Running Away from Fate

Come Back to Me

Hyung, apa yang kaupikirkan?” tanya pemuda bermata bulat bernama Do Kyungsoo.

Pemuda berambut pirang yang ditanya hanya melamun—menatap langit gelap tanpa bintang. Sama sekali tak memedulikan Kyungsoo. Ia lebih memilih bergeming. Seakan, terjebak dalam pikirannya sendiri.

“Kris Hyung!” panggil Kyungsoo lagi. Kali ini dengan suara lebih keras. Segera dipegangnya bahu pemuda tinggi tampan di dekatnya sembari digoyang-goyangkan.

Pemuda yang dipanggil Kris akhirnya tersadar. Tatapan datar dan dingin ia layangkan ke Kyungsoo. Ah, memang begitulah ciri khas seorang Kris. “Apa?” Jawaban dingin terlontar serupa karakteristiknya.

Kyungsoo mengambil kursi lalu menggesernya mendekati kursi Kris. Ia duduk sebelum ikut menerawang keluar. “Kau memikirkan mereka? Ah, lebih tepatnya—Apa kau memikirkan dia? Kau menyesal membiarkan dia pergi dengannya?”

Kris terdiam—menutup mata sejenak.

Hyung?” Kyungsoo menanti jawaban.

Pemuda berparas tampan itu membuka mata. Diarahkan pandangan pada sebuah lilin dengan nyala cukup terang tak jauh darinya. Cahaya menerangi rumah tua itu.

“Aku tak tahu, Kyungsoo ya—Aku tak tahu. Jangan paksa aku menjawabnya.” Mata Kris masih terfokus pada cahaya lilin yang kini tampak bergerak-gerak. Angin bertiup cukup kencang melalui jendela kayu ek coklat tua.

“Mereka akan baik-baik saja, Hyung. Kita pasti akan menemukan mereka.”

“Aku harap begitu, Kyungsoo ya. Semoga, dia baik-baik saja. Kau tahu dia tak bisa menggunakan kekuatannya,” jawab Kris lirih—ragu dengan pernyataannya sendiri.

Suasana mendadak sunyi. Kris dan Kyungsoo kini sibuk dengan pikiran masing-masing. Keduanya memilih berdiam diri. Tiba-tiba—

Blam!

Pintu terbuka paksa. Terdengar jelas derap langkah buru-buru mendekati Kris dan Kyungsoo.

Hyung!” Seorang pemuda masuk dengan napas memburu. Teriakan kerasnya menyadarkan kedua pemuda yang sibuk melamun. Langsung saja, ia berhenti di depan Kris dan Kyungsoo. Dibungkukkan tubuhnya—karena terlampau lelah.

Kris –Pengendali Naga- menatap malas pemuda yang barusan masuk.

Kyungsoo menghampiri penuh khawatir. “Chen Hyung, ada apa? Mengapa kau terengah-engah seperti itu?” Dibantunya Chen untuk berdiri tegak sebelum memapahnya ke salah satu kursi di ruangan.

Chen belum mampu mengembalikan irama napasnya. Pemuda berambut pendek hitam dengan wajah pucat itu masih saja terengah-engah.

Kyungsoo beranjak ke sudut ruangan. Tangannya sibuk mengambil sebuah gelas dan menuangkan air dari wadah. Kembali, dihampirinya Chen. “Chen Hyung, minumlah dulu.” Tangan Kyungsoo menyodorkan gelas yang langsung disambut oleh Chen.

Dengan cepat, air dalam gelas sudah berpindah menyusuri kerongkongan dan  menghilangkan dahaga Chen. Hal itu berimbas baik pada pernapasannya. Semua sudah normal. Tak ada lagi suara engahan yang keluar.

Kris masih saja bersikap dingin—tak mengeluarkan sepatah kata apa pun. Seolah, ia tak peduli dengan apa yang terjadi pada Chen saat itu. Meskipun Kris penasaran setengah mati dengan alasan Chen datang ke rumahnya, ia tak akan pernah menunjukkan perubahan ekspresi berarti.

Hyung, ini gawat. Sehun menghilang!” seru Chen setelah berhasil tenang.

Kris mengernyitkan keningnya. Menghilang?

“Chen Hyung, jangan bercanda! Bagaimana Sehun bisa menghilang?” Kyungsoo mulai panik.

“Tadi, Lay Hyung mau mengantar makanan untuk Sehun di kamar. Tapi, saat ia masuk, Sehun tak ada. Ia menghilang! Hyung, bagaimana ini? Kita harus bagaimana? Bocah itu—Dia pasti mencari Luhan Hyung! Kalian tahu? Sudah beberapa hari ini, ia bersikeras menemui mereka! Keras kepala sekali bocah itu! Ia bilang akan bicara baik-baik dan mengajak mereka kembali. Aku tak tahu darimana dia mendapat pemikiran tak waras itu, Hyung! Apa yang harus kita lakukan sekarang?” Mata Chen mulai memerah. Campuran emosi yang meledak-ledak. Amarah, kecewa, panik, takut—semua bercampur jadi satu.

Kris mengepalkan tangan—menahan gejolak emosi yang memenuhinya. Kesal dan marah. Mengapa? Mengapa kejadian seperti itu masih berlanjut? Apa ia akan kehilangan satu orang lagi? Tidak. Ia tak bisa membiarkan itu lebih jauh lagi.

Kris berdiri. Ditatapnya Chen dan Kyungsoo tajam. “Panggil yang lain. Kita tak bisa lagi membiarkan hal itu terjadi lagi! Aish— Sial!  Bocah itu bodoh sekali! Argh!” Kris keluar dari ruangan, meninggalkan Chen dan Kyungsoo dalam keterkejutan dengan perubahan sikapnya.

Memang, sikap Kris begitu berbeda. Kris begitu meledak-ledak. Mengerikan dengan emosi meluap-luap yang tertahan. Biasanya, ia selalu tampak dingin—selalu mencoba menyelesaikan masalah dengan ketenangan luar biasa. Ia tak pernah seperti ini.

Ah, tidak. Kejadian ini pernah mereka lihat. Satu kali, tepatnya beberapa minggu sebelum hari ini. Satu kejadian yang mengawali semuanya—awal dari kehancuran mereka.

.

.

Memasuki kamar, Kris meraih jubah putih yang tergeletak di atas ranjangnya. Jubah yang selalu menyelimuti tubuhnya semenjak menjadi salah satu pengendali. Diremas jubah itu dengan tangan kanan, sementara tangan kiri mengepal kuat—menahan tumpukan emosi. Mata Kris memerah. Sekuat tenaga, ia mencoba tak membiarkan luapan air mata tertahan selama ini. Semua emosi—amarah, kecewa, takut, sedih. Sungguh—ia tak sekuat itu. Ingin rasanya, ia menangis—meluapkan semuanya.

“Tao, Kai, Xiumin, Luhan. Dan, sekarang? Apa aku juga harus kehilangan Sehun? Mengapa semua ini bisa terjadi? Argghhh!” Kris melayangkan pukulan ke dinding kayu ek nan keras. Serpihan kayu dan darah mewarnai punggung tangannya.

Sembari mengeratkan kepalan, pengendali naga berjalan gontai ke tengah ruangan. Sebuah meja dengan beberapa kursi menyambutnya. Ia memilih duduk—menatap penuh arti lilin menyala di atas meja.

Kris menyerah, tak bisa menahan diri lagi. Air mata akhirnya jatuh membasahi wajah tampan bak pangeran itu. Terus mengalir tanpa henti. Tangisan tanpa suara. Ya, ia akhirnya menangis. Ia sudah tak kuasa lagi menahan air mata itu. Sungguh berat. Mengapa semua ini harus terjadi pada mereka? Pada dia dan dirinya?

“Mengapa aku dulu membiarkanmu pergi, eoh? Kau harusnya tetap di sini—berada di sisiku! Menjadi sumber kekuatanku! Aku tak seharusnya membiarkanmu pergi bersamanya! Mengapa aku begitu bodoh? Harusnya ini tak pernah terjadi! Sialan!” Lagi, ia menangis. Kepala diletakkannya di atas meja.

Sosok dingin Kris yang minim ekspresi tak ada lagi. Hanya terlihat sosok Kris lain. Seorang Kris yang penuh emosi. Emosi seorang manusia biasa.

.

.

Flashback On

Kris mengedarkan pandangan, menyisir taman besar di ujung timur desa. Mencari seseorang, rupanya. Mata hitamnya masih bergerak mencari, sampai akhirnya terpusat pada satu sosok di bawah pohon besar. Ia tampak duduk santai sambil memainkan sesuatu –entah apa-. Kris jelas tak bisa melihat jelas apa yang dilakukan sosok itu. Ia pun memilih melangkahkan kaki ke sana.

Muncul satu pemikiran jahil di kepala Kris. Sebuah senyum licik tersungging. Ia meraih sebuah kerikil kecil lalu melemparkannya pada sosok pemuda di bawah pohon. Ternyata Chanyeol.

Pletak

Tepat sasaran.

Aish—sakit! Ya! Siapa yang berani melemparku?!” Umpatan keluar dari mulut Chanyeol. Dielusnya dahi memerah yang tertutup surai hitam.

Sekarang, ia sibuk mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru taman—mencoba mencari pelaku ‘kejahatan sadis’ yang melukainya. Tak butuh waktu yang lama, Chanyeol akhirnya menemukan penjahat itu. Ah, sosok itu! Ia mendecih.

Pandangan sebal dilayangkannya pada sosok Kris yang tinggi berwajah tampan bagaikan pangeran dalam dongeng. Sosok itu terlihat semakin menawan dan bercahaya diterpa sinar matahari nan cerah. Aish, ia sungguh menyebalkan! Dan, apa-apaan senyuman yang tersungging itu? Mengapa harus ia yang datang ke sini?

‘Cih, ia pasti sedang tebar pesona. ‘Pangeran’ itu pasti merasa dirinya sangat tampan jika sudah tersenyum licik seperti itu! Menyebalkan!’ sungut Chanyeol dalam hati. Dan, saat Kris memasukkan tangan di kedua belah kantong celananya, pengendali api semakin kesal. Umpatan demi umpatan dilancarkannya secara membabi buta. Dalam hati, tentunya.

Dihentikan kesibukan yang sedari tadi dilakukannya. Chanyeol mematikan lilin menyala di tangannya sebelum memasukkan benda itu ke dalam kantong pakaian. Ia bersihkan pakaian dari debu sembari berdiri. Dilayangkannya pandangan tajam menusuk penuh rasa kesal pada Kris yang sekarang sudah ada di depannya.

“Apa?” tanya Chanyeol ketus—tanpa basa basi. Gumaman tak jelas keluar dari mulutnya tanpa henti.

Kris tak berkata apa-apa. Hanya tatapan tajam nan dingin seperti biasa yang dilayangkannya. Ah, dengan senyuman licik itu.

‘Aneh sekali. Ada apa dengan dirinya? Apa dia salah makan?’ pikir Chanyeol. Ia merasakan ada yang tidak beres dengan hyungnya ini. Bahaya. Ini pasti bahaya.

Chanyeol bersiap kabur. Kris, yang lebih tua darinya dua tahun itu, pasti akan menjitak kepalanya. Pasti! Gerak-gerik mencurigakan ini—semua tanda kalau Kris pasti akan melakukan hal itu pada dirinya! Tidak. Kali ini, Chanyeol akan menghindari kebiasaan Kris yang menyebalkan itu! Sungguh, pengendali api satu ini tak habis pikir, mengapa Kris sangat suka menjitaknya. Tak pernah ada alasan jelas mengapa ia sering melakukan itu. Dan, mengapa hanya padanya? Bukan pada yang lain?

Mendadak, Kris mendekat ke arah Chanyeol—membuat sosok yang didekati memundurkan badan. Terus mundur, sampai punggung pemuda itu tertahan batang pohon besar di belakangnya.

Chanyeol terjebak. Ditutup kedua matanya. Ah—sungguh, tak ada jalan lari lagi. Ia hanya pasrah. Siap kapan saja menerima jitakan dari pengendali naga. Menunggu beberapa saat, rasa sakit di kepala yang dibayangkannya tak kunjung terjadi. Akhirnya, Chanyeol memilih membuka mata. Begitu terbuka, ia mendapati pemuda yang lebih tinggi darinya beberapa senti itu sedang mengarah tangan kanannya ke kepala Chanyeol.

‘Aish, dia akan menjitakku! Dia akan menjitakku!’ gumam Chanyeol dalam hati. Kening pengendali api sedikit mengernyit. Agak takut. Baiklah, ia bukannya takut. Ia hanya tak suka merasakan rasa sakit akibat jitakan Kris. Itu saja.

Chanyeol sudah bersiap menerima jitakan. Namun, tangan Kris malah menyentuh dahinya. Bekas lemparan kerikil dari Kris.

“Sakit?” tanya Kris penuh perhatian.

Terkejut mendapat perlakuan dan pertanyaan aneh sekaligus bodoh semacam itu, Chanyeol hanya bergeming—tak bisa merespon apapun. Setelah beberapa saat, ia tersadar. Segera ditepis tangan Kris dari dahinya lalu didorong menjauh. Apa Kris sedang mengejeknya? Apa Kris sedang menikmati mahakarya di dahinya? Bekas lemparan kerikil akurat tadi? Sialan!

“Apa kau pikir jika kau dilempar kerikil tepat di dahimu, tidak sakit? Ya, jelas sakit, Bodoh! Apa kau ingin mencobanya? Dengan senang hati, aku akan melakukannya untukmu. Menyebalkan.Aish, mengapa kau harus datang kemari dan menggangguku, eoh? Terlalu rindu jadi kau mencariku?” Jawaban ketus kembali terlontar.

Chanyeol benar-benar kesal. Ia elus dahi yang masih terasa sakit itu sambil memalingkan wajah dari Kris. Sedikit takut sebenarnya dengan respon pemimpinnya itu. Astaga, ia mungkin terlalu berani pada pengendali naga.

Pletak

Tanpa aba-aba, tangan Kris sudah bertengger di kepala Chanyeol. Sebuah jitakan keras dilakukannya.

Aish, sakit! Mengapa kau harus menjitakku? Bisakah kau berhenti melakukannya, Kris? Kau tahu? Tindakanmu itu bisa membuatku bodoh!” Tangan Chanyeol sibuk mengusap kepalanya yang sekarang terasa nyeri itu.

“Tanpa kujitak pun, kau memang sudah bodoh, Pak Dobi! Sudah berapa kali kubilang, kau harus berkumpul bersama yang lain. Latihan kita harus disempurnakan. Mengapa kau tak datang, eoh? Semua sudah menunggu! Kau malah asyik di sini. Apa kau mau melarikan diri lagi? Dan— Tunggu sebentar. Apa yang kaumainkan tadi?” Dengan cepat, tangan Kris menyusup tanpa izin ke kantong celana Chanyeol. Ia tadi memang sempat melihat dongsaengnya itu menyembunyikan sesuatu saat ia datang.

“Ya! Hentikan, Naga! Kau menggelitikku!” Chanyeol tertawa geli. Namun, tangannya dengan sigap berusaha menghentikan usaha Kris menemukan benda yang ia sembunyikan.

Usaha Chanyeol gagal karena Kris mendapatkan apa yang ia cari. Kris memicingkan matanya tak percaya. Sebuah lilin? Untuk apa?

Begitu melihat Kris mengambil lilin miliknya, Chanyeol segera merebutnya kembali. Segera digenggamnya erat-erat benda itu, lalu disembunyikannya di balik jubah. “Benda ini milikku! Jangan sentuh!” Omelan kesal ia lontarkan kepada Kris, meskipun ia memilih menundukkan kepala. Tak berani memandang pemimpin dari dua belas terpilih.

Kris mengernyitkan keningnya—tak percaya dengan apa yang dilihatnya. “Mengapa kau masih bermain-main dengan lilin? Ya! Lebih baik kau berlatih bersama yang lain dengan lebih keras, Park Dobi!” sembur Kris dengan sedikit emosi.

“Berhenti memanggilku Park Dobi, Hyung! Namaku Chanyeol!” Nada suara Chanyeol terdengar meninggi. Ia tak suka dipanggil Park Dobi—panggilan khusus dari Kris untuknya. Dengan segera, ia mendudukkan dirinya kembali. Punggung bidang disandarkan pada pohon besar di belakangnya. Pohon yang sejak dulu menjadi tempat bermain. Tempat menghabiskan waktunya untuk sendiri.

“Lebih baik kau cari pengendali api lain, Hyung. Aku tak mau lagi berlatih bersama kalian. Apa kaupikir jika aku bersama kalian, aku akan berguna? Sia-sia saja! Tak ada gunanya, aku ada di sana!” Chanyeol sungguh kesal jika Kris atau yang lain membahas hal ini. Ia benar-benar tak suka!

“Kau itu benar-benar bodoh, Pak Dobi! Kau itu bagian dari kami. Kau salah satu yang terpilih! Satu dari dua belas pengendali! Pemilik elemen kekuatan! Kita harus bersatu mengalahkan penguasa kegelapan, Yeol!” seru Kris penuh emosi. Ia benar-benar emosi kali ini. Ia bukan sosok yang suka iseng seperti sebelumnya. Sungguh, ia lelah menghadapi sosok Chanyeol yang seperti itu. Lari dari takdir. Pengecut sekali.

Hyung, aku tak berguna! Kau tahu sendiri, aku tak bisa mengeluarkan kekuatanku dengan benar. Seberapa keras pun aku mencoba, hasilnya sama. Yang bisa kukeluarkan hanya bola api kecil yang bahkan tak bisa membakar batang pohon kering dengan sempurna! Yang bisa kulakukan hanya tetap bermain dengan lilin ini. Menyalakan dan mematikannya terus menerus, Hyung! Jadi, hentikan semua ini! Kau bisa cari yang lain! Aku bukanlah salah satu yang terpilih! Kalian salah orang!” Chanyeol berteriak frustasi. Mengapa semua orang tak bisa mengerti dirinya? Apa gunanya seorang pengendali yang tak bisa mengeluarkan kekuatannya?

Lagi-lagi alasan itu. Kris benar-benar bosan jika Chanyeol menggunakan alasan ketidakmampuan menggunakan kekuatannya secara maksimal. Bocah itu benar-benar bodoh!

Dengan nada tinggi, sang pemimpin dari dua belas terpilih pun balas berteriak. “Sudah cukup! Berhentilah mengeluh, Pak Chanyeol! Jangan bersikap seperti anak kecil! Dengarkan aku baik-baik. Kelak, kau akan bisa mengeluarkan kekuatanmu secara maksimal! Jangan menyerah! Kami ada di sini untuk membantumu. Pasti ada cara untuk mengajarimu mengeluarkannya! Hanya kau sang Pengendali Api. Bagian dari kami! Chanyeol ah, kau sudah menguasai teknik bertarung dengan baik. Keahlian menggunakan pedang kembarmu tak tertandingi. Berusaha dan berlatihlah lebih keras demi pengendalian kekuatan apimu. Bersabarlah sebentar lagi. Kau pasti bisa menguasainya. Bahkan, kau juga bisa mengeluarkan hewan panggilanmu!”

Mendengar perkataan Kris, Chanyeol semakin murka. Ia benar-benar jengah. “Berhenti mengguruiku, Hyung! Aku menyerah! Aku tak mau lagi!” Tak ingin lagi, ia peduli dengan semua takdir yang digariskan untuknya. Persetan dengan semua itu! Muak—Ia membenci kondisinya yang tak berguna! Ia benci semua—termasuk dirinya sendiri! Sudah cukup! Ia ingin berhenti!

Plak

Pipi kanan Chanyeol memerah. Wajahnya terpaling dengan mata terpaku pada permukaan tanah—tak percaya dengan apa yang dilakukan Kris, sebelum akhirnya indra penglihatannya itu memerah. Sungguh rasanya begitu panas. Emosi meluap-luap menyesakkan membuat Chanyeol ingin menangis. Sakit sekali rasanya.

Tangan Kris gemetar. Tak pernah disangka, ia bisa melakukan hal itu. Tangannya bergerak sendiri tanpa ia ingini. Ditatap dongsaeng kesayangannya lekat. Tamparan itu meninggalkan bekas merah, bahkan darah turut mewarnai. “Cha—Chanyeol— Ma—maaf—ak— aku—tak—sengaja—sung—sungguh—” Kris tak bisa mengendalikan diri. Lidah begitu kelu membuatnya terbata-bata. Sungguh, tindakan itu bahkan mengejutkan dirinya sendiri.

Chanyeol bergeming sembari memegang bekas tamparan keras itu dengan tangannya. Sebuah helaan napas panjang ia keluarkan sebelum akhirnya ia berdiri—berniat meninggalkan Kris.

Namun, ia tertahan, tak bisa bergerak lebih jauh. Kris memegang ujung pakaian miliknya, ternyata. Mengetahui hal itu, pengendali api sama sekali tak menoleh. “Hyung, lepaskan.” Dingin sekali ucapan Chanyeol yang keluar. Bahkan, ia mengatakannya tanpa ekspresi. Matanya tampak kosong.

“Chanyeol ah—maaf!” Suara Kris terdengar bergetar. Sungguh, ia menyesali perbuatannya yang bodoh tadi. Seandainya saja, waktu bisa diulang. Seandainya saja.

Chanyeol tak menanggapi sedikit pun permintaan maaf Kris. Dicobanya melepaskan pakaiannya dari genggaman hyungnya itu. Dan, semua itu ia lakukan menatap Kris sama sekali. “Lepaskan aku, Hyung. Aku hanya ingin bebas. Kumohon, aku benar-benar tak mau lagi melakukannya. Apa kau tahu betapa sakitnya tubuhku saat kekuatan api ini malah melawanku? Sakit, Hyung. Itu sangat menyakitkan. Kekuatanku— aku— tubuhku—!” Terhenti. Chanyeol tak sanggup melanjutkannya. Ia benar-benar muak. Mengapa Kris juga tak kunjung mengerti?

Kris mengepalkan sebelah tangannya yang bebas dengan erat, sementara tangan yang lain semakin kuat menggenggam ujung baju Chanyeol. Kepalanya tertunduk menatap ujung akar menonjol tempat ia berpijak. “Yeol, kalau kau tak mau melakukannya demi kami, maukah kau melakukannya demi Baekhyun?” Pernyataan itu terlontar dari bibir Kris yang gemetar. Sungguh, tak pernah ia bayangkan mulut itu berkhianat—mengucapkan satu pertanyaan yang sudah ia buang jauh-jauh dari pikirannya sejak dulu.

Usaha Chanyeol untuk melepaskan diri terhenti. Baekhyun. Demi Baekhyun? Apa ia harus melakukannya jika demi orang yang ia cintai itu?

Kening Chanyeol berkenyit—memikirkan sesuatu sebentar. Ia mendesah pelan. “Baekkie tak ada hubungannya dengan ini, Hyung. Kau jelas-jelas tahu ia tak bisa menggunakan kekuatannya sama sekali sekarang. Dan, ia tak berniat menggunakannya lagi! Kau harusnya mengerti kondisinya, Hyung! Baekhyun mengalami hal yang lebih parah! Kumohon, berhentilah memaksa kami ikut dalam perang tanpa akhir ini! Carilah pengendali yang lain! Yang lebih pantas menyandang peran ini! Kami hanya akan jadi beban! Jadi, aku memintamu dengan sangat—BERHENTILAH! Semua ini menyakiti kami!”

Mendengar tanggapan Chanyeol, perlahan jemari Kris terlepas lemas. Ya, ia melepaskan genggaman pada pakaian pengendali api. Perkataan dongsaengnya itu—Sungguh menyakitkan. Hatinya terasa tertusuk sembilu. Mengapa Chanyeol selalu seperti ini ketika menanggapi apapun tentang Baekhyun? Mengapa? Apa ia tak terlalu berlebihan? Sungguh bodoh!

Sadar tangan Kris sudah terlepas, Chanyeol pun beranjak meninggalkan sang pemimpin. Namun, langkahnya kembali terhenti saat suara Kris kembali terdengar.

“Park Chanyeol, kau jelas tahu mereka menginginkan Baekhyun, kan? Dialah incaran utama selama ini. Kau tentu menyadari fakta ini, kan?” Suara Kris begitu lirih—nyaris tak terdengar.

Chanyeol membalikkan tubuhnya cepat—menatap Kris yang masih tertunduk lemah.  Mata pengendali api yang tadinya tampak kosong menjadi berapi-api. Emosi tampak meluap-luap. “Kubilang, hentikan! Berhentilah menjadikan alasan tak masuk akal itu untuk menarikku atau Baekhyun kembali, Hyung! Aku muak dengan semua ini! Keputusanku sudah bulat. Aku tak mau melakukan ini lagi!” teriak Chanyeol. Suaranya begitu keras. Terdengar membentak.

“Berhenti berpura-pura, Chanyeol! Jangan ingkari fakta yang ada! Sebagai pengendali cahaya, Baekhyun memiliki kekuatan terbesar di antara kita. Ia kunci untuk mengalahkan makhluk-makhluk jahanam itu! Dengarkan aku! Mereka mengincar Baekhyun, Park Chanyeol! Musuh ingin mengendalikan dan memanfaatkan kekuatannya. Mereka tahu persis bahwa tanpa Baekhyun, tak ada yang bisa kita lakukan! Jika Baekhyun jatuh, kegelapan ini sudah tak bisa dikalahkan! Tak ada lagi yang bisa kita perbuat! Ingat itu, Yeol!” Kris mulai tak bisa mengendalikan emosinya. Ini bukan saatnya untuk bersikap egois. Ini menyangkut kehidupan banyak makhluk! Bagaimana mungkin Chanyeol bertindak kekanakan seperti itu?

“Baekkie tak bisa menggunakan kekuatannya, Hyung. Bahkan, ia saja tak bisa melihat! Bagaimana mungkin kekuatannya dimanfaatkan oleh musuh? Jangan bercanda denganku!” Masih saja, Chanyeol belum mau menerima semua itu, meskipun ia tahu apa yang dikatakan Kris benar adanya.  Ia tak akan memercayainya. Tidak! Ia tidak mau!

“Apa kau itu bodoh? Mereka licik dan kejam, Yeol! Mereka bisa melakukan apapun untuk memaksa Baekhyun mengeluarkan kekuatannya! Mereka mungkin akan menyiksanya! Dan, apa kau tahu? Begitu mereka menguasai Baekhyun, mereka bisa bertindak sesukanya. Mereka akan ada di atas angin, karena sang Cahaya, kunci utama untuk mengalahkan kegelapan, ada di tangan mereka. Sementara, tak akan ada yang bisa kita lakukan! Apa kau ingin membiarkan semua itu terjadi?” Emosi Kris tampak meluap-luap. Ia benar-benar tak bisa mengendalikan diri lagi—apalagi menghadapi kekeraskepalaan Chanyeol jika mereka sudah berbicara tentang Baekhyun dan takdir sebagai yang terpilih.

Chanyeol menggelengkan kepala kuat. “Jelas tidak, Hyung! Tak akan kubiarkan mereka mengambilnya! Aku akan melindungi Baekkie-ku!” sahut Chanyeol penuh keyakinan.

‘Baekkie-ku?’ Hati Kris semakin sakit mendengar ucapan Chanyeol. Begitu berartikah sosok Baekhyun untuk Chanyeol? Kris mungkin masih terjebak lebih jauh dengan pikirannya, kalau suara Chanyeol tidak menyadarkannya kembali.

“Aku akan melindungi Baekkie dengan caraku sendiri, Hyung,” imbuh pemuda bersurai hitam itu.

“Apa? Yeol, kau tak bisa seperti itu! Bagaimana mungkin kau bisa melindungi Baekhyun? Dengan cara apa? Kau bahkan tak bisa menggunakan kekuatanmu dengan baik!” teriak Kris berusaha menyadarkan keegoisan Chanyeol.

“Aku akan membawa Baekhyun pergi, Hyung. Pergi sejauh mungkin dari sini!” Chanyeol sudah tak peduli lagi dengan semuanya. Akan ia lakukan apapun demi menyelamatkan Baekhyun.

“PARK CHANYEOL!” Nada suara Kris sangat tinggi—penuh kekecewaan dan amarah. Mulut terkatup kuat-kuat. Gigi bergemeretak. Pengendali Naga berusaha keras untuk tak menyemburkan kata-kata kasar lebih jauh.

Hyung, dengarkan aku. Jika Baekhyun pergi dari sini, semua malah jauh lebih baik. Aku akan membawanya jauh, hingga musuh tak menemukan kami. Dan tanpa Baekhyun di sini, mereka tak akan berusaha menyerang. Kalian tinggal cari yang terpilih lain—yang bisa mengendalikan kekuatan. Dan, setelah itu, kalian akan bisa mengalahkan musuh. Aku akan membantu kalian dari tempatku berada kelak. Bukankah itu cara yang bagus, Hyung?” jelas Chanyeol dengan nada lembut. Ia berharap Kris bisa memahami rencananya. Maksud dari tindakannya.

Namun, Kris malah bertambah murka. “Jangan berpikiran sempit, Yeol! Kau pikir semudah itu? Apa kau merasa itu jalan keluar terbaik? Apa kau sadar kalau itu tindakan paling bodoh? Kau sama saja bunuh diri! Kau tak hanya membahayakan diri kalian, tapi juga membahayakan kami semua! Apa kau pikir mereka akan melepaskan kami begitu saja, saat menyadari bahwa incaran utama mereka tak bisa mereka temukan di sini? Membiarkan kami, kesepuluh pengendali, begitu saja di saat kami jelas tak berkutik tanpa sang Pengendali Cahaya? Para pengendali yang ditakdirkan mengalahkan mereka? Bisa kaubayangkan apa yang akan mereka lakukan? Apa kau sudah berpikir sejauh itu? Semua tak semudah yang kaupikirkan, Bodoh!”

Mulut Chanyeol terkatup kuat. Ia tak berpikir sejauh itu. Mengapa ia begitu bodoh? “Lalu, kita harus bagaimana?” Chanyeol berteriak frustasi. Ingin rasanya menemukan sebuah jalan keluar terbaik. Baik untuk dirinya dan Baekhyun, juga untuk para pengendali lain.

Kris mengepalkan tangan dan melayangkan pukulan pada pohon di depannya. “AKU TAK TAHU! SIAL!” teriaknya kesal.

Mereka masih berdiam diri, sibuk dengan pikiran mereka masing-masing. Tak ada yang membuka mulutnya lagi, bahkan posisi mereka tak berubah. Mereka seperti patung tanpa nyawa, hanya napas yang membuat dada mereka bergerak naik turun yang menandakan mereka makhluk yang masih hidup.

-Flashback off-

.

.

Tok—Tok—Tok—

Suara ketukan pelan terdengar dari luar kamar Kris.

“Kris Hyung, kau di dalam?” Suara Kyungsoo menyadarkan Kris yang tengah menangis dan mengingat peristiwa menyakitkan di masa lalu. Peristiwa yang sungguh menyisakan rasa sakit di hatinya sampai sekarang—meninggalkan penyesalan teramat mendalam.

Kris mengangkat kepala. Diseka airmatanya dengan kasar sebelum bangkit berdiri. Sebagai seorang pemimpin, Kris berusaha keras menyembunyikan emosi dari semua orang—termasuk pengendali lain. Apalagi sebuah tangisan yang ia anggap sebagai tanda kelemahan. Jelas, Kris tak mau menunjukkan sisi lemahnya di depan yang lain. Pemuda berwajah tampan itu bahkan nyaris tak pernah menangis. Nyaris. Kecuali untuk beberapa hal, seperti pemuda itu—Chanyeol.

Langkah kaki jenjang membawa Kris ke pintu. Kala dibuka, didapatinya sosok Kyungsoo di depan kamar. Kris hanya mengernyitkan kening dengan muka tanpa ekspresi berlebih tampak.

Namun, Kyungsoo agaknya sedikit terkejut melihat sang pemimpin dalam kondisi seperti itu. Raut muka kusut dan lelah. Sungguh menyedihkan. Dan, tunggu dulu. Mata Kris—apa ia baru saja menangis?

Sadar kalau ia tak seharusnya melihat hyungnya itu menunjukkan sisi lemah, Kyungsoo segera mengalihkan pandangan ke ruang tengah. “Semua sudah siap, Hyung. Kami siap berangkat kapan saja,” kata pengendali tanah dengan sedikit canggung. Aneh rasanya mendapati seorang Kris menangis, setelah tadi begitu marah dan tak bisa mengendalikan diri.

Tanpa berbicara apapun, pengendali naga melangkahkan kaki ke ruang tengah. Kyungsoo turut mengikuti dalam diam. Saat Kris memasuki ruangan temaram itu, Chen, Suho dan Lay yang tadinya tengah berbincang, segera berdiri menyambut pemimpin mereka.

“Kita berangkat sekarang!” seru Kris tanpa menunggu respon yang lain. Nada suaranya benar-benar tegas—tak menerima penolakan. Sungguh, ia sudah kembali ke dirinya yang biasa. Dingin dan tanpa ekspresi.

Chen menautkan alisnya mendengar perintah itu. Dilontarkannya sebuah pertanyaan. Ia butuh kejelasan apa yang harus mereka lakukan. “Apa kita akan menyusul Sehun?”

Kris menggelengkan kepalanya.

Para pengendali sedikit terkejut dengan jawaban Kris. Jika tidak menyusul Sehun, apa yang harus mereka lakukan?

“Sekarang, kita akan menjemput Baekhyun dan Chanyeol! Ayo, berangkat!” seru Kris penuh keyakinan. Segera, ia melangkahkan kaki keluar dari ruangan tengah—tanpa menunggu yang lain.

Empat pengendali yang ada di sana terenyak mendapati jawaban itu. Jawaban itu? Apa Kris serius?

Eoh? Apa yang Kris Hyung katakan tadi?” Chen mengorek-orek telinga—memastikan dirinya salah dengar.

“Menjemput Chanyeol dan Baekhyun?” tanya Suho lirih. Seakan, pertanyaan itu ia tujukan pada dirinya sendiri.

Lay memutar matanya—tak terlalu terkejut dengan perintah Kris.

Kyungsoo hanya menatap punggung Kris yang mulai menghilang dari pandangan. Dihelanya sebuah napas panjang. “Lebih baik kita ikuti saja Kris Hyung. Ia pasti punya alasan tertentu, mengapa kita harus menjemput Chanyeol dan Baekhyun daripada menyusul Sehun,” ujarnya tak yakin. Setengah berlari, pengendali tanah mencoba menyusul Kris.

Melihat apa yang dilakukan Kyungsoo, Lay hanya mengedikkan bahu. Ia juga langsung melangkahkan kaki meninggalkan ruangan itu.

Chen dan Suho hanya saling melempar pandangan. Tanpa bicara, keduanya menyusul ketiga temannya itu.

.

-TO BE CONTINUED-

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!
chachamariditha
Well, I posted Chapter 6 here *and other sites*! If you want to read the next chapter, you can visit my wordpress. Kekeke

Comments

You must be logged in to comment
Sky_Wings
#1
❤_❤
drnewbie #2
Wow genre favorite ini haha, pas baca fereword nya jdi tertarik sendiri haha, oke i'll begin to explore and hopefully to find a lot of 'awesome' things later, ya dan kayanya dalam 1 jam kedepan bakal selesai sampai chapter terakhir yang di update haha
PCY92BH #3
Hey you! I knew you haha cerita ini pernah aku baca di screenplays (kalau tdk salah) dan ini cerita dewa banget. Semangat terus ya, jangan patah semangat seperti yang tahun lalu kkk~
HaeHunUp
#4
Chapter 6: eonni dimana" ada. ga sabar nunggu ch 17 apa 18, lupa ._.
cepat kembali eonni ~~
AWPark #5
Chapter 5: Lanjut dong min...