I'm with You

Come Back to Me

Pemuda bertubuh jangkung itu menggosok-gosokkan kedua belah tangannya. Sesekali, kepulan udara hangat keluar dari mulut. Sebuah hasil usaha dari mengusir hawa dingin yang menyerang.

Kembali diambilnya busur dan anak panah yang sempat terabaikan. Seekor kelinci –incarannya sejak setengah jam yang lalu- masih di sana. Picingan mata pemuda itu semakin tajam. Anak panah sudah terpasang pada busur—siap dilepaskan.

Ia menunggu. Menunggu untuk bisa mendapatkan kelinci buruannya—calon sarapannya. Sungguh, ia tak boleh gagal. Sudah lebih dari setengah jam, ia berada di balik semak yang rimbun. Bergelut dengan dinginnya pagi hanya demi seekor kelinci yang sekarang malah asyik mengunyah dedaunan hijau di padang tak berpenghuni itu. Kalau ia gagal, ah—ia pasti akan sangat frustasi.

“Baiklah, kelinci manis. Kau akan jadi pengisi perut kami hari ini. Ayolah—Ayolah—Biarkan aku menangkapmu.” Ia terus bergumam. Sementara, tangannya sibuk mengarahkan panah ke makhluk tak berdosa. Terlepas! Dan—

Syut

Meleset. Anak panah itu menancap di tanah tak jauh dari keberadaan si kelinci. Sadar dirinya baru saja lolos dari maut, makhluk seputih salju dengan warna hitam pada ekor dan mata kanannya itu segera melompat secepat yang ia bisa—meninggalkan pemburu jangkung yang terus mengumpat karena kegagalannya.

“Sial! Andai saja tanganku tak gemetar, pasti kelinci itu sudah jadi makananku! Ah, mengapa dingin sekali hari ini?” Umpatan sekali lagi keluar. Decihan sebal pun turut mengikuti.

Kembali ia letakkan busur dan anak panah di tanah dingin. Ditutupnya indera penglihatan yang tampak tajam. Pemuda berwajah tampan itu mulai memusatkan pikiran. Tak lama, muncul api kecil yang perlahan membesar menyelubungi kedua belah tangannya. Api merah membakar, namun ia tetap bergeming. Seolah, api yang menyala-nyala itu sama sekali tak menyakitinya. Dan, itu memang kenyataannya. Ia membuka mata—menatap lekat selubung api di tangan. Sebuah senyum kecil tersungging.

“Api milikku memang yang terbaik. Tapi, sungguh sayang—Aku tak bisa mengeluarkannya sesering mungkin.” Suaranya terdengar miris. Sebuah helaan napas nan berat terdengar. “Wuah, hangatnya— Hmm, kurasa badanku sudah lebih baik.” Ia mendesah lega.

Pemuda itu, Chanyeol –Park Chanyeol—menutup kedua matanya –lagi-. Selubung api pada tangannya perlahan menghilang. Api tadi benar-benar telah berhasil menghangatkan tubuhnya. Sudah tak terlalu dingin lagi.

Setelah semua lenyap tak berbekas, Chanyeol segera bangkit berdiri, mengambil busur dan anak panah. Tangannya sekarang sibuk mengambil beberapa buah yang tergeletak di tanah yang dingin. Ah, ia tadi memang sempat mendapatkan semua itu sebelum bertemu dengan si kelinci ‘mantan buruannya’. Mm, buah-buahan itu pasti bisa mengganjal perutnya—dan sahabatnya.

“Kuharap Baekkie tak marah karena cuma bisa makan buah hari ini.” Chanyeol menghela napas panjang untuk ke sekian kali sembari melangkahkan kaki lebarnya ke suatu tempat tak jauh dari situ.

.


.

Cuaca pagi begitu dingin. Sebuah sosok bertubuh mungil duduk sendiri menghadap perapian. Diusap-usapkannya kedua tangan berulang kali sebelum menghadapkan telapak ke arah perapian—berharap radiasi api bisa sedikit menghangatkan tubuh kecilnya. Mata pemuda itu tampak kosong—meskipun bola mata hitam memantulkan nyala api yang berkobar-kobar di depannya.

“Dingin sekali,” gumamnya pelan. “Yeollie lama sekali.”

Ia rapatkan kain yang menyelimuti—menarik lebih erat ke tubuhnya. Kurang merasakan kehangatan, ia benamkan kepala di antara kedua lutut. Usaha itu cukup berhasil karena ia mulai merasakan kehangatan menjalar.

Krek—Kresek—sek—

Terdengar suara dedaunan dan ranting diinjak. Ah, juga semak disibakkan. Pemuda bertubuh kecil itu bergeming sambil mengernyitkan kening. Bola matanya bergerak ke kanan dan ke kiri tak teratur—menandakan bahwa ia merasa terancam. Sedikit panik dan takut, rupanya.

“Yeollie, kaukah itu?” Ia lemparkan sebuah pertanyaan pelan. Begitu pelan, seolah ia sedang berbisik. “Yeollie, jangan bercanda! Itu kau, kan?” Ia ulang pertanyaannya—mencoba menunggu respon dari sosok yang mendekati. Suaranya terdengar bergetar. Bahkan, air mata mulai menggenang di pelupuk mata.

Tiba-tiba, sebuah lengan besar memeluk lehernya dari belakang.

“Ini aku, Baekkie. Tenanglah, aku sudah kembali.”

Suara bariton yang terdengar menenangkan membuat pemuda kecil yang dipanggil Baekkie itu berbalik. Tanpa menunggu lagi, ia langsung memeluk sosok di belakangnya. “Jangan menakutiku, Bodoh! Kau tahu aku tak bisa melihatmu dan kau malah menggangguku seperti itu! Dan kenapa kau lama sekali? Dasar, bodoh! Kau menakutiku!”

Tangis mulai tumpah dan hal itu membuat Chanyeol merasa bersalah. Sebagai tanda penyesalan, ia eratkan pelukannya—membiarkan pemuda manis bernama Baekhyun menangis di dada bidangnya. “Maafkan aku. Sungguh, aku tak bermaksud menakutimu. Kau tahu aku akan selalu menemani dan melindungimu. Sudahlah, jangan takut. Aku ada di sini. Oh, iya—Ini aku bawakan buah untukmu! Ya—hanya buah, kuharap kau tak kecewa. Aku sudah mencoba berburu kelinci—berharap kita bisa makan daging hari ini. Tapi, perburuan yang menyita waktuku itu sia-sia. Sialan.” Chanyeol kembali mengumpat mengingat kejadian sial yang menimpanya.

Baekhyun sudah berhenti menangis. Ditariknya tubuh kecil dari pelukan Chanyeol, lalu segera ia layangkan pukulan ke kepala sahabatnya. “Ya! Park Chanyeol! Berhenti mengumpat di depanku! Dan, berapa kali sudah kuperingatkan, jangan buru hewan-hewan di sekitar sini! Aku tak akan memaafkanmu jika sampai ada salah satu dari mereka yang terluka. Mereka temanku, kau tahu? Lebih baik aku tak makan sama sekali, kalau kau nekat memburu mereka sebagai makananmu!” Pemuda mungil bernama asli Byun Baekhyun itu melipat kedua tangannya di depan dada. Bibirnya ia kerucutkan—tanda ia marah.

Chanyeol mengelus-elus kepalanya yang sempat dipukul Baekhyun. “Ya! Byun Baekhyun! Mengapa kau memukulku? Sakit, kau tahu? Kau ini tak bisa melihat—tapi saat memukulku, kau selalu tepat sasaran. Aish, sakitnya!”

“Siapa dulu—Byun Baekhyun! Hanya Byun Baekhyun yang bisa mengalahkan Park Chanyeol! Hahaha—” Baekhyun kini tertawa terbahak-bahak. Tangis karena rasa takut sudah menghilang. Itu memang selalu terjadi saat ia sudah berada di dekat sahabatnya. Selalu terasa sangat aman. “Park Chanyeol, ingat kata-kataku! Jangan menyakiti teman-temanku! Mengerti?” Baekhyun mulai melemparkan ancamannya setelah selesai tertawa.

“Baiklah, baiklah, aku mengerti. Cih, kapan kau akan tumbuh besar kalau kau tak makan daging? Pantas saja kau terperangkap dalam tubuh kecilmu itu, karena makananmu cuma buah seperti monyet.” Chanyeol balas tertawa. Sampai sebuah apel terbang mengenai dahi lebarnya.

“YA! BYUN BAEKHYUN! SAKIT!” teriak Chanyeol. Tangan kanannya sibuk mengusap dahi merah bekas lemparan ajaib itu.

Bagaimana dengan pelempar? Baekhyun malah asyik melahap buah yang dibawakan untuknya sambil terkekeh.

.

.

“Yeollie—” Suara lirih Baekhyun memecah keheningan.

“Ada apa?” Dengan asal-asalan, Chanyeol menjawab panggilan Baekhyun. Maklum, ia sedang sibuk memadamkan perapian. Matahari sudah naik, walaupun kabut tebal masih terlihat menutupi area penuh puing-puing bangunan itu.

“Menurutmu, kapan kita bisa keluar dari sini? Sungguh, aku merindukan teman-teman. Kapan kita bisa bertemu dengan mereka lagi?” tanya Baekhyun dengan nada sedih—terasa penuh kesepian.

Chanyeol menghentikan gerakan tangannya. Ditatap lekat wajah Baekhyun yang sedang duduk memainkan ranting di tangannya. Mata hitam kelam itu menatap ke arah depan tanpa berkedip. Chanyeol mendekati Baekhyun, menangkupkan kedua tangannya yang lebar pada tangan kecil Baekhyun.

“Aku tak tahu, Baekkie. Sekarang, tempat inilah yang aman untuk kita—lebih tepatnya untukmu. Percayalah, teman-teman kita baik-baik saja di luar sana. Mereka akan segera menemukan dan menjemput kita. Kita pasti segera bertemu dengan mereka.” Kata-kata Chanyeol terdengar tak begitu jelas—terdengar bahwa ia sendiri ragu atas jawaban yang diucapkannya.

“Untukku? Mengapa harus aku? Mengapa mereka harus mencariku? Apa istimewanya diriku? Aku hanya seorang pemuda buta yang bahkan tak bisa menggunakan kelebihanku. Tapi, mengapa mereka bersikeras mengejarku? Dan parahnya, mengapa mereka membuat kita seperti ini? Membuat kita menyakiti satu sama lain? Memisahkan kita? Aku—Aku—Aku membenci mereka, Yeollie! Aku takut! Jangan pernah tinggalkan aku sendiri!” Tangis Baekhyun kembali pecah. Dan Chanyeol sangat saat air mata yang berharga jatuh menyusuri pipi pemuda yang sudah ia kenal sejak kecil itu.

“Sstt—Jangan menangis, Baekkie, jangan menangis. Aku berjanji aku tak akan meninggalkanmu. Tak akan kubiarkan mereka memisahkan kita, apalagi menyakitimu. Mereka tak akan pernah bisa memanfaatkan kekuatanmu, Baekkie. Dan, aku janji kita akan segera berkumpul dengan teman-teman lagi. Pegang janjiku!” Chanyeol menarik tubuh mungil Baekhyun -sahabat dan orang yang ia cintai- ke dalam dekapannya. “Jangan menangis, Baekkie. Berhentilah menangis. Air matamu terlalu berharga untuk jatuh, Baekkie.” Chanyeol mengusap air mata di pipi Baekhyun.

“Kekuatan apa? Aku tak pernah meminta kekuatan ini. Aku membencinya! Kekuatan cahaya? Kekuatan kunci di antara kedua belas pengendali? Apa mereka bercanda? Semua itu omong kosong! Aku tak percaya dengan apa yang mereka katakan! Kekuatan ini yang menyebabkan semua ini terjadi! Dan, kau tahu apa yang lucu? Aku tak bisa menggunakannya! Aku bahkan terjebak dalam kegelapan sebagai pengendali cahaya! Ironis, kan? Apa gunanya cahaya kalau aku buta—tak bisa melihat? Semua itu tak ada gunanya! Aku bahkan menyebabkan teman-teman terluka! Aku tak bisa menolong mereka! Ini semua salahku!” teriak Baekhyun frustasi.

Chanyeol kembali mengeratkan pelukannya. Dibelai rambut sahabatnya. Sungguh, hati Chanyeol begitu sakit melihat kondisi Baekhyun seperti itu. Sejujurnya, ia juga ingin menangis—mengapa ia harus mengalami hal seperti ini?

Ah, tidak. Baekhyun mengalami hal yang jauh lebih buruk. Baekhyun benar-benar tersiksa terlahir sebagai pengendali cahaya. Pengendali yang bahkan kehilangan penglihatan sejak kecil, kehilangan keluarga dan teman-temannya. Bahkan, ia sama sekali tak bisa menggunakan lagi kekuatan cahayanya. Ia tak punya siapa atau apa pun lagi. Hanya ada dirinya. Ya, hanya Chanyeol.

Keheningan mendadak menyergap. Chanyeol dan Baekhyun bergeming—sibuk dengan pikiran masing-masing. Angin dingin berhembus—menerpa dedaunan kering di permukaan tanah yang lembab.

“Yeollie—” Suara Baekhyun terdengar memecah keheningan. Rupanya ia sudah mulai tenang. Tangisnya sudah berhenti.

“Hmm?” Chanyeol menatap Baekhyun dalam dekapannya.

“Bisakah kita bisa kembali seperti dulu? Apa Tao dan yang lain bisa berhenti berbuat jahat dan menyakiti para pengendali? Apa kita bisa menyelamatkan mereka? Apa semua pengendali bisa bersatu lagi?”

Pertanyaan beruntun Baekhyun membuat Chanyeol terdiam. Jujur, ia sendiri tak tahu jawaban dari semua pertanyaan itu. Seandainya saja ia tahu. Seandainya saja ia bisa menjawabnya. Itu pasti akan lebih mudah.

Chanyeol bisa saja membohongi Baekhyun dan menjawabnya ‘bisa’. Tapi—mulutnya kelu. Tak kuasa ia melakukannya. Chanyeol tak berani memberi harapan palsu pada sahabatnya. Harapan palsu yang tak jelas bisa terjadi atau tidak—apa gunanya?

“Park Chanyeol—” Baekhyun menanti sebuah jawaban. Jawaban Chanyeol mungkin saja bisa meredakan kekalutan hatinya. Sedikit—ia harap begitu.

“Aku tak tahu, Baekkie. Aku tak tahu—” Chanyeol menghela napas panjang. Pengendali api akhirnya berkata jujur bahwa ia sendiri tak tahu jawabannya.

Mendengar jawaban itu, Baekhyun hanya mendesah kecil. Kembali disandarkannya kepala ke dada sang sahabat. Tangan berwarna pucat itu memegang erat baju bagian belakang Chanyeol. Baekhyun merasa begitu—ah, bagaimana menjelaskan perasaannya saat ini. Ia sungguh tak tahu. Semuanya bercampur aduk. Tapi, tanpa dijelaskan pun, Baekhyun yakin Chanyeol pasti tahu apa yang ia rasakan.

“Jangan khawatir, Baekkie. Kita harus melakukan dan mencoba apa pun demi membuat Tao dan yang lain kembali. Kita akan bersama lagi. Berdua belas—kita berdua belas akan kembali di sisi yang sama. Ingatlah, sahabatku. Tak ada yang bisa tahu masa depan. Tak seorang pun yang tahu. Sekarang, kita hanya harus terus berusaha. Jangan pernah menyerah atas mereka. Setuju?” Chanyeol mencoba menyunggingkan sebuah senyum—namun, senyum getir yang tampak.

Sesaat setelah mendengar jawaban Chanyeol, Baekhyun terdiam. Tak tahu kenapa, mendadak perasaannya mulai tenang. Digenggamnya tangan besar Chanyeol, lalu pengendali cahaya mulai memejamkan mata.

“Yeol—” panggilnya lirih.

“Hmm?” Untuk ke sekian kali, Chanyeol menatap lekat Baekhyun.

“Terima kasih.”

“Untuk apa?” Kernyitan di kening pengendali api terlihat. Penasaran, rupanya.

Baekhyun tersenyum kecil. “Karena kau selalu bersamaku.”

“Tidak, Baekkie. Akulah yang seharusnya berterimakasih. Kau masih tetap di sini bersamaku.” Pemuda jangkung itu balas tersenyum. Kali ini senyum penuh rasa tulus—senyum kebahagiaan.

Suasana hening kembali terjadi. Namun, Chanyeol memecah suasana itu dengan mulai bersenandung. Dilantunkannya sebuah lagu untuk mengantarkan Baekhyun kembali ke alam mimpi.

Sejauh aku bisa mengingat

Semua bintang adalah bara api yang jatuh dari langit

Saat malam seakan tak akan berakhir

Aku bersamamu

Saat pagi datang

Saat udara masih segar

Saat sang surya bersinar

Aku bersamamu

Ingatlah…

Sejauh apapun kita dari pagi

Asalkan bintang tetap bersinar dalam kegelapan

Percayalah…

Kita tak akan pernah kesepian dan ketakutan

 

Saat malam mulai datang

Saat dunia mimpi mulai menyapa

Saat kita diajarkan untuk meraih mimpi

Aku bersamamu

 

Percayalah

Sampai kapan pun

Aku akan selalu bersamamu

 

Baekhyun terlelap. Chanyeol membiarkannya saja meskipun hari masih siang. Pemuda itu menyadari kalau sahabatnya tidak bisa tidur selama beberapa hari ini. Diangkatnya tubuh mungil Baekhyun ke tenda kecil, tempat mereka beristirahat. Perlahan, ia baringkan pengendali cahaya itu. Setelah menyelimuti, Chanyeol mengecup dahi Baekhyun.

“Selamat tidur, Baekkie. Aku mencintaimu.”


-TO BE CONTINUED-

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!
chachamariditha
Well, I posted Chapter 6 here *and other sites*! If you want to read the next chapter, you can visit my wordpress. Kekeke

Comments

You must be logged in to comment
Sky_Wings
#1
❤_❤
drnewbie #2
Wow genre favorite ini haha, pas baca fereword nya jdi tertarik sendiri haha, oke i'll begin to explore and hopefully to find a lot of 'awesome' things later, ya dan kayanya dalam 1 jam kedepan bakal selesai sampai chapter terakhir yang di update haha
PCY92BH #3
Hey you! I knew you haha cerita ini pernah aku baca di screenplays (kalau tdk salah) dan ini cerita dewa banget. Semangat terus ya, jangan patah semangat seperti yang tahun lalu kkk~
HaeHunUp
#4
Chapter 6: eonni dimana" ada. ga sabar nunggu ch 17 apa 18, lupa ._.
cepat kembali eonni ~~
AWPark #5
Chapter 5: Lanjut dong min...