Kim Jungkook

HOLD ME TIGHT

Jungkook melangkahkan kakinya ke gereja St. Peter begitu ia keluar dari hotel tempatnya beserta rombongan LACM menginap, dan terlepas dari tatapan selamat-sebentar-lagi-kau-menikah dari teman-teman sekampusnya. Jungkook merapatkan mantel yang dikenakannya ketika angin musim dingin Swedia berhembus. Walaupun begitu, ia menyukai suasana musim dingin di Eropa. Selang setengah jam kemudian, Jungkook sudah berdiri di depan pintu gerbang gereja St. Peter, tempat ia akan melaksanakan pernikahan palsunya. Jungkook menghela napas dan melangkah masuk.

Begitu Jungkook membuka pintu gereja kuno itu, ia langsung menyukai suasana damai dan tenang di dalamnya. Suara sepatunya bergema ketika ia berjalan pelan menuju ke arah altar. Ia sangat menyukai dekorasi di dalam gereja itu. Membuatnya melupakan hal-hal keduniawian dan, terutama, masalah peliknya dengan keluarganya. Matanya menangkap sebuah grand piano yang tampak sudah sangat berumur tapi masih terawat di salah satu sudut ruangan dekat altar.

"Ada yang bisa saya bantu?"

Jungkook menoleh ke arah sumber suara dan melihat seorang pendeta berdiri beberapa meter dari dirinya, dipisahkan oleh kursi-kursi panjang yang biasa diduduki orang-orang ketika sedang menjalankan misa. Jungkook sendiri tidak tahu misa itu apa secara detail, ia bukan seorang yang religius.

"Ah, tidak. Saya hanya ingin mengecek keadaan tempat ini. Saya akan melangsungkan pernikahan di sini minggu ini," jawab Jungkook.

Pendeta itu tersenyum mendengar jawaban Jungkook. "Semoga pernikahanmu berjalan dengan lancar."

'Aku harap juga begitu,' batin Jungkook. "Kalau begitu saya permisi. Saya sangat menyukai dekorasi gereja Anda," katanya memuji, berbalik ke arah pintu masuk setelah sebelumnya mengangguk singkat pada pendeta itu.

"Tuhan memberkatimu, Nak."

Jungkook tidak membalas ucapan itu.


Ia menghabiskan seharian itu berada di luar ruangan untuk menghirup udara Eropa yang segar, berusaha mengurangi beban berat yang membuat otaknya serasa ditekan-tekan selama berbulan-bulan ini. Setidaknya kalau rencana ini sukses, masalah itu akan sirna dari hidupnya untuk selamanya. Ia akan memiliki hidup tenang, dengan satu-satunya masalah yang dimilikinya adalah menjadi pianis terkenal secepat mungkin. Tapi itu toh juga bukan masalah besar. Dengan kejeniusannya, dua tahun adalah waktu yang cukup.

Ketika jam tangannya sudah menunjukkan pukul empat sore, Jungkook menghabiskan kopi panasnya dan segera kembali ke hotel. Pertunjukkannya akan dimulai pukul sembilan malam ini. Ia harus melemaskan jari-jarinya sebelum menyentuh pianonya.

Begitu ia sampai di hotel, ia langsung menuju ke ruang rehearsal dan memainkan pianonya, melepaskan semua emosinya melalui Eroica gubahan Beethoven. Lagu yang sarat emosi menurutnya. Dan ketika selesai, terdengar suara tepukan tangan tunggal yang bergema di seluruh ruangan. Ia membuka matanya, merupakan kebiasaannya untuk bermain piano sambil memejamkan mata dan merasakan setiap aliran nadanya, dan mendapati Taehyung duduk di salah satu kursi di ruangan itu.

"Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Jungkook dengan nada dingin seperti biasanya. Dan Taehyung yang mengerucutkan bibirnya tanda tak senang dengan nada bicara calon suaminya itu adalah reaksi spontan yang selalu muncul setelahnya.

"Aku tadi kebetulan lewat dan mendengar kau bermain, jadi aku memutuskan untuk nonton. Jadi hentikan sikap kasarmu yang tidak berperike-Tae-an begitu."

Jungkook mengernyit. Ia sudah sering mendengar kata itu, tapi belum pernah menemukan arti yang pas untuk dicerna olehnya. Kadang memang istilah-istilah yang sering digunakan Taehyung sama sekali tidak umum dan sulit dimengerti. Mungkin sebaiknya ia menganjurkan pada pemuda alien itu untuk menerbitkan kamus berisi kosakatanya sendiri.

"Bagaimana menurutmu tadi?" tanya Jungkook mode professional, memutuskan untuk mencari penilaian daripada adu mulut dengan Taehyung.

Taehyung menegakkan duduknya dan tersenyum cerah, bagaikan anak kecil yang akan mendapat permen kesukaannya. Yah, walaupun anak kecil jaman sekarang sudah jarang yang senang hanya karena akan mendapat permen. Mereka lebih suka mendapat uang.

"Kau brilian!" seru Tahyung, mengacungkan dua jempolnya, lalu menyilangkan jempol dan ujung jari telunjuknya membentuk hati pada Jungkook. "Aku selalu ikut terhanyut kalau kau memainkan sebuah lagu, lagu apapun itu, dan pasti kau akan tampil sempurna malam ini!" pujinya tulus.

Jungkook tersenyum puas lalu bangkit berdiri dari kursinya dan berjalan ke arah pintu keluar sembari tersenyum tipis. Senyum yang sama sekali tidak kentara. Jadi sebenarnya dia tersenyum atau tidak pun sama saja. Tidak ada perubahan berarti.

Taehyung tergesa-gesa turun dari bangku penonton dan menyusul Jungkook. "Kau sama sekali tidak melakukan kesalahan sedikitpun!" pujinya lagi begitu ia berhasil menjejeri Jungkook. "Aku selalu suka permainanmu. Bisa membuat perasaanku tenang seperti kalau aku sedang makan pie jeruk buatan ibu dengan soda di siang hari…" suara Taehyung mengabur, membuat Jungkook menoleh ke arahnya dan melihat ada sedikit ekspresi sedih di wajah tampan itu.

Refleks, Jungkook mengangkat tangannya hendak merangkul pemuda di sampingnya. Tapi ketika tangannya sudah begitu dekat dengan pundak Taehyung, Jungkook menyadari apa yang hendak dilakukannya dan langsung menurunkan tangannya lagi. Ia mengernyit. 'Yang tadi itu apa?'

"Ah, tapi secara garis besar kau oke! Aku tak sabar ingin bermain denganmu malam ini," kata Taehyung lagi, nyengir kotak pada Jungkook yang berjalan di sebelahnya dalam diam.

"Ne," tanggap Jungkook. Pikirannya sibuk dengan hal lain.

Taehyung mencibir. "Kau ini, sudah dipuji habis-habisan hanya itu yang keluar dari mulutmu," keluhnya. "Aku mau ke tempat Jimin dulu deh. Sampai nanti malam." Taehyung melambai singkat padanya dan berbelok di koridor, meninggalkan Jungkook yang kemudian berhenti berjalan secara mendadak. Jungkook menolehkan kepalanya, memandang punggung itu yang makin lama makin jauh.


JK's Journal, February 8, 2015. 6pm.

Aku belum pernah bersimpati pada orang lain sebelumnya. Menurutku masalah orang lain ya masalah orang lain, masalahku sudah cukup banyak tanpa harus mengurusi masalah orang lain. Itu sangat merepotkan. Tapi bukan berarti ketika simpati itu datang aku tidak bisa mengenalinya. Seperti beberapa jam yang lalu ketika aku dan Si Alien itu berjalan berdua di koridor. Ketika ia berbicara tentang ibunya. Aku tahu benar kalau aku bersimpati padanya. Dan keinginan untuk bermain piano lebih banyak untuknya langsung terbersit.
Ditambah lagi, aku tahu aku jenius dan permainan pianoku luar biasa, tapi ketika Si Alien itu yang mengatakannya, entah kenapa efeknya jadi berbeda. Dia yang terlalu pandai memuji atau bagaimana sih? Tapi kalau Mr. Spark yang mengatakan, aku juga merasa itu sudah sewajarnya. Kurasa ke-stress-anku berdampak pada perasaanku juga. Aku jadi lebih peka.
Dan ketika aku menulis semua ini, sebuah kalimat dari dirinya kembali terngiang. 'Aku tadi kebetulan lewat dan mendengar kau bermain, jadi aku memutuskan untuk nonton.'
Yang menjadi pertanyaanku adalah, bagaimana dia tahu aku yang sedang bermain?

.

.

JK's journal, February 13, 2015

Charity concert kami berjalan dengan sukses. Penampilan terakhir di malam tanggal 8 Februari oleh para rookie berakhir dengan gemilang. Aku bisa melantunkan nada-nada indah Chopin dengan lancar tanpa hambatan berarti dan permainan yang lain mendukungku, terutama gesekan biola Taehyung. Aku sangat puas dengan performaku malam itu. Mr. Spark pun sampai kehabisan kata-kata untuk memujiku.
Aku baru sempat menulis jurnalku sekarang karena setelah pertunjukan malam itu, banyak sekali yang harus diurus. Miss Kelsey menggerecokiku dengan detail-detail kecil pesta pernikahan seperti cincin, tux, dekorasi, formulir catatan sipil dan lain sebagainya. Dan baru pagi ini aku dan Taehyung selesai mencatatkan diri di kantor catatan sipil Swedia sebagai pasangan suami-suami. Aku tak bisa melupakan ekspresi wajah Taehyung yang pucat pasi dan seakan mau muntah saat ia menandatangani surat nikah di bawah tatapan tajamku. Ekspresinya masih membuatku geli sampai sekarang.
Dan besok, adalah hari H-nya. Ketika aku menulis jurnal ini, aku tak henti-hentinya melirik tux putih yang akan kukenakan besok dan menduga-duga apa yang sedang Taehyung lakukan di kamarnya sekarang. Mungkin ia sedang berjalan mondar-mandir sambil berdoa semoga hari esok tak pernah datang, hari ketika imejnya sebagai pemuda 'lurus' hancur berantakan di hadapan tiga ratus lima puluh orang undangan.
Kuakui, aku juga cukup tegang menghadapi esok hari. Besok adalah penentuan. Kalau aku berhasil, aku akan bebas. Kalau aku gagal, aku akan lebih terpuruk dari sebelumnya. Aku tak sabar menanti reaksi The Jeon melihatku berdiri di altar bersandingkan seorang pria.
Semoga besok berjalan lancar.

February 14, 2015.

"Wow, Jungkook, lihat ke kamera dong. Kau tampan sekali…" gumam Jimin seraya mengarahkan kameranya ke arah Jungkook yang sedang sibuk mematut diri di depan cermin. Ia adalah orang yang perfeksionis, dan ia tak ingin ada yang salah dengan penampilannya di hari pernikahannya, sekalipun ini hanya pernikahan palsunya.

"Kapan kau mau berhenti mengambuil gambar, Jimin?" desis Jungkook sebal. Jimin sudah berada di kamarnya sejak ia membuka mata pagi ini, terus-terusan menyorotnya dengan kamera dan ketika ia mengusirnya keluar, Ia berdalih kalau pernikahannya akan jadi hal paling menarik di karyanya.

Jimin nyengir mendengar sarkatisme Jungkook. "Jangan sebal begitu, harusnya kau berterimakasih karena aku sudah mau jadi seksi dokumentasi pernikahan istimewamu secara cuma-cuma."

Jungkook mendengus dan mengecek jam tangannya. Pukul setengah sembilan. Ia harus sudah berada di gereja dalam setengah jam. Ia menyambar mantelnya dari punggung kursi dan langsung melesat keluar kamar dengan langkah-langkah panjang, mengabaikan Jimin yang berlari-lari mengikutinya.

Begitu Jungkook tiba di gereja, Miss Kelsey-lah yang pertama menyambutnya. Ia mengenakan gaun putih yang sangat serasi dengan rambut pirangnya.

"Yang di sana itu," bisik Miss Kelsey begitu ia berada di hadapan Jungkook. Ia mengerling ke arah kirinya, "itu keluargamu, bukan?"

Jungkook memandang ke arah yang dimaksud Miss Kelsey dan mendapati ayah, ibu dan hyungnya berdiri kaku di dekat jendela, dikelilingi oleh dua orang yang memakai setelan hitam-hitam, bodyguardmereka. Jungkook mengangguk ke arah Miss Kelsey dan langsung menghampiri mereka. Jimin yang semula bersemangat mengikutinya terhenti di dekat Miss Kelsey. Rupanya aura yang dimiliki keluarga Jeon membuatnya enggan mendekat lebih dari itu.

"Jungkook," panggil Junghyun ketika melihat adiknya dalam setelan tux putih.

"Kegilaan apa ini?" tuntut ayahnya ketika Jungkook berdiri di hadapannya, ia bahkan sama sekali tidak menyapa anak bungsunya itu. "Sebelumnya kau bilang ingin menjadi pianis, tapi sekarang kau malah melangsungkan pernikahan? Apa-apaan kau?"

Jungkook sama sekali tidak ciut di bawah tatapan murka ayahnya. Sang Ibu yang berdiri di sebelah suaminya itu mencoba menenangkan ayahnya, tapi tak terlalu berhasil.

"Sudah kubilang hidupku dan apa yang aku inginkan bukan lagi menjadi urusanmu. Aku mencintai orang ini dan aku ingin hidup bersamanya, dan aku tidak peduli apa pendapatmu tentang itu. Aku akan mengejar cita-citaku menjadi pianis dengan dia di sisiku. Bukan kalian," jelas Jungkook panjang lebar. Ia tidak menyangka bisa mengatakan ini dengan lancar, terkhusus bagian 'ingin hidup bersama' dan 'dia di sisiku' itu.

Urat di pelipis ayahnya berkedut. "Anak tak berguna."

Jungkook menyeringai. "Masih bagus aku mau mengundang kalian di acara pentingku. Dan setelah ini aku harap kalian tidak mengangguku lagi. Biarkan aku menjalani hidupku. Setelah pernikahan ini, aku bukan lagi Jeon Jungkook. Aku mengganti kewarganegaraanku."

Mata ayahnya menyipit. "Sudah kuduga. Ini pasti pernikahan palsu. Kau pasti menyelenggarakan pernikahan ini untuk mengganti kewarganegaraanmu agar bisa lolos dariku. Jangan kira aku tidak tahu itu, anak sialan."

Jungkook mencelos, tapi ia sudah tahu kalau ayahnya pasti akan menduga begitu. Tapi ia tak bisa menyerah sekarang. Jungkook mendengus geli. "Apa kau tuli, Tuan Jeon?" kata-katanya barusan membuat JUngkook membelalak marah sementara Junghyun mengerjap. "Aku baru saja bilang kalau aku mencintai orang ini. Dan aku tidak asal bicara. Selamat menikmati pestanya," ucap Jungkook sinis dan berjalan ke arah altar karena upacara pernikahan akan segera dimulai. Senang rasanya bisa membuat ayahnya gusar.

Pendeta sudah bersiap di posisinya, begitu pula Jungkook. Ia merogoh saku jasnya, memastikan kotak cincinnya ada di situ. Jimin masih merekam gila-gilaan dengan kameranya sementara rekan-rekannya dari divisi musik juga tak kalah semangatnya untuk memotret tiap detail acara. Jungkook berdiri di altar, memandang pintu masuk gereja. Tak disangka dia lumayan gugup juga. Taehyung dan Miss Kelsey akan memasuki pintu itu kapan saja.

Tiga.

Dua.

Satu.

Pintu gereja menjeblak terbuka dan masuklah Taehyung diiringi Miss Kelsey. Ia tampak sangat gagah dalam setelan tux putihnya yang serasi dengan milik Jungkook. Hadirin bangkit berdiri dan tersenyum bahagia memandang Jungkook yang sangat tampan. Ia membalas semua senyum yang diarahkan padanya. Jungkook mengerling ke arah keluarganya. Ia menyeringai dalam hati melihat ekspresi mereka bertiga yang seakan sedang melihat hantu.

Taehyung sampai di altar dan berdiri berhadapan dengan Jungkook.

"Aku setengah berharap melihatmu memakai gaun," gumam Jungkook. Selera humornya meningkat melihat wajah-wajah shock keluarga Jeon.

Taehyung melebarkan senyum kotaknya, tapi dengan tatapan mata mengancam.

Pendeta mulai menyampaikan kotbahnya.

"Siapa yang menyuruhmu membawa karangan bunga?" bisik Jungkook lagi, memandang sebuket bunga mawar putih di genggaman Taehyung."

"Miss Kelsey," jawabnya. "Kurasa ia tetap ingin ada acara lempar bunga."

Mereka terdiam, masih saling memandang satu sama lain. Betapa herannya Jungkook ia betah memandang mata Taehyung selama itu.

"Omong-omong," gumam Taehyung. Sedikit kekhawatiran terpancar di bola matanya. "Yang tampangnya mengerikan itu keluargamu?"

Jungkook menahan tawa mendengar deskripsi Taehyung dan mengangguk singkat tak kentara. Taehyung mengerling tempat duduk keluarga Jeon dan sedikit bergidik.

"Jeon Jungkook, apa Anda bersedia menerima Kim Taehyung sebagai suamimu dan bersumpah untuk selalu berada di sisinya dalam suka maupun duka, kaya maupun miskin, sakit maupun sehat, sampai maut memisahkan kalian?"

Jungkook merasakan rasa tak suka ketika nama belakangnya disebut. "Ya, saya bersedia."

"Dan Anda, Kim Taehyung, apa Anda bersedia menerima Jeon Jungkook sebagai suamimu dan bersumpah untuk selalu berada di sisinya dalam suka maupun duka, kaya maupun miskin, sakit maupun sehat, sampai maut memisahkan kalian?"

Taehyung memejamkan matanya, menguatkan tekad, dan mengatakan, "Ya, saya bersedia," dengan amat pelan sehingga hanya Jungkook dan pendeta yang mendengarnya.

"Pakaikan cincin pernikahan pada jari pasangan Anda."

Jungkook merogoh saku jasnya dan mengeluarkan kotak putih dari dalamnya. Ia memakaikan cincin dari emas putih itu di jari Taehyung dan bisa merasakan pemuda-senyum-kotak sedikit bergidik ketika ia melakukannya.

"Sekarang, Anda boleh mencium pasangan Anda."

Jungkook melepaskan tangannya dari tangan Taehyung dan bertukar pandang dengan pemuda di hadapannya. Mata Taehyung membelalak ngeri. Jungkook sama sekali tidak memperhitungkan scene ini. Ia sama sekali lupa kalau di upacara pernikahan ada bagian dimana pengantin harus berciuman. Ia bisa melihat Taehyung menelan ludahnya dengan gugup. Jungkook sendiri bimbang. Ia sama sekali tidak ingin mencium pria manapun, apalagi di hadapan publik. Tapi bila ia tidak melakukannya, ayahnya pasti takkan percaya…

"Sekarang, Anda boleh mencium pasangan Anda," ulang pendeta, sedikit mengernyit melihat pasangan TaeKook yang hanya bergeming.

Jungkook memejamkan matanya, mengutuk dalam hati, dan langsung merengkuh Taehyung, membenamkan bibirnya ke bibir Taehyung. Taehyung sedikit meronta ketika bibir mereka bersentuhan, tapi Jungkook menekan tengkuknya kuat-kuat agar ia tidak melepaskan diri.

Setelah beberap detik yang sangat menyiksa, Jungkook melepaskan Taehyung, membiarkan mata itu memandangnya marah dengan wajah merah padam sementara hadirin bertepuk. Ayahnya yang berada di tempat duduk depan sama sekali tidak bertepuk. Ia memandang Jungkook murka dan langsung meninggalkan gereja dengan gusar. Jungkook tersenyum puas. Hidup barunya telah tiba. Dia, Kim Jungkook.


Bersambung...

Special Thanks to:

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
deuthie
#1
Chapter 14: Author aku udah baca ff ini lama bgt pengen komen tapi harus login, sekarang baru buat akunnya hehe...
aku suka sama ceritanya bagus dan detil banget ngejelasin soal musik huhu tapi kenapa sad ending ya? sedih si jk gitu amat.. cuma aku agak bingung sama pas bagian junghyun-nya ku pikir dia punya maksud terselubung /? sama si taehyung tapi ternyata pas dia balik ke korea gak ada apa2 lagi .-.
yep_permata #2
Chapter 14: Kok sedih akhirnya :((((
yep_permata #3
Chapter 5: yeayyyy semoga kuki hatinya terbuka buat tae segera hihi
veetaminbee #4
Chapter 3: halloo authornimmm ^^
aku baru nemu ff nya jadi aku review di updatean terakhirnya yang ini/?
suka banget ff nya, jalan ceritanya juga, hm apa nanti mereka bakal melanggar kontrak? iya dong yakan xD tapi kalo keluarganya jungkook malah setuju gimana._. penasaran kan, ditunggu kelanjutannyaaa
yep_permata #5
Chapter 3: Next chapt pleasee