Perasaan Bahagia yang Tak Jelas

HOLD ME TIGHT
JK's journal, July 20, 2016
Lima bulan berlalu sejak… yah, sejak saat itu. Aku bahkan tak tega untuk menulisnya di jurnalku. Atau mungkin aku takut sensasi itu akan kembali ketika aku menuliskannya? Sensasi di sekujur tubuhku ketika bibirku menyentuh bibirnya… Ah, sudahlah. Aku tak ingin berakhir dengan memainkan Hana's Eyes yang terasa sangat menyedihkan itu malam ini.
Aku tersenyum kecil ketika menulis judul lagu itu tadi. Ya, lagu yang langsung tercipta secara otomatis di otakku setelah insiden lima bulan lalu. Aku membuat partiturnya hanya dalam waktu kurang dari dua jam, dan setelah aku menyelesaikan rangkaian not baloknya, judul yang langsung terlintas di kepalaku adalah : His Eyes. Tapi aku tak mungkin menyerahkan judul itu ke Mr. Spark. Harga diriku tidak mengizinkannya. Maka, setelah berpikir keras selama beberapa jam, Hana's Eyes-lah yang kutetapkan menjadi judulnya. Lagu itu langsung terdengar di seantero LACM keesokan harinya, diputar silih berganti dengan Whither grief-ku selama jam istirahat berlangsung, setelah aku menyerahkan lagu itu ke Mr. Spark. Lagu yang sangat cocok dengan suasana hatiku selama lima bulan terakhir.
Lima bulan bukan waktu yang singkat, tapi lima bulan itu sama sekali tidak bisa membuatku menjawab semua pertanyaan yang bermunculan di benakku sejak hari itu. Oke, itu semua membuatku kesal, dan uring-uringan. Aku memang melampiaskannya dengan menciptakan banyak lagu sampai Mr. Spark sudah punya folder sendiri untuk lagu-laguku, tapi seperti kata beliau beberapa hari lalu, "Jungkook, tidak bisakah kau membuat lagu yang lebih ceria sedikit? Aku tahu kau agak emo, tapi nantinya orang-orang akan berpikir kalau kau adalah pianis patah hati, dimana lagu-lagunya hanya bisa dinikmati kalau kau sedang patah hati."
Aku nyaris mematahkan ujung pensilku. Aku sangat emosional akhir-akhir ini.
Dan bukan hanya ketidaksanggupanku untuk menjawab pertanyaan-pertanyaanku sendiri yang membuatku kesal. Perlakuan Taehyung padaku juga membuatku marah. Ia benar-benar menjaga jarak dariku setelah itu. Kami masih bercakap-cakap dan berkegiatan seperti biasa, seakan tidak terjadi apapun, tapi aku masih bisa merasakan kecanggungan yang sama yang dulu terjadi sebelum Junghyun datang. Bahkan lebih parah kali ini. Taehyung jadi jarang tersenyum, jarang membuat onar, tatapannya nyaris selalu kosong, dia dan biolanya sudah jadi seperti kembar siam, intinya Taehyung dalam lima bulan terakhir ini bukanlah Taehyung yang kukenal sebelumnya. Yang membuatku lebih frustasi adalah, aku sama sekali tak tahu apa yang ada di pikirannya!
Akan lebih mudah bagi kami, menurutku, kalau ia mau sedikit lebih terbuka. Menceritakan apa yang mengganggunya. Sikapnya akhir-akhir ini begitu aneh, seakan ia ingin pergi, tapi juga tak ingin. Dan itu membuatku lebih bingung. Aku jadi tak tahu harus bagaimana memperlakukannya. Bahasa dramatis untuk itu adalah, dia membuatku menderita. Dan itu jadi kesalahan kesembilannya.
Taehyung menciptakan semacam tameng pelindung di sekelilingnya, khusus untukku. Dia benar-benar menjaga jarak. Bahkan hanya berada dalam radius lima meter di dekatku saja dia sudah seperti mau muntah. Aku ingin meninjunya, dan menghajarnya sampai mati tiap kali itu terjadi, tapi aku tak pernah melakukannya karena aku tahu aku tak benar-benar menginginkan itu. Yang kuinginkan adalah kecanggungan ini berakhir. Aku butuh penjelasan. Penjelasan apapun, tentang apa yang terjadi di otaknya, dan benakku.
Well I didn't mean for this to go as far as it did. Tapi kenyataannya ini sudah berjalan terlalu jauh. Aku hanya ingin mendapatkan kesempatan untuk memperbaikinya. Hanya itu.

 

Jungkook menutup jurnal hariannya dan memasang headset, mendengarkan lagu-lagu pop yang dulu sama sekali tak pernah diliriknya, melalui iPod-nya. Kebiasaannya juga banyak berubah. Ia merebahkan diri ke kasurnya ketika ponselnya berdering. Sambil menggerutu, ia melepas salah satu headset di telinganya, menggantikannya dengan ponselnya.

"Hn?"

"Kau sibuk, Jungkook?" suara Vincent, salah satu temannya sesama pianis. Orang yang, Jungkook baru tahu beberapa minggu lalu, kalau dia adalah gay tulen.

"Hn…" gumam Jungkook tak jelas.

"Bagus," tampaknya Vincent mengartikannya sebagai sesuatu yang positif. "Kau masih ingat Ducati hitamku? Yang baru kubeli bulan lalu?"

"Hn…"

"Aku berniat menjualnya." Vincent terkekeh pelan.

Jungkook mengangkat sebelah alis. Ia baru saja hendak menanyakan apa hubungannya hal itu dengan dirinya ketika Vincent melanjutkan, "Dan kau adalah orang pertama yang terlintas di benakku sebagai pembeli. Aku tahu kau sudah naksir motor itu sejak pertama kali kau melihatnya. Jadi kau mau kan?"

Jungkook tidak menjawab. Ia memang sudah naksir motor itu sejak pertama kali melihatnya, tapi sama sekali tak ada niatan untuk membelinya, walau Vincent menawarkan. Tapi suatu hal lain yang melintas di otaknya membuatnya berpikir kalau membeli motor itu sekarang adalah ide yang sangat cemerlang. Dan dalam lima detik, ia sudah menjawab, "Oke. Tapi untuk sementara waktu, aku menitipkan mobilku di tempatmu."

Jungkook tak bisa menahan diri untuk tidak menyeringai dengan pemikiran briliannya. Semoga rencananya kali ini sukses. Dan semoga dugaan Jungkook kalau ini adalah kesempatan yang bisa digunakannya untuk memperbaiki hubungannya dengan Taehyung benar.


 

Esoknya, Jungkook mengambil motornya di tempat Vincent.

"Aku sudah mendapatkan Harley idamanku, jadi kurasa Ducati tak ada gunanya lagi bagiku," kata Vincent ketika menunjukkan Ducati-nya yang masih tanpa goresan di garasinya, diparkir tepat di sebelah Harley besar yang tampilannya sangat macho sehingga membuat Si Ducati tampak kecil dan payah, padahal Ducati itu amat sangat keren sebenarnya.

"Tapi aku tak menyangka kau akan setuju tanpa perlu bujukan," tambah Vincent, memandang Jungkook heran. Jungkook hanya meliriknya sekilas, membuat Vincent mengangkat bahu. "Yah, apapun rencanamu, itu bukan urusanku. Kau boleh bawa pulang Ducati-mu, dan mobilmu akan aman bersamaku, Tuan Pianis Nomer Satu di LACM."

Jungkook tidak berkomentar. Ia langsung menaiki Ducati-nya, tak sabar untuk membawanya pulang dan melihat apakah rencananya akan berjalan sesuai intuisinya. Tapi sebelum ia sempat meyalakan mesin motor itu, Vincent memotongnya, "By the way, kau kenal Charlotte?"

Pertanyaan itu membuat Jungkook memandang mata ungu Vincent, sembari ia berpikir siapa Charlotte yang Vincent maksud. Setelah beberapa saat, pikiran Jungkook melayang ke sosok seorang gadis berambut coklat lurus panjang yang cukup manis. Hanya satu hal yang benar-benar Jungkook ingat dari gadis itu, tatapannya tiap kali ia memandang Jungkook. Bukan, bukan tatapan mengerikan seperti yang didapatnya dari gadis-gadis kebanyakan sebelum ia menikahi Taehyung, tapi tatapan yang… Jungkook pun tak bisa menggambarkannya dengan jelas. Caranya memandang Jungkook sama sekali tidak menakutkan, bahkan Jungkook belum pernah melihat tatapan jenis itu sebelumnya. Dan Charlotte adalah satu-satunya gadis di LACM yang tidak mengharapkan ia bercerai dengan Taehyung atau semacamnya. Ia malah rutin menanyakan kabar hubungannya dengan Taehyung, dan mendesis galak pada semua gadis yang berharap Jungkook segera berpisah dengan Taehyung. Jungkook tak paham dengan kelakuan gadis itu. Tapi justru itu yang membuat Jungkook ingat namanya.

"Kurasa aku kenal," jawab Jungkook pada akhirnya.

Vincent tersenyum puas. "Bagus, ia mengadakan semacam pesta untuk merayakan ulang tahunnya besok malam. Dan dia memintaku untuk mengundangmu datang."

Jungkook mengangkat sebelah alisnya.

"Tapi aku tahu kau tidak suka hingar-bingar pesta," lanjut Vincent. "Jadi aku katakan padanya untuk tak usah terlalu berharap kau mau datang. Jadi kau tak ada beban, Jungkook." Vincent menepuk-nepuk pundak Jungkook. "Tapi ia mengatakan untuk mengajak Taehyung juga kalau semisal kau mau datang."

Jungkook menyalakan mesin motornya. "Katakan padanya aku datang," katanya sebelum memacu motornya meninggalkan rumah Vincent.


 

Jungkook duduk tepekur di salah satu bangku di pojok kafetaria LACM sepanjang sisa siang itu. Ia memikirkan tiap detail rencananya, yang hanya berdasar intuisi itu, secara mendalam. Ia ingin semuanya berjalan baik. Ia sudah mendapatkan motornya, ia sudah memenuhi undangan Charlotte, dan langkah pertama untuk memperbaiki hubungannya dengan Taehyung adalah : mengajaknya ke pesta Charlotte itu. Tujuan dari rencana samar Jungkook tidak banyak, hanya menghancurkan tameng yang dibangun Taehyung dan mencairkan kebekuan di antara mereka berdua. Kalau tujuannya itu tercapai, Jungkook tidak berharap lebih. Ia sendiri belum yakin tentang sesuatu yang bergejolak di dalam dirinya sejak lima bulan lalu, jadi kalau Taehyung bisa bersikap biasa lagi padanya, dia sudah merasa sangat puas.

Tapi ternyata mengajak Taehyung tidak semudah kelihatannya. Ia sudah melihat Taehyung berkali-kali hari itu, sejak saat ia sudah kembali dari tempat Vincent setelah mengambil motor, tapi tameng yang Taehyung buat tidak memudar sehingga Jungkook tidak bisa mendekat. Dan sesuatu yang terjadi di batin Jungkook juga tidak membantu. Ia terus menerus merasakan sesuatu yang aneh di dalam dirinya tiap kali ia melihat Taehyung dan berniat menyampaikan undangan Charlotte, dan sesuatu dalam dirinya itu alih-alih membuatnya menembus tameng Taehyung, malah membuat seakan tamengnya jadi dobel. Dan itulah sebabnya Jungkook menyia-nyiakan kesempatan yang didapatnya hari ini.

'Apa susahnya mengajaknya ke pesta tak penting yang diadakan Charlotte? Kenapa lebih mudah bagiku untuk mengajaknya menikah dulu daripada memintanya pergi bersamaku ke pesta Charlotte?' gerutu Jungkook dalam hati. Ia mengaduk-aduk jusnya dengan tenaga berlebih.

Dan saat itulah Jungkook melihat Taehyung berjalan memasuki kafetaria bersama Jimin dan Yoongi. Jungkook langsung menghabiskan jusnya dalam sekali teguk. Ia segera membulatkan tekad, dan berjalan menghampiri Taehyung. Ia hanya ingin memperbaiki keadaan. Tidak lebih.

"Tae," panggil Jungkook. Rasanya sudah bertahun-tahun ia tidak mengucapkan kata itu.

Taehyung memandangnya. Tatapan dingin itu lagi. Tatapan kosong itu lagi.

"Bisa bicara sebentar?" dan tanpa menunggu jawaban, Jungkook sudah memberanikan diri, entah kenapa itu adalah suatu usaha yang membutuhkan tenaga besar darinya, untuk menarik Taehyung menjauh dari Jimin dan Yoongi.

"Apa maumu?" gumam Taehyung ketika sudah cukup jauh dari Jimin dan Yoongi. Pertahanan diri itu lagi.

"Aku tahu ini terdengar konyol," Jungkook memulai, mencoba mengabaikan Taehyung yang melipat kedua tangannya di depan dada dengan gestur yang sangat mengintimidasi. 'Sial, seharusnya kau yang memasang sikap begitu, Jungkook. Bukannya dia. Tapi kau malah bersikap konyol sepertinya,' batin Jungkook jengkel. "Charlotte menginginkan kita datang ke semacam pesta untuk merayakan ulang tahunnya besok malam," kata Jungkook akhirnya. "Dan karena aku memutuskan untuk datang, maka kau juga harus datang… bersamaku." Jungkook berani bersumpah ini adalah kalimat penjelasan paling panjang dan paling menguras energi yang pernah diucapkannya di luar kelas.

Gestur Taehyung mengendur. Ia memandang Jungkook, benar-benar memandang kali ini. Tampaknya kalimat Jungkook barusan telah membuat tamengnya retak. Tapi tameng yang retak belum cukup untuk membuat Taehyung mengiyakan ajakan itu. Jungkook butuh satu dorongan lagi.

"Anggap saja aku sedang berusaha meminta maaf untuk kesalahanku," tambah Jungkook. "Jangan pura-pura tak peduli, Tae. Aku tahu kau berusaha menghindariku selama lima bulan terakhir ini."

Kedua tangan Taehyung yang semula terlipat di depan dada terjatuh ke sisi tubuhnya. Jungkook telah menciptakan retak besar pada tameng Taehyung.

Jungkook berdecak. "Banyak sekali hal yang ingin kukatakan padamu sejak kita… yah, kita jarang berbicara satu sama lain." Sebenarnya bukan itu hal yang ingin Jungkook katakan. "Tapi mungkin kau berpikir tidak aman bagimu kalau aku membombardirmu ketika hanya ada kita berdua dan Kucing di rumah. Jadi aku memutuskan untuk bicara di pesta Charlotte itu saja." Jungkook menghela napas. "Ada sesuatu yang harus dibicarakan di sini, walau aku sendiri tak yakin apa itu. Tapi kuharap kau bisa membantuku."

Jungkook memandang Taehyung, lega akhirnya dia bisa mengatakannya. Bagus untuk permulaan. "Kutunggu jawabanmu setelah kuliah sore ini," ucap Jungkook sembari berbalik dan melangkah pergi. "Aku hanya tak ingin tinggal serumah dengan orang yang menganggapku orang asing," tambah Jungkook tanpa memandang Taehyung. Yang bisa dilakukan Jungkook sekarang hanya berharap semoga Taehyung menyetujui ajakannya.


 

Jungkook benar-benar tak bisa berkonsentrasi pada kuliahnya selama sisa hari itu. Ia tak mengerti kenapa mendadak jawaban Taehyung terasa begitu penting. Ia sama sekali tidak menyimak apa yang sedang Mr. Crane jelaskan di depan kelas, sesuatu yang berhubungan dengan tempo dan Jungkook yakin sudah pernah dibacanya di suatu tempat. Dan ketika bel tanda kuliah usai berbunyi, Jungkook langsung melesat keluar dari kelas, setengah berlari menuju ke kelas Taehyung.

Dia tidak terlambat. Ketika ia sampai di ambang pintu kelas Taehyung, sama sekali belum ada yang keluar, semuanya masih mengemasi barang-barang mereka, menunggu Mrs. Wilson keluar lebih dulu. Jungkook menunggu dengan sabar, dan ketika akhirnya Taehyung melangkah keluar, Jungkook tak bisa menahan diri untuk tidak menarik lengan Taehyung ke arahnya, mengabaikan penolakan dari tubuh Taehyung dan tatapan tak senang yang menyusul kemudian.

Jungkook buru-buru melepas pegangannya begitu mereka sudah berada di tempat parkir, tepat di sebelah Ducati Jungkook, dan jauh dari orang-orang. Dulu, menyentuh Taehyung adalah suatu hal biasa, tapi semenjak lima bulan terakhir, Jungkook merasa ia akan mendapat dosa besar kalau melakukannya.

"Kau mau datang?" tanya Jungkook tanpa basa-basi.

Taehyung menggaruk belakang kepalanya yang tak gatal. "Kurasa… ya."

Dan Jungkook harus menahan kakinya untuk tetap menempel di tanah karena dia nyaris saja melompat kegirangan. Apa yang terjadi dengan dirinya?

Jungkook berdehem. "Oke, kalau begitu kita pulang." Jungkook menyodorkan helm-nya pada Taehyung, yang dibalas dengan tatapan penuh tanya.

"Buat apa pakai helm kalau kita naik mobil?" tanya Taehyung, masih memandang helm yang disodorkan Jungkook dengan ekspresi heran.

Jungkook menyorongkan helmnya ke dada Taehyung, memaksanya untuk menerimanya dan dia memakai helm-nya sendiri sambil menaiki Ducati-nya. "Aku memutuskan untuk menjual mobilku dan menggantinya dengan motor untuk meminimalisir traffic jam."

Taehyung melongo ketika otaknya mulai bisa mencerna apa yang Jungkook katakan. Ia memandang Ducati Jungkook dengan mata birunya yang membulat, dan kemudian mengalihkannya ke Jungkook yang sudah menyalakan mesin motornya, siap pergi. Taehyung benar-benar mengalami pergolakan batin yang amat sangat menyiksa saat itu. Tapi akhirnya Taehyung memutuskan untuk mendudukkan diri di belakang Jungkook, keputusan yang sangat disesalinya ketika akhirnya Jungkook memacu motornya meninggalkan tempat parkir LACM. Ia menyesal karena keputusan itu membuatnya menyadari sesuatu yang selama ini ditolaknya.


 

July 22nd, 2016.

Dua dari spekulasi Jungkook berjalan lancar. Yang pertama, Taehyung menerima ajakannya. Yang kedua, Taehyung mempertipis tamengnya. Efek dari berkurangnya tameng yang Taehyung kerahkan adalah, memudarnya tatapan frustasi yang selalu Taehyung tujukan ke Jungkook setiap saat, begitu pula dengan gestur penuh intimidasinya. Yang kurang adalah, menghapus kecanggungan di antara mereka.

Jungkook menyenandungkan lagu pop yang didengarnya melalui iPod-nya. Tinggal beberapa jam lagi sebelum pesta Charlotte mulai, dan dia memutuskan untuk mengurung diri di kamar sementara Taehyung bermain freesbe bersama Kucing di halaman. Jungkook berniat untuk datang telat ke pesta Charlotte itu, mungkin sejam sebelum pesta usai. Ia sedang sibuk memikirkan tentang apa saja yang perlu diklarifikasinya dengan Taehyung malam ini, tapi kemudian dia mendengus. Kenapa hanya karena sebuah, oke tidak, dua ciuman yang dilakukannya hanya karena dorongan insting lima bulan lalu membuat keadaan jadi serba salah begini? Ia sebenarnya sudah berniat melupakan kejadian itu, tapi Taehyung malah membuatnya selalu ingat dengan semua proteksi dirinya. Sikap anti-pati Taehyung, tatapan-tatapan frustasi-nya, gestur intimidasinya, semuanya malah membuat ingatan itu melekat kuat di sel-sel otak Jungkook. Dan hal pertama yang akan ditanyakannya malam ini adalah, apa yang membuat Taehyung bersikap seperti itu.

Seandainya saja Jungkook lebih peka.


 

Taehyung melompat turun dari motor Jungkook begitu mereka tiba di depan rumah Charlotte yang penuh dengan hingar-bingar pesta khas remaja Amerika. Jungkook tersenyum tipis. Pilihannya untuk menitipkan mobilnya di tempat Vincent tepat. Setidaknya dengan naik motor, Taehyung takkan bisa menamengi dirinya seperti yang biasa dilakukannya setiap kali dia naik mobil bersama Jungkook. Walaupun Jungkook masih bisa merasakan tubuh Taehyung yang menegang tiap kali berada di boncengan, seakan mewaspadai semua gerak-gerik Jungkook.

Jungkook mendahului Taehyung berjalan ke pintu depan rumah Charlotte, dan langsung membuka pintunya, mengecek seberapa ramai di dalam.

Tapi ia segera membeku begitu melihat apa yang terjadi di dalam. Taehyung pun mematung di belakangnya.

Pesta itu sangat ramai. Charlotte mengundang cukup banyak orang. Tapi tak perlu seorang jenius untuk tahu jenis orang macam apa yang diundang Charlotte ke pestanya, yang bisa membuat Jungkook dan Taehyung membeku di ambang pintu dengan gampangnya.

"Hai, Jungkook! Hai, Taehyung!" sapa Charlotte yang mendadak muncul entah darimana. "Kalian satu-satunya pasangan yang sudah menikah di sini, jadi kuharap kalian bisa memberikan pengaruh baik kepada yang lain untuk berhenti bermain-main. Masuklah!"

Semua yang hadir dalam pesta Charlotte adalah pria, dan bahkan tanpa penanda apapun semua orang juga tahu kalau mereka… gay. Yep, Charlotte mengadakan pesta gay sebagai peringatan ulang tahunnya.


 

Dua menit dalam rumah Charlotte.

Jungkook dan Taehyung merasa jengah. Suasana di sini benar-benar membuat bulu kuduk meremang. Sepasang cowok dimana-mana, sedang melakukan sesuatu yang bahkan Jungkook lihat pun enggan. Satu-satunya wanita di tempat itu hanya Charlotte. Sekarang Jungkook paham apa arti tatapan Charlotte padanya, gadis itu adalah pendukung kaum marginal seperti yang sedang berkumpul di pestanya ini.

"Kookie…" Taehyung menarik lengan jaket Jungkook, membuat Jungkook berjengit. "Kurasa aku mual. Ayo pergi dari sini."

Jungkook mengangguk dan mereka berdua menyelinap ke pintu keluar, sama sekali tidak berpamitan pada Charlotte yang asyik sendiri. Mereka berdua tidak berhenti berlari sampai mereka mencapai Ducati Jungkook. Dan tanpa dikomando, Jungkook langsung memacunya meninggalkan rumah Charlotte.

Seharusnya Jungkook sudah menduganya. Undangan yang disampaikan melalui Vincent… pesan untuk mengajak Taehyung… Seharusnya ia sudah bisa menduganya sejak awal.

"Maaf tentang yang tadi," kata Jungkook, sedikit berteriak untuk mengalahkan deru angin. "Aku sama sekali tidak tahu kalau—"

"Lupakan," balas Taehyung.

Dan Jungkook merasa aliran darahnya makin cepat ketika merasakan napas hangat Taehyung menyapu tengkuknya. 'Sedekat itukah…'


 

Alih-alih kembali pulang ke apartemen mereka, Jungkook menghentikan Ducati-nya di sebuah taman berjarak kira-kira dua kilometer dari tempat Charlotte. Sama sekali tak ada orang di taman itu. Jungkook menoleh ke arah Taehyung yang masih duduk di belakangnya. "Oke?" tanyanya, sangat ambigu. Tapi entah bagaimana Taehyung tahu kalau yang dimaksud Jungkook adalah, "Apa tidak apa-apa bagimu kalau kita bicara di sini saja?" Dan Taehyung memberikan anggukan singkat seraya turun dari motor sebagai jawaban.

Jungkook menghembuskan napas puas seraya melepas helm-nya. Ia merasa sangat perlu untuk memperlakukan Taehyung dengan hati-hati akhir-akhir ini. Dia tak ingin salah langkah. Bisa-bisa semua rencananya gagal total dan Taehyung tetap ingin pergi. Jungkook terhenyak selama beberapa detik. 'Bukankah seharusnya tak masalah bagiku kalau dia ingin pergi?' Jungkook meletakkan helm-nya di atas jok motornya dan menoleh ke arah Taehyung, tapi Taehyung yang semula masih berdiri di belakangnya sudah lenyap, pemuda itu sudah mendudukkan diri di sebuah ayunan kosong sambil menengadah menetap langit.

Jungkook hanya bisa memandang Taehyung saat itu. Sama sekali tak berkedip.

Sampai Taehyung menurunkan kepalanya dan mata hazelnya bertemu pandang dengan Jungkook. Jungkook segera mengalihkan pandang dan berjalan pelan ke arah Taehyung dengan kedua tangan berada di saku celana jeans-nya.

"Apa yang ingin kau bicarakan?" tanya Taehyung, langsung pada intinya begitu Jungkook sudah mendudukkan diri di ayunan kosong di sebelahnya.

Jungkook menoleh untuk memandang Taehyung, dan merasa kalau hatinya mencelos ketika melihat Taehyung sudah kembali menengadah ke langit. "Aku…" Jungkook mengarahkan pandangannya ke tanah berumput di bawahnya. "Aku hanya ingin tahu kenapa kau memberikan kesan seolah kau sedang menghindariku selama lima bulan terakhir. Sejak… kau tahu." Jungkook membiarkan kalimatnya menggantung.

Ia bisa mendengar Taehyung menghela napas di sebelahnya. "Kenapa kau ingin tahu? Kurasa itu tak penting bagimu."

Jungkook kembali menoleh menatap Taehyung, memandangnya dengan tatapan tajam, tak peduli pemuda itu masih belum memandangnya. "Kurasa aku yang bertanya di sini, Tae. Jadi jawab saja dan jangan balik bertanya."

Taehyung kembali menghela napas. "Entahlah."

Jungkook mengangkat sebelah alis. "Apanya yang 'entahlah'?"

Taehyung mencibir, masih belum memandang Jungkook. "Entahlah, Kookie-ah. Aku juga tak tahu kenapa aku berusaha menghindarimu. Aku tak tahu jawabannya. Hanya saja instingku menyuruhku begitu."

Ini sama sekali bukan jawaban yang diinginkan Jungkook. Ia ingin penjelasan detail, bukan ketidaktahuan seperti ini. Tadinya ia berpikir kalau Taehyung sudah menjawab satu pertanyaan sepele dari Jungkook barusan, masalah Jungkook juga akan selesai. Tapi ternyata dugaannya itu sia-sia. Taehyung kembali menimbulkan pertanyaan baru. Ia sama tidak tahunya dengan Jungkook.

"Dan kau mempercayai instingmu begitu saja?"

"Kau ini cowok apa bukan?" cerca Taehyung, tak bisa menyembunyikan nada sinis dalam suaranya. "Cowok hidup mengandalkan insting, Pabo. Sebagai informasi kalau kau belum tahu."

Jungkook mendengus, mengangkat tangan kanannya untuk meninju bahu Taehyung karena telah berani mengejeknya, tapi yang dilakukan tangan itu sama sekali bertolak belakang dengan niat Jungkook. Tangan kanan Jungkook malah mengacak rambut merah Taehyung pelan.

Jungkook terkesiap. Begitu pula Taehyung. Ia cepat-cepat menyingkirkan tangannya dari kepala Taehyung, memasukkannya ke dalam kantong jaketnya. Jungkook berdehem pelan.

Taehyung menelengkan kepalanya, menatap kakinya yang diluruskan. "Hanya itu yang ingin kau tanyakan?" Ia mencoba mengalihkan pembicaraan.

Ini hanya perasaan Jungkook saja atau memang Taehyung menjadi sedikit salah tingkah?

"Aku ingin tahu jawabanmu dengan jujur," Jungkook angkat bicara. "Apa yang kau rasakan ketika aku menciummu Februari lalu?" entah apa yang merasuki Jungkook hingga pertanyaan itu bisa mengalir dengan lancar. Jungkook merasakan jantungnya berhenti berdegup selama beberapa saat setelah kalimat itu terlontar dari mulutnya. Ia juga bisa merasakan tubuh Taehyung menegang.

"Aku tidak merasakan apa-apa," jawab Taehyung, terlalu cepat. Membuat Jungkook melupakan kegugupannya dan langsung menoleh ke arah Taehyung. "Lalu kenapa kau menghindariku kalau kau tidak merasakan apapun?" todongnya.

"Sudah kubilang itu insting," jawab Taehyung dengan nada mengeluh yang dibuat-buat. "Lagipula apa reaksi yang kau harapkan dari seorang cowok normal yang tiba-tiba kau cium di tengah hujan deras? Pernyataan cinta?" ejeknya.

Jungkook menyipitkan matanya. "Tapi kau sama sekali tidak menolak ciumanku, Taehyung," sergah Jungkook, memanggil nama pemuda di sebelahnya dengan benar untuk pertama kalinya. "Itu sama sekali bukan reaksi yang kuharapkan dari seorang cowok normal yang kucium di tengah hujan."

Tepat sasaran.

Taehyung yang semula menggerak-gerakkan ayunannya perlahan menghentikan gerakannya itu. Ia tampak membeku begitu mendengar kalimat Jungkook.

"Itu…" ia mencoba menyanggah. "Itu…" Tapi tak ada kalimat yang menyusul keluar kemudian.

"Well I didn't mean for this to go as far as it did," potong Jungkook. Sama sekali tak ingin memaksa Taehyung menjelaskan. Ketaksanggupan Taehyung sudah berarti banyak untuknya. "Aku hanya ingin kecanggungan kita berakhir. Bukan masalah besar kalau aku menciummu Februari lalu. Toh kita memang sudah menikah, aku berhak melakukan apapun."

Taehyung memandang Jungkook dengan ekspresi horor begitu mendengar kalimat terakhirnya.

"Eh, maksudku bukan yang seperti itu. Jangan berpikir yang macam-macam," koreksi Jungkook cepat.

Taehyung menghela napas, kembali menggerak-gerakkan ayunannya. Ia mulai rileks. Tapi Jungkook menyadari ada sedikit sorot sedih di matanya yang sama sekali tak Jungkook pahami.

"Kenapa?" tanya Jungkook spontan, bahkan tanpa berpikir.

Taehyung menoleh ke arah Jungkook dengan tatapan penuh tanya.

"Kenapa ekspresimu selalu begitu akhir-akhir ini?" ulang Jungkook, menunjuk wajah Taehyung. "Sedih, frustasi, marah, kesal, putus asa. Semuanya seakan terangkum menjadi satu. Kenapa?"

Mata hazel Taehyung membulat begitu mendengar detail dari pertanyaan Jungkook. "Kau bisa menerjemahkan ekspresiku sejauh itu, tapi sama sekali tak bisa menebak apa yang terjadi denganku?" Taehyung menyuarakan pemikirannya.

Jungkook mengerutkan keningnya. "Tidak. Aku tidak bisa menebaknya. Apakah harus?"

Taehyung kembali mencibir. "Aku tak bohong tentang perkataanku Februari lalu."

Jungkook merasa tertohok. "Bagian kau menyukai Ashley?"

"Bukan, Pabo," kata Taehyung. "Aku tidak menyukai gadis itu. Aku tak bohong tentang aku yang menganggapmu tak punya perasaan."

Jungkook mencegah dirinya sendiri untuk tidak ternganga di depan Taehyung. "Oke," ucapnya. "Aku memang tidak punya perasaan. Terserah apa katamulah."

"Tapi ternyata kata-kataku salah," tambah Taehyung kemudian. Ia tersenyum kecil, membuat Jungkook kembali ingat sensasi yang dirasakannya ketika beberapa saat lalu memandang Taehyung yang sedang menengadah menatap langit. "Kau memang tidak peka, tapi kau cukup punya perasaan. Kalau kau tidak punya perasaan, kau pasti akan membiarkan kecanggungan kita terus berlangsung, dan kau juga tidak akan memperhatikan ekspresiku seperti tadi."

Jungkook merasa wajahnya memanas. Tidak cukup untuk menimbulkan rona di kulit pucatnya, tapi cukup untuk membuatnya mengalihkan pandang dari Taehyung.

"Yah…" kata Taehyung lagi. "Kurasa juga tak ada gunanya mendiamkanmu lebih lama dari ini. Hal itu juga membuat Kucing tak nyaman. Lagipula, kita berdua normal, kan?" tanyanya seraya terkekeh pelan.

Jungkook membiarkan otot-otot wajahnya mengendur dan menjawab, "Ne. Kita berdua normal."


 

Setelah pembicaraan mereka usai dan kebekuan mereka cair, Jungkook dan Taehyung sama sekali tidak beranjak dari ayunan itu. Mereka masih di sana, membicarakan hal-hal kecil.

"Hey, Kookie," ucap Taehyung. "Kau masih ingat lagu yang kau nyanyikan sewaktu aku sekamar denganmu itu?"

Di luar dugaan, Jungkook sama sekali tak perlu bersusah payah untuk mengingat. Ia bahkan masih ingat detailnya. "Ne. Kenapa?"

"Apa judul lagunya?" tanya Taehyung kemudian.

"Fly Me To The Moon. Versi aslinya dibawakan oleh Frank Sinatra."

Taehyung mengangguk-angguk. "Aku suka lagu itu," komentarnya, tertawa pelan. "Dan aku juga sangat suka Whither grief-mu. Aku terus memainkannya dengan biolaku akhir-akhir ini."

"Aku juga terus memainkan Path To You All-mu akhir-akhir ini."

Fakta itu membuat mereka berdua saling bertukar pandang dan kemudian terbahak. Terbahak hanya untuk Taehyung sebenarnya, Jungkook cuma mendengus geli.

"Ngomong-ngomong," kata Jungkook, seakan baru teringat sesuatu. "Dulu, waktu kita dalam perjalanan untuk charity concert di Swiss, beberapa hari sebelum pernikahan kita kurasa…" Jungkook berhenti sebentar untuk mengamati ekspresi Taehyung, memastikan ia ingat kapan yang dimaksud. Setelah Taehyung mengangguk, Jungkook kembali melanjutkan, "Aku sedang bermain piano di ruang rehearsal di Star Cruiser saat itu. Lalu tiba-tiba kau sudah berada di dalam ruangan, bertepuk tangan untuk Eroica-ku. Ingat?" tanya Jungkook. Taehyung mengangguk lagi, cengiran lebar terlukis di wajahnya. "Yang aku ingin tahu adalah…" Jungkook memandang mata Taehyung. "Bagaimana kau tahu pasti kalau aku yang sedang bermain di dalam ruangan itu kalau pintunya tertutup? Seingatku kau mengatakan kalau kau kebetulan lewat, kemudian mendengarku bermain lalu memutuskan untuk nonton. Jadi kau bisa mengenali permainanku hanya dengan mendengarnya? Padahal aku belum terlalu sering bermain di depanmu saat itu. Hal itu sudah membuatku penasaran selama berbulan-bulan."

Taehyung mengerucutkan bibirnya dan berpikir sebelum menjawab, "Mungkin juga," gumamnya tak yakin. "Tapi seingatku saat itu, aku mendengar suara piano di koridor dan tiba-tiba saja perasaanku mengatakan kalau itu kau. Jadi aku memutuskan untuk masuk dan mengecek. Ternyata itu benar kau. Tapi entahlah," tambahnya. "Aku sudah pernah bilang kalau permainanmu memberikan rasa nyaman di sini, kan?" tanyanya sambil menunjuk dadanya, tempat jantungnya berada. "Dan perasaan nyaman itulah yang selalu kudapat tiap mendengarmu bermain. Perasaan nyaman yang tak bisa kudapat bahkan ketika aku mendengarkan permainan piano dari pianis manapun. Hanya darimu. Jadi kurasa aku pasti akan bisa menebak itu kau kapanpun kau bermain dan separah apapun permainanmu," jelasnya sambil tertawa geli. "Cukup aneh ya?"

Jungkook tak mengerti. Dia tiba-tiba merasa amat sangat bahagia begitu mendengar penjelasan Taehyung barusan. Perasaan bahagia yang bahkan belum pernah dia alami seumur hidupnya. Secara refleks, sudut-sudut bibirnya terangkat ke atas dan dia mengangguk. "Sangat aneh," tanggapnya, sambil mengeluakan iPod-nya daru saku celana jeans-nya. Kebiasaan barunya untuk mendengarkan lagu-lagu pop yang sama sekali bukan alirannya muncul lagi.

Taehyung mengangkat alis, mengamati Jungkook yang memasang earphone di telinganya. "Aku memperhatikan itu," celetuknya. "Kau tak pernah lepas dari iPod-mu akhir –akhir ini," intonasi Taehyung sedikit berubah ketika mengucapakan 'akhir-akhir ini', membuat Jungkook tahu yang dimaksudnya adalah 'semenjak Februari lalu', "dan aku juga memperhatikan yang kau dengarkan bukan lagu klasik spesialisasimu karena kadang kau menyanyikan liriknya. Lagu klasik sama sekali tidak mempunyai lirik." Taehyung menyipitkan matanya kali ini, masih mengamati Jungkook yang hanya tersenyum simpul sembari menyanyikan lirik lagu yang didengarnya dengan lirih. "Sebenarnya apa yang kau dengarkan?" tanya Taehyung akhirnya, penasaran.

Jungkook tidak menjawab. Ia hanya melepas sebelah earphone-nya dan menyodorkannya ke Taehyung. Taehyung menerima itu dengan ekspresi agak heran dan memasangnya di telinganya untuk mendengar sendiri apa yang sebenarnya Jungkook dengar.

Sebuah nada lagu pop yang sangat catchy namun berkesan sedih di saat bersamaan, terdengar di telinga kiri Taehyung. Sentuhan rap pada intro lagu membuat Taehyung sedikit mengerutkan dahinya. Bukan berarti dia tak suka, dia suka semua jenis musik, bahkan jenis musik hard metal yang menurut sebagian orang tak layak dengar, tapi ia sama sekali tidak menyangka Jungkook bakal suka jenis musik RnB macam begini. Taehyung mulai menikmati tiap alunan nadanya, yang pasti bakal terasa sangat manis bila ia memainkannya dengan biolanya. Begitu bagian rap selesai, Jungkook juga mulai menyanyikan bagian clear-nya, dan entah kenapa suara Jungkook terdengar lebih jelas di telinga Taehyung daripada penyanyi aslinya.

Taehyung menoleh ke arah Jungkook, ingin tahu bagaimana ekspresi Jungkook ketika sedang menyanyikan lagu itu. Ia sedikit terperangah ketika menyadari Jungkook tersenyum kecil. Jungkook masih terus mendendangkan lagu itu, dan kemudian, tiba-tiba Jungkook menoleh ke arahnya, membalas tatapannya, dan saat itu pula, lirik yang Jungkook nyanyikan adalah…

"I love you's the only beginning…"

Dan saat mereka pandangan mereka bertemu, Jungkook berhenti bernyanyi.


 

'Pernahkah kau merasakan waktu di sekitarmu seakan berhenti? Semuanya tiba-tiba menjadi sunyi senyap, tak ada suara yang terdengar, semuanya serasa tidak eksis. Hanya sepasang mata sehangat senja itulah yang eksis. Sepasang mata hazel yang ada di hadapanku saat itu…'

 

Jungkook langsung melepas earphone di telinganya dengan gerakan yang sangat mendadak, membuat earphone di telinga Taehyung ikut terlepas. Ia baru sadar kalau nafasnya sedikit memburu. Taehyung juga langsung mengalihkan pandangannya ke arah langit di atasnya sama mendadaknya seperti Jungkook.

Jungkook merasa ada sesuatu yang menghantam jantungnya sangat keras beberapa saat lalu, tapi hantaman itu menghilang sama cepatnya dengan mulainya. Dan yang tersisa sekarang hanya jantungnya yang terus berdetak tak beraturan. Ia mematikan iPod-nya, dan mengantonginya.

Taehyung bangkit berdiri. "Kurasa sudah cukup larut. Sebaiknya kita pulang. Kucing menunggu."

Jungkook menggumamkan 'Ne'-nya seperti biasa, menyusul Taehyung yang sudah berjalan lebih dulu ke arah Ducati Jungkook yang diparkir tak jauh dari tempat mereka duduk. Jungkook menyalakan mesin motornya dan menyuruh Taehyung naik tanpa memandangnya, langsung memacu motornya menuju ke apartemen mereka.


 

Waktu serasa melayang di sekeliling Jungkook. Ia sama sekali tidak ingat perjalanan pulang. Tampaknya ada sesuatu yang telah di skip dari memori otaknya. Yang ia ingat hanya mereka tiba-tiba sudah sampai di depan pintu apartemen Jungkook di lantai tiga, Jungkook membuka kuncinya dan membiarkan Taehyung masuk lebih dulu. Ia berjalan ke kamarnya sendiri setelah sebelumnya kembali mengunci pintu apartemennya, merasa seperti selongsong kosong. Benar-benar ada yang aneh pada dirinya.

Ia hendak masuk ke kamarnya ketika disadarinya Taehyung menjulurkan separuh badannya keluar dari balik pintu kamarnya sendiri di seberang ruangan.

"Kookie," panggilnya, membuat Jungkook menoleh. "Terima kasih untuk hari ini," ucapnya disertai senyum kotaknya dan kemudian langsung menghilang ke dalam kamarnya.

Jungkook membeku. Taehyung sudah biasa mengucapkan kata terima kasih, tapi melihat senyum kotak yang berbulan-bulan tidak dilihatnya itu rasanya...

Dan tiba-tiba saja Jungkook merasakan perasaan bahagia tak jelas yang baru saja dirasakannya di taman beberapa jam lalu.


 

JK's journal, July 23rd, 206. Dini hari.
Konyol sekali aku menulis jurnal dini hari begini. Tapi aku terserang insomnia akut. Mataku sama sekali tak mau terpejam. Yang terpikir di otakku saat ini hanyalah, menyebalkan sekali si Alien di kamar sebelah itu. Dia telah membuatku menderita selama berbulan-bulan, tapi bisa membuatku bahagia hanya dengan beberapa kata dan sebuah senyuman kotak. Ya, dia sangat menyebalkan. Kesalahan kesembilannya ini teramat sangat menyebalkan.

Bersambung....

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
deuthie
#1
Chapter 14: Author aku udah baca ff ini lama bgt pengen komen tapi harus login, sekarang baru buat akunnya hehe...
aku suka sama ceritanya bagus dan detil banget ngejelasin soal musik huhu tapi kenapa sad ending ya? sedih si jk gitu amat.. cuma aku agak bingung sama pas bagian junghyun-nya ku pikir dia punya maksud terselubung /? sama si taehyung tapi ternyata pas dia balik ke korea gak ada apa2 lagi .-.
yep_permata #2
Chapter 14: Kok sedih akhirnya :((((
yep_permata #3
Chapter 5: yeayyyy semoga kuki hatinya terbuka buat tae segera hihi
veetaminbee #4
Chapter 3: halloo authornimmm ^^
aku baru nemu ff nya jadi aku review di updatean terakhirnya yang ini/?
suka banget ff nya, jalan ceritanya juga, hm apa nanti mereka bakal melanggar kontrak? iya dong yakan xD tapi kalo keluarganya jungkook malah setuju gimana._. penasaran kan, ditunggu kelanjutannyaaa
yep_permata #5
Chapter 3: Next chapt pleasee