Chapter 10

Runaway With The Bachelor

Chaehyun’s POV

 

Urgh., pagi ini benar-benar membuatku sakit kepala.

 

Dengan kepala hampir aja putus dari leher aku balik mengecek kertas-kertas yang ditugaskan oleh Se-ing-hun itu kepadaku. Aku sudah nggak tahan lagi. Sambil meletakkan kepalaku diatas meja aku memandang keluar jendela. Hari sudah pagi dan sudah sejak entah kapan aku kerja kayak robot, mengecek kertas ini dan itu, memberikan cap remeh temeh dan lain-lainnya. Tapi Se-ing-hun itu bahkan tidak terlihat terganggu atau capek, atau apa.

 

Aku menelan kuapanku dan berusaha untuk tetap bekerja. Tapi, man this is HARD. Aku memang bukan tipe yang bisa dikekang. Pada akhirnya aku melepas segara kertas-kertas diatas meja dan menjatuhkan kepalaku ke meja dengan suara ‘BRUK’ yang keras. Dan bahkan bosku yang nggak punya hati itu nggak melihat, paling nggak, melirik dikit aja kearahku. Aku menghela nafas dan berjalan menuju pintu. Dia tidak peduli. Mungkin dia sudah tahu aku tak akan tahan dalam dunianya, dunia kerja tanpa henti. Dia mungkin sudah mengira aku akan menyerah. dia mungkin sedang merayakan kemenangan didalam hatinya karena tebakannya benar...

 

Well, sialan.

 

Dia benar kalau begitu. Tapi aku menolak menjadi pihak yang dikalahkan. Aku menaikkan bahu, dan kemudian berjalan menuju dapur. Tidak seperti di itali, penthouse milik Sehun di negara ini—kami sudah pindah lagi ke Jepang—tidak memiliki sedikitpun maid atau apa. Sehun bilang karena dia tidak sering pergi ke jepang. Penthouse ini pun lebih kecil—oke, sangat-sangat kecil dibandingkan Penthouse sebelumnya. Jadi alih-alih menemukan bubur atau makanan yang bisa dimakan diatas meja, aku hanya menemukan segelas air putih dingin yang membosankan. Aku muak meminum ini. Akhirnya aku membuka lemari dan menemukan...

 

Sarang laba-laba.

 

Serius.... apa yang bisa kumakan? Hati laba-laba rebus? Mi sarang laba-laba?

 

Nggak, makasih kawan. Aku lagi diet makan makanan berlemak sedikit—serangga lemaknya sedikitkan? Eh, tapi laba-laba itu masuk mana sih? Serangga? Bukankah dia arachnoida? Aku hanya menghela nafas dan memutuskan untuk pergi membeli stok makan. Karena, sepanjang yang aku tahu, Sehun akan berada disini hampir seminggu. Apa kami bisa bertahan hidup hanya dengan melihat seekor laba-laba ringkih menjalin sarang laba-laba didalam lemari makanan? Tentu saja nggak.

 

Aku, sebagai staf yang sangat tahu diri, berjalan terseok-seok bak zombie yang belum pernah menyentuh daging segar. Aku. Yang belum tidur dua belas jam terakhir, yang tidak pernah sama sekali melewatkan makan pagi (mungkin pernah saat aku ngambek pada Brigghitta) yang juga tidak pernah membeli makanan dari minimarket.

 

....

 

Oiya. Aku belum pernah berbelanja... ya?

 

Sialan. Kenapa aku bahkan bisa lupa? Aku menghela nafas dan kembali ke ruangan Sehun—disana satu-satunya tempat kau mendapatkan komunikasi jaringan privat. Dengan malas aku memencet nomor Brigghitta. Maaf Brigghitta. “Halo?”

 

“Halo. Brigghitta tidak berada disini. Dia sedang—“

 

Refleks kututup teleponnya. Itu bukan suara Brigghitta. Pasti salah satu pelayan yang lancang ngambil ponsel Brigghitta, atau siapa. Dengan ini tertutup kemungkinan untuk makan dengan tenang. Aku mengerang pas Sehun menatapku dengan mata mayatnya.

 

“Apa?” tanyaku padanya, jelas-jelas kesal. Dia cuma menatapku lebih dalam dan kembali bekerja. Dasar mata mayat. Kalau kau lebih pucat berwarna kehijauan dan nggak bergerak, mungkin aku bakal mengira kau mayat yang berada disana berhari-hari. Aku jalan menuju sofa dan bermalas-malasan, nggak ada mood melanjutkan pekerjaan. “...Kalau kau memanggil dirimu sendiri sebagai seorang asisten, lebih baik kau segera mengangkat bokongmu dan segera bantu aku mengerjakan kertas-kertas itu.” Kata Sehun.

 

“Nggak mood.”

 

“Kau harus mood.” Kata Sehun datar, tanpa mengalihkan pandang dari kertasnya. Aku menatapnya, bosan. “Sudah cukup dengan semua kekanganmu. Sudah dua belas jam dan kita tidak beristirahat juga.” Kataku. Dia hanya diam dan suara kertas dibalik terdengar. Oh. Ya sudah. Terserah aja deh. Aku Cuma beramah tamah padanya. Bagaimanapun istirahat ideal untuk manusia itu minimal delapan jam, kecuali dia semacam mesin seperti di drama ‘Zettai Kareshi’. Jangan tanya aku kenapa aku tahu drama itu. Pokoknya aku tahu saja.

 

Tapi setelah beberapa saat aku tak tahan lagi. “Cukup. Waktunya untuk selesai dengan kertas-kertas itu, anak muda. Tutup semua itu, dan kita akan mengambil makanan untuk mengisi perut kita.” Aku mencoba nada terbaikku dalam mengikuti cara omong Brigghitta saat dia melihatku bermain game dan bukannya makan. Sehun bahkan nggak mengangkat kepalanya. “Hello, boy. Do you hear me?” aku mengetuk mejanya dan dia menatapku dengan pandangan itu lagi—pandangan meremehkan.

 

“Sudah kubilang kan,” bisiknya. Aku mengerutkan dahi, jelas-jelas dia baru saja meremehkanku. “Aku tahu, aku tahu. aku nggak cukup baik buat jadi asistenmu, wablablabla-wablablabla. Sekarang kita pesan delivery atau apa karena kita nggak bisa hidup seminggu tanpa makanan.”

 

“Aku belum selesai,” katanya datar ketika aku menariknya. Dia tidak bergeming. Aku memutar bola mata dan menarik salah satu kertas di atas meja dengan cepat. “Hei!” serunya. “Ambil ini, kitty,” ejekku, dan dia menggeram, mencoba mengambil kertas itu dariku. Tapi aku berjalan dengan cepat keluar. Yap, dia sudah masuk ke dalam perangkapku. Ketika aku menutup pintu, dia sadar dan segera merampas kertas putih kosong yang kujadikan umpan.

 

Wow, ternyata wajah manusia beneran bisa merah karena marah.

 

“Aku mau bekerja.” Katanya ketika aku mengalingkan pintu darinya. “Uh-uh. Nggak sebelum kita makan. Mungkin kau nggak perlu makan, tapi aku perlu, bos.”

 

“Buat saja sendiri. Jangan ganggu aku.” Katanya, sebal.

 

Apparently, we’re lacking of food supplies. Pilih mana, Kita yang makan atau kau yang dimakan olehku.” Kataku datar. Dia menghela nafas dan menyurukkan beberapa dolar. “Kau manusia menyebalkan.” Geramnya. “Sama. sudah, ikut aku sekarang.” Kataku menarik tangannya. “Lepaskan aku,” katanya keras kepala, menepis tanganku. Aku memutar bola mata dan membiarkan dia berjalan dibelakangku. Setelah menelepon Pizza (Yum. Nggak ada yang lebih baik dari pizza panas yang punya baaaaaaanyak keju.) aku menunggu diruang tengah, menyalakan televisi. Sehun hanya duduk disofa lainnya dengan wajah lurus.

 

Aku memandangnya.

 

Dia memandangku.

 

Kami berpandangan, lalu membuang muka. “Kenapa kau selalu pasang tampang begitu?”

 

Sehun menatapku seakan aku gila.

 

“Tampang apa?”

 

“Tampang itu. Tampang seakan kau bakalan dipancung keesokan harinya.”

 

Dia menatapku sekarang, yakin aku sudah benar-benar gila.

 

“Lupakan saja,” manyunku. Dia menatapku balik, senyum sinis bermain diwajahnya. Tapi dia nggak omong apapun. Cuma diam. Suara mainan angin—yang aku ragu dipasang oleh Sehun—bergelinting indah, menari bersama udara sepoi diberanda ala jepang didepan kami. Ruangan tengah hanya ada televisi yang berhadapan dengan tiga sofa. Dibelakang televisi, pintu kaca geser yang besar memberikan pandangan lahan belakang penuh pohon yang indah. Suara bergemelinting seakan bermain ditelingaku, memberikan friksi yang indah dengan angin, membelai puncak kepalaku.

 

Kemana sih, si delivery-man? Kalau lama, aku yakin aku bakal ketiduran.

 

“Hei.” Kataku akhirnya, nggak tahan dengan diam ini. Suara bergemelinting sayup-sayup sekarang. “Heeeeei,” seruku. Aku menatapnya. Dia tertidur. Matanya menutup dengan sempurna, sementara dia menunduk. Aku memutar bola mata. Ngapain tidur begitu kalau ada sofa empuk dibelakangnya? Aku berpikir menatap wajahnya. Dia cukup imut kalau mulutnya tertutup... hei, sampah apa yang kupikirkan tadi. Hah. Dasar, pikirku, belum sempat mengjelek-jelekkannya tiba-tiba delivery man langsung membunyikan bel. “Chotto matte kudasai,” seruku dalam bahasa jepang ala kadarnya. Ngapain sih? Kenapa mereka baru datang jam segini? Haaah. Coba saja kalau sudah lewat sekitar empat puluh menit, aku bisa minta gratisan dari si PHD. Aku membuka pintu dan menemukan seorang PHD memakai topi kuning yang menutupi wajahnya. Aku segera membayarnya dan menutup pintu.

 

“Yah. Yah, boy. Bangun.” Aku menggoyangkan kakinya. Dia masih tidur. Huh. Kutabok mukanya baru tau rasa. “HEEEEEI. BANGUN!” seruku, dan tiba-tiba saja dia membuka mata. Setelah mengumpulkan nyawanya dia langsung menatapku sebal dan mendengus. Aku nggak peduli dan mengambil satu potong pizza. “Makan,” kataku padanya. “Pizza ini dibeli olehku, kenapa kau berlaku seakan-akan kau yang membelinya?” kata Sehun dengan wajah datar. “Makan sajalah,” kataku memutar bola mata, dan menyalakn televisi.

 

Dia menatap pizza dengan wajah sedikit jijik. “Lebih baik daripada makan tanah,” kataku santai. “Makanan ini terlalu banyak lemak,” protesnya. “Kalau kau mau beli sayuran segar, sana jalan ke minimarket. Aku sih ogah.” Dampratku balik. “Kau stafku, harusnya kau mendengarkanku.” Kata Sehun dengan mata meremehkan. Aku diam saja. nggak mungkin kan aku bilang nggak pernah jalan ke minimarket satu kalipun?

 

Siaran televisi memang membosankan, tapi mendingan daripada menonton wajah jijik Sehun. “Bos, kau beneran nggak mau pergi kemana-mana?” tanyaku pada Sehun. Pizza makaroni ini enak banget sih. Sehun menaikkan bahu, menggigit pizza hati-hati. “Kau tak bosan apa?” tanyaku padanya. Dia menatapku datar lalu diam. “Hei, harusnya kalau ada orang bertanya itu, kau harus jawab!” protesku. “Aku hanya akan menjawab sampai kau menelan semua makanan di dalam mulutmu.” Katanya tanpa memandangku. Sialan. Aku mengunyah pizzaku cepat-cepat dan meneguk segelas soda.

 

“Eh, Gimana kalau kita jalan-jalan?” tanyaku, excited. Ini jepang dan kita HARUS berjalan-jalan. pertama kalinya aku melakukan hal ini selama delapan belas tahun. “Tidak mau, paperku masih belum selesai.” Kata Sehun. “HELLOOOO? KAU UDAH MENGERJAKAN PAPER MU SELAMA 12 JAM DAN MASIH BELUM SELESAI JUGA, GENIUS MUCH?” sindirku. “Mungkin kalau kau mau membantuku paperku akan dengan cepat selesainya,” kata Sehun datar. “Aku membantumu!” protesku. Kalau aku nggak membantu dia ngapain aja aku dua belas jam terakhir? Nangkapin belalang?

 

Dia menatap jam tangannya dan berjalan menuju ruangan lagi. Aku menghela nafas. “GA ASYIK NIIIIIIH!!” jeritku lagi. Aku menatap jam, sekarang sudah jam dua siang. Aku menyeringai. Masih ada waktu jalan-jalan ke Akihabara.

 

Sehun’s POV

 

Dasar anak tak tahu sopan santun. Apa dia tak tahu aku ini orang sibuk? Apa dia pikir aku ini bodyguardnya? Remind me why i signed that stupid contract, pikirku pahit. Aku memutar kenop pintu dan meregangkan tubuhku sedikit jas yang kupakai terasa tidak mengenakkan. Aku segera melonggarkan dasinya dan membuka kancing kemejaku. Aku harus mandi. Ketika aku berjalan ke dalam kamar mandi dan membuka seluruh baju yang menutupi tubuhku.

 

Kunyalakan shower dan air hangat membasahi sekujur tubuhku dengan lembut. Aku menatap kebawah, air hangat menetes-netes dari hidung dan daguku. Sampai kapan anak itu akan menggangguku, pikirku pahit. Yah, walaupun aku tak mau mengatakannya, tapi hasil kerjanya cukup memuaskan. Untuk anak umur lima belas tahunan, dia cukup pintar.

 

Anak itu, pikirku. Wajahnya seperti perempuan saja. Tapi gayanya... bisa-bisa nenekku kena serangan jantung jika tahu ada wanita seperti dia di dunia ini. Lagipula, sudah pasti dia laki-laki, kan? Tapi aku yakin dengan wajah begitu dia akan sering disalah orangkan sebagai seorang wanita. Pikirku. Dia mengingatkanku ketika aku muda dulu.

 

Aku tidak seperti dia secara harfiah maksudnya. Aku tak pernah menggelantung pada orang asing, atau mengganggu hidup mereka secara permanen. Aku kelewat mandiri dan serius, begitu kata Luhan-hyung. Anak itu, sama keras kepalanya dengan diriku. Diriku yang masih muda dan penuh semangat juga sepertinya. Sekarang, entahlah. Rasa semangat itu sepertinya memudar, digantikan rasa bosan yang tak berujung. Hanya ada pekerjaan, keluar negeri, pekerjaan, dan tidak ada hal lain. Kalaupun aku bertemu dengan lelaki yang baik, tidak lebih dari sekadar flirting. Aku hampir tak pernah berkencan dalam jangka waktu lama setelah Luhan-hyung. Hanya sekedar one night stand atau apa.

 

Hidupku sudah seperti warna abu-abu. Membosankan, datar, dingin... aku menggelengkan kepala mencipratkan air dikepalaku. Setelah yakin seluruh tubuhku bersih, aku meraih handuk dan segera mengeringkan tubuh dan memakai baju. Baju turtle neck berwarna abu-abu dan khaki jeans membalut tubuhku. Ibuku pernah bilang untuk sering-sering memakai baju seperti ini. Aku terlihat dua tahun lebih muda. Aku terkekeh. Tak mungkin aku menghadiri pertemuan atau meeting dengan baju begini.

 

Aku menginjak karpet yang halus dan melihat anak itu duduk di sofa, seperti kucing besar super pemalas. Dia melihatku sejenak lalu bermalas-malasan lagi. “Kau sudah selesai?” tanyanya. Aku tak menjawab, karena menurutku itu pertanyaan menjebak. Entah dia bertanya aku sudah selesai bekerja atau mandi. “Kalau begitu ya sudah,” dia beranjak dan segera berdiri. “Mau kemana kau?” tanyaku, berusaha untuk tidak terdengar panik. Bagaimanapun, kertas-kertas ini toh tak akan mungkin selesai oleh diriku sendiri, dan besok, kami punya penerbangan jam setengah dua belas siang.

 

“Jalan lah. Sepet mataku melihat wajahmu terus menerus,” kata Anak itu dengan sangat kasualnya. Aku mendesis. “Sudahlah, dude. Kau kayak seorang nenek-nenek kalau mendesis gitu.”  Anak itu terkekeh dan beranjak. Aku sudah hendka berteriak padanya kalau aku tidak ingat ke-OOC-an ku jika melakukan hal itu. sambil menahan jengkel, akupun segera kembali duduk di atas kursi, hanya untuk melihat kertas-kertasku sudah selesai direkapitulasi dan di revisi ulang.

 

Anak itu selalu jauh, jauh didepan ku. Dengan berat kuakui.

 

“Bs, sudah kuselesaikan semuanya tuhh,” sindir anak itu. aku memutar bola mata. “Kenapa kau tidak berangkat sendiri saja?” tanyaku malas. “Karena, aku nggak punya uang. Oke? Ayo kita segera berangkat.” Katanya. Aku mendengus, tapi tetap mengambil dompet dan beberapa lembar uang yang sudah ditukar dalam nilai mata uang yen. Aku ini terlalu baik, ya? Hhh.

 

Berjalan di siang hari ternyata cukup menyegarkan. Jepang adalah negara yang sangat tenang namun dinamis. Aku menjilat bibirku dan berjalan mengikuti anak itu. sebenarnya tadi aku ingin naik motor saja, selain menghemat uang kereta. Tapi anak itu malah terus menerus membujuk (baca:memaksa)ku untuk terus ikut dia menaiki kereta. Sekarang lihatlah dia, kebingungan dengan arah. Aku mendengus, dan dia menatapku tajam. “Apa?” tanyanya. “Seseorang kehilangan petanya,” sindirku. “Kita tidak tersasar,” semburnya. Namun dari wajahnya terlihat sekali dia mengira-ngira arah mana yang akan dia pilih. “Memang kita mau kemana?” tanyaku dengan dingin. “Shibuya,” katanya tanpa mengalihkan pandang dari jalanan. Aku menghela nafas lagi dan berbalik, melihat seorang lokal dan memanggilnya.

 

“Permisi,” kataku dalam bahasa jepang. “Dimana kah tempat kami bisa mengambil kereta menuju Shibuya?”

 

Orang tersebut terlihat sangat kaget dan kemudian tersenyum, menyuruh kami untuk segera berjalan lurus dan mengikuti plang bertuliskan ‘Jr. Shibuya’ dalam katakana. Aku mengangguk dan menarik anak tersebut. “Wow,” katanya. “Aku nggak tahu kau fluent on japanese,” katanya. Aku hanya memutar bola mata. “Menjadi seorang CEO diusia muda merupakan hal yang cukup mainstream. Butuh hal yang lebih mainstream lagi untuk mengunggulinya.” Kataku asal. Dia hanya mengangguk-angguk. Kami segera berjalan ke loket dan membeli dua tiket dewasa dan masuk ke dalam kereta. Interiornya sangat nyaman, aku bisa bilang. “Wow,” dia menggumam lagi. Dan matanya menjelajah seluruh bagian kompartemen. “Aku tahu  kereta ini sangat keren. Ternyata jika dilihat secara langsung lebih keren.” Bisiknya lagi, tanpa sadar. Aku hanya diam dan memandang keluar.

 

“Omong-omong, mau apa kau di Shibuya?”

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

A Fluffy Chapter for Ya’ll :DDD writer’s Block inih, TOLONG SIAPAPUN OBATI WB INIIIIIII DDDDDDX

 

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!
morinomnom
subsribers runaway with the bachelor, upvote please?

Comments

You must be logged in to comment
Wjpark #1
Maaf, aku mau nanya sebelumnya. Ini ff hasil remake atau bukan? Soalnya, dulu banget aku kayak pernah baca ff ini. Tapi ff nya make bahasa inggris dan main cast nya itu HunHan. Terimakasih, dan maaf kalau aku salah kira hehe
Eunji07 #2
Chapter 31: satu kalimat yang aku ucapkan saat membaca baris terakhir di cerita ini, "yaaah kok udah tamat"

Jujur sebenarnya aku kurang suka ff yang menggunakan tulisan tidak baku. Tapi untuk cerita ini, pengecualian hahahaha. Aku SUKA SEKALIII. Terimakasih sudah membuat cerita yang keren, menarik, membuat penasaran, dan tentunya mengalir dengan indah dan menyenangkan sampai akhir cerita.
vinthisworld #3
Pengin baca ulang: "
Desirened
#4
Chapter 8: Keke, syarat ke 5-6 kek pengkaderan osis aja xD
sevenineLu #5
Jhoa Jhoa Jhoa
fukkdown #6
Chapter 31: 진짜 진짜 진짜 대박이다
alexellyn #7
Chapter 31: good job for the author. kenapa aku berharap ff ini ada sequelnya ya? rate-m pula. ckck. semangat untuk buat karya2 berikutnya~
luhaena241
#8
Chapter 31: Aku telat baru tau kalau 2 chapter akhirnya udah publish kkk.
Two thumbs up u/kamu!!
Suka banget bacanya dr awal, yt pertama" ngira ini ff hahhahah ga taunya bukan, hanya ada tokohnya saja yg seperti itu.
Alurnya panjang, keren, n detail tp tentu gak ngebosenin. Imajinasi kami tinggi n daebak bgt! Bagaimana kata demi kata kamu susun sehingga membentuk kalimat" yg apik terkemas didalam ff ini~
Ah, I can't talk anymore, just "two thumbs up" for you!! (y) (y)

Keep writing n fighting ne!!^^
Oiya, ngelawaknya jg dapet, terkocok" sangat ini perut kkkk
luhaena241
#9
Chapter 29: Akhirnya ff ini publish kembali!! Senangnya~ :*
Mnieunra #10
Chapter 31: >< FFnya bagusss banget haha..
Ampe greget bacany, awalny bingung mana chaehyun mana sehun ._. Tp lamalama udh nggak kok :)
keep writing '-')9