The Reason and the Consequences

Come Back to Me

“Chanyeol ah, berjuanglah sedikit lagi. Kau pasti bisa. Sedikit lagi, dongsaeng. Kau hampir kembali. Sedikit lagi.”

Xiumin terus berbicara. Ia harus memastikan kali ini Chanyeol kembali. Pengendali es tahu persis ini adalah waktunya. Bunga di sepanjang sulur sudah nyaris mekar—sudah memperlihatkan warna di tiap kuncupnya. Belum lagi, gerakan Chanyeol tadi. Ia tahu ini saat bagi pengendali api untuk kembali bangun.

Tangan Chanyeol kembali bergerak. Tak begitu kentara, tapi Xiumin tahu Chanyeol tengah berusaha keras menggerakkan tubuh dan membuka mata. Tinggal menunggu waktu saja. Ya, sebentar lagi.

Secara bersamaan, kuncup bunga memperlihatkan tanda akan mekar penuh. Setiap ujung terlihat berwarna-warni. Begitu indah memukau. Xiumin tak sabar lagi. Ia tak sabar melihat mekarnya kuncup di sepanjang sulur itu. Pembaringan Chanyeol kini diselubungi cahaya yang sangat terang—menelan tubuh pengendali api. Begitu melihat tanda-tanda yang semakin jelas itu, pengendali es semakin bersemangat mengajak Chanyeol berbicara.

Sementara itu, satu per satu pengendali berlari memasuki Divine World—begitu mendengar kabar gembira dari Kai. Tak bisa mereka menyembunyikan buncahan perasaan. Mereka berhamburan mendekati Xiumin dan berdiri mengitari Chanyeol yang tengah menggeliat bangun. Tak mereka pedulikan napas yang terengah. Mereka senang mendapati Kai tak bergurau mengenai kabar itu. Kini, delapan pengendali tengah menunggu bangunnya pengendali api.

Para pengendali ingin bertanya pada Xiumin apa yang terjadi sebenarnya. Tapi, mereka mengurungkan niat karena pengendali es tak mengacuhkan mereka. Ia terlalu sibuk mengajak Chanyeol berbicara. Para pengendali berpandangan satu sama lain dan menganggukkan kepala. Mereka tak perlu bertanya—mereka telah tahu jawabannya. Apalagi, mereka bisa melihat perubahan pada diri Chanyeol. Perjuangan pengendali api untuk kembali. Kini, delapan yang terpilih pun mengikuti Xiumin. Mereka terus mengajak Chanyeol berbicara, melontarkan kata-kata penuh semangat.

Kris tampak paling bersemangat. Tangannya menggenggam erat sang Pengendali Api. Suaranya begitu lantang terdengar—nyaris tak terkontrol. Ia terlalu gembira mendapati peristiwa ini akhirnya terjadi. Ia sudah menunggu terlalu lama untuk hari ini. Emosi pengendali naga benar-benar membuncah tanpa kendali. Dan, ia tak bermaksud menyembunyikannya.

Zoe mendadak muncul. Dengan wujud mudanya, ia berjalan anggun dengan senyum kecil tersungging. Sang Dewi berdiri di ujung pembaringan Chanyeol—dekat dengan kepala pengendali api. Ya, akhirnya hari ini tiba juga. Chanyeol telah memutuskan kembali setelah tidur begitu lama.

Tangan pengendali api kembali bergerak. Tampak ia tengah membalas genggaman pengendali naga. Semakin keras pengendali meneriakkan kata-kata penyemangat. Dan, peristiwa yang ditunggu akhirnya terjadi.

Satu bunga di atas tangan kanan Chanyeol yang digenggam Kris mekar perlahan. Kala kuncupnya terbuka, sinar dan titik-titik cahaya muncul dan tersebar—bak serbuk bunga tertiup angin. Bunga berwarna putih cemerlang nan indah itu akhirnya mekar sempurna. Serbuk cahaya yang keluar semakin banyak.

Belum pernah sekalipun para pengendali menyaksikan peristiwa semacam itu. Terlalu terperangah, mereka terdiam. Mata terbelalak sempurna, mulut menganga. Sungguh begitu indah. Begitu ajaib. Senyuman terkembang lebar. Lega—ini jawaban atas penantian lama mereka.

“Bunga pertama telah mekar dan yang lain akan menyusul. Mari kita berpegangan tangan, menyatukan perasaaan kita dan membantu pengendali api untuk kembali. Dia masih butuh petunjuk untuk menemukan jalan pulang.” Zoe membuka mulutnya.

Para pengendali yang terperangah hanya mengangguk mendengar perkataan Zoe. Mereka berpandangan satu sama lain, mulai bergandengan tangan dan menutup mata. Dan, secara tiba-tiba, pohon kehidupan bersinar terang. Begitu terang—sampai-sampai para pengendali yang tengah memejamkan mata, bisa merasakan sinar itu.

Satu per satu bunga di sepanjang sulur membuka kuncupnya perlahan. Setiap bunga punya warnanya sendiri kala mekar penuh. Sama seperti yang pertama, kala mekar sempurna, bunga-bunga itu mengeluarkan serbuk cahaya. Serbuk yang membuat tubuh Chanyeol semakin tertelan sinar.

“Buka mata kalian, wahai kalian yang terpilih! Bersiaplah menyambut kembalinya pengendali api!” seru Zoe sembari membuka mata.

Para pengendali pun mengikuti Zoe. Mata terbuka dan tautan tangan dilepas. Delapan pengendali benar-benar terpukau dengan peristiwa menakjubkan yang tengah terjadi. Tubuh pengendali api diselubungi titik-titik cahaya yang terang dan indah. Dengan serbuk cahaya berterbangan, mereka merasa sangat damai.

Namun, tidak dengan Kris. Titik-titik cahaya itu—ya, itu mengingatkannya pada mimpi buruknya beberapa saat lalu. Masih teringat jelas bagaimana Chanyeol menghilang tanpa bekas setelah pengendali api ditelan cahaya. Apa ini tanda kalau Chanyeol akan menghilang? Tidak. Tidak. Ini tak bisa dibiarkan. Kepanikan menyerang Kris. Ia berniat melakukan sesuatu, kala tangan Zoe memegangnya.

“Chanyeol tak akan menghilang. Dia akan baik-baik saja. Percayalah, dia akan segera bangun dan membuka matanya. Apa kau tak bisa merasakannya?” kata Zoe lirih. Sebuah senyuman terbentuk.

Mendengar Zoe, mau tak mau Kris hanya mengangguk. Berusaha ia menekan rasa khawatirnya tadi. Ya, ia percaya dan berharap Chanyeol akan bangun. Namun, fenomena titik cahaya itu mengingatkan pengendali naga pada mimpi buruknya. Ketakutan terbesarnya: Kris takut kalau ia benar-benar kehilangan Chanyeol.

.

.

Cahaya terang itu akhirnya memudar perlahan. Para pengendali hanya bisa menunggu penuh harap—dan cemas. Di satu sisi, mereka berharap Chanyeol benar-benar kembali dan berkumpul dengan mereka lagi. Di sisi lain, mereka ragu, apa cara ini sungguh berhasil?

Di sela-sela menghilangnya cahaya, sembilan pengendali bisa melihat jelas perubahan yang terjadi pada tubuh Chanyeol. Tak ada luka tersisa—kecuali bekas luka tusukan rapier Baekhyun. Luka itu sepertinya tak bisa hilang. Raut muka pucat pengendali api berubah segar—terlihat bercahaya. Ia tampak tidur dalam damai. Bahkan jika dilihat secara kasat mata, Chanyeol terlihat baik-baik saja. Ia hanya terlihat tidur. Penyembuhan yang dilakukan pohon kehidupan memang telah berhasil. Penyembuhan yang nyaris sempurna.

Begitu semua cahaya meredup dan akhirnya menghilang, semua bunga yang telah mekar kembali menguncup secara perlahan. Menyusut, menjadi kecil, dan menghilang—sama seperti kondisi sulur pada awalnya. Daun-daunnya pun mengalami hal serupa. Sulur yang telah membesar kini ikut menyusut dan menjadi sulur muda yang tampak rapuh.

Sulur-sulur itu akhirnya melepaskan belitannya dari pengendali api dan kembali ke tanah—menghilang tanpa bekas. Tautan sulur besar membentuk penjara pun saling melepaskan diri, menyusut dan kembali menyatu dengan sang bumi. Yang tertinggal hanyalah sosok pengendali api di atas pembaringan.

Para pengendali tak mampu berbicara—bahkan sekadar membuka mulut pun tak mampu. Menunggu? Ya, mereka hanya bisa menunggu. Mereka masih sedikit cemas. Bukankah ini sudah selesai? Mengapa Chanyeol belum bangun? Apa Chanyeol tak bisa kembali?

Zoe bisa membaca ketakutan dan kekhawatiran para pengendali. Sang Dewi tersenyum, berusaha menenangkan mereka. “Kalian tak perlu khawatir,” kata Zoe lembut.

Dewi kehidupan membelai surai hitam Chanyeol dengan lembut dan berbisik pelan. “Pengendali Api, ini saatnya untuk bangun. Kau telah berjuang keras. Buka matamu dan lihatlah sekelilingmu. Selamat datang kembali ke dunia.”

Begitu Zoe selesai berbicara, mata Chanyeol terbuka. Akhirnya, pengendali api terbangun!

.


.

Alunan musik dari ocarina bergema di ruangan bawah tanah tempat Tao di penjara untuk kesekian kali. Sudah beberapa hari, lagu itu selalu terdengar di sana. Tentu, bisa ditebak siapa yang memainkannya—Seishin. Dan, yang ditemui tentulah pengendali waktu.

Musik itu akhirnya berhenti. Seishin menyandarkan tubuhnya pada dinding batu sembari mengusap-usap alat musik biru laut pemberian sang kekasih, Luna.

“Grey! Bagaimana? Ada perkembangan? Apa Baekhyun Hyung baik-baik saja?Apa dia sudah bisa keluar dari kristal?” Terdengar suara tak sabar dari balik dinding batu.

Tao sangat ingin mendapat kabar baik dari pemuda bertudung abu-abu yang aneh itu, sampai-sampai tak sadar ia baru saja melontarkan rentetan pertanyaan. Ya, sebenarnya Tao masih belum bisa percaya, namun, mungkin Seishinlah satu-satunya orang yang bisa membantunya—terutama untuk menyelamatkan pengendali cahaya. Seishin benar-benar harus bisa membantunya keluar dari tempat terkutuk itu.

“Gagal. Lagi-lagi, pengendali cahaya gagal,” jawab Seishin datar.

“Apa kekuatan Baekhyun Hyung terlalu lemah untuk menghancurkan kristal Erebos?” tanya Tao lagi. Suara yang tadinya bersemangat dan menggebu-gebu melemah—terdengar pasrah. Jawaban sama sudah ia dengar beberapa hari ini. Baekhyun gagal—tak mampu menghancurkan kristal yang mengurungnya. Apa mereka memang tak bisa bebas dari sana?

“Sebenarnya, Baekhyun hampir berhasil. Ralat. Jauh dari kata hampir berhasil. Namun, ada sedikit peningkatan.”

“Apa maksudmu?”

“Jiwa pemuda itu menguat, meskipun raganya terkunci di dalam kristal. Ia bisa mengendalikan cahaya dengan pikiran dan jiwanya—namun, belum sekuat yang kubayangkan. Aku berhasil berbicara dengannya. Setengah terpaksa, dia mau ikut serta dalam rencanaku. Masalahnya hanya satu. Sekuat apapun kekuatan cahayanya, Baekhyun belum bisa menghancurkan kristal,” jelas Seishin. Matanya terpaku pada ocarina di tangan.

Tak ada jawaban dari balik dinding batu. Sepertinya, Tao memang tak berniat menanggapi Seishin. Ia memilih mendengar pemuda bertudung abu-abu sampai selesai berbicara.

“Hari ini, dia berhasil membuat sedikit retakan pada kristal. Namun, sebelum retakan itu lebih besar, kristal Erebos menutup dengan cepat. Kau tahu? Jurus segel pelindungku memiliki batas. Aku tak bisa terlalu lama menahannya. Jika aku memaksakan diri, Erebos akan tahu apa yang kita lakukan di belakangnya.”

Mendengar kata-kata Seishin, Tao kembali bersemangat. “Retak? Seberapa besar? Seberapa cepat retakan itu tertutup? Apa ada kemungkinan Baekhyun Hyungmembuat retakan lebih besar sehingga bisa keluar?” Rentetan pertanyaan kembali dilayangkan dengan menggebu.

“Retakan kecil—sangat kecil. Dan retakan itu menutup sangat cepat. Mungkin dalam beberapa detik. Tak ada bekas retakan terlihat. Kristal Erebos menutup sempurna. Kita tak bisa memungkiri kalau penguasa kegelapan itu begitu kuat. Rencana ini sulit untuk dijalankan. Kurasa kita harus mencari cara lain. Kita sudah membuang banyak waktu,” kata Seishin sembari memijit pelipisnya.

“Jika aku bisa keluar, mungkin aku bisa menggunakan kekuatanku untuk membantu Baekhyun Hyung keluar. Tapi, aku terkurung di sini tanpa bisa menggunakan pengendalian waktuku. Sial!” Tao mengumpat. Kesal sekali ia hanya terjebak tanpa bisa melakukan sesuatu.

“Ya, mungkin saja. Masalahnya, kau tak bisa keluar dan aku tak tahu cara mengeluarkanmu. Erebos tak berbicara apa pun tentang bagaimana membuka penjara ini. Mau tak mau, kita harus menunggunya pulang. Ini sungguh menyebalkan.” Seishin ikut mengumpat. Sungguh, ia tak suka mengakui bahwa rencananya tak berjalan sesuai harapan. Padahal, kesempatan ini sangat baik—Erebos tak ada di sana sekarang.

“Baiklah, kita tunggu saja sebentar. Saat ini, akan kucoba mencari jalan lain—untuk membebaskanmu atau membebaskan pengendali cahaya. Astaga, sialan. Tak ada yang berjalan lancar sesuai rencana. Luna harus menunggu lagi untuk bebas. Argh! Sudahlah! Kita sudahi saja perbincangan ini sekarang. Aku lelah.” Ekspresi kesal menggantikan wajah tanpa ekspresi Seishin. Jarang sekali ia menunjukkan itu apalagi dengan wajah seorang Grey.

.

.

Baru saja Seishin akan memainkan ocarinanya untuk menghentikan mantra penghalang, terdengar suara di balik dinding.

“Grey—”

Seishin mengurungkan niat untuk memainkan alat musik tiupnya. Padahal, ia nyaris saja meniupnya. “Apa?” tanggap Seishin dingin. Diusapnya alat musik pemberian sang kekasih itu lembut.

“Bolehkah aku bertanya tentang Luna?” tanya Tao.

Seishin mengerutkan kening dan terdiam. Ia tak mengatakan apa pun.

Terdengar kembali suara pengendali waktu. “Grey, seberapa besar kau ingin menyelamatkan Luna? Apa kau sungguh mencintainya sampai melakukan semua ini? Sampai bertindak sejauh ini? Kau telah mengorbankan diri bahkan jiwamu. Kau bahkan sampai menjadi bawahan Erebos—sosok yang telah menghancurkanmu. Apa kau tak merasa kau telah berlebihan? Maksudku, lihat apa yang telah kaulakukan di bawah perintah Erebos. Kau ikut menghancurkan keseimbangan. Kau telah membunuh banyak makhluk tak bersalah. Apa kau tak merasa itu keterlaluan? Padahal, aku merasa kau ini cukup baik, meskipun aku belum benar-benar mengenalmu. Tapi, ada satu keyakinan dalam diriku kalau kau sebenarnya orang yang baik. Bahkan, kau berniat membantu kami. Mm—bisakah kau berhenti jadi melakukan hal jahat? Bergabunglah bersama kami untuk menghancurkannya! Kau punya kekuatan!” Pengendali waktu ingin Seishin berhenti berbuat jahat di kemudian hari.

Alih-alih menjawab, Seishin malah tertawa mendengar pertanyaan dan permintaan Tao. Suaranya terdengar serak dan mengerikan. Sungguh, pengendali waktu itu sangat lucu. Begitu menggelikan dan terlalu polos.

“Ya! Dengarkan aku, Pengendali Waktu. Sebelum aku menjawab pertanyaanmu, biarkan aku balik bertanya. Pertanyaan yang sama. Apa kau benar-benar ingin menyelamatkan Baekhyun? Apa kau sungguh mencintainya?”

Tao tercekat mendapat pertanyaan itu. Kebingungan menyergap. Mengapa Seishin membalikkan pertanyaan tadi padanya? “Tentu—Tentu saja. Aku ingin menyelamatkan Baekhyun Hyung. Aku harus membayar kesalahanku. Dan—dan aku—ya, aku mencintainya.” Tao mengucapkan kalimat terakhirnya lirih.

“Berarti, kau sudah tahu jawabanku, kan? Aku tak perlu menjawab pertanyaanmu. Dan, mengapa aku bisa sejauh ini bertindak, mm—entahlah, mungkin karena itu yang bisa kulakukan. Bukankah kau akan melakukan hal sama jika kau ada di posisiku?” tanggap Seishin santai.

“Tapi—Tapi kita berbeda! Aku tak akan melakukan tindakan sejauh itu!” teriak Tao. Ia tak suka disamakan dengan Seishin. Menurut pendapatnya, pemuda bertudung abu-abu itu sudah terlalu jauh melangkah.

Seishin malah semakin terbahak. Kali ini, terdengar seolah meledek Tao. Menyakitkan telinga orang yang mendengarnya. “Astaga, kau itu bodoh atau apa? Kau tak akan melakukan tindakan sejauh itu? Ya! Sadarlah, Pengendali Waktu! Kau sudah melakukannya! Semua ini terjadi karena siapa? Semua karena ‘tindakan’mu, kan?”

“Aku—aku melakukannya karena dikendalikan! Tidak sepertimu yang masih memiliki pikiran dan perasaan! Kau melakukannya dengan sadar! Kau tahu itu salah, tapi kau tetap melakukannya! Aku berbeda! Aku dikendalikan!” bantah Tao keras. Ia mulai terpancing emosi. Ia tahu dirinya salah karena menyebabkan semuanya terjadi. Namun, jika dibandingkan dengan Seishin yang melakukan tindakan sejauh itu dengan sadar, Tao merasa ia sedikit lebih baik—meskipun ia tetap salah.

“Dikendalikan atau tidak, itu tetap salahmu! Bukankah kau sendiri yang memutuskan? Erebos hanya mempermainkanmu pikiran dan perasaanmu dan kau memutuskan untuk termakan pancingannya. Semua itu karena kau sangat mencintai pengendali cahaya, kan? Dengarkan aku! Ketika kau mencintai seseorang, kau bahkan tak bisa berpikir hal gila apa yang akan kaulakukan, atau sejauh apa kau akan melangkah. Cinta memang menarik, kan? Jadi, apa semua ini bisa menjawab rasa penasaranmu yang sangat polos itu?” tekan Seishin lagi.

Tak ada tanggapan. Tao terdiam—memikirkan perkataan Seishin itu benar adanya. Seandainya, dulu ia tak termakan perangkap Erebos. Seandainya, dulu ia bisa berpikir dengan baik. Seandainya, ia tak mencintai Baekhyun—pasti semuanya tidak akan terjadi.

“Grey—” panggil Tao, setelah keheningan beberapa saat.

“Mm—” Seishin hanya berdeham.

“Kau sudah memberitahu Baekhyun Hyung apa yang terjadi sebenarnya? Termasuk kesalahan fatalku? Mm—Apa tanggapannya?” tanya Tao takut-takut. Takut ia dibenci Baekhyun setelah tahu kenyataan pahit itu.

“Ya! Selesaikan masalah kalian sendiri ketika bebas! Aku bukan kurir pesan! Aku tak tertarik ikut campur masalah kalian. Itu memuakkan,” ujar pemuda bermata abu-abu.

Mendengar itu, Tao lagi-lagi diam. Keheningan kembali tercipta.

Seishin hanya menghela napas. Rupanya, ia sadar ia baru saja menyakiti ‘rekan’ barunya. Tak ingin ia membuat hubungan buruk dengan pengendali waktu, terutama saat ini. “Dengarkan aku baik-baik! Aku hanya memberimu sedikit saran: jangan terlalu polos menjadi manusia! Namun, baiklah, karena aku sedang berbaik hati, aku akan menjawab semua pertanyaanmu tadi. Aku rela menjadi Grey demi membebaskan Luna. Aku tak akan menang melawan penguasa kegelapan sendirian. Melawannya secara langsung adalah tindakan bodoh! Itu bunuh diri! Lagipula, Erebos bisa mengendalikanku dengan kristalnya. Jika begitu, siapa yang akan menyelamatkan Luna? Aku hanya sedikit menggunakan otakku. Berpura-pura jadi bawahan dan bekerja untuknya. Dengan itu, aku bisa menjalankan tujuanku yang sebenarnya. Dan, ah—kurasa kau salah menarik kesimpulan, Pengendali Waktu!”

Tao masih terdiam—tak mengerti dengan apa yang dikatakan Seishin.

“Aku ini bukan orang baik atau jahat. Tapi, mungkin juga aku baik sekaligus jahat. Aku tak peduli dengan perang antara para pengendali dan Erebos. Aku tak peduli dengan kejahatan dan kebaikan. Aku tak peduli semua itu. Bahkan, aku tak mau ikut campur dalam hal memuakkan itu. Aku hanya ingin kembali bersama Luna. Setelah Luna bebas, aku akan cuci tangan dalam masalah kalian. Dan, asal kau tahu saja. Kau salah besar kalau kau berpikir aku memihak Erebos—atau pun memihak kalian. Walaupun aku terlihat membantu kedua belah pihak, aku hanya memanfaatkan kalian. Apa kalian tak sadar itu? Atau kalian terlalu bodoh? Ah, aku tak peduli dengan apa yang terjadi—Semua yang kulakukan saat ini hanya demi Luna. Ya, hanya demi Luna. Jadi, hentikan pemikiran polosmu itu.” Seishin terlihat begitu lancar mengeluarkan pernyataannya.

Ya, Seishin memang terlampau jujur dan blak-blakan—membuka semua rahasianya tanpa rasa takut. Benar, ia memang tak peduli dengan peperangan antara kebaikan dan kejahatan—antara Erebos dan para pengendali. Ia bahkan tak peduli dengan keseimbangan dunia. Mungkin dulu, ia akan peduli—sebelum Erebos menghancurkan segalanya. Yang ia pedulikan saat ini dan untuk ke depannya adalah membuat Luna kembali dan mereka akan hidup bahagia berdua—tanpa harus memikirkan hal-hal memusingkan seperti itu.

Mendengar itu, Tao hanya tersenyum. Bahkan, pengendali waktu malah terkekeh.

Seishin menautkan alisnya. Mengapa Tao mendadak terkekeh? Apa dia sudah gila? “Mengapa kau tertawa? Apa kau sudah tak waras karena terlalu menyesali perbuatanmu?” tanya Seishin sambil memicingkan mata. Ditatapnya dinding batu tajam—seolah ia bisa menatap langsung pengendali waktu di balik dinding batu.

Tao masih saja tertawa. Sampai akhirnya, ia berhenti. “Aku baru sadar ternyata nama Grey memang pantas untukmu,” kata Tao senang.

Seishin menelengkan kepala. Terlalu bingung dengan apa yang dikatakan Tao.

“Apa kau tahu jika Grey—abu-abu—adalah campuran hitam dan putih? Dan, apa kau sadar, jika abu-abu tak akan pernah menyatu dengan salah satu warna itu? Abu-abu selalu berada di antara hitam dan putih. Warna itu punya zona sendiri, yaitu zona abu-abu. Astaga, kau memang pantas disebut Grey. Kau memang Grey! Kupikir kau dipanggil Grey karena pakaian dan matamu itu! Tapi, kurasa alasan sebenarnya adalah ini. Ini benar-benar lucu! Pantas sekali kau disebut Grey!” Tao terus terbahak seperti orang yang kehilangan akal sehat. Ia sungguh merasa hal yang baru saja dikemukannya itu sangatlah lucu.

Seishin kini berpikir bahwa pengendali waktu benar-benar sudah gila. Namun, mengenai kata-kata Tao, ah, itu benar juga. Seishin selalu berada di zonanya sendiri. Ia bukanlah bagian hitam atau putih. Ia hanya hidup di zona abu-abu. Mungkin nama Grey tak seburuk perkiraannya. Ah, mungkin ia harus mulai menyukai nama itu.

Pemuda bertudung abu-abu tersenyum kecil sebelum mulai memainkan ocarinanya. Dan, tempat yang tadinya dipenuhi suara tawa Tao akhirnya menjadi sunyi. Setelah selesai membatalkan mantra pelindungnya, Seishin meninggalkan ruangan bawah tanah. “Ya, kurasa aku memang pantas dipanggil Grey. Nama itu lumayan juga,” katanya sambil terkekeh.

.


.

Chanyeol membuka mata perlahan sebelum mengerjapkannya beberapa kali—berusaha membiasakan cahaya memasuki matanya. Setelah tertidur panjang, ia bisa kembali. Akhirnya, Chanyeol bisa melihat cahaya, setelah sekian lama terjebak dalam kegelapan dan rasa sakit.

Sambil menunggu indera penglihatannya bekerja sebagaimana mestinya, telinga Chanyeol mendengar suara-suara yang sangat familiar. Suara yang sangat rindukan. Suara berbeda nada itu terus memanggil namanya—memanggilnya dengan keras. Mereka terdengar begitu senang.

“Chanyeol ah!”

“Chanyeol Hyung!”

Suara-suara itu adalah suara sahabat-sahabatnya. Suara mereka telah membantu Chanyeol untuk bisa kembali. Suara para pengendali telah membawa dirinya pulang—menyelamatkan pengendali api dari kegelapan abadi.

Pengendali api mengedarkan pandangan ke sekeliling. Didapatinya sembilan pengendali berdiri dengan senyuman tersungging. Mereka tampak sangat bahagia. Bahkan, beberapa telah menangis karena melihat dirinya telah bangun. Tapi, hanya sembilan orang? Chanyeol tak mendapati dua sosok lain. Di mana mereka? Jangan-jangan mereka—

Tak bisa Chanyeol melakukan atau memikirkan apa-apa lebih jauh. Ia benar-benar butuh waktu untuk kembali beradaptasi. Bangun dari tidur panjang membuat Chanyeol pusing. Kepalanya sedikit sakit. Dan, ada sesuatu dalam diri yang belum kembali sepenuhnya. Pengendali api berusaha bangkit duduk. Dengan sigap, Xiumin dan Kris yang berdiri di sisinya membantunya untuk bangun.

Kris langsung memeluk Chanyeol erat—seolah tak ingin melepasnya lagi. “Bodoh! Kau itu bodoh! Bukankah sudah kubilang jangan mati? Bodoh! Jangan pernah lakukan ini lagi! Ingat! Hanya aku yang boleh membunuhmu! Camkan itu baik-baik! Astaga, kau itu bodoh! Apa kau ingin membuktikan perkataanku untuk menjemputmu dari neraka? Kau bodoh!”

Pengendali naga terus mengumpat dan marah. Namun, tak sekalipun ia melonggarkan pelukannya. Malah sebaliknya, ia semakin mengeratkannya. Air mata penuh kelegaan keluar. Kris benar-benar bahagia. Tak ada yang lebih menggembirakan dari bangunnya Chanyeol dari kematian.

Hyung­—sesak—Aku tak bisa bernapas—” kata Chanyeol lirih. Baru bangun dan mendapat pelukan erat seperti itu, apa Kris ingin benar-benar membunuhnya?

Kris segera melepaskan pelukannya. Sebuah senyum terulas. Ia sungguh tak menyangka bisa melihat Chanyeol kembali. Sungguh, ini sulit dipercaya. Apa ini sungguhan? Atau, ini hanya mimpi? Jika ini mimpi, Kris berharap ia tak akan pernah bangun.

Begitu Kris melepaskan pelukannya, pengendali lain pun berhamburan memeluk Chanyeol—meluapkan kerinduan mereka. Bagi para pengendali yang sempat diambil alih musuh, awalnya, mereka merasa agak canggung. Namun, mereka tak kuasa menahan kegembiraan yang begitu membuncah. Biarlah masalah ‘penyerangan di bawah kendali’ mereka bahas lain kali. Saat ini, para pengendali hanya ingin meluapkan rasa bahagia. Ini saat yang tepat untuk menyambut kembali Chanyeol, sang Pengendali Api!

.

.

Pengendali api hanya tersenyum kecil melihat reaksi para sahabatnya. Tak bisa ia ikut meluapkan emosi dengan ikut tertawa. Ah, mungkin ia masih terlalu lemah. Tubuhnya tak ia pakai cukup lama. Terasa begitu lemah, tak bertenaga sekaligus kaku di saat bersamaan. Dan, sesungguhnya, Chanyeol merasa janggal terbangun di tempat damai dan tenang ini. Sebelumnya, ia telah terjebak di dunia gelap, dingin dan penuh rasa sakit.

Dua anggota temuda kelompok terlihat paling gembira. Tak kuasa mereka menahan diri untuk meluapkan emosi yang membuncah. Sehun dan Kai terus melompat dan menari karena terlampau bahagia. Mereka bahkan berencana membuat pesta menyambut kembalinya Chanyeol, yang jelas disetujui pengendali lain.

Setelah mengatakan akan menyiapkan kejutan dan pesta meriah, Kai dan Sehun langsung meninggalkan Divine World dengan tergesa. Sangat cepat. Pengendali angin langsung melompat dari pohon satu ke pohon lain, sementara Kai menggunakan kemampuan berpindah tempatnya. Kedua bocah yang selalu berisik jika tengah bersama itu menghilang—tak terlihat lagi.

Lay dan Kyungsoo yang memang jago memasak, apalagi saat para pengendali dalam perjalanan, hanya tersenyum. Mereka berkata akan menyiapkan makanan untuk penyambutan Chanyeol. Chen dan Suho pun ikut serta. Mereka akan meminta izin pada para tetua dan menyiapkan tempat untuk pesta itu.

Dan kini, hanya tinggal tiga anggota tertua dalam kelompok, ditambah Chanyeol dan Zoe. Mereka tersenyum melihat antusiasme para pengendali mempersiapkan pesta penyambutan pengendali api.

Kris masih menggenggam tangan kanan Chanyeol. Tatapan ia lekat pada sosok bersurai hitam yang masih duduk di pembaringan. Tak sekalipun ia melepaskan pandanganya—seolah jika Kris melakukannya, maka pengendali api itu akan menghilang. Tidak. Kris tak akan membiarkan itu terjadi lagi.

Chanyeol masih bergeming. Masih terlihat bingung dan linglung. Kata pun tak banyak keluar dari mulutnya. Pengendali api cenderung diam dan mengulas senyum kecil. Para hyungnya berusaha maklum. Chanyeol masih butuh beradaptasi. Mungkin juga, ia memikirkan keadaan dua pengendali yang tak terlihat. Itu mungkin saja. Karena itu, Xiumin dan yang lain tak mau terlalu khawatir.

Luhan menatap pengendali api lekat. Berusaha ia membaca aura dan pikiran dongsaengnya. Mungkin dengan melakukannya, ia bisa membantu Chanyeol memahami apa yang terjadi—apa yang membuatnya linglung dan bingung. Beberapa saat kemudian, kerutan terbentuk di kening pengendali telekinesis. Ia hanya menelengkan kepala. Aneh—ada yang aneh, pikirnya.

.

.

Kini, hanya empat pengendali masih bertahan di Divine World. Tentu saja, masih ditemani sang Penjaga, Zoe.

Pengendali api berusaha berdiri dan Kris dengan sigap menopangnya. Ia sadar karena sudah lama tak bergerak, Chanyeol pasti akan sulit untuk menahan tubuhnya sendiri. Dan benar saja. Begitu menapakkan kedua kakinya ke tanah, pengendali api itu limbung. Kris pun langsung membantu Chanyeol dengan tangan kekarnya.

Chanyeol kembali berusaha untuk menopang tubuhnya sendiri. Ia menepis pelan tangan Kris. Bukan. Ia bukannya menolak bantuan Kris. Chanyeol hanya ingin mencoba berdiri sendiri. Meskipun sedikit ragu, pengendali naga pun menganggukkan kepala setuju dan melepaskan Chanyeol. Ia tetap bersiaga di samping pengendali api—siap menangkapnya jika terjatuh. Dan, dengan setelah beberapa saat, Chanyeol bisa berdiri sendiri. Ia pun bisa berjalan, meskipun sedikit kaku.

Chanyeol masih tak mengatakan apa-apa. Ia lebih memilih diam. Yang lain lagi-lagi memakluminya. Mungkin saja, tenggorokan pengendali api kering sehingga untuk mengeluarkan suara pun sulit dilakukan. Itu tak terlalu penting. Yang penting, Chanyeol telah kembali bersama mereka.

Kris pun mengajak Chanyeol untuk kembali ke desa. Xiumin dan Luhan pun setuju.

Para pengendali baru saja mulai melangkah, saat Zoe mendadak menghentikan mereka. “Tunggu dulu—” Mereka berhenti dan menoleh ke arah sang Dewi.

Zoe berjalan mendekati empat pengendali itu. “Pengendali api harus menyelesaikan sesuatu. Dan, aku harus berbicara dengannya sebentar. Bisakah kalian meninggalkan kami berdua di sini?” pinta Zoe.

Kris mengerutkan kening. Ada urusan apa Zoe dengan Chanyeol? Mengapa harus berdua saja?

Jujur, Kris tidak rela meninggalkan Chanyeol. Ia terlalu takut berpisah sekalipun sebentar. Kris takut jika Chanyeol menghilang lagi. Tidak—Ia tak mau itu terjadi. “Untuk apa, Zoe? Chanyeol baru saja bangun. Tidak bisakah kau bisa membiarkannya istirahat sebentar? Dan jika berbicara, mengapa harus berdua? Apa ada yang kausembunyikan? Aku tak akan membiarkanmu melakukan hal-hal yang membahayakan Chanyeol.”

Zoe dapat membaca apa yang dirasakan Kris. Ia hanya tersenyum kecil. “Aku hanya membutuhkan Chanyeol sebentar, Kris. Ada prosesi yang harus pengendali api selesaikan untuk menyempurnakan penyembuhannya. Dan tentu saja, tak boleh ada yang ikut serta. Ini rahasia pohon kehidupan. Aku janji tak akan melakukan sesuatu yang membuat Chanyeol terluka. Percayalah,” jelas Zoe.

Kris kembali menatap Chanyeol lekat penuh rasa khawatir. Chayeol sendiri tampak tenang. Ia hanya menganggukkan kepala, seolah mengatakan semua akan baik-baik saja. Dengan berat hati, Kris, Xiumin dan Luhan akhirnya meninggalkan Chanyeol dan Zoe di Divine World.

.

.

Kris berjalan gontai. Sesekali, ia menengok ke belakang—berharap Chanyeol telah selesai dan menyusulnya.

Cukup jauh di depan Kris, Luhan berjalan berdampingan dengan sahabat terbaiknya, Xiumin. Pengendali telekinesis melipat kedua tangan di depan dada. Sesuatu menyita pikirannya. Sedari tadi, ia sibuk bergelut dengan pikirannya sendiri.

Xiumin yang menyadari keanehan dengan Luhan pun memegang bahu sang sahabat. “Ada apa? Apa yang mengganggu pikiranmu?” tanya pengendali es sedikit khawatir.

Pertanyaan itu bagaikan angin lalu. Luhan tak menggubrisnya. Ia malah menggerakkan tangannya yang terlipat dan mengarahkan tangan kanannya ke mulut. Pengendali telekinesis mulai menggigit ibu jarinya.

Tak tahan diabaikan, Xiumin pun menoyor kepala Luhan. Dan, usahanya berhasil. Sahabatnya itu akhirnya keluar dari dunianya.

“Ya! Mengapa kau menoyorku, Xiumin ah? Sakit—” kata Luhan sambil mengelus pelipis sebelah kirinya.

“Ya! Itu salah siapa? Mengapa kau tak mengacuhkanku? Apa yang sebenarnya terjadi? Apa terjadi sesuatu?” tanya Xiumin lagi.

Luhan mengacak rambutnya. Ya, sesuatu memang sedang membebani pikirannya. Sungguh aneh.

“Katakan saja. Kau ini—”

“Chanyeol—Dia berbeda. Ada sesuatu yang aneh dengannya. Ada sesuatu yang hilang darinya. Sesuatu yang sangat penting,” kata Luhan memotong perkataan sahabatnya.

Pengendali es mengerutkan keningnya. Tapi, tak lama ia kembali bersuara. “Apa karena dia berubah menjadi pendiam? Itukah yang menurutmu aneh? Ya! Kau terlalu berpikiran buruk, Luhan ah. Chanyeol—ah, dia hanya perlu beradaptasi. Bisa kaubayangkan tertidur panjang, tanpa melakukan apa pun, dan ketika kau bangun di tempat yang asing? Kau tahu sendiri apa yang dialami Chanyeol sebelum tidur panjangnya, kan? Jadi, dia hanya bingung mendapati keadaannya sekarang. Jangan terlalu khawatir. Chanyeol pasti baik-baik saja. Ini hanya efek sementara saja.”

Luhan terdiam lalu menggelengkan kepalanya—tak setuju dengan pendapat Xiumin. “Tidak—tidak, Xiumin ah. Ada yang salah di sini—ada yang salah—” Luhan terus saja mengulang kalau ada sesuatu yang salah. Ya, ia terus mengulangnya. Ada yang salah—

.


.

“Selamat datang kembali, Pengendali Api,” sambut Zoe sambil tersenyum.

Chanyeol hanya menganggukkan kepalanya, tanpa ekspresi berarti.

Zoe menarik napas panjang sebelum mengembuskan perlahan. Saat ini, keduanya berada tepat di bawah pohon kehidupan. “Kau tentu sudah mengenalku, kan? Akulah, Zoe, Dewi Kehidupan. Aku sudah sering mengunjungimu ‘di dunia sana’. Kau pasti mengingatku. Baiklah, kita langsung saja ke inti permasalahan. Jadi, Chanyeol ah, seperti yang pernah kuberitahukan kepadamu selama ini—apa kau sudah membuat keputusan?” tanya sang Dewi.

Chanyeol tak memberikan tanggapan. Ia terlihat sibuk dengan pikirannya. Pengendali api masih saja tampak linglung dan bingung. Terlihat jelas dari raut mukanya bahwa sesuatu membebani. Pandangan matanya pun terlihat tak fokus.

“Zoe—” Chanyeol akhirnya membuka mulut.

“Ya?”

“Aku—aku merasa ada yang aneh dengan diriku. Tadinya, aku berpikir ini hanyalah efek sementara. Tapi—tapi semakin lama, ini menjadi semakin jelas. Ini aneh. Zoe, apa yang sebenarnya terjadi padaku? Aku tak bisa merasakan apa pun—Semua perasaaan yang ada—aku tak bisa merasakannya. Aku juga tak bisa mengungkapkannya. Mengapa? Mengapa aku merasa sangat kosong? Beritahu aku sesuatu, Zoe!” Chanyeol menatap sang Dewi dengan pandangan bingung. Sekarang, ia butuh penjelasan apa yang terjadi sebenarnya. Pergi ke mana seluruh emosinya?

Sang Penjaga lagi-lagi menghela napas panjang. “Chanyeol ah, maafkan kami.”

Chanyeol hanya mengerutkan keningnya tanpa bisa memberikan ekspresi berlebih.

“Saat kau dibawa kembali ke sini—Semuanya sudah terlambat. Jiwamu—sebagian besar jiwamu, termasuk perasaanmu, telah rusak oleh kegelapan. Kegelapan itu telah menghancurkanmu terlalu dalam, Pengendali Api. Apa yang kami lakukan hanya bisa menyelamatkan jiwamu dan sedikit perasaanmu supaya tak sepenuhnya tertelan dan hancur lebih jauh. Kami berusaha keras menyembuhkan luka fisik dan hatimu. Tapi—ternyata, perasaanmu sudah termakan duluan. Semua kegelapan sudah dibersihkan, tapi perasaanmu tak bisa dikembalikan seperti semula. Karena itulah, kau merasa kosong saat ini,” jelas Zoe.

Pemuda jangkung itu menggelengkan kepalanya berulang kali—tak percaya mendapati jawaban mengejutkan dari Zoe. Ia terus saja menggumamkan kata-kata: ‘tidak mungkin’, ‘bagaimana bisa aku kehilangan perasaanku?’, ‘apa yang terjadi?’ dan semacamnya.

“Apa tak ada yang bisa kulakukan untuk membuat perasaanku kembali? Aku ingat aku adalah kekasih Baekhyun, tapi aku tak merasakan apa pun saat ini. Apa aku lupa perasaanku itu? Rasa bahagia, sedih, marah? Astaga, bagaimana bisa seperti ini? Apa tak ada jalan lagi untuk mengembalikannya?” tanya Chanyeol. Bahkan saat mengatakan semua itu pun, ia tak bisa mengungkapkan dengan ekspresi. Semua benar-benar terasa kosong.

“Mm—Ada satu cara yang bisa kaulakukan, Chanyeol ah. Kau—” Zoe menghentikan ucapannya.

Chanyeol terdiam, menunggu jawaban.

“—Kau harus belajar lagi mengenal perasaan itu dari awal. Jangan terlalu khawatir, teman-temanmu pasti akan membantu. Aku juga akan membantumu,” lanjutnya.

“Belajar dari awal? Jadi, semuanya harus dari awal?” Chanyeol bergumam sendiri.

Setelah bergelut dengan kenyataan menyakitkan itu beberapa saat, Chanyeol pun menerimanya dengan berat hati. Saat ini, bukan perasaannya yang penting, tapi bagaimana ia menyelamatkan pengendali lain. Menyelamatkan Baekhyun. Semakin cepat ia menyelamatkan pengendali cahaya, maka semakin cepat pula Chanyeol bisa belajar merasakan cinta lagi. Ya, itu yang harus ia lakukan.

Keheningan menyergap beberapa saat. Chanyeol tampaknya sudah memutuskan.

“Jadi—kau sudah menerima apa yang terjadi padamu?” tanya Zoe. Pertanyaan itu hanya dijawab dengan anggukan lemah.

“Sekarang kutanya lagi—mengenai segel itu. Apa kau benar-benar sudah memutuskannya? Beritahu aku pilihanmu. Kau bisa tetap seperti ini atau kau bisa mendapatkan kekuatanmu, tapi dengan konsekuensi yang cukup berbahaya. Konsekuensi yang pernah kuberitahukan kepadamu. Jadi—Apa keputusanmu?” Zoe memandang Chanyeol penuh harap.

“Jika aku memutuskan membuka segel, maka kekuatanku akan kembali, kan? Aku akan bisa memanggil hewan panggilanku. Aku tak perlu lagi merasakan kesakitan saat menggunakan kekuatanku. Kau pun bisa membuka segel penyempurna untuk kekuatan kedua belas pengendali. Lalu, kita bisa mengalahkan dan menyegel Erebos selamanya?”

Zoe menjawab semua itu dengan anggukan.

“Dan, konsekuensi yang kuterima hanya ‘itu’, kan? Itu pun jika aku melewati batasku?”

“Itu risiko yang besar, Pengendali Api. Jangan kau anggap mudah,” tekan sang Penjaga.

“Aku hanya perlu membatasinya, kan? Risiko itu tak ada artinya dibandingkan apa yang akan kudapatkan. Dengan kembalinya kekuatanku, banyak hal baik yang akan terjadi. Jadi—aku sudah memutuskan. Kau boleh melepaskan segel itu, Zoe.” Keputusan Chanyeol sudah bulat.

“Apa kau yakin? Pikirkan lagi, Pengendali Api.”

Chanyeol mengangguk. Ia benar-benar sudah mantap dengan keputusan yang diambilnya—apa pun risikonya.

Zoe menghela napas panjang lalu mulai bersiap. “Baiklah, Chanyeol, sang Pengendali Api. Bersiaplah—”

.


.

“Apa yang sebenarnya salah? Kau terlalu melebih-lebihkan, Luhan ah.” Xiumin masih bersikeras bahwa Luhan terlalu berlebihan menanggapi kondisi Chanyeol.

Tapi, Luhan tetap kukuh pada pendiriannya. Ada yang salah dengan pengendali api. “Dengar, Xiumin ah. Aku tak merasakan apa pun dalam dirinya. Chanyeol—Chanyeol begitu berbeda dengan Chanyeol yang kita kenal dulu. Ia—ia begitu kosong. Ia seperti kehilangan perasaannya,” tegasnya.

“Lu—jangan mengada-ada. Chanyeol—”

“Aku tak sedang bercanda, Xiu! Aku merasakannya! Ia begitu kosong! Auranya, perasaannya, semua terkesan berbeda. Terasa sangat kosong! Apa kau tak percaya padaku? Chanyeol kehilangan kemampuan merasakan dan mengungkapkan perasaannya! Ia begitu kosong!” kata Luhan sedikit emosi.

Dan tiba-tiba saja, dari arah belakang—

“Apa maksudmu dengan Chanyeol kehilangan kemampuan merasakan dan mengungkapkan perasaannya? Apa maksudmu dengan kosong? JELASKAN PADAKU!” teriak sosok tampan bertubuh tinggi itu.

Luhan hanya bisa menutup matanya. Sial—mengapa Kris harus mendengarnya?


To Be Continued

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!
chachamariditha
Well, I posted Chapter 6 here *and other sites*! If you want to read the next chapter, you can visit my wordpress. Kekeke

Comments

You must be logged in to comment
Sky_Wings
#1
❤_❤
drnewbie #2
Wow genre favorite ini haha, pas baca fereword nya jdi tertarik sendiri haha, oke i'll begin to explore and hopefully to find a lot of 'awesome' things later, ya dan kayanya dalam 1 jam kedepan bakal selesai sampai chapter terakhir yang di update haha
PCY92BH #3
Hey you! I knew you haha cerita ini pernah aku baca di screenplays (kalau tdk salah) dan ini cerita dewa banget. Semangat terus ya, jangan patah semangat seperti yang tahun lalu kkk~
HaeHunUp
#4
Chapter 6: eonni dimana" ada. ga sabar nunggu ch 17 apa 18, lupa ._.
cepat kembali eonni ~~
AWPark #5
Chapter 5: Lanjut dong min...