The Decision

Come Back to Me

Chanyeol membuka mata. Ia tak tahu berapa lama ia sudah terlelap. Yang pasti, hari pasti sudah siang. Panas matahari bisa ia rasakan menembus pakaian yang dikenakannya—memberikan sentuhan hangat pada kulit pucatnya. Beruntung, terik sang surya tak terlalu menyengat. Naungan tenda itu benar-benar pelindung yang cukup baik.

Tubuh jangkung itu terasa jauh lebih baik. Pening sudah tak ia rasakan, begitu pun dengan demam yang sempat menyerang. Badan Chanyeol terasa sangat ringan.

Chanyeol mengalihkan pandangan pada Baekhyun, yang masih bertahan dalam pelukannya. Sungguh, pemandangan di depannya begitu indah. Pengendali cahaya tertidur tenang dengan wajah manis. Dalam tidur pun, Baekhyun menyunggingkan senyum di bibir manisnya. Ah, bibir itu—begitu menggoda.

Didekatkan mukanya ke arah Baekhyun. Sepuluh sentimeter. Dengan jarak itu, Chanyeol bisa merasakan hembusan napas hangat keluar. Semakin dekat, dan semakin dekat. Pelan, ia tempelkan bibirnya ke bibir mungil di hadapannya. Pengendali api menutup mata—mencoba menikmati manisnya bibir sang sahabat. Hanya menempel—tak berani ia melumatnya. Sebuah ciuman penuh perasaan, tanpa nafsu, tanpa meminta balasan. Ciuman tanda kasih pada Baekhyun.

Chanyeol membuka mata—mendapati mata pemuda yang tengah ia cium itu terbuka dan menatap dirinya tajam. Salah tingkah, pengendali api menarik diri perlahan sembari melepaskan pelukannya. Berpura-pura ia menggeliatkan tubuhnya seraya menguap. Dialihkan penglihatannya ke arah lain—berpura-pura tak terjadi apa-apa. Sungguh, ia sangat malu sudah ketahuan.

"Hoahm— Aku sungguh mengantuk sekali." Pelan-pelan, ia jauhkan tubuhnya dari sang Pengendali Cahaya. Masih dengan sikap seolah tak ada yang terjadi. Chanyeol berniat kabur sebelum Baekhyun berteriak marah padanya. Ayolah, pandangan kosong tapi membawa kesan ingin menelannya hidup-hidup itu membuat nyali pengendali api ciut.

Ini bukan kali pertama Chanyeol mencium Baekhyun saat tengah tertidur. Ya, ia sudah melakukan beberapa kali. Tentu dengan ciuman yang sama. Tanpa nafsu berlebih—hanya ciuman kecil mewakili perasaan yang tak pernah bisa ia ungkapkan. Hanya itu. Tak lebih. Sekalipun Chanyeol sangat mencintai Baekhyun dan tahu pengendali cahaya punya perasaan sama, ia tak berani mengungkapkan semuanya secara langsung. Tindakan pengecut, kan?

Chanyeol berusaha bangkit, namun Baekhyun menahan dan menariknya kembali sehingga posisi mereka saling berhadapan. "Ya! Berapa kali kau sudah menciumku diam-diam, Park Chanyeol? Kaupikir aku terlalu bodoh untuk menyadarinya, eoh?" tanya Baekhyun sinis penuh amarah. Pandangan kosongnya menusuk hati yang menatapnya.

Chanyeol bergidik ngeri melihat sikap pemuda bertubuh mungil itu. Apalagi fakta bahwa Baekhyun tahu semuanya. Sial. "Baekkie, itu—itu—ah—anu—" Dengan tergagap, ia berusaha menjelaskan. Sungguh, Chanyeol benar-benar seperti pencuri yang tertangkap basah saat sedang melakukan aksinya. Tak tahu lagi apa yang harus dilakukan.

"Ya! Park Chanyeol! Kaupikir aku mainanmu, eoh? Kaupikir aku senang kau menciumku tanpa seijinku, eoh? Besar sekali nyalimu! Kauanggap aku ini apa? Dasar bodoh!" Mata Baekhyun mulai berkaca-kaca.

Sulit dipercaya kata-kata yang keluar dari mulut Baekhyun. Chanyeol merasa semakin bersalah. Tak disangka, tindakannya itu membuat pengendali cahaya semurka itu. Sungguh, ia menyesal. Memang tak seharusnya ia melakukan tindakan pengecut itu. Ah, ia memang pecundang sejati.

Kembali Baekhyun bersuara—masih dengan nada yang sama."Dan, kau! Bagaimana mungkin kau membiarkan dirimu sakit, eoh? Kau tahu betapa khawatirnya aku karena keadaanmu semalam? Dasar bodoh! Kau harusnya bilang kalau kau sakit! Tak perlu mencoba membohongiku! Bagaimana kalau terjadi sesuatu yang buruk padamu dan aku tak tahu? Kau benar-benar tolol, Yeol! Kau tak tahu betapa takutnya aku kehilanganmu! Saat ini, hanya ada kau! Kalau kau sampai menghilang, siapa yang akan menemaniku?" Tangis Baekhyun pecah.

Chanyeol kehilangan kata-kata. Ditatapnya Baekhyun sendu. Ingin ia merengkuh pemuda manis itu dalam pelukannya, namun tak ada nyali tersisa. Ia merasa tak berhak melakukannya. "Baekkie, maafkan aku. Aku benar-benar minta maaf. Lakukan apa pun padaku. Pukul aku! Bunuh aku! Apa pun itu, lakukan semaumu! Asal itu bisa menebus kesalahanku yang bodoh, asal kau bisa memaafkanku! Kumohon!" Suara Chanyeol bergetar, namun ia tulus mengatakan semuanya.

Mendengar perkataan pemuda jangkung itu, Baekhyun malah memukul kepala Chanyeol. "Ya! Kau tuli, ya? Aku bilang aku sangat khawatir karena takut kehilanganmu, tapi kau malah memintaku membunuhmu! Bodoh!"

Chanyeol mengelus kepalanya pelan sambil menahan sakit. Jangan remehkan pukulan Baekhyun. Tempurung sekeras apa pun akan retak jika pukulan dilayangkan oleh pemuda itu. Pengendali cahaya mendecih sebelum menggigit bibirnya. Ah—ia salah bicara lagi. 'Kau bodoh, Park Chanyeol,' rutuknya.

"Sekarang, bangun dari tidurmu dan duduklah! Jangan lupa tatap aku! Akan kuberikan hukuman setimpal atas setiap hal bodoh yang kaulakukan selama ini!" Baekhyun bangun dari posisi tidurnya lalu duduk.

Chanyeol mengikuti perintahnya tanpa membantah. Kini, keduanya saling berhadapan. Suasana mendadak jadi kikuk.

Baekhyun kembali membuka mulutnya. "Satu, kau bodoh." Baekhyun mendekatkan bibirnya ke bibir Chanyeol. Menempelkannya perlahan kemudian menariknya lagi. Meninggalkan Chanyeol terpaku karena hukumannya.

"Dua, kau sangat bodoh." Hal yang sama dilakukan Baekhyun.

"Tiga, kau menciumku." Lagi.

"Empat, dan itu tanpa izin." Ciuman keempat.

"Lima, kau melakukannya berulangkali." Hukuman itu terus berlanjut.

Chanyeol merasa bingung dengan hukuman yang diberikan Baekhyun. Ayolah, hukuman apa itu? "Baekkie, ini—"

Baekhyun memotong perkataannya cepat. "Jangan memotong atau membantahku! Hukumanmu masih belum selesai! Kau dilarang berbicara! Kau dilarang melakukan apa pun! Mengerti?"

Chanyeol masih belum sepenuhnya mengerti. Tapi, tak berani ia membantah lagi.

"Enam, kau membantahku."

"Tujuh, kau membohongiku."

"Delapan, kau seenaknya sendiri."

"Sembilan, kau sudah membuatku khawatir."

"Sepuluh, kau selalu menggodaku."

"Sebelas, kau selalu menggangguku."

"Dua belas, kau terlalu memanjakanku."

"Tiga belas, kau sakit."

"Empat belas, kau tidak memberitahuku kalau kau sakit."

"Lima belas, kau selalu menyimpan segala sesuatu sendiri."

Ciuman-ciuman itu terus saja berlanjut. Lagi-lagi, ciuman tanpa nafsu, tanpa lumatan, hanya sekedar menempel saja. Sama seperti yang dilakukan Chanyeol. Hanya, kali ini dilakukan Baekhyun. Chanyeol pun tak berani membalas. Ia tahu ini hukuman dan Chanyeol merasa tak punya hak untuk membalas ciuman itu.

….

"Tiga puluh tiga, kau selalu menjagaku."

"Tiga puluh empat, kau selalu menolongku."

"Tiga puluh lima, kau selalu mengorbankan dirimu."

"Tiga puluh enam, kau selalu menyelamatkanku."

….

….

"Lima puluh tujuh, kau terlalu tinggi."

"Lima puluh delapan, suaramu terlalu rendah."

"Lima puluh sembilan, kau terlalu ceria."

"Enam puluh, senyumanmu terlalu lebar. Walaupun aku tidak bisa melihat, tapi aku bisa mengetahuinya."

….

….

"Sembilan puluh lima, kau selalu menyembunyikan perasaanmu."

"Sembilan puluh enam, kau tak pernah berani menyatakan perasaanmu padaku."

"Sembilan puluh tujuh, kau membuatku terlalu bergantung padamu."

"Sembilan puluh delapan, kau membuat perasaanku tak karuan jika bersamamu."

"Ini yang terakhir. Sembilan puluh sembilan, kau membuatku jatuh cinta padamu."

Ciuman terakhir sedikit lebih lama. Namun, tetap saja berupa ciuman tanpa nafsu berlebih.

Baekhyun menarik bibirnya menjauh. "Baiklah, aku sudah selesai. Kau sudah dimaafkan." Pengendali cahaya baru saja akan bangkit berdiri, saat tangannya tertahan oleh tangan besar Chanyeol.

"Tapi, aku belum selesai," sahut Chanyeol pelan. Ia posisikan Baekhyun kembali di hadapannya. "Aku juga punya satu hal untuk dikatakan padamu, Baekkie. Ini yang terakhir. Seratus, aku mencintaimu, Byun Baekhyun."

Chanyeol menangkupkan kedua belah tangannya pada pipi Baekhyun, menutup mata sebelum mendaratkan ciuman ke bibir mungil pemuda itu. Kali ini, ciuman penuh cinta, disertai lumatan kecil tanpa berniat menyakiti orang yang ia cintai.

Baekhyun pun membalasnya dengan penuh perasaan. Pemuda yang kehilangan penglihatannya itu menutup mata sambil menikmati ciuman yang membuka lembaran baru untuk mereka. Menyatukan cinta yang tertahan lama karena keegoisan masing-masing.

Cukup dengan satu ciuman yang terbalas saja, keduanya tahu kalau cinta mereka akan bertahan. Tanpa sadar, air mata mengalir membasahi kedua pipi kedua anak manusia itu, memperindah ciuman mereka. Ciuman yang sangat panjang. Sampai—

Kruyuk— Kruyuk—Kruuuk—

Peristiwa indah mengharukan itu terganggu oleh sebuah suara.

Mereka membuka mata dan memisahkan bibir yang tertempel.

Kruyuk— Kruyuk—Kruuuk—

Lagi, suara itu terdengar.

Keduanya terdiam sejenak sebelum tertawa terbahak-bahak.

"Ya! Baekkie! Suara perutmu keras sekali! Auman harimau saja kalah! Kalau kau lapar, bilang saja!" Chanyeol mencubit pipi Baekhyun.

Baekhyun menjitak kepala Chanyeol untuk ke sekian kali. "Ya! Yeollie! Suara perutmu lebih keras, tahu! Cih, kau ini! Kau sendiri juga lapar. Mengaku sajalah! Lagipula, bagaimana aku bisa makan, sementara pembantuku tak memberiku makan!" Chanyeol mengelus kepalanya.

"Aku bukan pembantumu, Pendek!" keluh pemuda yang lebih jangkung.

"Cih, tetap saja kau pembantuku, Tiang! Cepat cari makan! Aku lapar!" Baekhyun bangkit berdiri dan keluar dari tenda. Sebelum benar-benar keluar, ia hentikan langkahnya, menatap Chanyeol dengan pandangan kosongnya. "Dan, jangan berani kau buru teman-temanku! Mengerti?" Baekhyun keluar dengan senyuman manis tersungging di bibirnya.

"Baiklah, baiklah! Dasar pendek! Bisanya hanya menyuruh-nyuruh! Dasar bocah pendek! Kau benar-benar sudah mencuri hatiku!" Senyuman lebar tersungging. Chanyeol memegang bibirnya dan bangkit berdiri. Ia ambil twin swordsnya sebelum melangkah keluar dari tenda.

.


.

Berpijak pada dahan-dahan pohon Dark Forest, Sehun melompat dengan sigap. Kekuatan angin membantunya berpindah dengan mudah dari pohon satu ke yang lain—membuat tubuhnya begitu ringan. Sesekali, ia menoleh ke belakang, takut kalau pengendali lain mengejar.

Memanggil Chee sebenarnya akan membuat Sehun cepat sampai. Ya, Chee, hewan panggilannya, perwakilan dari kekuatan yang ia kendalikan. Berbeda dengan Rex, Chee mempunyai raga menyerupai cheetah kuning keemasan dengan coreng hitam. Tubuh besar dan sangat cepat. Namun, Sehun tahu, Chee hanya akan membuat aksi kaburnya ketahuan lebih cepat.

Pengendali angin mulai memperlambat langkah. Sudah sangat jauh dari desa rupanya. Lagipula, tempat pertemuan dengan Luhan sudah dekat. Itu pun jika sesuai permintaan Luhan lewat telepati. Pengendali telekinesis itu meminta dijemput di tempat itu. Luhan mengatakan bahwa ia sudah lepas dari kendali mind controller.

Sehun tahu tak semudah itu memercayai hyungnya. Pertemuan penuh risiko. Bisa jadi semua hanyalah jebakan. Namun, pengendali angin tak bisa mengabaikan Luhan. Dimantapkan hatinya untuk melakukan tindakan itu. Seandainya itu jebakan, ia akan berusaha keras membawa pulang paksa Luhan dan yang lain, sekalipun harus melawan mereka.

Tempat pertemuan sudah terlihat. Bukit di sebelah barat Dark Forest itu dinamakan Soulles Hill. Tempat orang-orang tanpa jiwa berada.

Dark Forest sendiri bukanlah tempat yang bisa dilewati sembarang orang. Ancaman putus asa dan kehilangan jiwa di sini adalah risiko terbesar. Hutan gelap perlahan akan memakan semangat dan perasaan orang yang berani memasukinya. Saat mereka kalah di Dark Forest, semua makhluk tak akan pernah menjadi sama lagi. Menjadi makhluk tanpa perasaan, tanpa ingatan—kehilangan jiwa. Kemudian, setelah itu, mereka akan dituntun jauh memasuki tempat tergelap di ujung Soulles Hill. Tempat penuh kegelapan dan kekosongan tanpa akhir. Sinister Kingdom.

Sebagai salah satu yang terpilih, Sehun memang cukup beruntung bisa melewati hutan berbahaya itu dengan selamat—tanpa kehilangan jiwa. Namun, perjuangan untuk bisa lolos cukup berat. Beberapa kali, jiwanya terancam karena sempat goyah. Hutan mengerikan itu mempermainkan perasaannya. Menggunakan Luhan dan orang-orang terdekat untuk memancing dirinya jatuh dalam kegelapan. Beruntung keinginan bertemu Luhan jauh lebih besar—membuat Sehun kuat dan berhasil keluar dari Dark Forest.

Master dari Chee mengedarkan pandangan sesampainya di Soulles Hill. Napasnya terengah setelah menempuh perjalanan jauh yang memakan energi. Apalagi, udara menyesakkan di tempat itu sungguh membuatnya kesulitan bernapas. Seolah membakar paru-paru. Begitu pengap dan penuh aura kegelapan.

Ia fokuskan mata, mencoba mencari sosok Luhan. Sungguh, ia sangat berharap bisa bertemu dengan pengendali telekinesis. Kembali memeluk dan bermanja lagi dengan sang kekasih.

Sehunlah sosok yang paling terluka mendapati fakta bahwa Luhan jatuh dalam kendali musuh. Tak pernah ia bayangkan Luhan yang selalu tersenyum dengan tatapan lembut bak rusa akan berubah jahat, tanpa ekspresi. Bahkan, tega menyakiti orang-orang terdekatnya.

Bisa ia ingat dengan jelas, betapa depresinya ia mendapati kenyataan pahit itu. Sungguh begitu menyakitkan, sampai-sampai Sehun menjadi sosok berbeda. Sering menangis dan memberontak untuk menyelamatkan Luhan. Ia sangat percaya ia bisa membawa Luhan kembali.

Namun, tak begitu dengan pengendali lain. Semua melarang dirinya untuk keluar desa dengan alasan tak ingin lagi ada pengendali yang jatuh. Sehun berusaha mengerti kekhawatiran semua. Tak ingin ia jatuh ke tangan musuh. Namun, bagaimana dengan Luhan? Apa mereka akan membiarkan pengendali telekinesis dan mereka yang dikendalikan begitu saja? Tak inginkah mereka menyelamatkan rekan perjuangan? Kekeraskepalaan Sehun berimbas pada pengurungan dirinya dalam kamar—tanpa boleh keluar, tanpa diawasi.

Namun, kejadian beberapa hari lalu membuat Sehun melakukan tindakan nekat. Luhan mendadak memanggil namanya. Menghubungi pengendali angin lewat telepati. Meminta pertolongan karena Luhan sudah bebas dari kendali dan meminta untuk dijemput.

Pada awalnya, master dari Chee sulit memercayai permintaan itu. Takut ia jika musuh sengaja memanfaatkan Luhan untuk memperdayanya. Tapi, suara Luhan itu—Sehun tahu persis itu suara pengendali telekinesis yang ia kenal selama ini. Karena itulah, ia memutuskan untuk kabur dan menjemput Luhan. Tentu, sambil terus berharap ini bukanlah jebakan. Risiko itu perangkap memang besar. Namun, Sehun tak bisa mengabaikan permintaan Luhan. Bagaimana kalau Luhan benar-benar telah sadar?

Masih saja Sehun mencari tahu keberadaan Luhan. "Luhan Hyung, kau di mana?" Ia bergumam pelan. Panik takut Luhan benar-benar menipunya.

Tiba-tiba, Sehun menangkap sebuah pergerakan di antara semak-semak. Napasnya mendadak tertahan dengan posisi bersiaga. Wind dagger melekat erat di tangan—siap digunakan kala musuh menyerang. Luhan? Ataukah musuh?

Satu sosok muncul dari semak-semak.

Ah, Sehun mendadak lega. Ternyata, sosok yang Sehun cari sedari tadi. Mata keduanya bertemu dalam diam. Saling memandang selama beberapa saat—mencoba memastikan bahwa sosok di hadapan masing-masing adalah orang yang mereka cari.

Terpaut jarak cukup jauh tak menghalangi Sehun untuk memastikan bahwa pemuda di depannya adalah Luhan. Mata itu menjawab semua keraguan. Tak ada lagi tatapan dingin dan wajah tanpa ekspresi. Mata berbinar seperti mata rusa itu ada di sana, meskipun siratan rasa takut terlihat sedikit. Apalagi ekspresi terkejut itu. Ah, sudah berapa lama Sehun tak melihatnya? "Luhan Hyung!" panggil Sehun keras.

"Sehun!" balas Luhan. Suara penuh rasa bahagia dan lega terdengar.

Mereka berlari—menyongsong satu sama lain, memperpendek jarak. Keduanya merengkuh tubuh satu sama lain kemudian berpelukan erat dan semakin erat. Hening. Tak ada kata-kata keluar. Hanya pelukan penuh air mata—air mata kerinduan dan bahagia karena akhirnya mereka bisa bersama lagi.

"Hyung, aku merindukanmu. Aku tahu kau pasti kembali," bisik Sehun sembari mempererat pelukannya. Takut ia akan kehilangan Luhan lagi.

"Aku juga merindukanmu, Sehun. Sangat merindukanmu. Terima kasih sudah datang ke sini." Luhan segera membenamkan wajahnya pada Sehun, semakin dalam.

Pelukan itu berlangsung cukup lama. Sebuah pelukan pelepas rindu. Luhan menarik tubuh sebelum menatap Sehun. Disunggingkannya sebuah senyuman manis. Sehun pun balas melakukan hal yang sama. Dan, kembali mereka merengkuh tubuh satu sama lain. Belum puas rupanya melepas kerinduan.

Klik

Sebuah jentikan jari terdengar. Pelan. Tapi, efeknya? Jangan ditanya.

Sehun dan Luhan tak bergerak sama sekali—bak sebuah gambar mati terpajang. Ah, waktu di sekitar mereka terhenti, rupanya. Dua pengendali itu terjebak dalam dimensi waktu. Hanya pikiran mereka yang tetap berjalan.

Sehun mencoba mengetahui apa yang terjadi. Mengapa mereka tak bisa bergerak sama sekali? Dan, sebuah jawaban terlintas. Time control. Tao. Ini pasti ulahnya. Pengendali yang bisa mengendalikan waktu. Waktu bisa dengan mudah ia hentikan, hanya dengan sebuah jentikan tangan. Sial.

Ya, kemampuan Tao memang berkaitan dengan waktu. Menghentikan waktu memang sangat mudah baginya. Menilik masa lalu atau melihat masa depan pun bisa Tao lakukan, meskipun sangat terbatas. Dibutuhkan tenaga besar untuk melakukan itu. Jika pengendali mencoba melakukan aksi itu, luka dalam nan parah bisa ia derita sebagai efek samping. Bahkan, Tao pernah sekarat karena mencoba melihat masa depan.

'Jadi, ini jebakan? Luhan Hyung membohongiku? Mengapa Hyung tega melakukan ini? Mengapa kau membuatku berharap, Hyung?' tanya Sehun dalam hati.

Sakit rasanya mendapati apa yang terjadi sebenarnya. Ia rutuk tingkah bodohnya yang termakan jebakan. Hati Sehun begitu sakit, bak diiris sembilu tajam. Jebakan—Luhan sengaja memasang perangkap ini dan dengan bodohnya, ia memercayainya. Meskipun pengendali angin sudah mempersiapkan diri, semua ini benar-benar sulit dipercaya. Sosok Luhan tadi—sosok itu—sosok yang benar-benar ia kenal. Mengapa? Mengapa?

"Sehun, aku tak tahu apa yang terjadi. Sungguh, percayalah padaku." Luhan berusaha bertelepati. Usaha yang bisa mereka lakukan untuk berkomunikasi hanyalah telepati. Tak ada lagi cara lain. Terjebak dalam kekuatan Tao, sama saja mereka menunggu eksekusi mati. Tak ada yang bisa mereka lakukan. Hanya menunggu tanpa bisa melawan.

Prok—Prok—Prok—

Tepuk tangan terdengar keras.

Dari belakang, Tao muncul. Xiumin dan Kai mengikuti sambil bertepuk tangan. Mereka mendekati kedua pengendali yang masih berpelukan seperti patung.

Seringai mengerikan terlihat di bibir Tao. Mata merah yang kosong membuatnya tampak begitu kejam. Tanpa perasaan. Ia dekati Luhan sembari memegang bahunya. "Luhan Hyung, membiarkanmu lepas sejenak adalah ide yang bagus, kan? Kekuatanmu sebagai pengendali telekinesis tak ada apa-apanya dibanding mind controller kami. Permainan kami sungguh menarik, kan? Membiarkanmu terlepas lalu kau pasti akan memanggil Sehun datang kemari. Ah, pikiranmu mudah ditebak." Tao tertawa.

"Begitu pula dengan aksi bodohmu, Sehun. Pasti, kau tak akan menyia-nyiakan kesempatan untuk bertemu dan menyelamatkan Luhn. Benar, kan, Dongsaeng?" tambah Xiumin mengejek. Sehun hanya bisa menggeram marah dalam hati.

"Kau terlalu berani dan bodoh, Sehun. Harusnya, kau mendengar perkataan para hyungmu. Kau seharusnya tetap bersama kelompokmu. Tsk tsk. Tapi, kau malah datang sendiri untuk menyerahkan diri. Ah, ini sungguh permainan yang lucu. Menarik sekali. Mm—bagaimana jika kau bergabung dengan kami saja? Kurasa pilihanmu tinggal itu." Kai melemparkan seringai.

'Cih, aku tak sudi bergabung dengan kalian. Akan kulawan dan membawa kalian semua pulang. Sekalipun dengan paksaan. Luhan Hyung, ayo kita lawan mereka,' kata Sehun sambil mencoba berhubungan dengan Luhan.

'…..' Tak ada tanggapan.

Sehun kembali mencoba bertelepati. Tapi, hasilnya? Nihil.

"Luhan Hyung, saatnya kau kembali pada kami." Sebuah tepukan di bahu membuat Luhan terlepas dari perangkap waktu. Pengendali telekinesis itu menghela napas panjang sebelum menarik tubuhnya dari Sehun. Tatapan dingin wajah ekspresi kembali terlihat. Ia berada di bawah kendali lagi.

'Hyung! Jangan kembali kepada mereka, Hyung!' teriak Sehun. Tentu saja, hanya hatinya saja yang sanggup berteriak.

"Lakukan tugasmu, Luhan Hyung," perintah Tao.

Luhan mendekat ke arah Sehun. Ia tangkup pipi dongsaengnya sebelum ia memagut dan melumat perlahan bibir pengendali angin itu. Sehun tak berkutik. Ia sama sekali tak bisa melawan. Tubuhnya masih terjebak dalam time control Tao.

Tao menjentikkan jari—membuat perangkap waktu atas Sehun menghilang.

Pengendali angin bergeming. Tak ada yang bisa ia lakukan. Jiwanya seolah dikelilingi kegelapan, begitu pekat menyelubungi dan menguasai tubuh dan jiwanya. Semakin lama dan dalam ciuman dengan Luhan, semakin kuat kegelapan itu mengurungnya. Sungguh, tak ada usaha perlawanan yang bisa ia lakukan. Sama sekali tak ada. Lama kelamaan, mata Sehun mulai kosong. Semakin lama, tak ada lagi cahaya terlihat menerangi bola matanya.

Luhan menarik bibirnya menjauh. Dibiarkannya tiga pengendali lain melihat perubahan pada diri Sehun. Pemuda itu sudah menjadi bagian dari mereka.

Tao mendekat dan menepuk bahu Sehun pelan. "Jadi, Sehun ah, tertarik bergabung dengan kami?"

Sebuah seringai menghiasi wajah tanpa ekspresi Sehun. "Tentu, Hyung. Tentu saja aku akan bergabung dengan kalian. Selama ada Luhan Hyung, aku akan tetap di sini."

Tao berbalik memandang Xiumin, Kai dan Luhan. "Kurasa sudah cukup. Sekarang, waktunya kita menjemput sang Cahaya. Dia sudah terlalu lama dibiarkan bebas. Dia pasti sudah sangat kesepian, jadi kita perlu segera menjemputnya. Dia pasti kesepian sekali. Ya, pasti sangat kesepian." Pengendali waktu melangkahkan kaki ke arah Sinister Kingdom, diikuti oleh yang terpilih lain.

.


.

"Kau habis latihan lagi?" Baekhyun lemparkan sebuah pertanyaan saat dirasakannya Chanyeol duduk di sampingnya. Deru napas pengendali api terdengar begitu terengah. Bau keringat menguar pun tercium.

"Iya, Baekkie. Aku baru saja selesai," jawab pemuda berkekuatan api itu sambil berusaha mengembalikan irama napasnya menjadi normal. Diraih sebuah tempat air di dekatnya. Air segera menyusuri kerongkongan, melepas dahaganya.

"Ada peningkatan? Kau sudah bisa mengendalikan kekuatanmu? Kau tak perlu memaksakan diri, Yeollie." Baekhyun mengelus punggung Chanyeol yang ternyata tak tertutup pakaian. Basah, penuh keringat. Ia gerakkan tangannya naik turun. Tonjolan dan cekungan bekas luka mewarnai punggung lebar Chanyeol. Baekhyun hanya menunduk sedih.

Bagaimana tidak sedih? Semakin hari, sering dirasakannya luka baru di sana—semakin banyak. Bau anyir dan cairan lengket yang jelas bukan keringat sering ia dapati. Berulangkali ia marahi Chanyeol jika sudah sampai seperti itu. Tak tega ia membuat pemuda itu memaksakan diri. Namun, Chanyeol tetap saja melakukannya. Terus saja ia berlatih tanpa henti, tak peduli dengan keadaannya. Diabaikannya semua luka yang harus ia derita dan ia berusaha melawan rasa sakit. Katanya, apa pun akan ia lakukan demi Baekhyun. Ia bersumpah akan menggunakan tangannya sendiri untuk melindungi pengendali cahaya.

Sekalipun kemampuan bertarung dan penguasaan Chanyeol sudah sangat mahir, pengendali api itu memang tak bisa menggunakan kekuatannya dengan baik. Kekuatan api melawan menyakiti bahkan membakar sang pengendali. Untuk berlatih saja, berat sekali yang harus dihadapi Chanyeol. Sungguh, itu miris sekali. Berbeda sekali dengan Baekhyun—kondisi sebenarnya pengendali cahaya.

Baekhyun bukannya tak bisa melindungi dirinya sendiri. Kemampuan bertarung dan penggunaan rapiernya tergolong baik—meskipun ia jarang berlatih. Sebenarnya, ia pernah mengeluarkan kekuatannya untuk bertarung. Tapi, semenjak kehilangan keluarganya, Baekhyun bersumpah tak akan menggunakannya lagi. Ia merasa kekuatannya adalah sebuah kutukan—pembawa bencana. Jadi, hingga saat ini, kekuatan itu seolah tersegel dan pemuda itu sengaja melupakan jati dirinya sebagai pengendali cahaya.

Baekhyun pun tak pernah lagi mencoba bertarung untuk membela diri—jika terpaksa. Ia sering memilih berlindung di belakang para pengendali lain yang lebih kuat. Tak ingin ia melukai atau menyakiti makhluk lain, apalagi membunuh mereka—tak terkecuali musuh. Karena itulah, ia berkembang jadi terlalu bergantung perlindungan orang lain untuk hidup.

Seluruh keberanian dan kepercayaan untuk membela diri tertelan habis oleh ketakutan dan trauma di masa lalu, meskipun semua orang tahu sebenarnya Baekhyun bisa melakukannya lagi. Ya, memang terdengar egois. Baekhyun tahu fakta itu. Namun, sekarang, ia benar-benar merasa begitu rapuh dan lemah. Penglihatannya hilang pula. Begitu lengkap penderitaannya.

Itulah sebabnya ia begitu sedih melihat Chanyeol berusaha keras berlatih. Apalagi demi melindungi dirinya. Jujur, sebagian dirinya senang mendapati Chanyeol yang semakin kuat. Namun, perasaan sedih dan bersalah membayangi pula. Chanyeol harus menderita demi dirinya! Rasa marah berkecamuk, menyiksa diri Baekhyun. Ini semua karena dirinya yang lemah! Tapi, apa mau dikata. Baekhyun merasa tak bisa apa-apa. Ia tak berguna.

.

.

Chanyeol terdiam mendengar pertanyaan Baekhyun. Jujur, ia masih belum mampu mengendalikan kekuatan apinya secara benar. Satu pertanyaan memenuhi benaknya. Bagaimana dulu kekuatan api besar mendadak bisa muncul tanpa ia kendalikan saat ingin menyelamatkan Baekhyun?

Ingin sekali, ia bisa mengeluarkan kekuatan api lagi dengan baik. Dengan kekuatan sebesar itu, tak hanya bisa melindungi Baekhyun, tapi ia bisa bergabung bersama pengendali lain untuk mengalahkan musuh. Namun, kekuatan itu kembali menghilang. Chanyeol kembali menjadi pengendali api gagal—dilawan oleh kekuatannya sendiri. Bagaimana mungkin itu terjadi? Kalau seperti ini, ia akan sama seperti dulu. Tak bisa melindungi Baekhyun dengan maksimal. Pun, untuk melindungi diri ia tak yakin.

Helaan napas berat keluar. Chanyeol benar-benar lelah. Fisik dan mental. Apalagi, mimpi buruk kehilangan Baekhyun kerap menghantui. Takut sekali ia tak bisa melindungi Baekhyun dan kehilangan pengendali cahaya. Mimpi buruk seolah menguras energinya—drastis.

Chanyeol mendecih. Ia memang tak berguna. Tak bisa melindungi orang yang ia sayangi dengan kekuatannya. Ah—seandainya, seandainya saja Baekhyun bisa bertarung. Pasti mereka jauh lebih kuat. Apalagi, jika Baekhyun bisa mengeluarkan kekuatannya. Pasti semua akan jauh lebih mudah. Baekhyun bisa membela diri jika keadaan mendesak, terutama jika Chanyeol sama sekali tak bisa melindungi pemuda itu. Jadi, tak perlu ia terlalu khawatir dengan Baekhyun.

Ah, pikiran macam apa itu? Dibuangnya jauh-jauh pikiran berandai-andai itu. Chanyeol sudah berjanji melindungi Baekhyun, apa pun yang terjadi. Tapi—tapi ini semakin berat. Musuh yang mereka hadapi sangat kuat. Mereka adalah yang terpilih dengan kemampuan pengendalian elemen tingkat tinggi. Sementara, dirinya? Astaga, apa yang harus ia lakukan sekarang?

"Yeollie— Kau terluka? Atau, kau marah padaku?" tanya Baekhyun khawatir. Tak biasanya, Chanyeol berdiam diri.

"Tidak. Tidak apa-apa." Sebuah jawaban tak yakin terlontar. Pengendali api masih sibuk dengan pikirannya sendiri.

"Kenapa, Yeollie? Ada yang salah? Katakan saja. Jangan simpan semuanya sendiri," desak Baekhyun. Berusaha keras ia tak mengubah nada suaranya. Tetap berusaha tenang.

"Tak ada apa-apa, Baekhyun," ujar Chanyeol datar.

Deg

Baekhyun? Mengapa Chanyeol memanggil nama pengendali cahaya seperti itu? Dengan suara datar pula? Mengapa? Ada yang salah. Pasti. "Park Chanyeol! Sebenarnya ada apa? Katakan padaku! Jangan berbohong!" Suara Baekhyun mulai meninggi. Seruan Baekhyun kali ini benar-benar menyadarkan Chanyeol.

"Baekhyun—"

"Katakan saja apa yang perlu kau katakan, Park Chanyeol! Jangan bertele-tele! Kau menyebalkan!"

"….."

Hening.

"Park –"

Chanyeol memotong seruan Baekhyun. "Baekhyun, belajarlah bertarung lagi! Ayo, kita bertarung bersama! Kita lawan mereka! Kita gunakan kekuatan kita semampunya!"

Terdiam, Baekhyun mendengar kata-kata itu keluar dari mulut Chanyeol. Sungguh, tak bisa dipercaya. Pengendali api yang selama ini bersikeras melindungi dan melarangnya untuk bertarung, sekarang—sekarang—Mengapa? Mengapa sosok yang membuatnya tergantung pada orang lain itu kini malah menyuruhnya kembali bertarung? Melawan ketakutan yang memakan habis keberanian dan kepercayaan dirinya sejak lama? Mengapa? Ada apa dengan Chanyeol? Baekhyun menggeleng pelan—tak percaya dengan apa yang didengarnya.

"Baekhyun-ah, kita harus ikut bertarung. Kita bantu yang lain! Kita tak bisa seperti ini terus!"

"Hentikan semua ini, Park Chanyeol! Ini tidak lucu!" Baekhyun tak bisa lagi mengendalikan emosinya. Kali ini, Chanyeol benar-benar keterlaluan.

"Byun Baekhyun! Aku tidak bercanda!" Chanyeol menggertakkan giginya.

"Sudah kubilang, aku tak akan bertarung!"

"Jangan egois, Baekhyun!" Suara Chanyeol meninggi.

"Jangan memaksaku, Yeol!" balas Baekhyun dengan nada tak kalah tinggi.

"…."

"…."

Hening kembali.

Baekhyun akhirnya kembali membuka mulut. "Kaubilang kau akan melindungiku, sehingga aku tak perlu bertarung lagi! Tapi, sekarang kau memintaku bertarung! Sebenarnya, apa maumu? Kau pasti sudah gila!"

"Aku memang berjanji untuk melindungimu, Baekhyun! Tapi, dengan kondisiku sekarang ini, aku bahkan tak yakin bisa melindungi diriku sendiri! Aku nyaris kehilangan dirimu karena ketidakmampuanku. Kalau tak ada Kris Hyung dan yang lain, mungkin aku benar-benar kehilanganmu, Baekhyun! Jadi, kumohon, mengertilah! Kita berdua bisa semakin kuat kalau bersama! Sekalipun, kita tak menggunakan kekuatan elemen kita!" seru Chanyeol.

"Tapi, aku tak mau menyakiti orang lain! Aku tak mau membunuh! Kau tak tahu rasanya kehilangan orangtua di depanmu, kan? Aku tak ingin orang lain mengalami hal yang sama denganku! Tidak dengan kedua tanganku!" Sungguh, Baekhyun sangat kesal. Chanyeol sama sekali tak mengerti dirinya sama sekali.

"BYUN BAEKHYUN!"

"HENTIKAN, PARK CHANYEOL! Aku muak! Jangan memaksaku! Apa pun alasannya, aku tak akan bertarung! TIDAK AKAN PERNAH!"

"Jangan egois, Baekkie." Suara Chanyeol kini melembut.

"Sudah kubilang jangan memaksaku!" Emosi Baekhyun terlampau tinggi. Bahkan, untuk meredakan sedikit amarahnya pun, ia tak mampu.

Pengendali cahaya bangkit berdiri, berniat meninggalkan Chanyeol. Ia benar-benar terlampau lelah untuk terus berdebat dengan pemuda jangkung itu. Baru saja ia akan melangkah, tangan besar Chanyeol menahan pergelangannya. Ia tertahan.

"Baekkie, aku bermimpi kehilanganmu. Aku gagal melindungimu." Lemah. Suara Chanyeol terdengar sangat lemah. Seolah, rasa takut dan putus asa mendominasi suaranya.

Baekhyun menarik napas. Mencoba meredakan emosi yang memenuhinya. "Itu hanya mimpi, Yeol."

"Mimpi buruk itu selalu menghantuiku! Semakin hari, semakin sering, dan semakin nyata. Aku takut, Baekkie. Aku takut tak bisa melindungimu dengan baik. Karena itu, aku memintamu untuk bertarung. Lindungi dirimu sendiri! Tentu saja, aku akan tetap melindungimu! Dan, jika aku tak bisa melindungimu, aku tak akan terlalu khawatir karena kau bisa membela diri. "

"Yeol, hentikan—Aku lelah berdebat."

"Baekhyun, kumohon. Pikirkanlah baik-baik! Tidakkah kau merasa kita terlalu egois dengan bersikap seperti ini?"

"…."

Chanyeol kembali melanjutkan. "Kurasa kau pasti ingat. Sangat jarang kita berlatih untuk mengeluarkan kekuatan, hanya karena keterbatasan dan ketakutan kita yang berlebihan. Berapa sering kita berkelit, setiap Kris Hyung meminta kita berlatih! Kita selalu menghindar dan melarikan diri! Kita tak berani menghadapinya! Bukankah kita egois? Teman-teman berjuang sendiri karena ketakutan dan kelemahan kita. Tidakkah kita pecundang? Bahagia di atas penderitaan orang lain? Kita harus sadar kalau ini berat untuk mereka juga. Mereka sudah berjuang keras demi mengalahkan musuh. Tapi, mereka tak bisa melakukannya secara maksimal karena dua pengendali seperti kita! Apalagi, dengan kondisi saat ini! Yang terpilih terbelah menjadi dua bagian. Semua saling melawan dan menyakiti! Kegelapan semakin menyebar dan tak terkendali! Bayangkan teman-teman yang terluka! Kita bahkan tak tahu bagaimana nasib mereka sekarang! Tapi, bagaimana dengan kita? Kita di sini tak melakukan apa-apa. Aman dalam persembunyian. Tidakkah kau merasa kita sangat egois?" Pengendali api terlihat begitu emosional. Sungguh, pemikiran dewasa ini mendadak memenuhi pikirannya beberapa hari ini.

Baekhyun tak menanggapi. Ia hanya mencoba mencerna perkataan itu.

Ya, memang itu semua benar. Baekhyun juga tahu. Apalagi, belakangan ini, ia sangat merindukan para sahabatnya. Baekhyun sadar, ada bagian dari dirinya yang ingin bisa bertarung lagi dan menggunakan kekuatannya. Tapi—tapi, tetap saja. Ia tak berdaya. Ia pasti tak akan bisa melakukannya. "Jadi, apa maumu sekarang?" tanggap Baekhyun dingin. Tak mau, ia memandang Chanyeol dengan mata butanya.

"Kita berubah, Baekkie. Belajar dan berlatih lagi. Lalu, kita bergabung dengan yang lain, menyelamatkan anggota yang dikendalikan, dan mengalahkan kegelapan. Dengan itu, semua akan cepat berakhir. Kita akan bisa hidup tenang, Baek."

"Aku tak siap, Yeol," sahut Baekhyun cepat. Ia katupkan mulutnya rapat-rapat.

"Lalu kapan kau siap? Aku juga tak siap, Baekhyun ah. Tapi, sampai kapan kita akan seperti ini? Tidakkah kau bosan terus begini?" kejar Chanyeol.

"Aku lelah. Kita lanjutkan nanti." Baekhyun melepaskan genggaman Chanyeol dengan paksa.

Chanyeol menghela napas. Sudah mantap ia dengan keputusannya. Berubah—ya, ia akan berubah. Menjadi lebih kuat. Melawan takdirnya dan tak akan lari lagi. Ya, ia akan menghadapi apa yang harus ia hadapi.

.

.

Diraihnya twin swords yang tergeletak di samping ia duduk. Chanyeol mengeratkan pegangan sebelum bangkit berdiri. Kuda-kuda terpasang sempurna. Ia tatap sosok Baekhyun yang meninggalkannya. Dan—

Drap— Drap— Drap—

Lari, ia mengejar Baekhyun dengan langkah lebarnya. Pedang kembarnya ia pegang dengan tangan kiri, sementara tangan kanan Chanyeol layangkan ke rahang Baekhyun. Keras. Sebuah serangan mendadak—tanpa diduga.

Buk—

Telak.

Baekhyun terjerembap keras di tanah berdebu. Rahangnya begitu sakit. Cairan kental ia rasakan mengalir di sudut mulutnya. Apa-apaan ini? Apa Chanyeol sudah gila? "Ya! Park Chanyeol! Kau gila? Mengapa kau memukulku?"

"…." Tak ada jawaban.

Chanyeol memilih diam. Dilihatnya Baekhyun berusaha bangkit berdiri sembari mengusap darah di mulutnya. Alisnya menaut sempurna. Sungguh, tak ingin Chanyeol melukai pemuda berkekuatan cahaya itu. Tapi, mungkin ini cara satu-satunya untuk membangkitkan Baekhyun. Membuatnya kuat. Ia harus bisa bertarung lagi dengan segenap kekuatannya. Penuh keberanian dan percaya diri!

"Park Chanyeol! Kalau kau berpikir dengan melakukan ini kau bisa membuatku bertarung lagi, kau salah besar! Aku tak akan melawanmu atau melawan siapa pun!"

"…."

Tak ada tanggapan lagi.

Chanyeol kembali menerjang. Kali ini, sebuah pukulan ia layangkan ke perut Baekhyun.

Lagi-lagi, pengendali cahaya itu tak menyangka Chanyeol benar-benar nekat dan melukainya. Tapi, kenyataannya? Perutnya terasa sakit—begitu kebas. Pukulan Chanyeol tak main-main. Ia meringis menahan sakit di perut. Apa Chanyeol berniat membunuh dirinya? "Park Chanyeol! Sudah kubilang, hentikan! Apa kau gila? Apa kau dikendalikan?" teriak Baekhyun penuh emosi.

"…."

Grep—

Tangan besar Chanyeol sudah menyerang leher Baekhyun—mencekiknya tanpa ampun. Didorongnya kasar tubuh kecil Baekhyun, hingga tertahan pohon besar.

Baekhyun berusaha keras melepaskan diri. Ia terus meronta. Dengan kedua tangannya, ia memukul tangan kanan Chanyeol yang seolah siap mencekiknya sampai mati. Tapi, tak ada gunanya. Napas Baekhyun mulai tersengal. Susah sekali menghirup atau mengeluarkan udara. Benarkah Chanyeol serius ingin membunuhnya? Tapi, mengapa? Apa Chanyeol sudah muak dengan dirinya?

"Park-Chan- Chanyeol— Lep-lepas-Lepaskan! Chanyeol ah! Sa-kit- tak-bis-bisa-napas—" Baekhyun merintih. Sungguh, mendadak, ia begitu takut mati. Ia terlalu dekat dengan kematian sekarang. Tapi, lebih takut, ia mati di tangan Chanyeol. Orang yang ia cintai.

Chanyeol hanya menggertakkan gigi—memantapkan hati. Matanya nanar menahan tangis. Ia sendiri tak percaya bisa melakukan tindakan sejauh ini. Bagaimana mungkin ia tega menyakiti Baekhyun dengan tangannya sendiri? Namun, ada sesuatu yang terus memaksanya tak berhenti. Ia harus melakukan ini!

Semakin dieratkannya cekikan ke leher Baekhyun. Pengendali cahaya mulai lemah karena kekurangan udara. Tak lagi ia meronta-ronta. 'Jangan menyerah, Baekkie! Lawan—LAWAN AKU!' jerit Chanyeol dalam hati.

Baekhyun menangis. Ia belum menyerah. Terus saja ia berusaha melepaskan diri, meskipun tak ada lagi tenaga tersisa. Namun, ia tidak ingin mati. TIDAK, IA TIDAK BOLEH MATI!

Blitz—

Cahaya menyilaukan tiba-tiba keluar dari kedua tangan Baekhyun.

Mata Chanyeol seolah menjadi buta. Sinar itu benar-benar terang dan menyilaukan! Dipalingkannya wajah dan tanpa sadar, Chanyeol melepaskan tangannya dari leher Baekhyun—meninggalkan pengendali cahaya terbatuk-batuk—bebas dari jerat kematian.

Tak membuang kesempatan, Baekhyun berusaha memasukkan oksigen sebanyak-banyaknya. Paru-parunya sudah nyaris terbakar. Nyaris tak ada udara tersisa. Nyaris membuat dirinya mati.

Sementara, Chanyeol mengerjapkan mata berulangkali—berusaha menormalkan pandangannya. Memastikan ia tak kehilangan kemampuan melihat karena cahaya seterang itu. 'Apa itu tadi kekuatan Baekkie?' tanyanya dalam hati.

Setelah penglihatannya normal, Chanyeol mendapati Baekhyun mulai menjauh darinya. 'Baekkie, maaf. Aku harus melanjutkannya,' gumam pengendali api dalam hati.

Twin swords sudah berada di kedua belah tangan Chanyeol. Segera, ia menerjang maju—mengarah pada Baekhyun.

Beruntung, pendengaran Baekhyun sangat peka. Derap langkah Chanyeol terdengar. Seolah, kembali mengejar dan siap menyerang dirinya lagi. Jadi, sebelum terkena serangan sahabatnya itu, Baekhyun berhasil merunduk dan menghindar.

Chanyeol menyerang membabibuta, namun Baekhyun terus saja sigap menghindar. Satu serangan dari pedang Chanyeol rupanya berhasil menorehkan luka memanjang di lengan kanan pengendali cahaya. Luka Baekhyun tak dalam. Tapi, pedang itu berhasil menyobek pakaian putihnya dan membuat darah segar mengalir—mengubah warna putih menjadi merah dan berbau anyir.

Pergerakan Baekhyun terganggu oleh luka itu, rupanya. Kemampuan menghindarnya jauh berkurang—menyebabkan ia kembali terpojok. Chanyeol sendiri terus saja melayangkan serangan.

Tak ada pilihan lain lagi. Baekhyun bisa mati kalau terus menghindar. Ia tak boleh mati. Ia harus melawan!

Chanyeol baru saja akan melancarkan serangannya, saat Baekhyun secara tiba-tiba mengeluarkan rapier dan menahan pedang kembarnya. Rapier melawan twin swords. Satu lawan dua. Namun, ternyata, Baekhyun kuat juga menahan serangan menggunakan satu pedang berujung runcing itu.

Lega rasanya melihat Baekhyun mulai berani membela diri. Chanyeol tersenyum kecil. Ia semakin gencar menyerang pengendali cahaya dalam posisi bertahannya. Serangan Chanyeol lagi-lagi tertahan. Baekhyun bahkan berhasil menorehkan luka di paha kanan Chanyeol dengan rapiernya. Sungguh, pengendali api itu terhenyak—tak percaya bahwa Baekhyun bisa melukainya. Dengan sedikit meringis karena rasa sakit, ia memantapkan diri untuk menyerang Baekhyun. Ia harus bisa membuat sahabatnya itu lebih kuat lagi.

Trang— Trang—Trang—

Sejata mereka terus beradu. Satu sama lain saling serang.

Baekhyun tak lagi gemetar memegang senjata. Bahkan, ia mulai percaya menggunakannya. Tak lagi untuk bertahan, namun juga melancarkan serangan. Sudah berapa luka ia torehkan di tubuh Chanyeol. Terpaksa ia melakukannya. Mau tak mau.

Jujur, tak ingin ia menyakit pemuda yang ia sayangi itu. Tapi, Chanyeol memaksanya sampai sajauh ini. Mau tak mau, Baekhyun harus menanggapi ini dengan serius. Ingin ia membuat Chanyeol menyesal dengan apa yang sudah ia lakukan.

Chanyeol sendiri sudah mulai kewalahan. Kondisi fisik dan mentalnya sudah terlalu lelah. Latihan sebelumnya menguras tenaga. Apalagi, mimpi buruk yang mendatangi setiap saat—membuat dirinya begitu tak berdaya. Dan, sekarang, ia membuat Baekhyun melawan dirinya. Kondisi yang benar-benar jauh dari kata baik.

Dua pengendali masih bertarung. Keduanya nyaris dalam ambang batas. Napas mereka terengah. Peluh bercampur darah memenuhi tubuh masing-masing. Namun, semua masih bertahan. Belum ada yang menang, pun, belum ada yang kalah.

Pengendali api menghembuskan napas dalam. Dengan mata tertutup, dipusatkan pikiran untuk mengeluarkan kekuatan api. Latihan beberapa waktu ini cukup berhasil—tak sia-sia. Api menyelubungi pedang dan tangannya begitu cepat. Semakin lama semakin membesar. Rasa sakit masih saja menyerang, namun Chanyeol semakin mahir menahan dan mengendalikannya. Api terus saja berkobar menyelubungi tubuhnya. Begitu besar. Merah menyala.

"Bersiaplah, Baek!"seru Chanyeol.

Tengah menormalkan irama pernapasan, Baekhyun tercengang mendengar seruan Chanyeol. Ditelengkan kepalanya. Memang ada apa? Apa yang akan Chanyeol lakukan? Baru mencoba menjawab pertanyaan itu, radiasi panas ia rasakan mendekat.

'Apa Chanyeol menggunakan kekuatan elemen api? Apa ia sudah berhasil mengendalikannya?' pikirnya.

Terjangan Chanyeol diiringi serangan pedang dibalut api. Namun, indera Baekhyun nyatanya cukup kuat. Berhasillah ia menghindar. Bahkan, Chanyeol sempat terjerembap. Terlalu cepat menyerang, rupanya. Dan, dengan gesit, kembali ia berdiri dan melancarkan serangan.

Blitz—

Trang—

Memadukan dengan rapier, Baekhyun keluarkan kekuatan cahaya. Ia gunakan untuk menahan serangan pedang kembar api Chanyeol. "Hentikan, Yeol!"

Tak menggubris, Chanyeol semakin menambah tenaga serangan—membuat Baekhyun terdesak ke belakang.

"PARK CHANYEOL! HENTIKAN!" Tubuh Baekhyun bersinar. Cahaya terang menyelimuti.Rapiernya pun semakin bercahaya. Semakin lama, semakin terang, membuat silau mata Chanyeol.

Baekhyun semakin kuat dan—

Blaar—

Bruk—

Serangan terakhir membuat Chanyeol terlempar. Tubuhnya menghantam pohon besar. Rasanya begitu remuk. Sungguh, kekuatan cahaya Baekhyun luar biasa. Rasa sakit yang harus ia derita tak sebanding dengan perasaan lega. Baekhyun berhasil mengeluarkan kekuatannya. Berhasil melindungi dirinya sendiri. Hebat sekali.

Pengendali api berusaha keras bangkit dan menyandarkan punggung penuh luka di pohon besar. Napasnya memburu. Ringisan menahan sakit tampak jelas di wajahnya. Sungguh, seluruh anggota tubuhnya dipenuhi rasa sakit luar biasa. Seolah, semua kesakitan yang ia tahan sejak awal muncul di saat bersamaan—sekarang. Sangat menyakitkan.

Namun, Chanyeol berusaha keras untuk tidak kehilangan kesadaran dengan semua luka dan rasa sakit itu. Tak terlalu ia khawatir dengan keadaannya, karena ia memiliki obat yang diberikan sang Penyembuh. Obat ajaib untuk menyembuhkan luka secara cepat—nyaris sepadan dengan penyembuhan Lay, hanya sedikit lebih lambat. Efeknya? Sama saja. Begitu sempurna. Pengendali api akan mengobati semua lukanya dan Baekhyun nanti.

Mata Chanyeol melekat pada Baekhyun. Masih saja, pemuda itu terpaku—tak jauh darinya. Mungkin, Baekhyun terkejut dengan apa yang terjadi. Apa yang berhasil ia lakukan. Pemuda bertubuh jangkung itu tersenyum. "Baekkie, kau berhasil!"

Baekhyun terdiam. Airmata membasahi pipinya perlahan. Menangis.

Segera, ia berlari ke sumber suara. Suara Chanyeol. Begitu sampai di tempat Chanyeol, ia berjongkok. Menangis lagi. Ia sadar pengendali api terluka parah karena serangannya. Sungguh, ia khawatir dan menyesal. Ini salahnya. "Yeollie, kau tak apa-apa? Kau terluka parah? Maafkan aku. Ini semua salahku. Ya, salahku. Harusnya aku tak menggunakan kekuatanku. Harusnya aku tak melawanmu. Harusnya aku tak terpancing tindakan bodohmu. Harusnya—"

Chu—

Sebuah bungkaman. Ciuman itu benar-benar berhasil membungkam Baekhyun yang kini semakin keras menangis.

Chanyeol menarik bibirnya. Dibelai surai hitam pemuda di depannya itu. Ia usap airmata Baekhyun lembut. "Hei, ini bukan salahmu. Kau hebat, Baekkie. Kita berdua pasti jauh lebih kuat kalau kita bertarung bersama. Kau sudah membuktikan kalau kau bisa. Kau bisa mengeluarkan kekuatanmu. Kau bisa bertarung. Kau bisa, Baekkie. Kau bisa." Sebuah kecupan di kening Baekhyun. "Aku tak apa-apa. Sudahlah, jangan menangis lagi. Maaf, kau terpaksa harus melawanku. Hanya itu cara yang terlintas. Ternyata berhasil." Chanyeol tersenyum.

"Tapi—kau jadi terluka!" Baekhyun benar-benar merasa bersalah.

"Dan, kau juga terluka! Aku sungguh tak apa-apa. Bukankah kita berhasil melawan ketakutan kita? Jadi, sekarang bagaimana? Mau berlatih lagi?" tawar Chanyeol lembut.

Baekhyun menggeleng pelan. Chanyeol mengernyitkan dahi. "Tidak mau jika dalam kondisi seperti ini. Kita sembuhkan diri kita dulu. Baru kita latihan bersama. Bagaimana?"

Sebuah keputusan yang melegakan. Chanyeol kembali melayangkan sebuah kecupan. "Setuju. Sangat setuju, Baekkie. Aku juga sangat lelah karena menggunakan seluruh tenaga dan kekuatanku hari ini."

Baekhyun bangkit berdiri—mencoba menarik tangan besar Chanyeol.

Pemuda jangkung itu berusaha keras mengangkat tubuh, meskipun rasanya sangat menyiksa. Beruntung, Baekhyun berbaik hati memapahnya.

"Lebih baik kita bersihkan diri. Lukamu—ah tidak, luka kita perlu diobati. Aku juga terluka cukup parah ternyata. Yak, kau benar-benar mengerikan kalau sedang bertarung. Beruntung, kita di sisi yang sama. Tak bisa aku bayangkan jika kita harus saling bertarung. "

Chanyeol hanya tersenyum getir. "Ya, Baekkie. Aku juga tak pernah membayangkan bertarung denganmu lagi. Tidak pernah—"

Ia berbohong. Mimpi buruk itu—Chanyeol berusaha menepisnya jauh-jauh. Tidak. Mimpi itu tak akan terjadi. Tidak akan. Namun, semakin hari, perasaannya semakin tidak enak. Mimpi buruk itu semakin terasa nyata. Tidak. Chanyeol harus membuangnya jauh-jauh. Pasti ia bisa melindungi Baekhyun. Ya, pasti ia bisa. Apalagi Baekhyun sudah bisa kembali bertarung.

Sebuah senyum paksa tersungging. Bersama Baekhyun, Chanyeol langkahkan kakinya ke sungai kecil untuk membersihkan diri.

.

.

TO BE CONTINUED

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!
chachamariditha
Well, I posted Chapter 6 here *and other sites*! If you want to read the next chapter, you can visit my wordpress. Kekeke

Comments

You must be logged in to comment
Sky_Wings
#1
❤_❤
drnewbie #2
Wow genre favorite ini haha, pas baca fereword nya jdi tertarik sendiri haha, oke i'll begin to explore and hopefully to find a lot of 'awesome' things later, ya dan kayanya dalam 1 jam kedepan bakal selesai sampai chapter terakhir yang di update haha
PCY92BH #3
Hey you! I knew you haha cerita ini pernah aku baca di screenplays (kalau tdk salah) dan ini cerita dewa banget. Semangat terus ya, jangan patah semangat seperti yang tahun lalu kkk~
HaeHunUp
#4
Chapter 6: eonni dimana" ada. ga sabar nunggu ch 17 apa 18, lupa ._.
cepat kembali eonni ~~
AWPark #5
Chapter 5: Lanjut dong min...