The Healing Time

Come Back to Me

Dalam diam, ia menangis—tanpa disadarinya. Hati Kris begitu sakit. Seolah, pisau tajam tengah mengoyak. Menghancurkannya tanpa sisa.

Hujan sudah reda. Hanya tersisa titik-titik air membasahi wajah pucat pengendali naga. Mengalir menyusuri pipi bersamaan dengan air mata.

Tubuh Kris gemetar hebat. Ingin rasanya ia berteriak—melampiaskan kecamuk emosi dalam diri. Namun, tak ada suara yang keluar. Ingin pula ia berlari dan mendekap tubuh rapuh Chanyeol, tapi, kakinya seolah terpaku. Tak kuasa bergerak.

Sungguh, demi apa pun, Kris berharap semua hanya mimpi. Mimpi yang sangat buruk. Sekarang, keinginan Kris hanya satu. Segera bangun dan mengakhiri kejadian menyakitkan ini. Ini—ini terlalu kejam. Menyakitkan sekali.

Park Chanyeol.

Mengapa? Mengapa ini harus terjadi pada pengendali api? Apa salah Chanyeol sehingga menderita? Mengapa? Mengapa harus Chanyeol? Mengapa bukan orang lain? Mengapa bukan dirinya saja?

Tangan Kris terkepal erat sebelum dihantamkan keras ke genangan air di sampingnya. Kecipak pelan terdengar.

Rasa bersalah memenuhi pengendali naga. Tak seharusnya, ia membiarkan Chanyeol pergi dari sisinya. Jika dulu ia tak melepaskan pengendali api—jika dulu ia memilih menjaga Chanyeol dan Baekhyun—jika dulu ia bisa bersikap egois—tentu, semua ini tak akan terjadi. Semuanya pasti akan berbeda. Mereka tak akan terpisah. Chanyeol akan tetap selamat. Chanyeol tak akan terluka sampai seperti itu! Ini semua salahnya! Salahnya!

.

.

"Kris Hyung—" panggil Chen lirih.

Ini kali pertama, Chen dan yang lain melihat Kris seperti itu. Miris sekali. Bagaimana mungkin pemimpin dingin nan kuat itu terlihat begitu menyedihkan? Sosok dingin dan tegar Kris tak ada lagi sekarang. Hanya ada seorang pemuda rapuh dan tak berdaya.

Mengapa? Mengapa bisa terjadi? Semua begitu tragis memilukan. Kondisi Kris sangat miris. Belum lagi, kondisi Chanyeol semakin melemah. Lalu, keadaan pengendali lain di pihak musuh pun tak ada kabarnya. Takdir ini sungguh terlalu kejam. Terlampau menyakitkan. Mengapa takdir mempermainkan hidup para pengendali seutuhnya? Mengapa?

Lay tampak masih bergelut dengan usaha menyembuhkan luka Chanyeol. Wajahnya tampak pucat pasi—tanda bahwa ia sudah sangat lelah. Tenaga master dari Chiyu sudah terkuras habis. Nyaris tak ada yang tersisa. Terlalu banyak luka pengendali api yang harus disembuhkan. Pun, luka-luka itu sangat parah. Untuk menyembuhkan satu luka saja, kekuatan Lay banyak tersita. Begitu pula konsentrasinya.

Keadaan itu tak dipedulikan Lay. Saat ini, ia hanya ingin melakukan satu hal. Menyelamatkan Chanyeol. Itu saja. Apa pun akan ia lakukan, sekalipun ia harus menyalurkan seluruh energi yang ia punya. Demi Chanyeol. Demi pengendali api yang sudah ia anggap sebagai dongsaengnya.

Sungguh, Lay hanya ingin Chanyeol selamat. Ingin pengendali api bangun dan melakukan berbagai hal jahil. Ingin melihat Chanyeol penuh canda seperti dulu. Ya, meskipun dulu sang Penyembuh selalu menganggapnya menyebalkan karena terlalu berisik. Namun, ia tak mau kehilangan setiap momen itu. Kerinduan akan tingkah Chanyeol menyergap. Lay kembali menangis dalam hujan. Tersadar ini bukan saat yang tepat untuk bersedih, ia menyeka air matanya kasar dan kembali memusatkan diri pada pengendali api.

Kyungsoo terus merengkuh tubuh Chanyeol sambil terus berharap usahanya akan mampu menghangatkan tubuh besar dingin itu. Berharap dengan pelukannya, ia bisa membuat Chanyeol tetap bertahan—tetap berada bersama mereka.

Sungguh, ia takut. Benar-benar takut. Jiwa Chanyeol terasa begitu lemah—terasa begitu samar. Bahkan, ia bisa merasakan jiwa pengendali api mulai menghilang. Aura Chanyeol bahkan sudah tak ia rasakan lagi. Sama sekali tak ada.

"Bertahanlah, Chanyeol Hyung. Kau kuat, aku tahu itu. Kau pasti bisa bertahan. Kau harus tetap di sini bersama kami, Hyung." Kyungsoo berbisik pelan di telinga Chanyeol.

Tak ada respons berarti. Tubuh yang direngkuh pengendali tanah tetap tak bergerak. Dada Chanyeol bahkan samar terlihat naik turun. Begitu lemahnya napas sang Pengendali Api. Nyaris, tak ada tanda-tanda kehidupan berarti.

Luka Chanyeol masih mengeluarkan darah—terutama dari luka tusuk di perutnya. Kain baju Kyungsoo dan pengendali lain sudah terbelit di sana—sebuah usaha untuk menghentikan pendarahan.

Hasilnya? Tak banyak membantu. Namun, setidaknya mereka sudah berusaha. Lay sama sekali tak bisa menyembuhkan luka dan menghentikan pendarahan itu. Entah, mereka tak tahu alasannya.

Kyungsoo menatap wajah penuh luka sang Pengendali Api sendu. Matanya beralih ke sosok Kris yang masih terpaku di sisi cekungan—menangis. Sungguh, menyedihkan sekali pengendali naga itu. Namun, ini tak bisa dibiarkan. Tak boleh seperti ini!

Diangkatnya perlahan tubuh Chanyeol yang sedikit berat sembari bersuara. "Chen Hyung, bisakah kau menjaga Chanyeol Hyung sebentar? Ada yang harus kulakukan."

Chen menggangguk. Ia gantikan Kyungsoo merengkuh tubuh pemuda berkekuatan api. Semakin terasa dingin. Tak ia rasakan lagi aura Chanyeol. Tidak. Chanyeol harus bertahan. Harus.

Kyungsoo bangkit berdiri dan berlari menghampiri Kris. "Kris Hyung! Sadarlah! Apa kau tak mau melihat kondisi Chanyeol Hyung? Apa kau tak lagi peduli lagi dengannya? Apa kau setega ini, eohHyung!" Kyungsoo menggoyangkan bahu Kris. Pemimpinnya itu tak bereaksi. Hanya terdiam tanpa daya bak mayat hidup. Air mata terlihat terus mengalir dari mata dengan tatapan kosong itu.

Setengah emosi, pengendali tanah menarik kerah baju Kris. Dilayangkan sebuah pukulan keras ke pipi pengendali naga—membuatnya jatuh tersungkur. "Hentikan! Berhenti bertingkah seperti ini, Hyung! Ini bukan dirimu! Kau harus kuat! Chanyeol Hyung butuh kau! Kami butuh kau! Jangan jadi lemah, Hyung!" teriak Kyungsoo. Tangan pengendali tanah masih terkepal erat. Mulut terkatup rapat—berusaha menahan emosi keluar dari mulutnya. Ia menunggu. Menunggu respon Kris.

"Aku gagal, Kyungsoo ya. Aku gagal melindungi Chanyeol. Gagal. Semua sudah terlambat. Aku tak mampu berbuat apa-apa untuk menyelamatkannya. Ini semua salahku," jawab Kris lirih dengan posisi masih tersungkur.

Kepalan Kyungsoo semakin erat. Buku-buku jemarinya memutih. Giginya bergemeretak penuh amarah. Kembali ditariknya kerah pakaian Kris sembari memaksa pemuda itu bangkit. Segera, belasan pukulan ia layangkan ke wajah pengendali naga.

"Sudah kubilang, berhenti bersikap lemah, Hyung! Apa kau tega membiarkan Chanyeol Hyung seperti itu? Ini belum terlambat! Chanyeol Hyung masih bisa selamat, Hyung! Kau bisa menyelamatkannya! Lihatlah, di bawah sana! Semua berjuang menyelamatkannya! Aku pun yakin Chanyeol Hyung juga berjuang untuk terus hidup! Jadi, kumohon, Hyung! Berhenti bersikap seperti ini! Bantu dia kembali! Apa kau tak merasakan jiwanya mulai menghilang? Apa kau berniat membiarkan dia pergi?" Kyungsoo menghentikan pukulan. Dilepaskannya keras pakaian hyung yang sangat ia hormati itu. Lalu, mendorong Kris lagi.

Pengendali naga hanya meringis sebentar sembari menutup mata. Wajahnya terlihat bengkak dan penuh lebam. Mulut dan pipinya berdarah.

Kyungsoo mengusap tangannya yang memerah. Ia begitu emosi sehingga lepas kendali. Berbagai emosi menyeruak dan pengendali tanah akhirnya menangis. Frustasi. "Kumohon, Hyung. Bantu Chanyeol Hyung kembali. Kami tak ingin kehilangan dia. Kami tak ingin kehilangan siapa pun lagi," pinta Kyungsoo. Suara lemah dan bergetar menggantikan teriakan penuh emosi. Sungguh, ia takut kehilangan Chanyeol.

Kris tersadar. Pukulan dan perkataan Kyungsoo itu benar-benar menyadarkannya.

Ya, Chanyeol tak akan selamat jika ia seperti ini. Janji pada pengendali api menelusup benaknya. Janji bahwa Kris akan membawa kembali Chanyeol dari dunia kematian, apabila pengendali api menyerah pada maut. Ia berjanji akan membuat Chanyeol tetap hidup. Apa pun yang terjadi, ia akan melakukannya. Ya, itu janjinya. Mengapa ia bisa lupa?

Diseka air matanya kasar. Pandangan kosongnya berubah hidup—kembali dingin. Kris merasa harus segera bangkit. Tak boleh ia terlihat rapuh seperti itu. Tak boleh. Demi Chanyeol! Tak akan ia biarkan pengendali pergi. Tidak lagi.

Kris akan memenuhi janjinya. Ia akan melindungi Chanyeol, membuatnya terus hidup. Jikalau maut jadi penghalang pun, Kris akan menembus semua hambatan dan menjemput pengendali api dari lembah kematian. Harus! Ia akan membuktikannya bahwa ia selalu menepati janji!

Master dari Rex bangkit berdiri. Setengah berlari, ia menuruni cekungan landai. Pakaian putihnya tampak kotor karena tanah basah. Namun, Kris tak peduli. Ia segera mendekati para pengandali yang sedang berjuang menyelamatkan Chanyeol.

Begitu sampai, pemuda berkekuatan naga segera berlutut di samping Chen. Tubuh Chanyeol tampak direngkuh begitu erat oleh pengendali petir—sepertinya berusaha untuk tetap memberi kehangatan pada tubuh jangkung dingin itu.

Kris terdiam. Keteguhan hatinya kembali goyah melihat kondisi Chanyeol dari dekat. Tubuh kembali gemetar. Pemandangan ini jauh lebih menyakitkan. Apa ia sanggup melihat Chanyeol seperti ini? Akankah Chanyeol bertahan?

Namun, pengendali naga tahu ia harus kuat. Dihelanya napas panjang sembari memantapkan hati. Ia menutup mata dengan tangan menyentuh tangan Chanyeol yang penuh luka. Jiwa dan aura dongsaengnya ini memang mulai menghilang. Sangat cepat. Nyaris tak ada yang tersisa.

Ditatapnya Chen tajam. "Chen ah, biarkan aku yang merengkuh tubuhnya."

Chen membalas tatapan Kris dengan ragu. Namun, begitu melihat sosok teguh pemimpinnya, ia pun mengangguk. Perlahan, ia memindahkan tubuh Chanyeol. Kris menerima tubuh dingin tak berdaya itu dengan sangat hati-hati. Setelah berhasil menumpunya, ia dekap Chanyeol yang semakin terasa dingin.

Hening. Semua mata mengarah pada Chanyeol.

Kris memecah keheningan dengan suara lirih. "Maaf. Maafkan aku. Maaf karena aku memperlihatkan sisi lemahku. Tak seharusnya seorang pemimpin bersikap seperti itu. Terima kasih karena kalian menyadarkanku. Terutama kau, Kyungsoo ya." Kris menatap Kyungsoo. Sebuah senyum kecil tersungging. Terlihat miris, namun itu senyuman tulus seorang Kris. Kyungsoo balas tersenyum dan menganggukkan kepala. Tak mengatakan apa pun.

Lega telah mengucapkan terima kasih pada pengendali tanah, Kris beralih pada Lay yang masih berjuang menyembuhkan luka Chanyeol. Tubuh sang Penyembuh terlihat gemetar hebat—kehabisan tenaga, rupanya. Kris menatap penuh iba. Dialihkan pandangannya pada Chanyeol yang tampak seperti mayat. Kepalanya tertunduk sejenak. Tarikan napas dalam ia lakukan dan dipegangnya tangan Lay.

"Istirahatlah sebentar. Kau tak akan bisa menyembuhkan Chanyeol dalam kondisi seperti ini. Kau sudah berusaha sangat keras, Lay." Kris berbicara dengan nada selembut mungkin. Memang, ia berharap Lay bisa menyembuhkan seluruh luka pengendali api. Namun, tak tega ia melihat kondisi master dari Chiyu sampai seperti itu. Terlalu memaksakan diri juga tak baik.

Lay menggeleng. Ia tak ingin berhenti. Tidak sampai Chanyeol bangun. "Tidak, Hyung. Aku masih bisa bertahan. Aku akan menyembuhkan Chanyeol sebisaku. Dia semakin jauh, Hyung. Kita tak bisa membiarkannya menghilang. Dia tak boleh pergi. Tidak. Tidak akan kubiarkan."

Mendadak, Lay menggigit bibir—menahan isak tangis yang ditahannya. Sedari tadi, berada di dekat pengendali api dan melihat betapa menyedihkan kondisinya, membuat Lay tak tahan. Sungguh, ia tak ingin melihat Chanyeol seperti ini.

Suho meletakkan tangan ke bahu sang Penyembuh. Ia meremasnya pelan—memberi kekuatan. Ia berharap Lay tahu bahwa ia tak sendiri. Semua pengendali tak ingin kehilangan Chanyeol.

"Aku mengerti. Tapi, istirahatlah sebentar, Lay. Chanyeol akan bertahan. Percayalah, dia pasti bertahan. Iya, kan, Park Dobi?" Kris menatap lekat pemuda berkekuatan api. Tak ada respon apa pun.

"Tapi—" Sebuah bantahan setengah terlontar. Lay mendadak terdiam. Ia pun sadar perkataan Kris ada benarnya. Tubuhnya sudah terlalu lemah. Jika ia memaksakan diri, mungkin fatal akibatnya. Lalu, jika ia mati, siapa yang akan menyembuhkan Chanyeol? Namun, jika ia tak bertindak, Chanyeol bisa—

Remasan di bahu Lay menguat. Dipandangnya Suho lekat. Pengendali air hanya tersenyum dan menganggukkan kepala, seolah mengatakan 'lakukan saja'. Lay pun akhirnya melakukakan perintah Kris. Beristirahat sebentar mungkin akan membuat kekuatannya kembali sebelum kembali menyembuhkan pengendali api.

Lega melihat Lay akhirnya mengistirahatkan diri, Kris mengalihkan perhatian pada Chanyeol lagi. Mencoba berbicara kembali dengan dongsaeng kesayangannya.

"Hei, Park Dobi. Mau sampai kapan kau tertidur? Bangunlah. Berhentilah membuat kami khawatir. Tahukah kau? Kau sudah melanggar janjimu! Sekarang, bangun! Bangkitlah! Jangan tertidur lagi! Hei, kau benar-benar ingin matikah? Kau lupa dengan perkataanku? Bukankah sudah pernah kubilang, jangan pernah mengalah pada kematian?" Kris terus berbicara tanpa henti, sekalipun tak ada tanggapan sama sekali. Ia sadar penuh. Namun, hanya itu yang bisa dilakukannya sekarang.

Kyungsoo memilih terus menggenggam erat tangan Chanyeol—berharap bisa membagi energi termasuk nyawanya dengan pemuda yang tengah di ambang batas. Chen sendiri memalingkan muka. Tak kuasa ia melihat keadaan pengendali api yang sering menjahilinya setiap saat. Sahabat sekaligus rekan dalam melakukan keisengan itu terbaring tanpa daya. Suho dan Lay memandang Chanyeol lekat. Tak pernah berpaling. Sesekali mereka hanya menundukkan kepala. Miris melihat sang Pengendali Api.

Kris masih saja mencoba mengajak Chanyeol berbicara. Suara pengendali naga terdengar begitu lirih dan lembut. Ada kehangatan di suaranya yang biasanya tegas dan dingin. Pengendali lain hanya memandang pengendali api penuh harap. Mereka sungguh ingin si pemuda ceria itu bisa bertahan. Mereka tak bisa kehilangan Chanyeol!

Tiba-tiba, tubuh pengendali api bergerak. Sedikit. Hanya sedikit. Namun, hal itu berhasil membuat para pengendali terkejut. Mereka semakin dekat dan mengitari tubuh penuh luka dan darah Chanyeol. Memandang pengendali api yang selalu ceria itu dengan penuh harap.

Chanyeol mencoba membuka mata perlahan. Begitu susah payah. Tampak begitu berat. Mata kanannya terbuka sedikit, tak bisa terbuka lebih lebar lagi. Sementara, mata kiri masih tertutup sempurna. Terlihat bengkak kebiruan. Meskipun mata Chanyeol bisa terbuka, nyaris tak terlihat apa pun. Semua tampak kabur dan didominasi warna gelap.

Pengendali api kini berusaha membuka mulutnya—sekadar untuk mengeluarkan beberapa patah kata. Seberapa keras ia mencoba, di antara napas yang susah payah dikeluarkannya, ah—ia tak mampu mengatakan apa pun. Dicoba untuk menggerakkan mulut, hasilnya sama saja. Tak sedikit pun suara yang keluar. Rintihan sakit pun tak ada.

Melihat usaha Chanyeol tak membuahkan hasil, Kris pun mencoba membantunya. Ia mendekatkan wajahnya ke arah dongsaengnya itu. Dengan lembut, ia berbisik sembari mengusap rambut basah hitam pengendali api. "Park Dobi, kau mendengarku? Ini aku—Kris Hyung. Kau bisa dengar? Aku di sini, Yeol. Kami semua di sini bersamamu."

Mendengar bisikan lembut Kris, Chanyeol pun mengarahkan pandangan ke arah hyungnya itu, meskipun sejujurnya, tidak begitu tepat arahnya. Namun, ia telah berusaha bergerak sekeras yang ia bisa.

Kembali, dengan susah payah, Chanyeol mencoba berbicara. Kali ini, Kris mendekatkan telinga ke mulut Chanyeol—berusaha menangkap dan mencerna apa yang dikatakan oleh pengendali api.

"Bae—Baekkie—Baek—Baekkie—Kris—Kris—Hyung—"

Dan, sesaat setelah berhasil menyampaikan kata-kata penuh makna itu, mulut Chanyeol mengeluarkan cairan kental merah. Matanya kembali tertutup. Lagi-lagi, kesadaran diambil darinya.

Kris mengatupkan mulut rapat-rapat—berusaha keras menahan gejolak emosi melihat kondisi mengenaskan Chanyeol. Ditutup matanya sekejap dan dibukanya lagi. Matanya menatap lekat wajah pengendali api. Melihat darah masih menetes dari mulut Chanyeol, Kris pun bergerak membersihkannya dengan lengan bajunya sendiri.

Sungguh, batinnya berkecamuk. Apalagi, mendengar perkataan Chanyeol. Hanya dua nama yang disebutkan Chanyeol: nama Baekhyun dan namanya.

Hening. Tak ada satu pun yang bersuara.

Kris mengepalkan tangan dan menundukkan kepala pelan. Tubuh Chanyeol ia rengkuh erat. "Lay, kau ikut aku kembali ke desa. Suho, Chen dan kau, Kyungsoo, pergi dan cari tahu keberadaan pengendali lain. Ikuti mereka dan pastikan kalian tahu di mana mereka. Aku yakin mereka belum jauh. Dan, usahakan, hindari pertarungan antar sesama pengendali. Jika ada kesempatan, sadarkan dan bawa mereka pulang. Kuingatkan sekali lagi, hindari pertarungan sebisa mungkin. Aku tak ingin melihat ada korban lagi. Chanyeol akan ikut kami pulang. Mungkin, ada cara untuk menyembuhkan Chanyeol di desa. Kalian mengerti?"

Kris mengangkat kepala dan memandang para pengendali satu per satu dengan pandangan tegas. Semua pengendali mengangguk mengerti. Tak perlu ada respon lisan kala menanggapi perintah Kris. Pun, menolak saja tak akan mereka lakukan. Seandainya pun mereka mau menolak, itu percuma. Perintah Kris tak bisa diganggu gugat.

Mendapati semua pengendali telah mengerti, Kris meminta bantuan Kyungsoo untuk menumpu tubuh Chanyeol sebentar. Dalam posisi bebasnya, pemimpin dua belah terpilih itu berdiri dan melepaskan jubah putihnya. Kembali ia berjongkok, mengambil alih tubuh Chanyeol dengan memindahkannya ke punggungnya sendiri. Dimintanya Kyungsoo untuk menutupi tubuh penuh luka pengendali api dengan jubah miliknya.

Pelan, ia bangkit berdiri dan menatap para sahabatnya dingin. "Dengarkan aku baik-baik. Cari tahu keberadaan yang lain dan bawa mereka kembali. Namun, yang paling penting, jaga diri kalian baik-baik. Segera kembali ke desa secepat yang kalian bisa dan dalam keadaan selamat. Bocah ini pasti ingin melihat kita semua saat dia bangun." Kris tersenyum kecil.

Meskipun suaranya terdengar dingin dan tanpa ekspresi, para pengendali bisa menangkap harapan besar tersembunyi dalam perkataan Kris. Ya, mereka mengerti. Mereka akan segera kembali dan berkumpul di desa dengan selamat. Berdua belas. Bersama Chanyeol. Dan, segera mengakhiri perang yang semakin membuat sengsara itu. Mereka berjanji.

Kris menatap langit dengan mendung bergelayut. Dengan keras dipanggil hewan panggilannya. "Rex!"

Tak lama, sang naga pun muncul dari balik awan dan turun ke permukaan tanah. Dekat dengan posisi Kris berdiri. Pengendali naga pun segera menaiki Rex bersama Chanyeol dan Lay.

Naga besar hitam milik Kris mulai terbang—meninggalkan tiga sekawan: pengendali air, petir dan tanah bersama hewan panggilan masing-masing. Kris berdiri di atas badan Rex—masih terlihat Chanyeol di gendongannya. Tatapan penuh harapan ia layangkan pada para pengendali di darat. "Cepat kembali dengan kabar baik! Teruslah berdoa demi Chanyeol! Aku serahkan semua pada kalian! Sampai jumpa! Jaga diri kalian!" serunya. Rex membawa tiga pengendali terbang semakin tinggi dan akhirnya, tak terlihat.

Suho, Chen, dan Kyungsoo mengangguk pelan mendengar perintah dari sang pemimpin. Mereka segera menghampiri hewan panggilan masing-masing, menaikinya dan mulai bergerak. Mereka harus segera mengejar dan menemukan para pengendali lain yang jatuh ke tangan musuh. Sesuai janji, mereka akan menyadarkan yang lain dan membawanya pulang. Ya, mereka akan melakukannya dan berkumpul lagi. Semoga saja, Chanyeol bisa bertahan sebelum mereka kembali. Ya, semoga saja.

.


.

Chanyeol terbaring tak berdaya di pangkuan Kris. Tubuh yang tak lagi bergerak itu kini terselimuti jubah pengendali naga. Jubah putih basah hyung kebanggaannya tampak merah—diwarnai darah yang terus mengalir dari lukanya.

Kris masih merengkuh Chanyeol. Didekapnya erat tubuh tak berdaya itu sambil terus mengajak pengendali api berbicara. Tak sekalipun ia berhenti mengucapkan bisikan-bisikan lembut ke telinga Chanyeol. Lay sendiri kini tampak kembali berjuang menyembuhkan luka dongsaengnya. Ya, meskipun tak bisa menggunakan tenaga penuh, sudah cukup banyak luka yang tertutup. Chiyu, sang Unicorn, pun turut membantu. Dengan tanduk berwarna cerah bak kristal, Chiyu menyalurkan energi tambahan bagi Lay untuk menyembuhkan pengendali api.

Usaha Kris dan Lay belum berbuah manis. Masih tak ada perubahan berarti. Semua masih sama. Tubuh Chanyeol tetap dingin dan jiwanya masih terlalu jauh untuk digapai. Terlalu sulit untuk dirasakan keberadaannya. Jiwa pemuda berkekuatan api itu terus menghilang, meskipun memang tak secepat sebelumnya. Sepertinya, usaha penyembuhan Lay dan bisikan-bisikan Kris berhasil memperlambat kepergian Chanyeol.

Beberapa jam sudah berlalu. Hujan rintik-rintik telah menggantikan hujan badai. Namun, mendung masih menggelayut meski petir dan angin sudah menghilang. Udara dingin menusuk tulang.

Kris dan Lay menggigil. Dingin terasa menelusup, apalagi dengan pakaian mereka yang basah. Namun, mereka tak memedulikan keadaan mereka. Perjalanan beberapa jam itu kini sudah nyaris berakhir. Desa sudah dekat. Perjalanan kembali ke desa ternyata lebih cepat dibanding pencarian Chanyeol dan Baekhyun. Itu pun bisa dimaklumi. Saat mereka melakukan pencarian, para pengendali sama sekali tak tahu di mana posisi pengendali api dan cahaya berada. Posisi tepatnya, maksudnya.

Dan, beruntung, Rex bisa memahami apa yang terjadi. Ia terbang dengan kecepatan maksimalnya—berusaha secepat mungkin sampai ke desa. Ya, meskipun ia hanyalah seekor hewan panggilan, ia bisa merasakan berbagai perasaan yang berkecamuk di hati pengendali—terutama sang master. Chanyeol, pemuda yang sangat disayangi Kris, terluka parah. Itulah mengapa Rex terus terbang tanpa berhenti dengan kecepatan maksimal. Ia sungguh berharap pengendali api yang kadang menyebalkan itu bisa selamat. Tak ingin Rex melihat masternya bersedih. Sudah cukup, Kris menderita selama ini. Jika Chanyeol meninggal—ah, Rex tak bisa membayangkan apa yang akan terjadi pada Kris.

.

.

Desa sudah terlihat. Beberapa penduduk tampak berkumpul di gerbang desa dengan obor menyala di tangan. Nyala obor tampak berkobat-kabit saat Rex mulai turun. Mereka menatap penuh harap karena pengendali naga sudah kembali. Namun, mengapa hanya Rex yang tampak? Di mana hewan panggilan dan pengendali yang lain?

Kris sendiri bersiap turun. Disingkirkannya jubah penyelimut dari tubuh Chanyeol, kemudian secara hati-hati, ia menggendong pemuda berusia dua tahun di bawahnya itu di punggung. Lay mengambil jubah milik Kris dan menutupi tubuh Chanyeol dengan jubah lagi—mencoba menyembunyikan semua luka yang terlalu menyakitkan untuk dilihat oleh siapa pun itu.

Saat Rex sudah nyaris menyentuh tanah, Kris dan Lay langsung melompat turun. Tepat di depan gerbang desa—di hadapan belasan penduduk yang menunggu. Hari memang sudah gelap. Nyala obor tampak berpendar temaram dari sudut-sudut rumah penduduk.

Seorang lelaki berusia empat puluh tahunan menyambut Kris dan Lay, begitu kaki mereka menapak di darat. "Kau sudah kembali? Di mana pengendali lain? Kau berhasil membawa semua pengendali pulang, kan? Lalu, di mana pengendali cahaya? Aku tak melihatnya. Bukankah seharusnya dia ada bersamamu? Ya! Apa yang terjadi?" Rentetan pertanyaan itu dilayangkan dengan suara parau. Pandangan menyelidik ia pasang—terutama saat melihat siapa sosok di gendongan Kris.

"Tetua, ini bukan saatnya membicarakan itu! Sekarang, Chanyeol sedang sekarat! Dia butuh pertolongan! Aku akan menjelaskan apa yang terjadi nanti. Sekarang, Chanyeol harus diobati. Lay tak tahu bagaimana cara menyembuhkannya. Apa Tetua tahu bagaimana menyelamatkan Chanyeol?" Kris mengabaikan semua rentetan pertanyaan lelaki yang disebut Tetua. Tak bisa ia menanggapi semua itu. Setidaknya, bukan sekarang. Chanyeol sekarang sedang sekarat. Butuh pertolongan segera!

Sang Tetua hanya terdiam. Ia bergeming dengan pandangan tajam menusuk melihat Kris dan Chanyeol. Ia sungguh tak suka dengan apa yang dilihatnya.

Tak mendapat tanggapan dari tetua desa, Kris mendecih. Jika tetua tak mau membantunya, mungkin seseorang dalam desa bisa membantu. Kris berniat memasuki desa—meninggalkan sang Tetua, saat lelaki paruh baya itu menahan dirinya. Menghalangi langkahnya. Kris mengernyitkan kening.

"Tetua! Biarkan kami lewat! Jika Anda tak mau membantu, jangan halangi kami!" seru Kris. Berusaha keras ia untuk menahan emosi. Bagaimana pun lelaki di depannya itu adalah tetua desa. Namun, nyatanya, nada suara tak senang terdengar jelas kala sang Tetua menghalangi langkahnya. Bagaimana tidak? Chanyeol sekarat di punggung Kris, tapi tetua desa seakan tak peduli. Apa yang dipikirkannya sebenarnya?

"Pengendali naga, jawab aku! Di mana pengendali cahaya dan pengendali lain? Mereka semua akan kembali, kan? Sekarang, di mana mereka? JAWAB AKU!" cecar sang Tetua. Tampak jelas, raut mukanya sudah tak sabar. Seolah, pemuda tinggi di depannya itu harus menjawab pertanyaannya dulu kalau ingin lewat. Tapi, itu pun tergantung jawaban Kris. Jika jawaban pengendali naga tak memuaskan, aish, berani benar pemuda itu pulang ke desa!

Kris benar-benar mulai jengah. Mengapa sang Tetua malah mempersulit keadaan genting ini? Ingin ia menerobos masuk ke desa, sekalipun harus memukul lelaki yang jauh lebih tua darinya itu.

Melihat keadaan yang tak mendukung dan Kris sudah mulai tampak emosi, Lay pun angkat bicara. "Tetua, kami mohon, akan kami jelaskan semua nanti. Sekarang, Chanyeol benar-benar butuh perawatan. Lukanya sangat parah!" Lay berusaha keras untuk berbicara selembut mungkin, namun berada di bawah tekanan membuat semua itu terasa sulit. Sungguh, ini bukan saat membahas hal lain selain Chanyeol. Pengendali api bisa meninggalkan mereka kapan saja!

Sang Tetua merasa terkejut dua pengendali di depannya itu menolak untuk menjawab pertanyaan. "Diam kau, Penyembuh! Aku butuh jawaban sekarang juga! Di mana pengendali cahaya dan yang lain? Jawab aku!" bentaknya keras.

Dibentak seperti itu membuat Lay terdiam seribu bahasa. Ingin rasanya ia marah dan merangsek masuk desa. Tangan sang Penyembuh terkepal kuat dengan mulut terkatup rapat. Sungguh, ia berusaha untuk tidak melakukan tindakan kasar dan penuh emosi. Lagi pula, yang ia hadapi adalah sang Tetua. Dan, lelaki itu adalah—

"Hentikan, Abeoji! Berhenti bertanya tentang Baekhyun atau pengendali lain sekarang! Apa Abeoji tak bisa melihat kalau Chanyeol sekarat? Bisakah Abeoji melihatnya sendiri betapa parahnya keadaan Chanyeol? Ia bisa meninggalkan kita kapan saja! Jadi, aku mohon berhentilah bertanya dan biarkan kami lewat! CHANYEOL BISA MATI!" teriak pengendali naga dengan marah. Sungguh, Kris tak bisa lagi menahan emosi. Tak peduli siapa pun di depannya. Terserah itu mau tetua desa yang selama ini ternyata ayahnya. Ia tak peduli! Ia harus menyelamatkan Chanyeol, apa pun yang terjadi!

Kris sekarang bergerak menghindari sang ayah—berusaha kembali memasuki desa dan meminta bantuan penduduk. Namun, lagi-lagi, lelaki paruh baya itu menghalangi langkahnya.

"Aku tak peduli dengan pengendali api yang tak bisa mengendalikan kekuatannya sendiri! Yang terpenting hanyalah pengendali cahaya dan pengendali lain! Sekarang katakan padaku, di mana mereka sekarang! KATAKAN!" Semakin keras bentakan sang Tetua. Ia benar-benar keras kepala.

"Sudah kubilang, hentikan! INI SUDAH CUKUP! KAU SUNGGUH KETERLALUAN! Baekhyun dan yang lain akan baik-baik saja! CHANYEOL BISA MATI KAPAN SAJA! BIARKAN KAMI MASUK!" teriak Kris lebih keras. Ia mencoba lagi merangsek masuk, tapi tak bisa.\

"TIDAK BISA, WU YIFAN! Katakan di mana keberadaan pengendali cahaya sekarang! Kau tahu kalau dia jatuh ke tangan musuh, keadaan bisa sangat bahaya! Kau ini seorang pemimpin! Di mana tanggungjawabmu?!"

Tetua desa tak mengerti dengan sikap putranya. Berani benar ia membantah dirinya! Ayahnya sendiri! Kris itu seorang pemimpin! Dan, bagaimana bisa ia mengabaikan tanggungjawabnya! Dan, apa pula itu; mengapa ia bersikeras menyelamatkan pengendali yang bahkan tak bisa mengeluarkan kekuatannya! Sia-sia!

"Baekhyun sudah jatuh ke tangan musuh! Apa Abeoji puas? Baekhyun yang sudah membuat Chanyeol seperti ini! Tidakkah Abeoji mengerti! Aku sedang melakukan tanggungjawabku!" Emosi pengendali naga sudah mencapai puncak. Tak bisakah ayah dan semua orang mengerti? Kris hanya ingin menyelamatkan nyawa Chanyeol, tapi mengapa malah dihalangi sampai seperti ini? Apa mereka ingin pengendali api mati?

"Tanggungjawab? Tanggungjawab apa? Kau meninggalkan prioritas utamamu menyelamatkan para pengendali dan malah pulang ke desa! Sekarang, kau harus pergi menyelamatkan pengendali cahaya dan yang lain! Itu tugas utamamu! Tinggalkan pengendali tak berguna ini di desa dan segera berangkat! Kau juga, Penyembuh! Selamatkan pengendali cahaya dan yang lain sekarang! Keselamatan mereka jauh lebih penting dibanding pengendali api ini, Yifan!"

Keadaan semakin memanas. Tak ada satu pun yang ingin mengalah. Semua ingin menang dalam perdebatan itu.

"Tetua, kami mohon. Berhentilah menghalangi kami. Memang benar Baekhyun jatuh ke tangan musuh. Tapi, pengendali lain sedang mengejar mereka. Mereka akan menyelamatkan pengendali yang dikendalikan. Sekarang, kami mohon, biarkan kami masuk desa dan menyelamatkan Chanyeol." Lay mencoba berbicara dengan lembut—sangat lembut, bahkan sudah memelas. Ia tahu perdebatan ini tak akan ada habisnya jika semua tersulut emosi. Semua itu harus dihadapi dengan kepala dan hati dingin!

Namun, kata-kata lembut itu hanya ditanggapi dingin. Tak acuh. "Apa kalian berdua tak mengerti? Tak ada gunanya menyelamatkan pengendali seperti Chanyeol! Itu sudah takdirnya mati seperti ini! Lebih baik dia mati supaya pengendali api selanjutnya bisa bangkit! Sudah cukup kita membahas hal tak penting ini! Sekarang, kalian kembali menyusul para pengendali! Yifan, tunjukkan tanggungjawabmu sebagai seorang pemimpin! Pergi dan bawa kembali pengendali cahaya!"

Tak kuat lagi Kris mendengar perkataan buruk tentang Chanyeol yang keluar dari mulut sang ayah. Mengapa ia bisa berpikiran seperti itu? Chanyeol itu salah satu dari dua belas yang terpilih!

"Kumohon, berhenti berbicara buruk tentang Chanyeol, Abeoji! Chanyeol bukanlah pengendali yang tak berguna! Ia berhasil menggunakan kekuatannya! Bahkan, ia berhasil memanggil Phoenixnya! Dan, aku tak sedang lari dari tanggungjawab! Aku sedang menunjukkannya! Aku tak akan membiarkan seorang pun dari yang terpilih mati! TIDAK AKAN! Jadi, biarkan aku lewat! KUMOHON!" Kris berlutut di depan sang Tetua.

Melihat tindakan Kris yang dipandangnya justru memperlihatkan kelemahan, sang Tetua semakin emosi. "YIFAN! JANGAN LAKUKAN TINDAKAN MENJIJIKKAN SEPERTI ITU! Aku sungguh tak mengerti dengan apa yang kaupikirkan! Apa kau tak pernah berpikir betapa fatalnya kesalahanmu membiarkan pengendali cahaya jatuh dalam kegelapan? Kau harusnya membawanya pulang! Itu tugas utamamu! Apa kau sadar kau membahayakan nyawa semua makhluk dengan melakukan tindakan ini, Yifan?"

"Aku tak peduli! AKU TAK PEDULI! Bagaimana mungkin aku bisa menyelamatkan banyak makhluk, jika Chanyeol saja tak bisa kuselamatkan? Apa bagi Abeoji, dengan membiarkan Chanyeol mati, semua akan baik-baik saja? Tidak! JELAS TIDAK!"

"BERHENTI MEMBANTAHKU, YIFAN! TURUTI PERINTAHKU SEKARANG!" Tangan sang Tetua terangkat—siap menampar putra yang terus membantah dirinya.

Namun, tangannya tetap terhenti di udara, karena sebuah suara serak terdengar. "BERHENTI KALIAN SEMUA!"

Seruan itu memecah ketegangan yang terjadi. Sesosok lelaki tua—berusia tujuh puluh tahunan berambut putih muncul di depan mereka. Semua penduduk yang berada berdiri dan terdiam di situ segera membungkuk hormat.

"Apa kalian tak malu bertengkar seperti anak kecil seperti ini? Ayah dan anak sama saja! Memalukan! Wu Zhoumi, kau sudah berlebihan! Kekhawatiranmu terlalu jauh! Kau benar-benar keras kepala dan sangat keterlaluan! Bisakah kau percaya pada putramu sekali saja! Dan, kau, Wu Yifan! Tahan emosimu! Di mana perginya sosok Kris, pemimpin yang selalu tenang dan berkepala dingin? Jangan terbawa perasaan! Kendalikan emosimu!" seru lelaki tua itu bijaksana. Wu Yanzi, itulah namanya. Tetua besar desa—ayah dari Wu Zhoumi dan kakek dari Wu Yifan. Ia memang dikenal sangat tenang dan bijaksana. Tak pernah memihak, sekalipun itu keluarganya sendiri.

Tak ada suara terdengar. Hening. Semua terdiam mendengar perkataan sang Tetua Besar. Mereka semua mengakui apa yang dikatakan Wu Yanzi benar adanya.

Masih dalam posisi berlutut dengan pengendali api di punggung, Kris menundukkan kepala. Ya, ia sadar, tak seharusnya ia membantah sang ayah dengan penuh emosi. Ia hanya tak mau kehilangan dongsaengnya. Hanya itu. Apa itu salah? Apa itu berlebihan?

Wu Yanzi mendekati Kris dan membantunya berdiri. Usia renta tak menghalangi matanya yang setajam elang melihat kondisi Chanyeol di gendongan cucunya itu. Disingkap cepat jubah milik Kris yang penuh darah. Tampak tubuh pengendali api penuh luka dan lebam. Sebuah kain membelit perut Chanyeol. Luka yang ditutup kain itu tampak sangat parah karena seluruh kain sudah dipenuhi darah dan berbau anyir. Bau khas darah.

Sang Tetua Besar membuka sedikit belitan kain dan mendapati luka tusuk parah yang menembus tubuh Chanyeol. Keningnya mengernyit sebentar. Ia bisa langsung tahu senjata apa yang sudah melukai pengendali api. Dengan cepat, diselimuti kembali punggung Chanyeol dengan jubah Kris.

"Kris, apa yang terjadi sebenarnya?" Suara tegas sang Tetua Besar berubah lembut. Penuh kasih.

Kris menggeleng pelan. Ia pun tak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Hanya sebuah dugaan yang memenuhi kepalanya hingga saat itu. "Kami menemukan Chanyeol dalam kondisi seperti ini. Bahkan, sebenarnya kondisinya lebih parah jika Lay tak mencoba menyelamatkan semampunya. Sebelum menemukan Chanyeol, kami melihat sebuah tiang cahaya besar muncul dan menghilang cepat. Disusul dengan sayap besar diselimuti api menyala—namun, lagi-lagi menghilang cepat pula. Kami mendengar pekikan melengking seperti jeritan kesakitan. Begitu keras. Setelah mencari sumber cahaya dan suara itu, kami menemukan tempat bekas pertempuran. Keadaannya rusak parah—kami tahu pertempuran hebat baru saja terjadi. Dan, kami yakin itu pertarungan antar pengendali. Kami menduga, Chanyeol melawan para pengendali lain namun kalah. Baekhyun tak tampak—kemungkinan mereka berhasil membawanya. Terlebih jika melihat luka di tubuh Chanyeol, kemungkinan Baekhyun dikendalikan sangat besar. Dan, ya, Chanyeol sendirian terkapar. Sekarat."

Pengendali naga terdiam. Tak ingin ia mengingat kembali bagaimana keadaan Chanyeol kala itu. Terlalu menyakitkan.

Lay menambahkan. "Saya sudah berusaha menggunakan kekuatan saya untuk menyembuhkan Chanyeol. Tapi, luka tusukan di perutnya—ah, entahlah, saya benar-benar tak bisa menyembuhkannya. Luka itu mengeluarkan darah dengan aura kegelapan yang terus memancar. Dan, jiwa Chanyeol begitu cepat menghilang. Kami pun memutuskan kembali ke desa. Kami berharap ada yang tahu bagaimana menyelamatkan Chanyeol. Kami benar-benar tak tahu apa yang terjadi dan apa yang seharusnya kami lakukan. Maafkan kami, Tetua Besar." Lay menundukkan kepala—menyesal tak bisa melakukan hal yang lebih berguna.

Wu Yanzi memejamkan mata sejenak dan menghirup napas dalam. Tampak berusaha keras untuk memahami apa yang terjadi. Ia membuka mata. "Lalu yang lain?" tanyanya lagi.

"Kris Hyung memerintahkan Suho, Chen dan Kyungsoo mengikuti jejak para pengendali lain. Mereka diminta untuk segera kembali setelah menemukan keberadaan mereka yang dikendalikan. Dan, ya, kami sendiri kembali ke desa. Kami sungguh tak tahu apa lagi yang harus kami lakukan untuk menyelamatkan Chanyeol. Kami—kami sungguh minta maaf, Tetua Besar." Lay mengeratkan kepalan tangannya.

Kakek Kris memijit pelipis. Dihelanya napas panjang. "Baiklah, aku mengerti. Semua itu kita bisa urus nanti. Kalian semua, bubarlah!" perintah Wu Yanzi pada para penduduk. "Kris, Lay, kalian ikuti aku!" tambahnya.

Kris dan Lay saling berpandangan lalu mengikuti sosok tetua besar yang sangat mereka hormati. Sementara, Wu Zhoumi hanya mendengus pelan dan memasuki desa. Semua penduduk pun membubarkan diri dan mengikuti sang Tetua.

.

.

"Harabeoji, kita mau ke mana?" tanya Kris pelan sambil mengikuti sang kakek. Ia lega karena bisa memasuki desa. Tapi, ia masih harus menyembuhkan Chanyeol. Sungguh penasaran Kris ke mana sang kakek akan membawa mereka. Apa sang Tetua Besar akan membantu Kris dan Lay untuk menyelamatkan Chanyeol?

Tanpa sadar, mereka sudah memasuki taman di sebelah timur desa. Wu Yanzi dengan tertatih-tatih terus berjalan—tanpa sekalipun membuka mulut. Ia menuntun Kris dan Lay menuju sebuah pohon paling besar di ujung taman.

Ketika menyadari ke mana ia dibawa, Kris menautkan alis. Familiar ia dengan pohon besar di depannya. Pohon itu adalah tempat kesukaan Chanyeol untuk menghabiskan waktu—terlebih jika ia sedang kabur latihan.

Wu Yanzi menghentikan langkah tepat di depan pohon besar yang kelihatan tua itu. Kris dan Lay pun melakukan hal yang sama.

"Tetua Besar, mengapa Anda membawa kami ke sini? Apa ada sesuatu dengan pohon ini?" Sebuah pertanyaan penuh kebingungan terlontar. Sang Penyembuh mengedarkan pandangan ke sekitarnya. Tak ada apa pun. Tak ada siapa pun. Mengapa Wu Yanzi membawa mereka ke tempat ini? Lay mengeratkan pakaian basah yang kini mulai sedikit kering. Embusan angin terasa sangat dingin menusuk tulang malam itu.

Rentetan pertanyaan master Chiyu tak ia gubris. Wu Yanzi memilih bergeming. Mata elangnya terfokus pada batang pohon besar di depannya. Tangan terulur dan ditempelkannya pada pusat batan pohon itu. Kemudian, dengan mata terpejam, rapalan mantra terucap.

Kris dan Lay hanya saling berpandangan. Mereka sama sekali tak punya gambaran apa yang dilakukan sang Tetua Besar. Tak berapa lama, sinar terang muncul, menyilaukan mata. Dua pengendali itu memalingkan wajah—mencoba menghindari silau cahaya yang keluar. Sungguh, begitu terang, seakan bisa membutakan mata.

Namun, nyatanya, mereka tak kuat menahan diri untuk tahu cahaya apa itu sebenarnya. Perlahan, mereka memberanikan diri menatap sumber cahaya. Memang butuh beberapa menit bagi mata keduanya untuk bisa beradaptasi. Cahaya tadi ternyata berasal dari pusat batang pohon besar. Sebenarnya, pohon apa itu?

Terlalu terfokus pada sumber cahaya, Kris dan Lay tak menyadari bahwa sang Tetua Besar sudah membalik tubuh—menghadap ke arah mereka, membelakangi sumber cahaya yang masih terus bersinar. "Ikuti aku," kata Wu Yanzi pelan. Sang Tetua Besar memasuki sumber cahaya yang sekarang menyerupai sebuah pintu. Tubuhnya menghilang ditelan sinar terang tadi.

Melihat peristiwa itu, Lay memandang Kris—berusaha meminta penjelasan. Namun, pengendali naga hanya mengedikkan bahu. Ia juga tak tahu apa yang terjadi. Dengan Chanyeol di punggungnya, Kris pun memutuskan untuk mengikuti sang kakek. Melangkah ia ke dalam pintu cahaya dan menghilang. Lay pun turut mengikuti. Dan, cahaya terang tadi mulai meredup dan menghilang. Begitu juga dengan pintu yang kini tertutup sempurna.

.

.

Mereka bertiga –empat, dengan Chanyeol yang masih tak sadarkan diri- akhirnya memasuki pintu cahaya. Cahaya di dalam sama-sama terang—bahkan lebih terang. Kris dan Lay berusaha keras memicingkan mata—mencoba menangkap apa yang ada di depan sana. Namun, cukup sulit. Bagaimanapun mata mereka punya batasan. Tak terbiasa mata manusia melihat cahaya seterang itu. Benar-benar membutakan.

Semakin kaki melangkah, cahaya mulai meredup. Atau, malah mata mereka yang mulai bisa beradaptasi dengan baik dengan keadaan dalam lorong cahaya itu. Yang pasti, semua terlihat jauh lebih jelas. Lorong yang mereka lewati berdinding serba putih. Sejauh mata memandang, hanya ada warna putih dan cahaya. Kehangatan menyeruak—menghangatkan tubuh Kris dan Lay yang sejak tadi kedinginan.

Kris dan Lay tak tahu seberapa jauh mereka sudah berjalan. Mereka merasa lorong itu pastilah sangat panjang. Seolah, tak ada ujung yang terlihat. Keduanya khawatir seberapa jauh perjalanan mereka? Bagaimana jika Chanyeol terlebih dahulu—Ah, itu tak boleh terjadi. Master dari Rex dan Chiyu pun memacu langkah dengan lebih cepat.

Kekhawatiran mereka terhapuskan. Sebuah pintu cahaya yang lagi-lagi bersinar terang tampak. Perasaan damai dan hangat terasa menguar dari balik pintu di depan mereka. Dan, dengan semangat, mereka semakin cepat melangkah dan berhasil melewati pintu cahaya tadi. Dan begitu sampai—

Mata Kris dan Lay membelalak. Mulut terbuka lebar. Sungguh, mereka terkejut dengan apa yang mereka lihat. Tempat apa itu?

Di sana—di balik pintu cahaya tadi—ada dunia kecil nan indah. Padang bunga berwarna-warni terhampar luas. Langit biru cerah dan awan putih berarak menghiasi. Angin sepoi-sepoi berhembus lembut. Tempat itu terasa sangat damai dan tenang. Terasa hanya ada kebahagiaan di sana. Hilang sudah segala rasa sakit dan kesedihan. Apakah surga?

Pemandangan yang tak pernah dilihat dua pengendali seumur hidup mereka itu benar-benar membuat terkesima. Terasa dimanjakan dengan suasana damai itu—tak ingin sedikit pun mereka mengabaikan semuanya. Bahkan, mereka nyaris tak ingat tujuan mereka ke tempat ini adalah untuk menyelamatkan Chanyeol—entah, bagaimana caranya, mereka pun tak tahu.

Setelah sedikit memuaskan diri dengan sensasi menyenangkan dari dunia di balik pohon besar di taman, mereka segera kembali mengikuti Wu Yanzi yang ternyata terus berjalan. Sepertinya lelaki tua itu tak terkejut dengan semua pemandangan ini. Sang Tetua Besar melangkahkah kaki ke sebuah pohon besar di tengah pada bunga.

Pohon raksasa dengan batang kokoh dan dedaunan rimbun berdiri tegak. Daun-daunnya berwarna indah—seolah bisa berubah warna. Kala melihatnya pertama kali, terlihat hijau, tapi begitu mengedipkan mata, terlihat berubah kuning kecoklatan. Warna sakura pun bisa sesekali tampak. Terus saja, dedaunan itu akan berubah warna. Benar-benar indah. Apalagi dengan cahaya yang menyelubungi, kehangatan dan kedamaian terpancar hebat. Suatu perasaan yang tidak pernah bisa ditemukan di dunia yang mereka tempati.

"Kalian tunggu di sana sebentar," pinta Wu Yanzi sembari menolehkan kepala sedikit. Ia terus berjalan dan akhirnya berhenti tepat di depan pohon raksasa nan indah. Perlahan, ia berlutut dengan tumpuan kedua lutut. Tangan terkatup di depan dada seperti berdoa dan mata terpejam. Mulutnya tampak berkomat-kamit merapal mantra—entah apa, yang pasti Kris dan Lay tak bisa mendengarnya. Hal itu tak berlangsung lama. Mata sang Tetua Besar terbuka. Ditempelkannya telapak tangan pada batang pohon raksasa sembari bangkit berdiri.

Dan, secara tiba-tiba, tanah bergetar hebat. Sebuah balok menyerupai meja persembahan menyembul dari dalam tanah, terus naik hingga mencapai ketinggian sejajar dengan pinggang orang dewasa. Benda itu cukup panjang, hampir mencapai dua meter panjangnya dengan lebar sekitar satu meter. Dedaunan dari pohon raksasa berguguran tanpa sebab—bahkan, angin berembus pun tak ada. Semua daun menutupi balok dari tanah tadi. Dan, sekarang, sebuah ranjang yang siap ditiduri tampak. Sungguh, balok tadi terlihat begitu nyaman.

Wu Yanzi berjalan menghampiri Kris. Digandeng tangan sang cucu dan diajaknya mendekati tempat tidur ajaib tadi.

Pengendali naga tak tahu apa yang harus dilakukannya. Ia hanya mengikuti lelaki tua yang sayang padanya itu. Sesampainya di tepi ranjang, Kris tak bisa lagi menahan rasa penasarannya. "Harabeoji, apa yang terjadi sebenarnya? Dan, untuk apa kita di sini? Benda apa ini?" tanya Kris beruntun. Tautan alis terbentuk, ia menunggu penjelasan sang kakek.

"Bukankah kau ingin menyelamatkan Chanyeol? Ini satu-satunya cara yang bisa dilakukan," jelas Wu Yanzi dengan suara parau tuanya.

Kris menelengkah kepala. Masih belum bisa mengerti apa yang sebenarnya ingin dikatakan sang kakek.

"Apa maksud Tetua Besar dengan satu-satunya cara yang bisa dilakukan? Bagaimana caranya kita menolong Chanyeol?" Lay pun angkat bicara.

"Jangan bertanya lagi. Sekarang baringkan Chanyeol di atas ranjang ini, Kris. Lakukan apa yang kukatakan!" Alih-alih menjawab rasa penasaran Kris dan Lay, Wu Yanzi malah memberi perintah yang semakin membuat dua pengendali tadi bingung.

"Eh? Apa maksud Harabeoji dengan membaringkan Chanyeol di sini? Harabeoji sedang tak bercanda, kan?" Kris berusaha menolak perintah sang kakek. Ia bukannya tak percaya pada Wu Yanzi. Masalahnya, ia tak punya gambaran sama sekali apa yang ingin kakeknya lakukan. Jadi, Kris takut kalau sang kakek mempermainkannya. Atau, justru membahayakan nyawa Chanyeol.

Wu Yanzi hanya menghela napas panjang. "Kris, lakukan saja apa yang aku minta. Percayalah padaku. Aku tak sedang berusaha membunuh Chanyeol. Aku ingin menyelamatkannya dan ini satu-satunya cara yang kutahu untuk menyelamatkan nyawanya. Atau—kau ingin membiarkan Chanyeol pergi?" tanya sang Tetua Besar dingin.

Masih ragu dengan apa yang harus dilakukan, Kris berusaha meminta pendapat Lay. Ia menatap sang Penyembuh penuh harap bisa mendapat tanggapan, namun master Chiyu hanya mengedikkan bahu.

Kris akhirnya menarik napas panjang dan membaringkan Chanyeol perlahan di atas tempat tidur yang terlihat nyaman tadi. Jubahnya sudah ia ambil kembali. Dan, tampaklah tubuh pengendali api yang penuh dengan luka, lebam dan darah di setiap sudut. Pengendali naga berusaha mengendalikan diri untuk tak gemetar melihat pemandangan menyakitkan itu.

"Sekarang, apa yang harus kita lakukan, Tetua Besar?" tanya Lay pada Wu Yanzi.

Lelaki tua itu tak mengatakan apa pun. Tangannya dengan cepat menarik dua pengendali menjauhi tempat Chanyeol berbaring sekarang. Hal itu jelas meninggalkan tanda tanya besar di benak Kris dan Lay.

Secara tiba-tiba, sulur-sulur bermunculan. Tumbuhan berwarna hijau pupus menyelubungi tempat Chanyeol berbaring dengan cepat—membelit seluruh bagian tubuh Chanyeol: mulai dari kaki, tangan dan seluruh tubuh. Tidak membelitnya dengan erat, hanya sekadar menempel—melingkar di setiap jengkal tubuh pemuda berkekuatan api. Namun, hal yang terjadi tiba-tiba itu jelas membuat Kris dan Lay terkejut setengah mati.

"CHANYEOL!" teriak dua pengendali bersamaan.

Kris dan Lay berniat menghampiri Chanyeol yang terlihat semakin tak berdaya, saat tangan mereka tertahan oleh tangan renta Wu Yanzi. Terang saja, mereka tanpa sadar melayangkan tatapan tajam pada sang Tetua Besar yang malah terlihat dingin tanpa ekspresi. Tak terlihat raut ketakutan atau panik melihat apa yang terjadi pada Chanyeol.

"Harabeoji! Apa yang kaulakukan? Mengapa kau diam saja? Lepaskan aku! Chanyeol—Dia terbelit sulur! Dia bisa mati! Sebenarnya, apa yang Harabeoji rencanakan? Apa Harabeoji benar-benar ingin membunuh Chanyeol?" teriak Kris penuh emosi.

Sungguh, Kris sangat panik. Tak bisa lagi ia mengendalikan akal sehatnya. Pikirannya dipenuhi bagaimana cara melepaskan Chanyeol dari belitan tumbuhan menjalar yang semakin banyak. Tubuh tak berdaya itu—bagaimana mungkin Kris bisa membiarkannya begitu saja? Tidak bisa! Ia harus segera melepaskan Chanyeol dari sulur itu! Chanyeol bisa mati!

Sulur-sulur itu memang semakin banyak. Bahkan, sekarang tumbuhan hijau pupus tumbuh menjulang ke atas dan berkaitan satu sama lain—membentuk pagar kuat setinggi satu meter. Pagar itu mengitari tubuh Chanyeol dari segala sisi, seolah sengaja menjebak tubuh pengendali api dalam kurungannya.

Jelas, hal itu membuat Kris dan Lay tak bisa mengendalikan emosi. Lay bahkan sudah mengeluarkan healing staffnya. Bersiap sudah ia untuk menghancurkan sulur-sulur itu.

"Sudah kubilang, biarkan saja! Percayalah padaku! Ini satu-satunya cara untuk menyelamatkan Chanyeol! Sulur itu tak akan membunuh pengendali api! Justru sulur itu akan menyelamatkan nyawanya!" Teriakan Wu Yanzi membuat Lay mengurungkan niat untuk menggunakan senjatanya.

"Tapi—" Kris masih saja bersikeras untuk membantah.

Tiba-tiba, pohon raksasa di tengah padang bunga bersinar terang—membuat Kris membungkam mulutnya sendiri.

Perhatian ketiga lelaki itu teralihkan. Mau tak mau mereka terpaksa memalingkan wajah—berusaha melindungi mata mereka dari cahaya menyilaukan dengan telapak tangan masing-masing. Cahaya terang tadi perlahan meredup dan sesosok gadis kecil muncul dari pusat cahaya tadi bersumber.

Master dari Rex dan Chiyu memicingkan mata—mencoba mencari tahu siapa sosok yang muncul. Mereka bisa melihat seorang gadis kecil dengan gaun terbuat dari dedaunan dan bunga nan cantik berjalan mendekat.

"Siapa kau?" tanya Kris dengan pandangan menyelidik.

Gadis kecil itu tak mengatakan apa-apa. Sebuah senyuman manis tersungging.

.


.

Luhan membuka mata. Dipijat pelan kepalanya—berusaha menghilangkan rasa sakit yang terus mendera. Ia tak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Namun, kepalanya sungguh terasa sakit dan pening. Pikirannya begitu kacau. Semua tampak kabur dan tak jelas. Bercampur aduk.

"Luhan Hyung, kau sudah sadar?" tanya Sehun pada sosok di punggungnya. Mereka rupanya masih dalam perjalanan menuju Sinister Kingdom.

"Sehunie, di mana kita sekarang?" Luhan mencoba mengerjapkan mata. Masih saja ia berusaha menghilangkan rasa sakit di kepalanya. Namun, pikirannya tak bisa fokus sama sekali.

"Dalam perjalanan pulang, Hyung. Apa kau baik-baik saja?" Sehun khawatir dengan pengendali kekuatan telekinesis itu. Pemuda berkekuatan angin itu memperlambat lompatan dari pohon yang satu ke pohon yang lain. Ia berharap Luhan akan merasa lebih baik.

Mendengar jawaban Sehun, Luhan hanya mengernyitkan kening. Rasa sakit di kepalanya tak kunjung menghilang. Justru, semakin menjadi-jadi. "Pulang? Pulang ke mana?"

Pengendali angin semakin khawatir. "Apa kau baik-baik saja, Hyung? Jika tidak, lebih baik kita beristirahat dulu. Kita akan bisa menyusul Baekhyun Hyung dan yang lain kembali ke Sinister Kingdom dengan kekuatanku."

'Sinister Kingdom? Baekhyun? Sebenarnya apa yang terjadi? Argh—Sial, mengapa kepalaku terasa sakit sekali? Aku sama sekali tak bisa memusatkan pikiranku! Sial!' jerit Luhan frustasi dalam hati. Sungguh, kepalanya tak mau diajak bekerja sama. Tak bisa ia memikirkan satu hal dengan benar sekarang. Semua tampak kabur dan tak jelas.

"Sebenarnya, apa yang terjadi? Kepalaku sakit sekali," keluh Luhan. Setidaknya, ia merasa harus memberi tahu Sehun bahwa ia tak sedang baik-baik saja.

"Kau tak sadarkan diri setelah pertarungan tadi, Hyung. Dan, aku membawamu di punggungku. Apa kau benar-benar tak bisa mengingat apa yang terjadi? Kita tadi bertempur untuk mengambil kembali Baekhyun Hyung. Kupikir akan berjalan mudah karena kita hanya menghadapi pengendali api gagal itu. Namun, tak kusangka, dia sekarang sangat kuat. Pertarungan tadi benar-benar berat. Kekuatan api Chanyeol ternyata besar juga. Lihatlah sekujur tubuhku penuh luka bakar, Hyung. Keparat itu—Jika dia masih hidup, kelak aku akan membunuhnya sendiri. Ya, itu pun jika dia bisa lolos dari maut. Baekhyun Hyung tadi benar-benar menyelamatkan kita. Pengendali api jelas tak punya harapan hidup lagi."

Luhan memejamkan mata. Ditariknya napas dalam-dalam. Ia berusaha keras menenangkan dan mengendalikan pikirannya sendiri. Ia berusaha mencerna dan mengingat kembali apa yang terjadi dari sudut pandangnya.

'Baekhyun mengalahkan Chanyeol? Tak punya harapan hidup? Apa—apa maksudnya? Ayolah, sakit kepala sialan, jangan siksa aku lagi!' Pemuda bermata rusa itu mengumpat dalam hati.

Kilas balik kejadian yang terjadi melintas memenuhi pikiran pengendali telekinesis. Ia bisa mengingat setiap detail peristiwa: saat ia menemui Sehun setelah lolos dari kendali, saat ia memberikan ilusi dan menyakiti pengendali cahaya, saat ia menyaksikan pengendali melawan Chanyeol, saat Tao memasukkan kristal hitam ke tubuh Baekhyun, dan saat tiang cahaya menghempaskan tubuhnya dengan keras. Luhan bisa mengingat semua itu dengan jelas. Namun, tidak dengan kejadian yang terjadi setelah itu.

'Astaga—mengapa? Mengapa mereka saling bertarung? Apa yang terjadi?'

Sebuah suara mendadak menggema di telinga Luhan. Suara penuh kesedihan dan rasa putus asa. Suara itu terdengar samar sejak ia tersadar tadi. Tapi, Luhan tak tahu itu suara siapa.

'Jangan pergi! Baekkie—Jangan tinggalkan aku! Maaf, aku gagal melindungimu. Maafkan aku. Kris Hyung, maaf—Aku gagal. Aku gagal. Aku gagal. Hyung, aku—aku—menyerah.'

Luhan berusaha keras mengingat-ingat suara siapa itu. Dan setelah, pikirannya terasa jernih, mata Luhan terbelalak. Ia bisa mengingat semuanya. Apa yang terjadi sebenarnya!

'Astaga, Park Chanyeol! Tidak mungkin!' jeritnya dalam hati.


TO BE CONTINUED


Silakan mengunjungi wordpressku: http://chathelastcross.wordpress.com untuk mendapatkan update cepat. Password bisa didapat dengan mengirim email terlebih dahulu.

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!
chachamariditha
Well, I posted Chapter 6 here *and other sites*! If you want to read the next chapter, you can visit my wordpress. Kekeke

Comments

You must be logged in to comment
Sky_Wings
#1
❤_❤
drnewbie #2
Wow genre favorite ini haha, pas baca fereword nya jdi tertarik sendiri haha, oke i'll begin to explore and hopefully to find a lot of 'awesome' things later, ya dan kayanya dalam 1 jam kedepan bakal selesai sampai chapter terakhir yang di update haha
PCY92BH #3
Hey you! I knew you haha cerita ini pernah aku baca di screenplays (kalau tdk salah) dan ini cerita dewa banget. Semangat terus ya, jangan patah semangat seperti yang tahun lalu kkk~
HaeHunUp
#4
Chapter 6: eonni dimana" ada. ga sabar nunggu ch 17 apa 18, lupa ._.
cepat kembali eonni ~~
AWPark #5
Chapter 5: Lanjut dong min...