Rumah

HOLD ME TIGHT

October 9th, 2016

Masih di hari yang sama, dengan mood Jungkook yang benar-benar berbeda. Baru beberapa jam lalu ia menerima telepon dari Mr. Spark kalau dia mungkin akan direkrut oleh komponis ternama, baru beberapa jam lalu dia merasakan euforia yang teramat sangat besar bahwa cita-citanya seumur hidup mungkin akan terwujud hanya dalam hitungan minggu; dia akan merintis karir di dunia profesional.

Dan sekarang dia harus terbangun dengan kenyataan; cita-citanya mungkin akan terwujud sebentar lagi, tapi hasratnya akan kandas begitu saja, bahkan sebelum ia mulai berusaha untuk memenuhinya.

Dan karena itulah sekarang Jungkook memainkan grand piano-nya yang ada di ruang tengah seperti kesetanan, mencoba untuk tidak mengasihani, atau bahkan mengutuk dirinya sendiri. Sementara Taehyung yang tentu saja tidak memahami apa yang sedang bergejolak di dada Jungkook, membaca majalah dengan tenang di sofa dalam ruangan yang sama, menganggap Jungkook, yang bahkan tidak memberi jeda untuk permainannnya barang semenit pun itu, sedang terlalu bersemangat untuk latihan karena dirinya bakal segera terjun ke dunia pro.

Jungkook baru saja menyelesaikan Hana's Eyes, dan langsung memasuki intro lagu lain.

"Apa judul lagu yang ini?" celetuk Taehyung tiba-tiba. Ia mendongak dari majalah yang sedang dibacanya, menatap Jungkook.

Jungkook yang bahkan tidak berhenti bermain saat jam makan malam, membiarkan Taehyung makan malam sendiri bersama Kucing, langsung menghentikan tarian jari-jari pucatnya di atas tuts-tuts piano. Ia tidak membalas tatapan Taehyung. "Like Now," jawab Jungkook singkat.

"Hm…" Taehyung mengangguk-angguk, sama sekali tidak memberikan komentar lain, kembali menunduk menatap majalahnya.

Jungkook menghela napas, melanjutkan lagunya yang terputus. Ia tak mengerti kenapa ia bisa sefrustasi ini. Ia menganggap dirinya akan baik-baik saja Januari tahun lalu, ketika ia meminta Taehyung untuk menikahinya. Ia merasa semuanya akan berjalan lancar sesuai dengan rencananya yang tampak matang. Keluarganya membuangnya, ia bisa menekuni hidupnya sebagai pianis dengan tenang, dan setelah semuanya beres, Jungkook akan berpisah dengan Taehyung. Farewell. Sederhana. Tapi pada kenyataannya tidak sesederhana itu. Ada sesuatu yang lebih kompleks yang bahkan tak bisa Jungkook jelaskan dengan kemampuan otaknya yang di atas rata-rata.

Yang Jungkook paham, ia hanya ingin tetap seperti sekarang ini.

Seperti sekarang, ketika ia bermain piano di ruang tengahnya di apartemennya di LA.

Seperti sekarang, ketika ia mulai menyadari kalau ia bisa memandang dunia dengan sudut pandang yang lebih baik ketika bersamanya.

Seperti sekarang, ketika ia bersama Taehyung.

Secara refleks, Jungkook mendongakkan kepalanya untuk menatap Taehyung ketika pikiran tentang pemuda-senyum-kotak itu melintas di benaknya. Dan saat itulah Jungkook melihat kalau Taehyung sama sekali tidak membaca majalahnya. Ia hanya menunduk memandang lembar yang terbuka di atas pahanya, dengan sorot mata yang membuat Jungkook menghentikan gerakkan jemarinya.

Taehyung yang tidak protes karena Jungkook berhenti bermain menandakan kalau ia terlalu sibuk dengan pikirannya.

"Tae," panggil Jungkook. Yang dipanggil tidak menyahut, masih tetap menunduk. "Tae," panggil Jungkook sekali lagi dengan volume yang lebih keras. Taehyung langsung menoleh ke arahnya dengan cepat dan nyengir kotak, menghapus ekspresi ganjil di wajahnya beberapa saat lalu.

"Ya?" tanyanya dengan nada riang.

Jungkook meneliti ekspresi Taehyung selama beberapa saat. 'Apa yang tadi dipikirkannya?'

"Kookie?" panggil Taehyung kali ini, merasa sedang dikerjai Jungkook karena pemuda emo itu sama sekali tidak menjelaskan kenapa tadi dia memanggilnya.

"Nope," jawab Jungkook dan menggeleng pelan. Taehyung memandang Jungkook heran. Tidak biasanya Jungkook membuang-buang kata seperti itu. Jungkook selalu bicara seperlunya.

Jungkook kembali menekan tuts-tuts pianonya, memainkan lagu yang baru ia selesaikan kemarin, If I Could Stop The Time. Seperti keinginan Jungkook sekarang ini. Seandainya kata-kata itu bukan sekadar judul. Seandainya Jungkook benar-benar bisa menghentikan waktu.

"Boleh aku mengakui sesuatu?" ucap Taehyung ketika Jungkook mengakhiri If I Could Stop The Time. Rupanya pemuda itu terus mengamati Jungkook sepanjang lagu.

Jungkook langsung mendongak cepat ke arah Taehyung, disertai dengan jantungnya yang terasa berdetak berkali-kali lebih cepat. 'Apa yang ingin diakuinya? Oh, ayolah, Jungkook, kau tidak bisa berharap banyak…'

"Ne," tanggap Jungkook, mencoba menenangkan dirinya. Ia menurunkan kedua tangannya dari atas tuts karena takut tergelincir, jari-jarinya gemetar lumayan hebat saat ini, menanti dengan tegang kalimat apa yang akan terlontar dari mulut Taehyung.

"Aku tahu ini terdengar konyol," Taehyung memulai. "Kita… yah… kita akan berpisah dalam beberapa bulan." Jungkook mencelos. Ternyata bukan hanya dia yang memikirkan tentang itu. Taehyung mengangkat bahu dan tertawa getir. "Aku tahu aku sudah membuatmu sangat sebal, aku takkan heran kalau kau ternyata punya catatan tersendiri tentang seberapa besar kau membenciku."

'Oh ya, aku memang punya catatan tersendiri untuk itu.'

"Tapi…" ia melanjutkan, "aku cuma ingin mengakui kalau…" Taehyung tampak ragu sesaat, "kalau aku tak ingin kau melupakan ini semua."

Jungkook terkesiap. Taehyung juga tampaknya menyesali kalimat terakhirnya.

"Oke, aku tahu aku terdengar amat konyol," Taehyung mengaku, terselip nada putus asa dalam kalimat barusan. "Tapi… yah… aku cuma ingin mengakui itu. Kalau semisal kau—"

"I promise not to forget," potong Jungkook, membuat Taehyung membelalakkan mata hazelnya. Jungkook tersenyum kecil pada Taehyung, tak terlalu berharap kalau Taehyung menyadari ia sedang tersenyum padanya. Tapi ternyata Taehyung juga tersenyum, kemudian terkekeh pelan.

Taehyung baru saja meminta Jungkook untuk tidak melupakannya. Oke, konteks kalimatnya memang lain, tapi itulah yang Jungkook tangkap. Taehyung tidak ingin ia melupakan dua tahun terakhir bersamanya, Taehyung tidak ingin ia melupakannya.

Jungkook memandang jemarinya yang tergeletak di atas pahanya, dan menyadari kalau telapak tangannya berkeringat. Ia mendengus geli karena kegugupannya yang tak penting. Jungkook melirik jam digital di atas perapian elektriknya. Pukul 00.01 dini hari. Tanggal 10 Oktober.

Jungkook segera mengalihkan pandangannya ke Taehyung yang masih terkekeh-kekeh sendiri, geli dengan pengakuan yang menurutnya konyol barusan, sambil kembali membaca majalahnya dengan sorot mata yang jauh berbeda dengan sorot matanya beberapa saat lalu.

"Dobe," panggil Jungkook lagi. Ia sudah meletakkan kesepuluh jarinya di atas tuts piano.

Taehyung mendongak dengan tatapan bertanya.

"Aku juga punya sesuatu untukmu," kata Jungkook lagi. Ia menekan tuts piano-nya dengan perasaan yang sangat berbeda dari beberapa saat lalu, kembali memainkan sebuah lagu hasil aransemennya yang memang sudah cukup lama ia selesaikan, namun sama sekali belum diberinya judul.

Ia sesekali melempar pandang ke arah Taehyung di sela-sela permainannya, sementara Taehyung duduk diam di sofa, mengamatinya dengan serius dan senyum penuh kekaguman. Atmosfer dalam lagunya yang ini, menurutnya, sangat aneh. Ceria, sekaligus sedikit melankolis di saat bersamaan. Ia belum pernah membuat lagu dengan atmosfer tidak jelas seperti itu sebelumnya.

Jungkook tersenyum kecil ketika melihat sorot mata Taehyung yang tampak berbinar di beberapa bagian lagu yang menurutnya sangat indah. Dan ketika Jungkook selesai, Taehyung bangkit dari sofa dan bertepuk riuh.

"Aku belum pernah dengar lagumu yang itu sebelumnya!" ucapnya bersemangat.

Jungkook menutup grand piano-nya. "Yang itu tadi hadiah untukmu," tanggapnya seraya bangkit berdiri dari duduknya juga.

Tepukan Taehyung berhenti dan ia sedikit melongo. "Untukku? Wow…" gumamnya, merasa tersanjung. "Apa judulnya?" tanyanya dengan senyum lebar.

Jungkook berpikir selama beberapa detik, dan menjawab, "Rumah." Ya. Itu judul yang sangat cocok untuk lagu itu.

Taehyung memandang Jungkook. "Aku jadi merasa nyaman sekaligus rindu saat mendengarnya." seru Taehyung, sedikit heran dengan judul yang dipilih Jungkook.

Jungkook hanya memandang Taehyung dengan sedikit senyum di wajahnya ketika Taehyung menanyakan itu. Ia berjalan ke arah kamarnya, namun sebelumnya ia berhenti di hadapan Taehyung. "Karena itulah aku memutuskan itu judul yang tepat untuk lagu tadi, Tae. Rumah," jawab Jungkook absurd, mengacak rambut merah Taehyung sekilas sebelum menghilang ke balik pintu kamarnya.

Taehyung hanya terbahak mendengar penjelasan Jungkook.


JK's journal, January 2nd, 2017.
Ketika kau sangat mengharapkan datangnya sesuatu yang sangat kau idam-idamkan, tampaknya waktu berjalan seribu kali lebih lambat daripada biasanya. Tapi sebaliknya, ketika kau takut akan datangnya sesuatu, dan berharap waktu akan melambat agar kau bisa menunda datangnya sesuatu itu, maka waktu justru akan berjalan seribu kali lebih cepat dari biasanya.
Itulah yang sedang terjadi padaku. Tampaknya baru kemarin aku memainkan Rumah di hadapan Taehyung, tapi ternyata Oktober sudah berlalu dengan cepat. Aku menerima undangan dari Big Hit Orchestra pada pertengahan November, dan sudah resmi menjadi anggotanya sehari setelah Natal. Mr. Spark juga memberitahu jadwal wisudaku akan berlangsung pada bulan Januari, yang berarti akan berlangsung dalam waktu dekat ini.
Tapi semua itu hanya terlihat seperti hal-hal sepele di mataku sekarang. Beberapa hari lalu, ketika aku memberitahu Taehyung aku akan diwisuda bulan ini, Taehyung bersorak dan memberiku ucapan selamat dengan hebohnya, lalu mengatakan, "Mungkin hari wisudamu adalah waktu yang tepat untuk itu."
Aku tak perlu bertanya lebih jelas apa maksudnya. Ia menginginkan hari wisudaku sebagai sebagai hari perceraian kami juga. Dan saat itu aku bahkan tak punya kata-kata untuk membuatnya tetap tinggal seperti dulu, ketika aku menciumnya di bawah hujan. Maka aku hanya bisa mengangguk, menatap senyum lebarnya, mengamati sedikit kesedihan di mata hazelnya.
Aku tak bisa terus menerus membohongi diriku sendiri seperti ini. Aku tahu apa yang kurasakan, dan aku juga tahu apa yang Taehyung rasakan. Tak perlu ungkapan verbal. Tapi kami tak bisa merealisasikannya. Tak akan pernah bisa.
Sejak Oktober itu, semuanya tak pernah sama bagi aku dan dia. Aku sudah kehilangan kekuatan untuk terus menutupi apa yang kurasakan tiap kali memandangnya, tepat di hari ketika ia memintaku untuk tidak melupakan saat-saat bersamanya. Aku sudah tidak bisa menutupinya lagi.
Aku benar-benar berharap semuanya tidak berjalan sejauh ini. Aku tak menyangka aku akan menciptakan suatu kondisi dimana aku sangat tidak ingin membiarkannya pergi.
Banyak hal terjadi sejak Oktober itu. Kucing sudah tidak berlarian di apartemen kami (betapa aku sudah meleburkan egoku ke dalam kata 'kami') lagi sejak Natal. Taehyung memutuskan untuk memberikan anjing kesayangannya itu kepada Jimin yang mendapat beasiswa penuh untuk memperdalam studinya di sekolah khusus dance Australia. Dan sejak tak ada lagi Kucing, Taehyung mulai mengepak barang-barangnya.
"Aku akan pindah ke Korea Selatan begitu proses wisudaku selesai," kataku saat itu, mengamati Taehyung yang memasukkan koleksi komiknya ke dalam sebuah kardus. Aku menolak mengatakan 'proses perceraian kita'. "Kau tak perlu berkemas. Kau bisa memakai apartemen ini selama kau mau."
Taehyung mengabaikan tawaranku, ia hanya nyengir lebar dan menyahut, "Aku tak bisa."
Saat itu egoku menahanku untuk mengatakan, "Kau harus tetap tinggal di sini, Tae. Jadi aku akan selalu bisa menemuimu kalau aku kembali dari Korea." Aku tahu Taehyung ingin benar-benar berpisah dariku. Ia memutuskan untuk pindah juga karena tak ingin bertemu denganku lagi.
Mungkin sebaiknya memang aku membatalkan perceraian ini saja. Toh kalau kami tidak bercerai, segalanya mungkin akan lebih baik. Aku tak perlu kehilangan dia. Tapi sekali lagi, egoku menahanku. Aku terikat ucapanku dua tahun lalu, perjanjianku dengannya, yang dulu tampak sangat mudah untuk ditepati. Aku tak bisa memintanya tetap tinggal untuk yang kedua kali.
Tidak bercerai mungkin akan membuat segalanya lebih baik. Tapi perceraian adalah yang terbaik. Aku tak tahu apa perasaanku ini akan bertahan selamanya. Bagaimanapun perasaan bisa berubah kan? Aku tak ingin ketika aku tetap mempertahankan pernikahan ini, lalu perasaanku memudar, dan kami harus berpisah dengan cara yang jauh dari kata damai. Aku tak ingin itu terjadi. Maka tak ada cara lain.

 

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
deuthie
#1
Chapter 14: Author aku udah baca ff ini lama bgt pengen komen tapi harus login, sekarang baru buat akunnya hehe...
aku suka sama ceritanya bagus dan detil banget ngejelasin soal musik huhu tapi kenapa sad ending ya? sedih si jk gitu amat.. cuma aku agak bingung sama pas bagian junghyun-nya ku pikir dia punya maksud terselubung /? sama si taehyung tapi ternyata pas dia balik ke korea gak ada apa2 lagi .-.
yep_permata #2
Chapter 14: Kok sedih akhirnya :((((
yep_permata #3
Chapter 5: yeayyyy semoga kuki hatinya terbuka buat tae segera hihi
veetaminbee #4
Chapter 3: halloo authornimmm ^^
aku baru nemu ff nya jadi aku review di updatean terakhirnya yang ini/?
suka banget ff nya, jalan ceritanya juga, hm apa nanti mereka bakal melanggar kontrak? iya dong yakan xD tapi kalo keluarganya jungkook malah setuju gimana._. penasaran kan, ditunggu kelanjutannyaaa
yep_permata #5
Chapter 3: Next chapt pleasee