The Hurtful Separation

Come Back to Me

"Bagaimana kemampuan bertarungku tadi? Sudah semakin baik?" tanya Baekhyun sambil mengeringkan tubuhnya dengan sehelai kain tebal. Chanyeol sendiri sibuk membersihkan lumpur dan debu dari dirinya.

"Kau mau jawaban jujur atau bohong?" jawab pengendali api sesaat selesai menyelesaikan kegiatan bersih-bersihnya. Segera, ia hampiri Baekhyun dan merebut paksa kain yang sedang dipakai.

"Ya! Kurang ajar, kau, Park Chanyeol! Kembalikan! Aku belum selesai!" Baekhyun bangkit dari posisi duduknya. Dicari keberadaan pemuda berkekuatan api yang senang menggodanya itu.

Sebuah seringai menghiasi bibir Chanyeol. Mendadak, muncul ide jahil. Tentu, mengerjai Baekhyun.

Kain tebal tadi ia gunakan untuk menyelimuti punggung telanjangnya. Lalu, dari belakang, sebuah pelukan ia sarangkan pada pengendali cahaya. Maka, jadilah kain lebar tadi menyelimuti tubuh kedua pengendali itu. "Nah, kalau begini, adil, kan? Kain ini kita gunakan bersama dan aku yakin tubuhmu akan lebih cepat kering." Tawa terbahak-bahak mengakhiri jawaban Chanyeol.

Namun, tak terjadi apa-apa. Sungguh tak seperti yang pengendali api harapkan. Chanyeol menautkan alis saat tak ada respon apa pun dari Baekhyun. Takut kalau pengendali cahaya marah, ia segera lemparkan sebuah pertanyaan dengan sedikit ragu. "Ya! Apa kau marah? Mengapa kau diam?"

Memang, Chanyeol kadang tak bisa membatasi kadar keisengannya kala menggoda Baekhyun. Akibatnya, ia sering dihukum. Tentu saja, bukan dengan ciuman bertubi-tubi. Benar-benar hukuman! Jitakan, pukulan, tendangan, gigitan, umpatan, dan kerja rodi. Kerja rodi adalah istilah dari Chanyeol kala ia harus menuruti semua perintah Baekhyun—tanpa bantahan dan penolakan. Dan, jelas, semua tak main-main. Pengendali cahaya itu selalu memintanya melakukan hal-hal aneh dan berat. Jadi, mau tak mau, Chanyeol harus waspada jika Baekhyun sudah terdiam. Itu tanda-tanda jika ia marah!

"Ya! Siapa yang marah? Aish, singkirkan tubuhmu! Kau membuatku gerah!" Baekhyun berusaha melepaskan diri dari dekapan Chanyeol. Wajahnya memerah malu. Dicobanya bersikap kasar untuk menyembunyikan perasaan itu, namun kalah cepat. Chanyeol telah berhasil menangkap kebohongannya. Sial.

'Ah, dia malu. Ini sungguh menyenangkan,' kata Chanyeol dalam hati. Sebuah seringai penuh kemenangan kembali terukir.

Pemuda jangkung itu sekarang mengeratkan pelukan. Dagunya ia letakkan di bahu kanan Baekhyun yang tengah meronta—masih mencoba membebaskan diri karena terlalu canggung dengan perlakuan seperti itu. "Kau sebenarnya suka, kan, Byun Baekhyun?" Senyuman Chanyeol semakin lebar.

Mendengar jawaban Chanyeol, Baekhyun berhenti memberontak. Ia arahkan kepalanya seolah menatap pemuda jangkung itu. Dan—

Duak

Baekhyun melancarkan serangan ke sisi kepala Chanyeol dengan kepala kerasnya. Telak sekali dengan bunyi keras yang tak main-main. Sungguh, kepala itu laksana batu.

Mendapat serangan mendadak dan menyakitkan itu, Chanyeol segera melepaskan pelukan. Tangannya sekarang sibuk memegangi kepala sambil berguling menahan sakit. Umpatan ia teriakkan dalam hati—tentu, karena ia tak mau membuat bocah cahaya itu menyerangnya lagi. Namun, tetap saja ia tak bisa menahan diri untuk tak berteriak. "Ya! Byun Baekhyun! Kepalamu terbuat dari batu, ya? Sakit sekali!"

Baekhyun hanya tersenyum penuh arti. "Makanya, jangan terlalu percaya diri, Park Chanyeol. Dasar mesum!" Pemuda berusia 21 tahun itu menjulurkan lidah—mengejek pemuda jangkung yang masih berbaring kesakitan. "Aku cuma bertanya bagaimana perkembanganku, tapi kau malah menggodaku. Pelajaran dariku sangat bagus, kan? Apalagi untuk pengendali nakal sepertimu. Mau lagi?" tambahnya lagi.

"Baiklah. Baiklah. Aku mengerti. Aku minta maaf. Aku tadi cuma bercanda," sungut Chanyeol. Ia akhirnya melanjutkan perkataannya—Kali ini, serius menjawab pertanyaan Baekhyun. "Teknik bertarungmu semakin baik, Baekkie—termasuk keahlian menggunakan rapiermu. Pengendalian cahayamu berkembang sangat pesat. Kau benar-benar kuat. Aku tak menyangka kau bisa berlatih sejauh itu, padahal kau sudah lama sekali tak menggunakan kekuatanmu. Seandainya, aku bisa melakukan hal yang sama." Chanyeol menundukkan kepalanya—terdiam.

Merasa sedikit bersalah karena membuat Chanyeol mendadak terdiam, Baekhyun segera berusaha mengalihkan pembicaraan.

Pletak

"Ya! Berhenti merengek, Park Chanyeol! Aku lapar. Ayo, kita makan!" seru Baekhyun sesaat setelah melayangkan jitakan. Ia berdiri dan mulai melangkah meninggalkan Chanyeol.

"Byun Baekhyun! Berhenti memukul kepalaku! Aku bisa bodoh, tahu? Aish, sakit!" Chanyeol kembali mengelus kepala. Ah, ia merasa beruntung tempurungnya sungguh amat keras. Kris dan Baekhyun senang sekali menjitaknya. Seandainya, kepalanya hanya sekeras rumah siput, mungkin sudah tak berbentuk dari dulu. Itu pasti mengerikan. Hii—Chanyeol bergidik ngeri membayangkan hal itu.

Pengendali api segera bangkit berdiri—melangkah kaki mendekati Baekhyun yang tiba-tiba terhenti. Mau tak mau, Chanyeol pun melakukan hal yang sama. Sebuah tatapan bingung ia layangkan. Khawatir. "Ada apa? Kau merasakan sesuatu?"

Baekhyun tak menjawab apa pun. Ia hanya bergerak cepat ke belakang Chanyeol, meraih ke dua bahu pemuda itu dengan tangannya dan—

Hap

Sebuah lompatan dan Baekhyun sudah ada di gendongan Chanyeol. Beruntung, pengendali api langsung menangkap tubuh kecil itu. Dikuncinya kaki Baekhyun dengan tangan panjangnya.

"Reflek bagus! Gendong aku, ya?" Baekhyun terkikik geli dengan tingkahnya sendiri. Sungguh, ia benar-benar seperti anak kecil. Tapi, ia tak peduli. Sekali-kali, bolehlah ia melakukannya. Sedikit bermanja-manja.

"Astaga! Bilang saja kau ingin digendong dari tadi." Chanyeol berpura-pura marah. Tapi, sebuah senyuman lebar tersungging. Senang rasanya bisa memanjakan Baekhyun. Membuat pemuda berkekuatan cahaya itu tersenyum bahagia—melupakan semua rasa sakit dan pedih yang ada. "Baiklah, kau siap? Pegangan erat!" Chanyeol terlihat bersiap.

Baekhyun mengeratkan kedua tangannya yang melingkar di leher Chanyeol. Dengan ceria dan penuh semangat, ia berteriak. "Siap! Ayo, jalan!"

Chanyeol berlari dengan Baekhyun dalam gendongannya. Menyusuri padang luas menuju tempat peristirahat mereka dengan gembira. Tak menyadari sama sekali, akan terjadi kejadian mengerikan dalam waktu dekat. Ya, sangat mengerikan. Semua tak akan pernah sama. Kebahagiaan itu tak akan pernah terjadi lagi. Tinggal sebentar lagi. Ya, sebentar lagi.

.


.

"Selesai?" tanya Baekhyun pelan pada Chanyeol di sampingnya. Pemuda itu baru saja menyelesaikan makan siangnya.

"Belum. Aku sungguh masih lapar. Ya! Sampai kapan kita makan makanan seperti ini? Daging! Aku butuh daging, Byun Baekhyun. Aku membutuhkannya untuk pertumbuhanku," dengus Chanyeol. Giginya sibuk menggigiti batang jagung yang sudah bersih itu. Berharap ada sisa biji jagung tertinggal. Tapi, nihil. Bersih.

Sebuah batang jagung terlempar dari arah Baekhyun. Sebuah lemparan yang ditujukan untuk Chanyeol si perengek. Namun, gagal. Chanyeol berhasil menghindar. "Yaiii! Seranganmu gagal, Byun Baekhyun! Aku sudah hapal seranganmu! Aku berhasil menghindar! Asyik!" Chanyeol sudah tertawa terbahak-bahak—tak menyadari tangan Baekhyun melayangkan sebuah pukulan. Lagi. Seperti biasa.

"Ya! Sakit! Kau sungguh menyebalkan! Mengapa selalu menjadikan kepalaku sebagai korban, eoh?" Ratusan kali sudah, Chanyeol mengelus kepala tersayangnya. Kepala yang selalu jadi korban dari orang-orang terdekatnya. Apa mereka tak pernah tahu pukulan dan jitakan itu bisa membuat dirinya bodoh?

"Karena isi kepalamu itu perlu diganti, Park Chanyeol! Ya! Bukankah sudah kubilang berkali-kali kalau—"

Ceramah Baekhyun terhenti. Chanyeol sengaja menghentikannya sebelum semakin panjang. Sungguh, ia sudah hapal kelanjutannya. Tak perlu ia mendengarnya lagi. "Iya, aku mengerti, Byun Baekhyun. Aku sudah mendengarnya ribuan kali. Jangan berani menyakiti hewan-hewan di sini karena mereka temanmu. Apalagi menjadikan mereka makananku. Aku mengerti. Tak perlu kauulangi lagi. Tidak, terima kasih." Ditiup surai hitam yang menggantung sempurna.

Baekhyun berniat membuka mulut lagi, saat Chanyeol kembali mendahuluinya. "Baiklah, baiklah! Tak akan kuulangi lagi! Ini yang terakhir! Janji!" Chanyeol mengangkat tangan kanannya seolah ia sedang melakukan sumpah. Meskipun, ia tahu persis Baekhyun tak akan pernah melihatnya.

Pengendali cahaya baru menarik napas panjang, saat lagi-lagi, Chanyeol membuka mulut. "Byun Baekhyun! Serius! Itu yang terakhir! Aku tak akan membahas masalah makan daging di sini lagi. Puas?" Kali ini, suara Chanyeol sangat memelas. Tak ingin ia mendapat umpatan dari Baekhyun. Cukup. Ia baru tidak ingin mendengarnya hari ini.

Baekhyun menyerah. Dengusan kesal keluar. Ia sadar ceramahnya itu sudah berulangkali ia layangkan. Jelas, Chanyeol sudah hapal dan bosan. Apalagi, dirinya. Bosan rasanya mengulang perkataan sedemikian panjang—terutama jika pendengarnya adalah seorang seperti Chanyeol.

Sungguh, mengapa Chanyeol seperti itu? Selalu menggodanya setiap saat. Pertumbuhan? Pasti Chanyeol gila. Tinggi pengendali api 185 cm dan ia bilang masih perlu bertumbuh? Ingin rasanya Baekhyun menendang pantat Chanyeol. Ia saja yang pendek tak pernah mengeluh. Baiklah, kadang-kadang ia melakukannya. Tapi, Chanyeol masih butuh daging untuk pertumbuhan? Hah! Ijinkan ia menjitak kepala Chanyeol supaya sadar. Baekhyun mendecih. Ia masih memilih diam—marah dengan candaan pengendali api. Mengapa pemuda itu tak pernah mendengarkannya?

Suasana terasa kikuk—membuat Chanyeol salah tingkah, menyadari candaannya memang sedikit berlebihan. Apalagi, ia sudah melakukannya berulangkali. Tak ingin bertahan lama dengan suasana itu, Chanyeol pun berusaha mencairkan keadaan.

"Baekkie?" panggil pengendali api takut-takut.

"Hmm—" Sebuah jawaban dingin keluar dari mulut Baekhyun.

"Baekkie~" panggil Chanyeol lagi. Kali ini, terdengar manja.

Baekhyun tak bisa menolak rengekan manja itu. "Apa?"

Masih saja, Baekhyun bertahan dengan sikap dinginnya. Padahal, jelas ia sudah tak mempermasalahkan apa yang terjadi.

"Kau mau ikut aku?" tawar Chanyeol. Digenggamnya tangan mungil Baekhyun perlahan.

"Ke mana?" Rasa penasaran menyergap Baekhyun. Ia telengkan kepalanya.

"Akan kuberikan sesuatu padamu. Sebuah kejutan." Pemuda jangkung itu tersenyum lebar.

Sebuah helaan napas panjang terdengar. "Kalau kau memberitahuku kau akan memberiku kejutan, itu bukan kejutan, Park Chanyeol. Apa kau itu benar-benar bodoh?"

Kadang Baekhyun tak tahu apakah Chanyeol itu benar-benar bodoh atau berpura-pura bodoh. Kadang, ia merasa bersalah karena terus menghujani kepala pengendali api dengan pukulannya. Jangan-jangan, itulah yang membuat Chanyeol bodoh. Jika begitu, ingatkan dirinya untuk mengurangi hukuman pada pemuda jangkung itu. Jika Chanyeol makin bodoh, maka akan semakin gawat. Bisa-bisa, Baekhyun frustasi berat.

"Hei, selama kau belum tahu apa yang akan kuberikan, berarti itu masih kejutan, kan?"

"Terserah kau saja! Aku malas berdebat dengan orang bodoh sepertimu!"

"Ya! Byun Baekhyun! Berhenti menyebutku bodoh! Aku tak bodoh! Aish, sudahlah. Kau tunggu saja di sini. Lima belas menit. Aku akan kembali dalam lima belas menit. Saat aku kembali, bersiaplah memberikan hadiah balasan untukku! Mengerti! Aku pergi dulu!" Chanyeol mengecup bibir Baekhyun cepat—meninggalkan pengendali cahaya tersipu.

"Jangan lama-lama, Park Chanyeol! Awas saja kalau kau membuatku menunggu terlalu lama! Akan kuberi pelajaran! Awas, ya! Dan, jangan bermimpi mendapat hadiah balasan!" seruan berisi ancaman itu dilayangkan. Baekhyun terkekeh geli. Sementara, Chanyeol sudah pergi meninggalkan dirinya sendiri di tempat itu.

.


.

Lima menit berlalu.

Sembari menunggu, Baekhyun menggerak-gerakkan kaki dan menggeleng-gelengkan kepalanya. Sungguh, ia merasa bosan. Rasa penasaran perlahan membunuhnya. Apa yang akan diberikan Chanyeol? Berharap Baekhyun mendapat sebuah kejutan luar biasa. Kejutan yang menyenangkan hatinya. Ia berjanji akan memberikan hadiah balasan jika kejutan itu benar-benar 'mengejutkan'.

Woosh—

Angin dingin mendadak bertiup—membuat Baekhyun terpaksa memeluk tubuhnya sendiri, berusaha mendapatkan kehangatan. Ia mulai merasakan perubahan cuaca drastis. Udara mendadak berubah dingin dan lembap. Guntur terdengar menggelegar. Dengan tanda-tanda seperti ini, pasti badai akan segera datang.

Baekhyun gemetar. Bukan karena cuaca. Sesuatu yang gelap dan kosong terasa mendekat.

Deg

Perasaannya sungguh tak nyaman. Ia tak suka keadaan seperti ini, apalagi ia sendirian. Mengapa Chanyeol belum kembali?

Tap— Tap—Tap—

Baekhyun merasakan kehadiran seseorang. Ah, tidak. Beberapa orang, rupanya. Menekan ketakutannya, ia beranikan membuka suara. "Yeollie? Kaukah itu?"

"—"

Tak ada tanggapan.

Baekhyun mengernyitkan kening—penasaran mengapa tak ada yang menjawab. Dan, matanya mendadak mendelik. Terlambat!

"Kalian—!" Baekhyun panik.

.


.

"Cantik sekali bunga ini. Ah, dia pasti suka," kata Chanyeol sembari memetik beberapa tangkai dandelion dan bunga liar di sudut padang. Pasti Baekhyun akan senang. Terbayang Baekhyun dengan senyuman merekah saat menerima bunga darinya. Manis sekali.

"Lucu sekali. Baekhyun itu laki-laki, tapi sangat menyukai bunga. Baekkie—Baekkie—Kau sungguh unik. Karena itulah, aku menyayangimu." Bibir Chanyeol terhiasi sebuah senyuman lebar. Sungguh tak sabar ia kembali pada Baekhyun. Akahkah pengendali cahaya menyukai bunga itu? Dan, apa ia akan memberikan hadiah balasan sebagai tanda terima kasih? Chanyeol menggelengkan kepalanya berulang-ulang—mencoba mengusir berbagai pikiran itu.

Bunga-bunga sudah terkumpul apik. Beberapa tumbuhan paku mempercantik rangkaian bunga liar itu. Senyum kembali terukir di bibir Chanyeol. Puas memandangi hasil kerja kerasnya, ia segera berdiri dan melangkah kembali untuk menemui Baekhyun.

.

.

"Aaaargh! Aaaargh! Hentikan! HENTIKAN! YEOLLIE, TOLONG!" Sebuah teriakan keras membuat langkah Chanyeol berhenti. Senyum yang terukir sepanjang waktu di bibirnya menghilang—meninggalkan wajah memucat. Teriakan itu—ya, teriakan itu—ia mengenalnya! Baekhyun. Itu suara Baekhyun!

Deg

Perasaan Chanyeol benar-benar tidak enak. Mendadak, tubuhnya gemetar. Bayangan mimpi buruk memenuhi benak. Sungguh, mengapa bisa seperti ini? Apa yang terjadi?

Dilemparkannya rangkaian bunga yang tertata apik itu ke tanah dingin. Chanyeol segera meraih twin swordsnya. Ia genggam pedang kembar itu sembari berlari ke sumber suara berasa.

Chanyeol benar-benar panik. Tak bisa ia hilangkan kekalutan pikiran dan perasaan yang melanda. Namun, sebuah harapan agar hal yang ia takutkan tak terjadi terus Chanyeol serukan dalam hati. Pasti, tak terjadi apa-apa. Pasti, Baekhyun baik-baik saja.

Terlalu khawatir dengan keadaan Baekhyun, Chanyeol baru menyadari perubahan cepat cuaca. Udara begitu dingin dan terasa lembap. Awan hitam bergelayut memenuhi padang. Belum lagi, guntur bergemuruh dengan kilatan petir menakutkan. Cuaca ini semakin membuat Chanyeol tak tenang. Segera dipercepat langkahnya dan tak butuh lama, ia akhirnya sampai di tempat ia terakhir bertemu Baekhyun.

Langkah Chanyeol terhenti. Pemandangan itu—

Tidak!

Lagi-lagi, ia harus melihat Baekhyun berteriak kesakitan sembari memegang kepala. Terlihat begitu kesakitan. Chanyeol tak sanggup melihat pemandangan yang menyesakkan dada itu.

Dan, lima orang itu—Lima orang yang sudah ia kenal. Mereka semua mengelilingi Baekhyun tanpa sama sekali membantu. Chanyeol bisa memastikan bahwa merekalah yang menyebabkan pengendali cahaya kesakitan. Tao, Xiumin, Kai, Luhan dan Sehun. Tunggu sebentar—Sehun? Sejak kapan?

Chanyeol terbelalak—tak percaya dengan apa yang ia lihat. Bagaimana Sehun bisa bergabung dengan mereka? Apa yang terjadi? Berbagai pertanyaan melintas, memenuhi benaknya—mempertanyakan mengapa semua ini terjadi.

Tidak. Ini bukan saatnya ia berkutat dengan pertanyaan-pertanyaan itu. Sekarang, Baekhyun dalam bahaya! Ia membutuhkan dirinya! Ia harus menyelamatkan Baekhyun, siapa pun musuhnya! "Kalian semua! Hentikan! Lepaskan Baekhyun!" teriak Chanyeol penuh emosi.

Kelima pasang mata pengendali yang tadinya terpaku pada Baekhyun beralih menatap Chanyeol. Tapi, mereka tak terlalu terkejut mendapati pengendali dipenuhi amarah. Itu sudah mereka duga. Seringai menghiasi wajah masing-masing. Sungguh, mereka begitu dingin dengan pandangan mata kosong—tanpa ekspresi.

"Wah, pahlawan kita sudah datang, rupanya." Sebuah seruan sarkastik dilemparkan Kai.

"Ingin menyelamatkan Baekhyun? Usaha sia-sia, Park Chanyeol! Tapi, kurasa kau salah sangka. Kami datang untuk menyelamatkan Baekhyun," tambah Xiumin.

"Apa kalian gila? Menyelamatkan? Kalian menyakitinya! Lepaskan dia sekarang juga!" Chanyeol mengeratkan pegangan pada pedang kembarnya. Amarah sungguh tak bisa ia kendalikan sekarang.

"Oh, aku takut—" Lagi-lagi, dengan sarkatis, Kai melemparkan cemoohan. Berpura-pura takut—meremehkan Chanyeol.

"Takut? Kau memang harus takut, Kai! Aku lebih kuat darimu! Jika ingatanmu masih bagus, kau jelas tahu, aku telak mengalahkanmu di pertarungan terakhir!" seru Chanyeol percaya diri. Tak pernah ia sangka, kata-kata itu keluar dari mulutnya. Namun, Chanyeol sadar, dengan mengucapkan itu, ia merasa jauh lebih kuat. Mungkin itulah caranya untuk meneguhkan hati. Hati teguh memang sangat berpengaruh pada apa yang akan ia lakukan nanti.

"Sombong kau, Park Chanyeol! Akan kubungkam mulut besarmu!" Kai mengeluarkan senjatanya, invicible claw. Senjata menyerupai cakar yang menyelimuti kedua tangannya.

Senjata Kai disebut invicible—bukan karena tak terlihat. Namun, Kai selalu menggunakannya dengan kekuatan teleportasi. Senjata itu akan menyerang musuh tiba-tiba, tanpa tahu darimana asal serangan. Nyaris tak terlihat karena begitu cepat. Senjata Kai bisa merobek kulit bahkan daging dalam sekejap mata. Dikombinasikan dengan teleportasi, cakar itu tergolong mematikan.

Dengan senjata di tangan, Kai bergerak—berteleportasi. Berusaha menyerang Chanyeol dari tempat tak terduga. Ia menghilang dan berencana muncul di sisi belakang kanan pengendali api sebelum menyerang dengan cakarnya. Ingin ia mengoyak punggung hyung yang sekarang jadi musuhnya itu. Sungguh, dendam dirinya akibat berbagai luka telah tertoreh karena Chanyeol. Harus balas dendam!

Kai baru saja akan muncul dan melancarkan serangan, saat senjatanya tertahan pedang Chanyeol. Pedang kembar yang disilangkan itu ternyata berhasil menggagalkan serangan maut Kai. Rupanya, pemuda berkekuatan api itu berhasil membaca arah serangan untuk kesekian kali. Sialan sekali.

Kai mencoba menekan dan meruntuhkan pertahanan Chanyeol. Sia-sia saja. Chanyeol sangat kuat. Tak menyerah, pemuda berkulit tan itu kembali berteleportasi. Kembali, ia berusaha melancarkan serangan lain. Lagi-lagi, hasilnya sama. Chanyeol berhasil menggagalkan serangannya.

Gagal melancarkan berbagai serangan, Kai terpenuhi oleh amarah membara. Apalagi, ia tak bisa melakukan teleportasi karena harus meladeni permainan senjata Chanyeol. Gerakan Chanyeol dengan pedang kembarnya begitu cepat dan akurat. Luka mulai memenuhi tubuh Kai. Sungguh, keadaan itu membuatnya semakin marah. Berulangkali ia mencoba melukai pemuda berkekuatan api itu, namun yang tercipta hanya luka gores—luka tak dalam. Kai benar-benar merasa frustasi. Tubuhnya sekarang pun terpenuhi luka bakar. Beberapa kali, Chanyeol melemparkan bola api yang membakar kulit Kai.

Bruak

Lemparan bola api tercipta terarah tepat pada Kai. Pengendali teleportasi tak bisa menghindar. Ia terlempar. Tubuhnya menghantam sebuah tiang batu bekas reruntuhan bangunan di padang. Rasa sakit menyergap dan melumpuhkan Kai. Ia masih sadar, meskipun rasa sakit membuatnya ingin pingsan saja. Begitu menyiksa.

Chanyeol melihat Kai dengan sedikit khawatir. Sepertinya dongsaeng kesayangannya itu terluka parah. Ia berniat mendekati pemuda berkulit tan, namun langkahnya terhenti. Jarum es berterbangan ke arahnya secara tiba-tiba. Tanpa menunggu, ia putarkan kedua pedang kembar guna menangkis serangan jarum es itu. Beberapa dari benda tajam nan dingin terpantul. Permukaan tanah dan pohon di sekitar padang penuh dengan jarum yang menancap sempurna.

Tubuh Chanyeol pun sama. Pertahanan pengendali api tak cukup kuat. Beberapa jarum es lolos dan melukai dirinya. Menggoreskan luka memanjang, bahkan tertancap di tubuhnya. Namun, tak Chanyeol pedulikan semua itu. Ia terus mencoba bertahan, melindungi diri dari serangan Xiumin lebih jauh.

Serangan jarum es akhirnya berhenti. Xiumin mengerutkan kening sebal karena serangannya tak begitu mempan. Dikeluarkannya busur esnya sebelum melepaskan sebuah anak panah es tajam ke arah Chanyeol.

Chanyeol berusaha menangkis anak panah berkecepatan tinggi itu, namun gagal. Paha kanannya tertembus dan terasa sangat sakit. Dingin dan panas seolah membuat kakinya mati rasa.

Segera, pemuda itu menggunakan selimut api di sekujur tubuh. Panah es yang tertanam mencair dan meninggalkan bekas luka berdarah. Cairan kental merah terus mengalir deras bersamaan air hujan yang turun. Dengan meringis, Chanyeol merangsek ke depan. Pedang kembar berputar cepat dengan selimut api membara.

Xiumin mendecih. Tak ia sangka, Chanyeol masih bisa bergerak, apalagi sampai mengeluarkan kekuatan api. Terlalu terkejut dengan aksi yang seharusnya tak mungkin itu, sang Pengendali Es tak sempat beranjak. Radiasi panas mendadak ia rasakan mendekat. Radiasi yang belum pernah ia rasakan sebelumnya membuat tubuh seolah semakin terpaku.

Sadar terlambat untuk menghindar, Xiumin segera memasang perisai es di depan tubuhnya. Radiasi panas Chanyeol harus dihalangi sebelum tubuhnya terbakar! Sambil terus menahan perisai es, Xiumin terus bergerak mundur. Ia harus membuat jarak cukup sehingga ia bisa menggunakan senjata.

Namun, tak berhasil. Chanyeol terlalu cepat dan panas. Perisai es Xiumin mulai mencair dengan cepat, padahal jarak untuk melancarkan serangan balasan belum ia capai. Xiumin hanya bisa mendengus. Ia hanya bisa bertahan dan bergerak mundur sekarang.

Pengendali api merasa di atas angin. Sebuah serangan ia lancarkan. Tebasan api berbentuk silang terus berputar-putar dan menghantam perisai es Xiumin. Barrier itu hancur. Meledak. Asap membumbung. Panas api dengan kekuatan besar berhasil menguapkan es yang cukup tebal milik pengendali es.

Ledakan besar membuat tubuh Xiumin terpental. Ia jatuh tersungkur di dekat Tao dan Luhan yang kala itu sedang berusaha 'mengambil alih' Baekhyun. Luka bakar memenuhi sekujur tubuhnya.

Chanyeol terengah. Napas memburu. Pengendali api merasa kehilangan kontrol atas tubuhnya. Seolah, tubuh jangkung itu diambil alih oleh satu kekuatan yang sama sekali tak ia kendalikan. Tak sadar, dengan kekuatan di luar keinginan, ia berhasil mengalahkan dua pengendali yang memiliki kemampuan jauh di atasnya. Dalam hal pengendalian kekuatan, tentunya.

Namun, tak ada rasa bangga dirasakan. Mereka adalah temannya. Dan, sungguh tak menyenangkan harus melawan dan menyakiti rekan perjuangannya. Kemenangan itu tak ada artinya. Ia tak peduli. Tak peduli pula ia dengan semua luka dan rasa sakit yang mendera. Tak peduli ia akan semua hal. Kecuali satu. Ya, hanya Baekhyun. Ia hanya ingin Baekhyun selamat. Entah, apa pun yang terjadi nanti, Baekhyun harus berhasil ia selamatkan. Tak ingin ia melihat pengendali cahaya terluka dan menderita. Sama sekali tak ingin.

.


.

Tao memandang pertarungan Chanyeol melawan Kai dan Luhan dingin. Pertarungan itu membosankan dan tak menarik—meskipun, jujur, ia membenci apa yang ia rencanakan tak berjalan dengan mudah. Apalagi karena Chanyeol. Hyungnya itu merusak segalanya. Mengapa ia bisa sekuat itu? Apa ia terlalu meremehkan Chanyeol? Tao mendengus. Ia memilih kembali fokus pada Baekhyun.

Pengendali cahaya terus saja berteriak kesakitan. Kepalanya terus saja dipegangi dengan kedua belah tangan. Seolah ada sesuatu di dalam kepala yang terus menyiksa. Sungguh, ia tampak sangat menderita.

Meskipun Baekhyun adalah hyung kesayangan Tao, pengendali waktu hanya diam melihat penyiksaan itu. Sebenarnya pedih sekali membuat Baekhyun berteriak kesakitan, namun Tao meneguhkan diri. Ini harus ia lakukan. Toh, semua ini demi Baekhyun. Baekhyun harus bergabung dengan mereka jika tak ingin mati. Baekhyun harus bersatu di sisinya!

Tao melirik Luhan yang sedang melakukan jurusnya pada Baekhyun. Ia minta pengendali telekinesis untuk menambah ilusi dan menciptakan berbagai ingatan buruk pada pengendali cahaya untuk melemahkan pertahanan mentalnya.

Luhan pun melakukan apa yang Tao minta. Tanpa perasaan, ia keluarkan jurusnya—menyiksa Baekhyun tanpa henti. Tak ia pedulikan teriakan dan tangisan Baekhyun. Teriakan penuh rasa sakit itu terus terdengar, sampai akhirnya melemah, meninggalkan pengendali cahaya tanpa daya.

Sehun yang baru bergabung hanya melihat semua yang terjadi tanpa minat. Sungguh, baginya semua itu tak menarik. Membosankan. Ia hanya ingin cepat semua selesai.

Tao masih saja berdiri dalam diam sambil memerhatikan Baekhyun, saat tiba-tiba Xiumin terlempar di hadapannya. Ia alihkan pandangannya pada pengendali es. Dengusan keluar sejenak, sebelum ia mengulurkan tangan untuk membantu Xiumin berdiri.

Pengendali es mencoba berdiri di atas kedua kakinya. Tubuhnya gemetar hebat. Rasa sakit menyergap—seolah melumpuhkan. Luka bakar tampak mewarnai kedua belah tangannya. Memerah dan terlihat begitu menyakitkan. Emosi mendadak memenuhi diri Xiumin. Ia tak bisa menerima perlakuan Chanyeol yang sampai membuat tubuhnya terluka separah itu.

Xiumin berniat merangsek maju untuk membalas Chanyeol, saat tangannya mendadak tertahan.

Tao.

"Hyung, bantu aku untuk melakukannya sekarang."

Sebenarnya, Xiumin lebih ingin menghajar Chanyeol. Namun, pandangan tajam Tao membuatnya menahan diri. Dengan setengah hati, ia menggangguk.

Tao beralih pada Luhan. Ia memberi tanda pada pemuda bermata rusa itu untuk melakukan satu prosesi. Sudah saatnya. Pengendali telekinesis menarik napas dan menggangguk pelan.

Ketiga pasang mata itu melihat Baekhyun. Pengendali cahaya sudah tak berdaya—bahkan, sudah kehilangan kesadaran. Tubuh tak bertenaga itu sudah bersimpuh lemah.

Tao mendekati Luhan dan membuat Baekhyun berdiri. Direntangkan kedua tangan pengendali cahaya—sambil terus menahan posisinya.

Xiumin memejamkan mata. Es tipis menyelubungi tangan yang terluka—membuatnya jauh lebih baik. Matanya terbuka dan ia bergerak mendekati ketiga pengendali lain. Setelah menarik napas dalam, Xiumin merapal mantra. Mendadak, sebuah balok es tebal dan lebar muncul di belakang tubuh Baekhyun, bak alas penopang. Ia terus merapal mantra, dan es mulai mengunci pergelangan tangan dan kaki pengendali cahaya. Posisi Baekhyun benar-benar terkunci. Tao dan Luhan pun tak perlu lagi menahan tubuh pemuda kecil itu.

Sempurna. Tinggal melakukan prosesi 'itu' saja.

.

.

Chanyeol masih terengah. Sungguh, ia merasa sangat lelah. Tenaganya benar-benar terkuras habis. Ingin ia tertidur—mengistirahatkan diri. Namun, melihat perlakuan Tao dan yang lain pada Baekhyun, bagaimana mungkin ia melakukan itu? Tidak. Ia harus mengabaikan keinginannya itu. Ia harus segera bergerak!

Emosi kembali memenuhi Chanyeol. Penuh amarah dan tak bisa ia kendalikan. 'Apa lagi yang akan mereka lakukan pada Baekhyun? Ini semua sudah keterlaluan!' jerit pengendali api dalam hati.

"Sudah kubilang, hentikan! Lepaskan Baekhyun!" teriak Chanyeol. Amarah benar-benar menguasai pikirannya. Ia sungguh tak mengerti mengapa semua ini terjadi? Mengapa teman-temannya tega menyiksa Baekhyun? Apa yang akan mereka lakukan sebenarnya?

Chanyeol tak tahan lagi. Ia harus menyelamatkan Baekhyun! Ia tak bisa membiarkan pengendali cahaya tersiksa lebih lama!

Pengendali api baru saja akan berlari menerjang Tao dan yang lain, saat tiba-tiba tubuh jangkungnya terhempas jauh—menghantam sebuah pohon besar dengan keras. Dan, setelah hantaman keras itu, Chanyeol tersungkur sambil menahan sakit. Punggungnya benar-benar terasa remuk.

Angin besar tadi—ah, Sehun. Pengendali termuda itu berdiri tak jauh dari Chanyeol. Wajah dingin dan tanpa ekspresi tampak jelas. Di tangan, ia memegang senjata—wind dagger. Sehun memutar bola mata malas. Sungguh, mengapa ia harus melakukan tindakan membosankan ini?

Sambil meringis menahan sakit, Chanyeol mencoba berdiri, bertumpu kedua tangan dengan susah payah. Belum sempat ia melakukannya, tubuhnya kembali terhempas. Jauh lebih keras. Angin besar itu melemparkannya hingga menabrak sebuah tiang batu.

Bekas penumpu bangunan yang didominasi reruntuhan itu hancur seketika, menjadi puing dan serpihan. Beberapa puing besar berjatuhan menimpa tubuh Chanyeol. Tapi, yang paling parah adalah yang menimpa tangan kanan pengendali api. Tangan itu berdarah. Chanyeol hanya bisa berteriak kesakitan saat merasakan tulang tangannya itu retak atau patah—atau lebih parahnya, mungkin hancur tertimpa puing besar.

Pengendali api itu mungkin akan terus berteriak kesakitan atau pingsan, seandainya tak mendapati pemandangan yang membuat emosinya bercampur. Di sela lebatnya hujan yang menghalangi penglihatan, Chanyeol semakin dipenuhi emosi. Amarah yang disertai kesedihan mendalam. Semua tampak membuncah. Tak terkendali.

Dilihatnya Tao mengeluarkan sesuatu. Sesuatu yang memancarkan sinar gelap dari dalam tubuhnya, melewati dada pengendali waktu. Chanyeol tak bisa memastikan benda apa itu, namun, ia yakin sangat buruk dan jahat. Setelah memicingkan mata, pengendali api melihat sebuah benda menyerupai kristal hitam. Chanyeol bisa merasakan kristal itu dipenuhi aura kegelapan. Sang Pengendali Api kini melihat Tao kini berusaha memasukkannya ke tubuh Baekhyun.

Kala itu, tubuh pengendali cahaya sudah tak bergerak. Memang sudah tak berdaya dan sadar, rupanya. Siksaan mental yang dilakukan Luhan benar-benar menguras habis tenaga. Namun, begitu kristal hitam dilesakkan paksa memasuki tubuh kecilnya, Baekhyun langsung bergerak. Tubuhnya meronta keras—berusaha menolak benda beraura gelap itu. Semakin kristal berusaha memasuki Baekhyun, semakin keras tubuh itu memberontak.

Namun, apa daya, semua gerakan meronta itu tak ada gunanya. Apalagi, posisi tubuh Baekhyun terkunci oleh es milik Xiumin. Tubuh itu hanya bisa terus menghentak—tanpa ada hasil yang tampak. Bahkan, usaha melepaskan diri itu malah membuat Baekhyun terluka. Darah mulai keluar dari tangan dan kaki yang terkunci.

Mata Baekhyun yang terpejam membelalak lebar. Pupilnya membesar dan mengecil. Bola mata itu terlihat semakin kelam—hanya tampak kegelapan tanpa ujung di sana. Teriakan penuh rasa sakit lolos dari mulut pengendali cahaya. Semua itu menunjukkan betapa tersiksanya pengendali cahaya. Tapi, apa daya? Tak ada seorang pun yang membantunya. Tak satu pun yang melepaskannya.

Sungguh, tak kuasa Chanyeol melihat pemandangan menyakitkan itu. Demi apa pun, ia berharap semua hanyalah mimpi. Ini pasti hanya mimpi buruk. Bukan kenyataan yang harus ia hadapi. Namun, sekalipun mimpi, semua ini terlalu kejam. Bahkan, sejujurnya, mimpi buruknya belakangan tak ada apa-apanya dibanding apa yang harus ia lihat sekarang. Tidak. Ini terlalu menyakitkan.

Chanyeol menangis. Air mata mengalir bersamaan hujan yang semakin deras turun. Setelah terpaku beberapa saat, ia akhirnya berusaha membebaskan diri. Dengan sedikit memaksa, ia gerakkan tangan kiri yang ternyata masih memegang erat satu pedang. Dipejamkan mata sembari memusatkan pikiran. Api mulai menyelubungi tangan dengan pedang itu. Ia menggerakkan pedang dengan selubung api dengan susah payah. Mulutnya terkatup rapat menahan sakit. Dan, tanpa ragu, ia menebaskan pedang itu ke puing besar yang menimpa tangan kanannya.

Blar

Batu itu hancur berkeping. Tebasan itu terlampau keras, rupanya. Luka besar menganga tampak di punggung tangan Chanyeol. Darah mengalir deras—terbasuh air hujan yang semakin lebat. Rasa sakit semakin menjadi-jadi. Tapi, Chanyeol tak peduli itu. Sekalipun tangannya hancur, ia tak peduli lagi. Yang pasti, ia harus segera bebas dan bergerak.

Tangan kiri Chanyeol bergerak kembali. Pedang yang dipegang kini sudah menancap di tanah yang basah. Ia alihkan tangan itu untuk merobek lengan baju kanannya. Berusaha keras pengendali api bersimpuh.

Kini, tangan kanan yang terluka parah ia paksakan untuk menggenggam erat pedang yang satu. Sungguh, rasanya sangat sakit. Begitu sulit. Namun, Chanyeol tak menyerah. Ia semakin erat menggenggam pedang dengan tangan kanannya itu. Ia gunakan sobekan kain pakaian untuk mengikat erat pedang dengan tangan sedemikian rupa. Dengan begitu, pegangan pedang di tangan kanan tak akan terlepas—akan tetap kencang.

Segera setelah melakukan hal itu, Chanyeol mengambil pedang yang tertancap di tanah. Dipegangnya erat menggunakan tangan kiri. Pengendali api sudah bersiap dengan kedua pedang kembarnya. Bahkan, ia sudah berhasil berdiri dengan susah payah. Kuda-kuda sudah mapan. Chanyeol benar-benar bersiap menyerang. Napas terengah dan ringisan masih tampak. Namun, tekad pengendali api sudah bulat. Matanya memancarkan kekosongan, seolah tanpa emosi. Semua hal menyakitkan yang dilihatnya membuat Chanyeol seperti itu. Sungguh, ia bak mayat hidup.

Chanyeol menarik napas panjang dan mulai merangsek ke depan. Ia siap menghadapi Sehun yang hanya terpaku melihat dirinya. Namun, langkah pengendali api terhenti.

Kai dan Xiumin kini sudah terlihat di kedua sisi Sehun. Mereka bersiap menyerang dengan senjata masing-masing. Wajah mereka benar-benar terlihat dingin—namun mata memancarkan amarah.

Chanyeol mendecih. Jadi, ia harus melawan tiga pengendali sekaligus? Haruskah ia melakukannya?

Pengendali api akhirnya menarik napas panjang. Mau tak mau, ia harus menghadapi ketiga pengendali di depannya. Tak peduli apa pun yang terjadi—sekalipun ia harus mati— ia harus berhasil menyelamatkan Baekhyun. Ya, itu harus.

.


.

Pertarungan terus terjadi. Keempat pengendali berusaha keras melancarkan serangan demi memenangkan pertarungan. Desingan anak panak, tabrakan antar pedang dan suara ledakan mewarnai pertarungan sengit itu. Pukulan, tendangan, adu senjata dan adu kekuatan terjadi.

Chanyeol memang kalah jumlah, begitu juga ia kalah kekuatan. Namun, ia tetap berusaha bertahan. Tak peduli berapa kali ia tersungkur, terkena pukulan. Tak peduli pula berapa kali senjata atau kekuatan lawan melukai dan menghancurkan tubuhnya. Ia sudah tak peduli. Yang ia tahu pasti, ia harus bisa bertahan.

Mata kiri Chanyeol terlihat membengkak. Lebam dan luka menghiasi seluruh wajah dan badan pengendali api. Darah pun mengalir di sekujur tubuhnya. Tapi, Chanyeol terus bertahan. Ia berusaha tetap melancarkan serangan. Pedang kembarnya masih menari-nari meskipun semakin lambat karena luka yang diderita. Pemuda jangkung itu pun beberapa kali menggunakan kekuatan api yang belum maksimal untuk melawan musuh. Beruntung, dengan segala keterbatasannya, Chanyeol berhasil menghajar dan menorehkan luka pada tiga pengendali. Luka itu cukup parah sehingga membuat pergerakan Sehun, Kai dan Xiumin terhambat.

Meskipun ketiga pengendali terluka, tetap saja mereka jauh lebih kuat. Terlebih jika mereka menggabungkan kekuatan. Tiga lawan satu. Sejak awal pertarungan itu memang tidak adil.

Sehun, Kai dan Xiumin baru saja melepaskan serangan terakhir. Angin tornado dibuat Sehun—menarik tubuh Chanyeol ke dalam pusaran. Jarum es berterbangan memasuki tornado dan melesat ke arah pengendali api. Chanyeol sama sekali tak mampu bergerak bebas. Tubuhnya terus berputar dalam lingkaran angin besar itu. Tak kuasa pula ia menghindari serangan pengendali es. Jarum-jarum es melukai tubuhnya—menggores setiap jengkal kulit dan dagingnya.

Kai sendiri menggunakan kekuatan teleportasi. Ia berpindah memasuki pusat tornado, menarik tubuh Chanyeol yang masih berputar dalam pusaran. Dengan cepat, ia membanting tubuh jangkung pengendali api ke tanah dengan begitu keras—membuat tangan kiri Chanyeol patah. Teriakan lolos dari mulut pemuda itu. Semua terasa sangat menyakitkan.

Tornado sudah berhenti, begitu pula dengan serangan jarum es milik Xiumin. Ketiga pengendali berdiri sejajar menatap Chanyeol sinis.

Pengendali api masih tetap terbaring. Tak bisa ia menggerakkan tubuhnya. Tak bisa ia bangkit lagi. Tenaganya terasa habis—tak ada yang tersisa. Tubuh jangkung miliknya sudah benar-benar di ambang batas—tak bisa bertahan lebih lama. Pupus pula jiwa bertarungnya. Inikah akhirnya?

Chanyeol sadar ia berada di ambang kematian. Namun, ia tahu bahwa apa pun yang terjadi ia tak boleh mati. Tidak, sebelum ia berhasil menyelamatkan Baekhyun. Ia harus hidup! Raganya mungkin sudah di ambang batas, namun keinginan untuk menyelamatkan Baekhyun akan tetap membuatnya hidup. Ia percaya itu. Bagaimana pun Baekhyun membutuhkan dirinya. Tak peduli ia harus mati nanti, yang pasti sekarang ia harus bisa menyelamatkan Baekhyun. Sekarang, IA HARUS TETAP HIDUP!

.


.

Melihat Chanyeol yang nyaris kalah membuat Tao mendecih. Tatapan remeh ia layangkan sebelum menyeringai. Bodoh sekali Chanyeol itu. Ia sudah kalah, mengapa ia masih saja bertahan hidup? Mengapa ia begitu bersikeras untuk tak mati? Menyedihkan sekali. Bagaimanapun sudah tak ada gunanya hyungnya itu bertahan. Toh, sebentar lagi, Baekhyun akan bergabung dengan dirinya. Tinggal menunggu kristal hitam merasuk ke dalam tubuh pengendali cahaya. Sempurna.

Kristal beraura kegelapan sudah memasuki tubuh Baekhyun. Meskipun sudah tak terlihat, Baekhyun masih tetap meronta. Teriakan masih saja terdengar. Justru semakin keras.

Tao seolah menulikan dan membutakan diri. Ini bukan saatnya peduli pada Baekhyun. Setidaknya, tidak di saat menentukan seperti ini. Ia harus melakukan tugas. Tugas yang akan membuat pengendali cahaya beralih ke kubunya.

Ia berjalan mendekati Baekhyun—berhadapan. Kedua belah tangan ditangkupkan pada hyung yang ia sayangi itu. Perlahan, Tao mendekatkan wajah ke arah Baekhyun. Dengan cepat, bibirnya memagut bibir pengendali cahaya yang tengah berteriak. Mendapat perlakuan itu, Baekhyun semakin meronta. Tao tak menghentikan tindakannya. Ia malah semakin melumat bibir Baekhyun. Sampai akhirnya—

Blitz—

Blaar—

Tiba-tiba, Tao dan Luhan terpental. Tubuh mereka menghantam pohon dan tiang batu dengan begitu keras. Kesadaran sempat menghilang—kelumpuhan menyergap sementara.

Tiang cahaya terang muncul menyelimuti tubuh Baekhyun. Balok dan pengunci es yang mengekang tubuhnya hancur berkeping-keping. Pengendali cahaya akhirnya terbebas. Dan, tiang cahaya besar tadi menghilang cepat—meninggalkan Baekhyun yang bersimpuh lemah dan tertunduk.

.

.

Setelah beberapa saat, Tao dan Luhan mulai mendapatkan kesadaran. Namun, tubuh mereka masih belum bisa digerakkan. Masih terasa sakit dan lumpuh.

Sehun, Kai dan Xiumin yang sebelumnya menganiaya Chanyeol menghentikan aksi mereka. Ketiganya terpaku melihat kejadian luar biasa yang terjadi barusan.

Chanyeol pun sama. Di sela rasa sakitnya, ia melihat satu keajaiban. Sulit untuk dipercaya Baekhyun berhasil mengeluarkan cahaya sebesar itu!

Dan, mendadak, Chanyeol merasakan energi besar memenuhi dirinya. Apakah itu efek energi yang dikeluarkan Baekhyun? Sungguh, energi itu begitu kuat—membuat pengendali api melupakan fakta atas semua luka dan rasa sakit yang ia rasakan sebelumnya.

Perlahan, Chanyeol bangkit berdiri. Mata tertutup, mulut sibuk merapal mantra. Difokuskan energi besar yang menyelimuti—menjadikannya sebagai sumber kekuatan. Energi tadi berubah bentuk menjadi api. Api besar menyelubungi tubuh pemuda jangkung itu. Api berwarna merah menyala dengan sedikit nyala biru keunguan. Semakin lama, semakin besar, dengan radiasi panas luar biasa.

Api milik Chanyeol terus membesar. Tak hanya menyelubungi tubuhnya, tapi melebar luas. Sebuah bentuk mulai terlihat. Api itu membentuk sayap dan paruh burung besar. Tak begitu sempurna, namun orang akan bisa melihat bentuk burung api besar. Phoenix.

Perubahan Chanyeol itu terlambat disadari oleh tiga pengendali yang tadi melawan. Mereka terlalu terpaku pada Baekhyun hingga lupa pada sang Pengendali Api. Namun, begitu sadar apa yang terjadi, mereka lalu bersiaga. Kuda-kuda menguat dan mereka langsung menerjang Chanyeol. Mereka harus menghentikan pengendali api itu jika tak mau rencana mereka gagal.

Namun nyatanya, mereka benar-benar terlambat. Chanyeol sekarang adalah sosok yang begitu kuat. Lebih kuat dari sebelumnya. Serangan Sehun, Kai dan Xiumin ditepisnya dengan mudah dengan sayap phoenix yang menyelubungi. Serangan lawan pun sia-sia, begitu pun dengan kombinasi kekuatan mereka bertiga. Semua gagal.

Frustasi, ketiga pengendali itu memutuskan menyerang Chanyeol dengan membabibuta secara bersamaan. Dan, lagi-lagi mereka gagal. Phoenix itu melindungi Chanyeol dengan sempurna. Sayap besar berselubung api kini menghempaskan ketiganya. Luka parah memenuhi tubuh dan membuat mereka tak bisa bergerak.

.


.

Hujan semakin deras turun. Petir menyambar disertai guntur bergemuruh. Angin dingin terus bertiup. Langit gelap menggantung. Suasana semakin mencekam.

Berhasil membuat lawan tak berdaya, Chanyeol melangkahkan kaki mendekati Baekhyun perlahan. Pemuda bertubuh kecil itu masih duduk tak bergerak. Pengendali api sangat mengkhawatirkan Baekhyun—terus berharap ia baik-baik saja.

Kala berada di depan Baekhyun, Chanyeol berusaha keras berlutut. Lega rasanya, Baekhyun akhirnya selamat. Itu semua pun berkat sang Pengendali Cahaya. Kekuatan api yang masih menyelubungi tubuhnya itu karena Baekhyun. Kekuatan besar itu—ah, Chanyeol masih tak percaya bahwa ia berhasil menyelamatkan sang sahabat dengan kekuatannya!

Chanyeol tersenyum kecil. "Baekkie— Tenanglah. Kau sudah selamat," bisik Chanyeol lirih.

Dengan sedikit memaksa, pengendali api menggerakkan tangan patahnya guna mengangkat wajah Baekhyun yang tertunduk. Lembut dan perlahan ia melakukannya. Wajah itu terangkat—menunjukkan wajah pucat Baekhyun. Mata pengendali cahaya tertutup, namun Chanyeol bisa melihat begitu manis sahabat yang ia kasihi.

Senyuman kembali menghiasi bibir Chanyeol. Pengendali api berusaha merengkuh Baekhyun ke dalam pelukan, namun tiba-tiba—

JLEB!

Sebuah benda tajam berujung runcing menembus perut Chanyeol. Pengendali api itu tak berkutik. Tubuhnya mendadak mati rasa. Ia coba melirik ke arah bagian tubuh yang tertusuk. Benda kecil panjang dengan ujung runcing menusuk perutnya—membuat darah mengalir di sela senjata itu dan perut. Pakaian yang Chanyeol pun diwarnai cairan kental berbau anyir. Rasa sakit seharusnya membuat pengendali api berteriak atau setidaknya meringis. Namun, itu tak ia lakukan.

Ya, mata Chanyeol terlalu terpaku dengan apa yang dilihatnya. Sungguh, ia tak bisa memercayainya! Bagaimana mungkin? Apa yang terjadi? Benda yang menusuknya—sebuah rapier? Tapi, siapa—mengapa?

Phoenix yang menyelimuti Chanyeol tiba-tiba menjerit. Melengking dengan suara tinggi. Terdengar sangat kesakitan saat rapier menembus tubuh pengendali api. Api dan phoenix yang dibentuknya dengan cepat menghilang—meninggalkan Chanyeol dengan luka bakar dan rasa sakit luar biasa.

Chanyeol berusaha keras mengangkat kepalanya. Sungguh, ia takut mengetahui apa yang terjadi. Begitu wajahnya terangkat, didapatinya Baekhyun sudah membuka mata. Sebuah seringai jahat terpatri di bibir pemuda bertubuh mungil itu. Namun, bukan itu fokus utama Chanyeol.

Mata Baekhyun—ya, mata pengendali cahaya, sudah tak tampak gelap dan kosong lagi. Mata itu bukan mata buta Baekhyun. Bukan. Mata Baekhyun berubah menjadi putih pucat. Namun, ada sesuatu yang salah di sana. Sesuatu yang sangat buruk dan jahat tampak di matanya itu. Bukan—itu bukan mata Baekhyun!

"Bae— Baekkie—" panggil Chanyeol lirih.

Baekhyun semakin lebar menyeringai. "Naif dan bodoh sekali kau ini, Park Chanyeol. Begitu menjijikkan. Kau menggelikan sekali, Pengendali Api. Ah~ haruskah aku memanggilmu, Yeollie?" Nada sarkastik lolos dari mulut Baekhyun.

Mendengar itu, Chanyeol semakin terpaku. Ada apa? Apa yang sebenarnya terjadi pada Baekhyun? "Bae— Baekkie— Menga—Mengapa?" Perut Chanyeol semakin deras mengeluarkan darah. Tangannya bergerak untuk menghambat pendarahan. Namun, sia-sia. Darah mengalir di sela jemarinya.

JLEB!

Semakin dalam rapier Baekhyun menusuk Chanyeol. Senjata kecil berujung runcing itu kini bahkan menembus tubuh pengendali api. Darah semakin deras keluar. Tubuh Chanyeol gemetar. Tak ada suara yang keluar. Padahal, tubuhnya terasa sangat sakit.

Baekhyun menarik rapiernya cepat. Luka cukup besar terlihat menghiasi perut Chanyeol. Bahkan, tangan yang sempat menahan laju aliran darah terkena senjata pengendali cahaya. "Mengapa? Tentu saja karena aku ingin menjadi kuat." Baekhyun bangkit berdiri, memandang jijik pemuda di depannya.

Chanyeol tak berkutik. Perasaannya bercampur baur. Rasa sakit, kecewa, tak percaya, marah, bingung, sedih—semua bercampur. Sungguh, apa yang dilakukan Baekhyun? Mengapa ini bisa terjadi?

"Hei, Yeollie, mau kutunjukkan sesuatu?" tawar pemuda berkekuatan cahaya—tanpa menghiraukan pandangan tak percaya Chanyeol.

Baekhyun mundur beberapa langkah, sementara Chanyeol mendongak mengikuti gerak Baekhyun. Pandangan sedih tampak jelas memenuhi pengendali api.

Pengendali cahaya menjentikkan jari. Sebuah sinar gelap muncul dan memancar dari tubuh Chanyeol. Sinar itu terpusat dari luka rapiernya—seolah luka itu adalah sebuah lubang kegelapan yang terbentuk dalam tubuh.

Kala sinar itu memancar, Chanyeol merasakan tubuh dan jiwanya hancur. Ada sesuatu yang mencoba meremukkan dirinya dari dalam. Tapi, Chanyeol tak tahu apa itu. Yang pasti itu sangat menyakitkan. Sungguh, itu menyiksa sekali.

Tubuh pengendali api membentuk lengkungan—seolah berusaha bereaksi menahan rasa sakit karena sinar gelap tadi. Mulut Chanyeol tanpa sadar terbuka—seakan meneriakkan kesakitan. Namun, tak ada sedikit suara keluar. Mata pengendali api mulai tampak kosong, tanpa cahaya. Kegelapan kuat itu benar-benar mencoba menghancurkan raga dan jiwa Chanyeol dari dalam. Kekuatan gelap itu sangat besar. Cekungan landai dan lebar terbentuk di tempat pengendali api berlutut. Sungguh, efek yang sangat mengerikan.

Selama beberapa saat, Chanyeol mengalami semua itu. Didera rasa sakit luar biasa. Akhirnya, tubuhnya jatuh tersungkur. Ambang kematian terasa sangat dekat. Sungguh, Chanyeol merasa ajalnya sudah dekat. Dan, jika diperbolehkan, ia ingin mati saja saat ini. Jiwa dan tubuh tak mampu bertahan. Apalagi Baekhyun berubah jadi jahat—bergabung menjadi lawan. Gagal sudah ia menyelamatkan sahabat yang ia kasihi. Ia tak berguna. Ia gagal. Ia tak bisa memenuhi janji untuk melindungi Baekhyun. Semua sudah berakhir.

.


.

Pengendali cahaya berdiri di sisi atas cekungan. Tao dan Xiumin pun sudah bangkit berdiri dan mendekati Baekhyun yang sudah bergabung dengan mereka. Luhan tampak tergendong di punggung Sehun. Sepertinya, ia belum sepenuhnya sadar.

Kai sendiri berteleportasi dan muncul di dekat tubuh Chanyeol. Dengan kasar, diinjaknya kepala hyungnya yang sudah tak berdaya. Separuh tubuh dan wajah Chanyeol terbenam dalam tanah basah menyerupai lumpur. Perasaan amarah penuh dendam memenuhi pemuda berkulit tan, karena itulah ia ingin membalas Chanyeol berkali-kali lipat.

Kai masih akan membalas dendam, kalau Baekhyun tak menghentikannya. "Cukup, Kai. Kita pergi. Selamat tinggal, Park Chanyeol." Baekhyun menyeringai sebelum berbalik meninggalkan tempat pertarungan. Lima pengendali lain mengikuti.

Chanyeol yang terbaring tak berdaya memang hanya terdiam. Tak bisa merespon. Terlalu lemah raga dan jiwanya untuk menanggapi apa pun. Bahkan, ia tak punya keinginan untuk melakukannya. Pun, keinginan hidup ia tak punya. Ia hanya bisa menangisi kegagalannya.

'Jangan pergi! Baekkie—Jangan tinggalkan aku! Maaf, aku gagal melindungimu. Maafkan aku. Kris Hyung, maaf—Aku gagal. Aku gagal. Aku gagal. Hyung, aku—aku—menyerah.' Mata Chanyeol terpejam. Air mata mengalir bersamaan dengan hujan yang semakin deras mengguyur. Saat itu, kegelapan benar-benar menghancurkan Chanyeol seutuhnya.

.


.

Kris mengedarkan pandangan dari atas Rex. Sudah berjam-jam, ia berusaha mencari keberadaan dua dongsaengnya—Chanyeol dan Baekhyun. Sungguh, perasaannya tak enak. Jantungnya terus berdebar. Dirasakannya sesuatu buruk akan terjadi. Entah apa itu. Yang pasti, ada sesuatu yang akan menimpa Chanyeol dan Baekhyun. Instingnya tak pernah salah.

Langit berubah gelap. Udara menjadi dingin. Angin bertiup kencang membuat Kris sedikit mengeratkan pakaiannya. Guntur bergemuruh. Ada aura kegelapan terasa saat angin menerpa tubuh pengendali naga. Ia tak suka ini. Apalagi, belum ada tanda-tanda Chanyeol atau Baekhyun. Kekalutan dan emosi mendadak menyergap. Kris mengepalkan tangan. Ia mendadak merasakan rasa takut luar biasa. Perasaan ini—ia benci sekali.

Gerimis mulai turun. Semakin lama, semakin deras. Petir menyambar tanpa henti. Tiupan angin pun semakin kencang. Kegelapan benar-benar melingkupi daerah yang dulu pernah dihuni manusia, namun ditinggalkan karena serangan pasukan kegelapan.

'Di mana kau, Park Dobi?' tanya Kris dalam hati. Rasa takut dan khawatir mendominasi. Tak bisa Kris menghilangkan perasaan itu sebelum bertemu dengan dua pengendali yang tak bisa menggunakan kekuatan mereka.

Kris masih sibuk mencari Chanyeol dan Baekhyun, saat Lay mendadak muncul dengan hewan panggilannya. Sang Unicorn, Chiyu. Hewan panggilan Lay menyerupai seekor kuda putih tanpa sayap. Tanduk panjang runcing tampak di dahi makhluk itu. Sungguh, begitu cantik dan menawan. Meskipun tak punya sayap, Chiyu diberi kemampuan terbang walaupun sejenak.

"Kau sudah menemukan jejak mereka?" tanya Kris tanpa memandang Lay.

Sang Penyembuh menggeleng. "Tak ada tanda-tanda mereka sama sekali, Hyung."

"Apa yang lain lebih beruntung dari kita?" desak Kris lagi.

"Entahlah, Hyung. Aku belum tahu. Kuharap mereka bisa menemukan jejak Baekhyun dan Chanyeol dari darat." Lay mengelus surai putih hewan panggilannya. Ia memilih diam termenung sejenak.

Helaan napas keluar dari Kris. Ingin rasanya ia menghilangkan rasa tak nyaman yang memenuhinya. Begitu sesak dadanya. Perasaannya sangat tak enak. Ia benar-benar takut. Tak bisa lagi ia mengendalikan diri dan emosi. Kegelisahan tergambar jelas di wajah pengendali naga.

Lay menatap Kris lekat. Ia sedikit terkejut melihat campuran emosi di muka sang pemimpin. "Hyung, tenanglah. Semua akan baik-baik saja."

Kris mengabaikan apa yang Lay katakan. Percuma saja. Tak ada gunanya mendengarkan perkataan itu. Kata-kata itu tak akan mampu membuat Kris mengendalikan emosi kembali. Tidak, sampai ia menemukan Chanyeol dan Baekhyun dalam keadaan baik-baik saja. Hanya itu yang Kris butuhkan untuk kembali tenang. Ia hanya bisa berharap. Berharap tak terjadi sesuatu yang buruk. Tidak. Jangan sampai itu terjadi.

"Jangan menyerah, Hyung. Kita pasti berhasil menemukan mereka. Chanyeol dan Baekhyun akan baik-baik saja. Percayalah." Lay terus memancing Kris. Miris sekali melihat sang pemimpin dalam kondisi seperti itu. Jika diberi pilihan, Lay lebih suka Kris yang dingin. Kacau dan kalut seperti sekarang—bukanlah Kris. Ia tak menyukai sosok pengendali naga saat ini. Ia terlihat begitu lemah. Jika sosok pemimpin mereka lemah, bagaimana dengan para pengendali yang dipimpin?

Jujur, Lay juga merasa kacau. Ia juga merasakan sesuatu yang buruk akan terjadi. Ragu dan setengah hati menyergap kala ia mengucapkan kata-kata penenang untuk Kris. Seolah, kata-kata itu bukan hanya ia tujukan pada sang pemimpin, namun juga bagi dirinya sendiri. Ia benar-benar takut. Tapi, ia tahu persis bahwa ia harus bertindak. Kris perlu disadarkan. "Hyung—" Lay kembali bersuara.

Kris menyela cepat. "Lay, cukup! Kumohon, hentikan." Dingin namun terdengar lirih. Kris benar-benar tak ingin mendengar apa pun lagi.

Lay menyerah. Dibiarkannya sang pemimpin sibuk dengan pikirannya. Ia pun memilih bergeming sebelum memutuskan untuk beranjak pergi.

Baru saja ia akan terbang rendah, sebuah tiang cahaya terlihat memancar—membelah langit gelap, jauh di depan sana. Cahaya itu begitu terang bersinar dan begitu besar. Belum pernah Lay melihat hal seperti itu. Namun, apakah itu? Belum sempat pertanyaannya terjawab, tiang cahaya sudah menghilang. Langit mendadak semakin gelap. Hujan semakin deras mengguyur.

Sebuah pemikiran melintas. "Hyung! Jangan-jangan itu mereka! Cahaya itu—Pasti itu Baekhyun, Hyung!" Lay setengah berteriak.

Sungguh, kebahagian memenuhinya. Ada rasa tenang menyelimuti, meskipun cahaya tadi hanya muncul sejenak. Entah mengapa, Lay sangat yakin itu adalah Baekhyun. Itu pasti pengendali cahaya yang mengeluarkan kekuatannya. Sang Penyembuh tak tahu apa yang terjadi. Ia pun tak peduli. Yang penting sekarang, ada satu tanda yang bisa jadi panduan. Setidaknya, muncul sedikit harapan. Semoga kedua pengendali itu baik-baik saja.

Tanpa berkedip, Kris memandang tempat tiang cahaya tadi memancar. Matanya terus memandang ke depan. Tanda itu—Tiang cahaya tadi—Sebuah harapan terbentuk dalam diri Kris. 'Chanyeol, apa pun yang terjadi, kumohon bertahanlah. Kami akan segera ke sana. Sebentar lagi, bertahanlah.' Rasa tenang mulai menyelusup, meskipun kekalutan dan ketakutan masih lebih mendominasi—memenuhi diri Kris.

"Lay, beritahu yang lain! Suruh mereka mengarah ke tempat cahaya tadi bersinar. Setidaknya, kita tahu kalau arah yang kita tuju sudah benar. Aku akan berangkat duluan. Rex, ayo!" Tak bisa Kris menyembunyikan rasa senangnya. Tanpa menunggu tanggapan Lay, ia segera melesat bersama Rex—meninggalkan Lay yang terlihat turun memberitahu pengendali lain.

.


.

Beberapa menit berlalu. Kris masih belum bisa menemukan keberadaan Chanyeol atau Baekhyun. Tanda cahaya tadi terlalu cepat menghilang. Kris jadi tak bisa tahu apakah jaraknya masih jauh atau tidak. Namun, ia tak menyerah. Tidak. Ia tak boleh menyerah.

Diusap mukanya yang terasa dingin dan basah karena air hujan. Kala Kris melakukannya, terdengar suara lengkingan terdengar. Suara itu memekik keras—bak suara burung besar. Kris memasang mata. Tampak olehnya, sebuah sayap besar diselubungi api membentang lebar. Bentuknya tak begitu sempurna. Namun, Kris bisa tahu siapa itu. Senyum kecil tersungging di bibir Kris. Sungguh, sangat jarang ia bisa tersenyum tulus.

"Park Dobi, ternyata kau bisa melakukannya!" kata Kris lirih.

Senyum masih mengembang, sampai terdengar kembali suara lengkingan menyerupai suara awal yang didengar Kris. Namun, kali ini terdengar menjerit kesakitan. Suaranya menyakitkan hati. Terdengar begitu menderita. Kris hanya bisa terperangah.

Sayap burung api yang Kris perkirakan sebagai phoeniex menghilang cepat. Hilang tanpa bekas secara tiba-tiba. Kris tak tahu mengapa mendadak dadanya semakin sesak. Terasa sangat sakit. Lagi-lagi, perasaan tak nyaman kembali datang. Kali ini, justru semakin berat dan menyesakkan. Jantung Kris semakin berdebar. Sesuatu yang buruk telah terjadi dan ia mendadak merasa sangat sedih. Ingin menangis, rasanya.

'A—Apa? Apa yang terjadi? Park Dobi, kumohon bertahanlah!' seru Kris dalam hati. Dengan cepat, dipacunya Rex untuk terbang lebih cepat.

Hujan masih deras dan pergerakan Rex udara terganggu. Namun, karena sang master meminta hewan panggilan itu untuk bergerak cepat, naga hitam itu pun segera mematuhinya.

.

.

Tak butuh waktu lama untuk menemukan tempat Chanyeol dan Baekhyun mungkin berada. Kris dengan cepat sampai di tempat yang ia tuju. Kemunculan phoenix tadi benar-benar membantu. Dan, begitu Kris tiba di sana—

Kris terpaku dengan apa yang ia lihat. Mulutnya menganga, matanya menatap tak percaya. Tempat itu— Astaga tempat itu—

Tempat itu tak berbentuk lagi. Pertarungan besar jelas baru saja terjadi di sana. Pepohonan di tepi padang tumbang, terkoyak. Ranting dan daun bersebaran. Tanah tampak menghitam kelam. Bukan karena hujan yang membasahi, namun, ada sesuatu yang membuat tempat itu begitu kelam dan gelap.

Puing bangunan dan batuan hancur. Sepertinya, bekas terhantam sesuatu. Puluhan jarum es tertancap di antara tanah dan pepohonan. Sungguh, tempat itu begitu hancur. Kris tak bisa membayangkan seberapa hebat pertarungan yang baru saja terjadi. Pertarungan sebelumnya pasti sangat mengerikan.

Namun, sesuatu membuat Kris jauh lebih takut. Sama sekali tak ada tanda-tanda kehidupan manusia di sana. Hanya bau anyir darah bercampur air hujan yang tercium. Genangan air kotor dengan warna merah sedikit menggenang di segala sisi. Dan, aura kegelapan yang tertinggal—mengapa begitu kuat? Apa yang sebenarnya terjadi? Yang lebih penting, di mana Baekhyun dan Chanyeol?

Kris terus mengedarkan indra penglihatannya. Dipicingkan mata—berusaha untuk tetap fokus. Hujan deras benar-benar mengganggu usaha pencarian kedua pengendali. Meskipun lewat udara, tetap saja, sangat susah menemukan seorang pun di tempat nan luas itu.

Beberapa saat kemudian, Lay dan pengendali lain menyusul. Bersama hewan panggilan masing-masing, mereka mencapai tempat itu lewat darat, rupanya. Suho dengan Manta –ikan pari besar berwarna hijau kebiruan yang bisa terbang di udara-, Chen dengan Sango –kalajengking raksasa berwarna coklat dengan ekor merah maroon-, Kyungsoo dengan Gaia –beruang besar abu-abu keperakan dengan cakar besar-, dan Lay dengan Chiyu, unicorn berbulu putih. Segera, Kris menyongsong turun ke bawah.

"Hyung—" panggil Chen lirih. Suaranya gemetar. Ia tak suka apa yang dilihatnya. Pengendali petir bermaksud mengutarakan kekhawatirannya, namun terpaksa ia urungkan. Tatapan Kris sungguh sangat tajam—tanda ia sedang benar-benar serius.

"Berpencar! Temukan mereka! Aku yakin mereka belum jauh. Mereka pasti masih di sekitar sini. Pertarungan ini belum lama terjadi. Temukan siapa pun—ya, siapa pun! Dan, segera bawa mereka kemari! Berikan tanda jika kalian menemukan mereka—atau setidaknya, tanda keberadaan mereka! Aku akan mencari ke utara bersama Rex. Kalian tentukan sendiri." Bersama sang naga, Kris segera terbang ke arah utara—meninggalkan keempat pengendali bersama hewan panggilan masing-masing.

Mereka berdiskusi sejenak. Suho mengambil alih pimpinan. "Lay, pergilah ke selatan dan Chen, kau pergi ke barat. Kyungsoo dan aku akan mencari keberadaan mereka ke arah timur. Kalau tak menemukan apa pun, segeralah kembali ke tempat ini. Pergilah." Suho dan Kyungsoo segera beranjak pergi. Chen dan Lay pun mengarah ke area pencarian mereka.

.

.

Bersama Manta dan Gaia, pengendali air dan tanah mengarah ke timur. Tak ada tanda-tanda keberadaan pengendali yang mereka cari. Hanya bekas pertarungan yang terlihat. Serpihan batu dan dahan yang rusak parah. Bau anyir tercium, meskipun tak kentara. Ya, hujan mengaburkan semua. Namun, mereka dapat melihat air bercampur darah lebih banyak di area ini. Sepertinya, mereka akan menemukan sesuatu. Tujuan mereka tampaknya benar. Setidaknya, ini mungkin tempat pertarungan terakhir.

"Kyungsoo ya, bisakah kau merasakan sesuatu dengan kekuatanmu?" tanya Suho sambil terus mengedarkan pandangan. Digunakannya pengendalian air untuk membuat perisai di atas kepala. Cukup membuat kepala dan tubuhnya terlindung dari air hujan.

Kyungsoo mengangguk pelan. Gaia berhenti sesuai perintah sang master. Pengendali tanah melompat turun dari bahu hewan panggilannya. Bertumpu dengan satu kaki, ia tapakkan telapak tangan kanan di atas tanah tergenang air. Mata pemuda bermata bulat itu tertutup—mencoba berkonsentrasi, menemukan keberadaan siapa pun lewat permukaan tanah. Ia mencoba mendengar jejak kaki atau suara apa pun.

Tidak terdengar apa-apa. Hanya suara hujan yang turun. Ia menarik napas dan mengembuskannya. Kembali, ia memusatkan pikiran. Kali ini, lebih tajam. Ah, terdengar sesuatu.

D-eg—D-eg—

Suara ini—terdengar lemah. Detak jantung. Kyungsoo mencoba merasakannya lagi. Ya, tidak salah lagi. Ini detak jantung. Namun, suaranya begitu lemah dan tak kentara. Kyungsoo ingin memastikan lagi, namun hujan sungguh menyamarkan suaranya. Tak bisa ia tahu asal suara jantung itu.

Kyungsoo membuka mata dan menatap Suho. Pemuda berkekuatan air masih mencoba mencari keberadaan Chanyeol dan Baekhyun, atau siapa pun di area itu.

"Hyung, bisakah kau mengeringkan tanah ini? Buatlah perisai di atas tanah dari sini hingga ujung sana. Aku mendengar sesuatu, tapi aku tak bisa memastikan keberadaannya." Kyungsoo menunjuk sebuah titik.

Suho mengikuti arah panduan pengendali tanah dan mengangguk. "Baiklah. Bersiaplah. Kuharap ini pertanda baik." Pengendali air turun dari Manta dan memusatkan pikiran. Ditutup kedua mata sambil menggerakkan tangan kanan ke arah depan. Genangan air tersibakkan—menghilang. Tanah menjadi jauh lebih kering. Perisai air kini muncul menaungi area yang telah kering tadi—melindungi dari air hujan.

Kyungsoo mengangguk berterima kasih. Lalu, kembali memusatkan pikiran. Tangannya ia tekan ke tanah yang sekarang kering itu.

D-eg—Deg—De-g-Deg—

Suara detak jantung itu lebih jelas terdengar. Begitu lemah dengan irama sangat pelan. Kyungsoo menduga si empunya jantung sedang sekarat—siapa pun itu. Pengendali tanah tak mau menebak detak jantung milik siapa. Ia tak ingin tahu. Namun, ia berharap itu detak jantung musuh. Tak ingin ia melihat salah satu sahabatnya sekarat. Ia sungguh berharap itu detak jantung orang lain, bukan salah satu dari kedua belas terpilih. Tapi, jelas, mau tak mau, ia harus memastikannya sendiri.

Kyungsoo segera melompat ke bahu Gaia. Ke arah timur lautlah ia menuju. Ia tak mengatakan apa-apa pada Suho.

Pengendali air hanya mengerutkan kening. Bingung dengan apa yang didengarkan Kyungsoo. Setelah menghentikan jurus perisai air, ia segera mengikuti Kyungsoo dengan hewan panggilannya. Ia yakin, ia akan segera menemukan sesuatu—atau seseorang.

.

.

Hujan mereda, tergantikan gerimis lembut yang turun. Guntur tak lagi bergemuruh. Namun, awan gelap masih menggantung. Aura kegelapan kental memenuhi area hutan di tepi padang tak berpenghuni itu.

Jantung Kyungsoo semakin berdebar. Semakin lama, semakin kencang—tak beraturan. Sungguh, perasaannya tak menentu. Rasa takut menyergap. Demi apa pun, ia berharap detak jantung yang ia dengar bukanlah milik salah satu dari pengendali. Hanya itu permintaan pengendali tanah saat ini.

Dari atas Manta, Suho menatap dongsaengnya khawatir. Semenjak mendengar sesuatu lewat permukaan tanah, pengendali tanah terlihat sangat pucat. Wajahnya tampak begitu ketakutan. Dan, ia mengabaikan Suho—mungkin, sesuatu mengusik benak pemuda bermata bulat itu. Suho sebenarnya ingin tahu apa yang terjadi, namun ia memilih diam. Lebih baik ia mengikuti Kyungsoo dari belakang tanpa banyak bicara.

Kyungsoo menghentikan langkah Gaia. Sebuah cekungan landai lebar tampak jelas—apalagi pengendali tanah berada di bahu hewan panggilannya. Segera ia turun dari Gaia dan berlari ke sisi cekungan.

Langkahnya terhenti mendadak. Mata Kyungsoo membelalak. Tak percaya dengan apa yang ia lihat. Yang di depannya itu—Tidak mungkin. Tubuh Kyungsoo gemetar hebat. Indra penglihatannya nanar dan akhirnya, air mata keluar. Tubuhnya terpaku di tempat ia berdiri melihat pemandangan di dalam cekungan landai tadi.

Sosok itu terbaring di sana, dengan setengah tubuh tenggelam di tanah basah bak lumpur. Terbenam dengan posisi membelakangi Kyungsoo. Lebam, luka dan darah tampak jelas menghiasi tubuh jangkung itu. Pakaiannya tampak terkoyak. Kyungsoo tak perlu memastikan langsung siapa sosok itu. Sosok tinggi yang terbaring itu—Dua pedang kembar yang tertancap di tanah itu— Kyungsoo tahu benar siapa. Tidak mungkin. Tidak mungkin. Itu tidak mungkin!

Suho akhirnya berhasil tiba di tempat Kyungsoo berhenti. Turun dari Manta, ia langkahkan kaki ke arah pengendali tanah yang bergeming. Tautan alis tergambar jelas di wajah pengendali air mendapati tubuh Kyungsoo gemetar hebat. Memang apa yang dilihat dongsaengnya sehingga seperti itu?

Ia baru saja akan memegang bahu Kyungsoo saat matanya mendapati apa yang dilihat pemuda itu. Dan—reaksi yang sama ditunjukkan sang Pengendali Air. Ia bisa mengenali sosok tergeletak di cekungan yang kini terisi air hujan. Sosok itu—Tidak mungkin. Chanyeol.

Mereka berdua terlalu terpaku—tak mampu melakukan dan mengatakan apa pun. Kepala mereka hanya dipenuhi pertanyaan: Apa yang terjadi? Mengapa semua ini bisa terjadi? Siapa yang melakukan ini?

Perlu beberapa saat bagi Suho tersadar. Segera dipukulnya bahu Kyungsoo—berusaha menyadarkan pemuda berkekuatan tanah. Bagaimana mungkin mereka berdiam diri dan hanya berkutat dengan pikiran mereka sendiri? Bagaimana mungkin mereka tak melakukan apa pun? Chanyeol bisa mati kalau tak segera ditolong.

"Kyungsoo ya, pergilah melihat kondisi Chanyeol. Lakukan apa pun dan pastikan dia baik-baik saja. Aku akan memanggil yang lain."

Pengendali tanah masih bergeming. Ia masih terjebak dengan pikirannya. Semua yang ia lihat tampak terlalu nyata untuk sebuah ilusi. Terlalu menyakitkan. Kyungsoo masih tak bisa memercayai penglihatannya. Sungguh, ia berusaha keras memastikan itu hanyalah mimpi. Ia hanya perlu bangun dari mimpi buruk itu. Demi apa pun, itu mimpi yang sangat buruk. Tidak! Itu bukan kenyataan, kan?

"Kyungsoo ya!" Suho berteriak.

Teriakan pengendali air menyadarkan Kyungsoo. Benar. Bukan saatnya ia bergelut dengan kenyataan dan mimpi. Entah ini sebenarnya apa, sosok itu membutuhkannya! Chanyeol sedang sekarat! Ia harus menyelamatkan pengendali api! Dengan cepat, Kyungsoo menuruni cekungan lebar untuk menolong Chanyeol.

Suho sendiri bergerak beberapa langkah menjauhi cekungan. Tiang air besar memancar tinggi. Sebuah tanda bagi pengendali lain bahwa ia menemukan seseorang. Ia hanya berharap mereka segera datang. Sungguh, tak tahu ia apa yang harus dilakukan. Ia membutuhkan yang lain. Situasi ini terlalu berat untuk ia tangani bersama Kyungsoo sendiri. Segera, ia meninggalkan tiang air dan berlari menyusul pengendali tanah.

Kyungsoo menghampiri tubuh tak berdaya Chanyeol. Dan, melihat kondisi pengendali api dari dekat, membuat pengendali tanah semakin tak tega. Ia kuatkan diri dan mengangkat kepala dan tubuh Chanyeol dari lumpur. Dipangku kepala pengendali api di atas pahanya.

Suho menutup matanya sejenak setelah melihat kondisi Chanyeol. Sungguh, sangat mengenaskan. Pakaiannya tercabik—compang-camping. Luka, lebam dan darah mewarnai sekujur tubuh. Luka terbuka, bekas terbakar dan melepuh, biru lebam tampak jelas. Namun, yang paling menyakitkan untuk dilihat adalah luka tusuk di perut Chanyeol. Darah tak berhenti mengalir dari sana. Apa yang terjadi pada dongsaengnya itu?

Setelah menguatkan diri, master dari Gaia mencoba merasakan detak jantung Chanyeol. Terasa semakin lemah. Semakin dingin pula tubuh jangkung itu. Begitu pucat. Bibir membiru dan mata tertutup dengan kelopak membengkak. Luka-lukanya masih mengeluarkan darah segar, bercampur dengan air hujan yang turun.

Suho bertumpu dengan lutut kanannya. Mulut merapal mantra dan perisai air lebar muncul kembali menaungi. Ia gerakkan tangannya perlahan, mengusap lembut separuh wajah Chanyeol yang kotor. Tetes air hujan berkumpul menyelimuti tangan Suho. Pengendali air menggunakannya untuk membersihkan lumpur yang menempel.

Wajah dan badan Chanyeol jauh lebih bersih. Namun, Kyungsoo dan Suho semakin miris melihat kondisi pengendali api. Tak tega melihat pengendali api dalam keadan seperti itu. Apalagi, mereka bisa melihat jelas kesakitan dan keputusasaan tersembunyi di balik wajah tak sadar pemuda berkekuatan api.

Kyungsoo menutup mata. Air mata mulai mengalir. Tak bisa ia mengendalikan emosi. Semua terlalu menyakitkan. Kenyataan yang harus mereka hadapi begitu kejam. Dieratkannya dekapan pada tubuh Chanyeol yang semakin dingin—tak peduli dengan darah yang kini turut mewarnai pakaiannya. Napas pengendali api begitu lemah—nyaris tak terasa.

Suho memegang tangan kiri Chanyeol yang terluka. Ia amati lebih jauh. Ah, sepertinya tangan itu patah. Benar-benar serius. Dan, ia bisa memalingkan muka. Memilih menutup mata dan menangis dalam diam. Harapan yang terus ia teriakkan dalam hati hanya satu. Pemuda berkekuatan api harus bisa bertahan dan bangun kembali. Hanya itu.

.

.

Lay dan Chen muncul bersamaan. Terlihat mereka sedikit kebingungan mencari keberadaan Suho dan Kyungsoo. Setelah berjalan beberapa langkah, cekungan itu tampak. Tampak pengendali air dan tanah sedang berlutut. Seseorang tampak berbaring di antara mereka. Tapi, siapa?

Segera, mereka menuruni cekungan landai itu. Dan, begitu mendekat, mereka hanya terenyak. Reaksi sama mereka perlihatkan ketika melihat keadaan Chanyeol yang sekarat.

"A—Apa a—apa yang terjadi?" Suara Chen gemetar.

Tak ada seorang pun yang menjawab. Terlalu terpaku mereka pada sosok Chanyeol. Lagipula, tak ada satu pun dari mereka tahu apa yang terjadi, kan? Semua juga ingin tahu jawaban atas pertanyaan itu!

Lay bergeming dengan tubuh gemetar. Tak bisa ia mengatakan apa pun. Namun, setelah menarik napas panjang, ia teguhkan diri. Dimintanya Suho menyingkir sedikit dan ia ikut berlutut. Pikiran ia pusatkan dan rapalan mantra keluar. Ia harus bisa menyembuhkan Chanyeol. Apa pun yang terjadi, ia harus menyelamatkan pemuda itu. Ia harus bisa meredakan rasa sakit dan luka yang Chanyeol derita! Bukankah ia seorang penyembuh? Itu yang harus ia lakukan!

Master dari Chiyu semakin memusatkan pikiran. Tangan kanannya menyentuh luka tusukan Chanyeol. Luka itu yang paling parah dan harus segera disembuhkan. Belum sempat ia menggunakan jurus penyembuhan pada perut pengendali api, Lay menarik tangannya cepat. Rasa sakit luar biasa ia rasakan, menyebar begitu cepat, tak hanya pada tangan. Rasa ngilu dan perih menjalar ke seluruh tubuh.

Lay melihat telapak tangannya memerah, bahkan sedikit menghitam. Muncul luka lecet dan lepuhan merata di sana. Sungguh, rasanya begitu sakit. Begitu sakit, seolah menembus tulang-tulangnya. Astaga, apa yang terjadi? Luka apa itu?

"Lay, ada apa?" tanya Suho khawatir. Matanya memicing melihat tangan Lay yang mendadak penuh luka. Tampak begitu menyakitkan.

Semua mata mengarah pada sang Penyembuh. Lay hanya menggeleng pelan. Sebuah penanda bahwa ia tak yakin apa yang terjadi. Untuk lebih memastikan, Lay mencoba lagi penyembuhan pada luka tusuk Chanyeol. Tangannya ia letakkan di atas luka itu. Hasilnya? Sama saja. Tangannya justru semakin parah. Rasa sakit semakin menjadi-jadi.

Lay frustasi tak tahu apa yang terjadi. Ia berniat melakukannya sekali lagi, namun, kali ini Suho menahannya. "Cukup, Lay. Luka tusuk ini bukan luka biasa. Kau tak akan mampu menyembuhkannya," kata Suho lirih.

"Tapi, aku harus mencobanya. Kalau tidak Chanyeol—Chanyeol akan—" Mulut Lay terkatup rapat dengan kepala tertunduk. Isakan mulai lolos. Dalam hati, Lay terus menyalahkan diri karena tak berguna. Mengapa ia tak bisa menyembuhkan Chanyeol? Apakah pengendali api itu akan—

Suho menepuk bahu Lay pelan—mencoba menenangkannya. "Lay, bisakah kau mencoba menyembuhkan luka Chanyeol yang lain?"

Lay mengangkat kepala dan menatap Suho sendu. Anggukan kepala ia lakukan. Jika tak bisa menyembuhkan luka tusukan itu, setidaknya dirinya harus mencoba menyembuhkan luka yang lain.

Dengan tangan yang tak terluka, Lay mencoba menggunakan jurus penyembuhan pada luka lain di sekujur tubuh Chanyeol. Dan, beruntung, ia berhasil. Luka-luka itu berhasil menghilang—sembuh. Lay merasa sedikit lebih baik. Semakin ia berusaha keras untuk menyembuhkan Chanyeol, tak peduli seberapa banyak tenaga terkuras, yang penting Chanyeol bisa bertahan dan selamat.

.

.

Hujan sudah berhenti. Awan gelap masih menggantung. Sinar matahari belum tampak—masih bersembunyi.

Keempat pengendali masih memusatkan perhatian pada Chanyeol. Mereka terus berharap pengendali api bisa selamat. Kekalutan memenuhi benak masing-masing. Tak ada satu pun yang bersuara.

Chen, orang pertama yang memecah keheningan. Ia sadar bahwa Kris belum muncul, padahal sudah cukup lama mereka di sana. Apa Kris tak melihat tanda yang dibuat Suho? "Aku tak melihat KrisHyung. Sebenarnya, dia ada di mana?" tanya Chen pada ketiga pengendali yang masih memilih diam.

Tak mendapat jawaban, Chen mengendarkan pandangan. Dan, ia terkejut melihat sosok tinggi Kris berdiri di tepi atas cekungan. Matanya terlihat nanar dan kosong. Tubuh Kris tampak bergetar hebat. Wajah itu benar-benar tampak pucat.

"Kris Hyung—" panggil Chen lirih. Sontak, ketiga pasang mata pengendali lain beralih ke arah Kris. Pemimpin mereka tampak seperti mayat hidup di sana.

Ya, sebenarnya, Kris sudah tiba sejak tadi. Tapi, mendapati Chanyeol seperti itu, ia hanya bisa terpaku di tempat ia berdiri. Tak bisa ia bergerak atau berkata apa pun.

Gagal. Ia merasa gagal melindungi dongsaeng yang sangat ia kasihi. 'Mengapa? Mengapa harus kau, Park Dobi! Mengapa? Mengapa? MENGAPA?!' teriak pengendali naga dalam hati.

Akhirnya, keteguhan hati Kris runtuh. Pemuda itu jatuh terduduk dan menangis. Ya, menangis. Menangis karena semua sudah terlambat. Ia telah kehilangan Chanyeol.

.

.

TO BE CONTINUED

 

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!
chachamariditha
Well, I posted Chapter 6 here *and other sites*! If you want to read the next chapter, you can visit my wordpress. Kekeke

Comments

You must be logged in to comment
Sky_Wings
#1
❤_❤
drnewbie #2
Wow genre favorite ini haha, pas baca fereword nya jdi tertarik sendiri haha, oke i'll begin to explore and hopefully to find a lot of 'awesome' things later, ya dan kayanya dalam 1 jam kedepan bakal selesai sampai chapter terakhir yang di update haha
PCY92BH #3
Hey you! I knew you haha cerita ini pernah aku baca di screenplays (kalau tdk salah) dan ini cerita dewa banget. Semangat terus ya, jangan patah semangat seperti yang tahun lalu kkk~
HaeHunUp
#4
Chapter 6: eonni dimana" ada. ga sabar nunggu ch 17 apa 18, lupa ._.
cepat kembali eonni ~~
AWPark #5
Chapter 5: Lanjut dong min...