang dia menghilang.”

 

Sehun memandang cahaya yang mengiluminasi kamar dari laptopnya—perih. Matanya sangat perih.

 

“Aku lihat cara mu memandangnya.” Hayoon berbisik di telinga Sehun, sehalus desiran angin dan rerumputan—seperti sayap kupu-kupu. “Rasanya seperti melihat Luhan kedua ketika Luhan melihatku.” Sehun menelengkan kepala, masih belum mengalihkan pandang dari laptop didepannya. “Lepaskan saja anak itu. tanpa anak itu pun, kau pasti bisa menjangkau apa yang ingin ka capai. Aku akan berjalan denganmu menuju akhir batas.”

 

“Bagaimana kau tahu apa yang ingin kucapai?”

 

“Kau ingin tahta kekayaan—menjadi yang terkuat dari yang terkuat. Untuk ibumu, untuk ayahmu. Kan? Luhan yang bilang.”

 

Tangan itu hangat, pikir Sehun. Rasanya seperti dipeluk oleh bulu-bulu dengan koyo penghangat, perih namun juga panas. Temperatur tubuh Hayoon menyatu dengan tubuh Sehun, menciptakan friksi. Putih bertemu putih. Hangat bertemu hangat. Nafas bertemu dengan nafas.

 

Namun Sehun tak bisa memungkiri, dia lebih suka tangan lain yang melingkari lehernya—kendatipun dia belum pernah merasakan betapa nyamannya berada dalam pelukan itu.

 

Aha, Sehun. Kau benar-benar tergigit iblis. Iblis cinta.

 

“Dari mana kau tahu aku ingin berjalan denganmu?”

 

“Kau pasti ingin berjalan dengan seseorang yang setara denganmu.”

 

“Oh,” Sehun merespon dan kemudian kembali ke pekerjaannya. “Apa itu, ‘oh’?” tanya Hayoon. “Ya hanya oh. Apa ada hal lain yang bisa aku komentari? Semua yang kau katakan benar.”

 

Hayoon memandang Sehun, wajahnya memancarkan kelegaan tidak berarti. “Kau mau melepasnya?”

 

“Tidak.” jawaban yang rumit namun tegas.

 

“Kenapa?” Hayoon terlihat agak tersinggung. “Apa aku kurang—“

 

“Tidak ada hubungannya dengan apakah dia cantik atau tidak. Dan ya, aku tahu dia adalah wanita yang menyamar jadi lelaki sejak dulu, walau aku tidak melihat apa benefit nya berpura-pura seperti itu.” Sehun berkata, menjawab pertanyaan tanpa suara dari Hayoon. “Yang aku tahu cuma aku suka dia saat dia menjadi dirinya sendiri. Aku tahu aku ingin berjalan denganmu. Aku hanya mau dia, Lim Chaehyun, disampingku.”

 

Wajah Hayoon kecewa. “Kalau ini semua karena Luhan—“

 

“Ya, Luhan matters the most.” Sehun berkata tegas. “Semua ini karena Luhan. Bukan hanya Luhan sih. Tapi ya, semua ini hampir karena Luhan. Dia suamimu, kau istrinya, aku bukan siapa-siapa. Kau harus berjalan dengannya—bukan denganku.”

 

“Aku tak mau berjalan dengannya,” mulut Hayoon berbisik. “Dia tidak bersamaku. Setiap saat, dia tidak bersamaku.”

 

Hening.

 

“Luhan hyung mencintaimu.” Kata Sehun. “Selalu.”

 

“Tidak selamanya.” Hayoon menggeleng. “Aku mengajaknya berjalan bersama, meniti hari menuju hari akhir kami berdua. Tapi dia menolaknya—dia terus terdiam di jalan, sampai dia bertemu dengan orang lain untuk berjalan bersama. Aku tidak mau ditinggalkan.” Air mata Hayoon menggenang. “Aku tidak mau ditinggalkan.”

 

Kemudian hal yang tidak mungkin Sehun pikir dia akan lakukan terjadi—dia memeluk Hayoon dan menepuk kepalanya, meresap semua ketidakamanan dalam diri Hayoon. “Jangan berjalan, kalau begitu.” Sehun menepuk kepala Hayoon sedikit lembut. “Cobalah amati sekitarmu dan—nikmati hidup. Kalau kau terus begini, hidup dan Luhan-hyung akan meninggalkanmu. Jangan takut untuk menjadi yang ditinggalkan, karena setiap orang akan selalu tertinggal, paling tidak sekali dalam hidup mereka.”

 

“Hitung-hitung latihan, ya?”

 

“Hitung-hitung latihan, lah.”

 

Hayoon mengisap ingus, totally un-hayoon like. “Kau jadi lembut.” Kata Hayoon.

 

“Oh ya?” Sehun menaikan alis.

 

“Ya.” Hayoon berkata tegas dan mendorong Sehun jauh. “Aku mulai merasa kita sedang shooting film sappy rendahan.”

 

Sehun nyengir.

 

“Sebaiknya aku tinggalkan kau sendirian,” Hayoon berkata, senyum menghiasi wajahnya. “Seorang CEO memang sibuk, ya.”

 

Hayoon terdengar ringan dan Sehun yakin dia sudah melepaskan cita-citanya untuk menjadi istri simpanan Sehun atau apalah. Dasar wanita. Sehun hanya menaikan bahu dan berbalik sebelum suara Hayoon lagi-lagi menghentikannya di tempat. “Sehun?”

 

“Yeah?”

 

 “Apa yang akan kau lakukan dengan Chaehyun? Berlari, atau berjalan dengannya?”

 

Sehun menatap dinding yang buram, sadar kalau omongan ambigu bin filosofis mereka masih berjalan. “Entahlah. Aku tidak tahu, oke? aku bahkan tidak tahu apa yang harus aku lakukan nanti kalau dia sudah memaafkanku karena sudah memberitahumu soal perjanjian bodoh itu.”

 

Hayoon nyengir minta maaf. “Bagaimanapun, kejujuran adalah yang dibutuhkan dalam sebuah hubungan.”

 

Sehun memutar bola mata, “Says the one who seduced his husband’s friend.” Hayoon menghela nafas sebal dan melemparkan senyuman ke Sehun. “Mungkin kau harus segera mengejarnya nanti,” saran Hayoon, tidak jelas masih berada dalam percakapan mendalam atau sudah kembali ke permukaan realita. Sehun hanya mengangguk dan menutup pintu.

 

Hayoon tersenyum sekali lagi. Sehun merasa hatinya ringan—dan dia tahu, sangat tahu, kalau dendam terhadap mantan tunangannya yang sudah dia eram selama bertahun-tahun sudah punah dan hilang, seperti awan tipis berajut air ditengah awan gemuk berisi halilintar.

 

 

 

 

Chaehyun membuka mata—tapi dia hanya bertemu dengan kegelapan. Kepala dan matanya diikat dan tertutupi sesuatu, dan tangannya diikat dengan sebuah kain. Chaehyun juga merasa kakinya terikat jadi satu dari betis ke pergelangan kaki. Otomatis dia tak dapat bergerak apalagi berkata apa-apa karena mulutnya tertutupi dengan lakban.

 

Paling tidak, telinganya terbuka. Memasang semuanya lebar-lebar, dia masih dalam posisi aslinya—tertidur menelungkup, menghadap ke arah kanan. Getaran halus berasal dari bawah tubuhnya, sepertinya dia berada dalam sebuah mobil. Permukaan dibawahnya terasa dingin, datar  dan tidak empuk, jadi kemungkinan besar dia berada dalam truk yang besar dan bukan mobil kecil. Dia masih memasang telinga ketika dia tidak mendengar apapun.

 

Chaehyun duduk dengan sangat hati-hati ketika sesuatu yang dingin—logam?—menempel di pelipisnya.

 

Seketika Chaehyun tahu itu adalah pistol.

 

“Jangan bergerak.” Suara itu terasa robotik—sengaja diubah dengan perubah suara, Chaehyun pikir. “Tindak-tandukmu sudah kami pelajari. Tidak ada yang bisa kamu lakukan sekarang, menyerahlah.”

 

siapa? Pikir Chaehyun, bergerak-gerak gelisah. Apa ini anak buah ayahku yang tolol? Apa-apaan kalian? Kalian ingin aku mati atau apa, sih?

 

“Jangan bergerak.” Chaehyun yakin ujung dingin di pelipisnya bertambah tiga, dan jelaslah kalau dia sikepung dari berbagai arah. Tiba-tiba lakban di bibirnya di lepas dengan sangat kasar sampai-sampai Chaehyun meringis kesakitan. Rasanya enak, tapi juga tidak enak. Angin yang menyegarkan mengelus bibir Chaehyun yang agak perih karena tertempel di lakban keparat itu, lembut.

 

“Lim Chaehyun, anak satu-satunya dari Kim Myunghee. Tidak punya ibu. Lahir tanggal empat agustus. Delapan belas tahun. Apa itu benar? Apa kau Lim Chaehyun?”

 

Chaehyun mengertakan gigi. Jadi inilah alasannya mereka membuka selotip sialan itu. mereka ingin menginterogasi Chaehyun!

 

Tunggu. Untuk apa mereka menginterogasinya?

 

Bukankah mereka bekerja untuk Ayahnya? Kenapa mereka berakting seperti ini? Kepala Chaehyun berputar sehingga dia lupa menjawab dan hal pertama yang dia rasakan setelah robekan paksa selotip dimulutnya adalah sodokan di perut. Chaehyun terbatuk dan mengerang.

 

“Jawab!” bentak pria-robot tersebut.

 

Chaehyun sangat bingung, tapi satu hal yang pasti—orang disekitarnya bukan orang biasa yang bisa dia remehkan seperti anak-anak buah ayahnya. Apa orang ini tidak tahu siapa dia? Tidak, dia pasti tahu. dia sepertinya menyelidiki biodata Chaehyun, malah. Tidak ada yang tahu soal nama Chaehyun, hanya ayahnya, Hayoon, Sehun dan Brigghitta. Lagi-lagi lupa menjawab, tamparan keras mendarat di pipi Chaehyun. Kepala Chaehyun membentur dinding truk saking kerasnya.

 

“Sekali lagi dan aku akan membiuskan ini padamu—“

 

“Jangan.” Suara lain terdengar lebih dingin, bahkan dengan alat perubah suara. “Biar dia menjawab. Apa yang kami sebutkan tadi benar, Chaehyun-ssi? Apa kau benar-benar anak dari Kim Myunghee?”

 

Chaehyun mendongak, sesuatu yang asing mengalir dari bibirnya dan dia tahu tadi dia menggigit bibir terlalu keras dan ada geraham yang patah keluar karena tamparan. darah mengalir segar dari ujung bibirnya dan menyeringai.

 

Well, screw this.

 

“Keren,” bisiknya kecil.

 

“Maaf?”

 

“Kataku, keren.” Kata Chaehyun nekat. “Maksudku, tidak setiap hari kan kau ditampar sampai berdarah? Ini keren banget lho. Aku harus mendokumentasikannya... tapi nanti, setelah aku keluar dari kandang babi ini.”

 

Hening.

 

“Aku dengar kau aneh, tapi tidak seaneh ini.” Suara itu terdengar tidak habis pikir. “Apa tadi itu ancaman, Chaehyun-ssi?” suara dingin yang sama bertanya dengan nada yang agak riang.

 

“Mungkin.” Chaehyun menjawab dengan tenang. “Hei, kau punya pepsi?”

 

“Punya. Tapi kami tidak memberikan pepsi kepada sandera. Pepsi hanya milik kami.”

 

Jadi, aku diculik. Menyadari betapa bodohnya kesimpulan yang dia ambil, Chaehyun memutar bola mata. Ha, captain obvious, tentu saja aku sedang diculik. Kemana otak pintarku kabur? kata Chaehyun sinis dalam hati. “Ew, that’s gay. Kalau donat? Aku lapar nih. Aku butuh glukosa.”

 

“Ambilkan tuan puteri kita donat.” Suara itu memerintah. Suara-suara protes terdengar. Apa donat sebegitu sulitnya dibeli ya? Pikir Chaehyun sebal. Memang donat yang ia minta donat dari starbuck, apa? Donat murahan juga tidak apa-apa kok. Soalnya Chaehyun tidak pemilih soal makanan—lain halnya kalau dia disodori brokoli dan keluarga hijaunya. Chaehyun mungkin sudah muntah duluan sebelum mendekatkannya ke mulut.

 

“Tapi—“

 

“Ambilkan.” Suara itu memerintah lebih keras.

 

“Demi apa aku dapat donat? Yes. Aku tahu kalian beradab, dudette. Thanks.” Chaehyun berkata girang.

 

“Jangan senang dulu,” suara itu terdengar mengerikan dengan alat perubah suara.

 

“Mungkin kami beradab, tapi kaki dan tangan kami tidak, lho.”

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Haha. Ada yang merasa tulisanku berubah? :p

Dan ya, cerita ini sebentar lagi akan selesai! Maaf udah membuat kalian menunggu, tapi sekarang libur lebaran jadi aku bisa mengapdet sebebas-bebasnya! xDDD

Dan apa ada yang sudah dengar Goodbye Summernya f(x) sama D.O? ya ampun, aku pengen jilat Amber dan Gen karena udah membuat lagu itu.

XDDDD

Aku nggak beli pink tape, sayang sekali. Apa reader ada yang beli pink tape? Aku pengen banget beli tapi kantong tidak mengizinkan :”

Off to next chap!

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!
morinomnom
subsribers runaway with the bachelor, upvote please?

Comments

You must be logged in to comment
Wjpark #1
Maaf, aku mau nanya sebelumnya. Ini ff hasil remake atau bukan? Soalnya, dulu banget aku kayak pernah baca ff ini. Tapi ff nya make bahasa inggris dan main cast nya itu HunHan. Terimakasih, dan maaf kalau aku salah kira hehe
Eunji07 #2
Chapter 31: satu kalimat yang aku ucapkan saat membaca baris terakhir di cerita ini, "yaaah kok udah tamat"

Jujur sebenarnya aku kurang suka ff yang menggunakan tulisan tidak baku. Tapi untuk cerita ini, pengecualian hahahaha. Aku SUKA SEKALIII. Terimakasih sudah membuat cerita yang keren, menarik, membuat penasaran, dan tentunya mengalir dengan indah dan menyenangkan sampai akhir cerita.
vinthisworld #3
Pengin baca ulang: "
Desirened
#4
Chapter 8: Keke, syarat ke 5-6 kek pengkaderan osis aja xD
sevenineLu #5
Jhoa Jhoa Jhoa
fukkdown #6
Chapter 31: 진짜 진짜 진짜 대박이다
alexellyn #7
Chapter 31: good job for the author. kenapa aku berharap ff ini ada sequelnya ya? rate-m pula. ckck. semangat untuk buat karya2 berikutnya~
luhaena241
#8
Chapter 31: Aku telat baru tau kalau 2 chapter akhirnya udah publish kkk.
Two thumbs up u/kamu!!
Suka banget bacanya dr awal, yt pertama" ngira ini ff hahhahah ga taunya bukan, hanya ada tokohnya saja yg seperti itu.
Alurnya panjang, keren, n detail tp tentu gak ngebosenin. Imajinasi kami tinggi n daebak bgt! Bagaimana kata demi kata kamu susun sehingga membentuk kalimat" yg apik terkemas didalam ff ini~
Ah, I can't talk anymore, just "two thumbs up" for you!! (y) (y)

Keep writing n fighting ne!!^^
Oiya, ngelawaknya jg dapet, terkocok" sangat ini perut kkkk
luhaena241
#9
Chapter 29: Akhirnya ff ini publish kembali!! Senangnya~ :*
Mnieunra #10
Chapter 31: >< FFnya bagusss banget haha..
Ampe greget bacany, awalny bingung mana chaehyun mana sehun ._. Tp lamalama udh nggak kok :)
keep writing '-')9