The Good News

Come Back to Me

“Chanyeol ah, kapan kau akan bangun? Apa tak lelah tidur terus seperti ini?” tanya Luhan dengan nada lembut. Dipegangnya erat tangan pengendali api. Luhan berharap dengan melakukan itu, ia bisa membimbing Chanyeol untuk segera kembali. Segera bangun dan membuka mata.

Beberapa hari ini, semenjak kepulangan ke desa, Luhan dan pengendali lain bergantian menghabiskan waktu bersama Chanyeol. Sekadar mengajaknya bicara agar segera bangun dari tidur panjangnya.

Sehun juga di sana. Berada di seberang Luhan berdiri, ia menatap tubuh pengendali api miris. Sebagian luka Chanyeol telah sembuh, namun beberapa luka masih berbekas. Masih belum sembuh benar. Sehun melihat luka yang ditorehkannya di tubuh hyungnya. Sungguh, melihat perbuatannya telah membuat Chanyeol seperti ini, Sehun jelas tak bisa membuang begitu saja rasa bersalahnya. Ia telah membuat pengendali api menderita. Ia nyaris membunuh Chanyeol dengan tangannya sendiri—tanpa sadar. Apa yang bisa lebih buruk dari itu?

“Bangunlah, Chanyeol Hyung. Kau harus bangun. Kau tak bisa terus tidur seperti ini. Bangun dan balaslah perbuatanku padamu. Ini salahku, Hyung. Tak seharusnya kau seperti ini. Aku telah melukai bahkan hampir membunuhmu. Maaf. Ah, maaf tak akan cukup untuk menebus kesalahanku. Bangunlah. Kumohon—”

Sehun mengepalkan tangannya erat-erat dan memalingkan wajah. Tak kuasa ia menahan air mata. Tak kuasa ia menahan beban emosi dan rasa bersalah yang memenuhi sanubarinya. Sungguh, ia tertekan melihat kondisi Chanyeol sekarang.

Masih teringat jelas bagaimana ia menyerang Chanyeol dengan sadis. Begitu membabibuta. Semua luka yang Sehun torehkan, setiap perlakuan kejamnya pada pengendali api—Sehun tak bisa melupakannya semudah itu. Ia telah melakukan tindakan keji, tak termaafkan. Terlalu merasa bersalah, pengendali angin bahkan nyaris menghukum dirinya sendiri kalau saja Kris tak menghentikannya.

Luhan pun merasakan hal yang sama. Matanya nanar, namun ia berusaha untuk tak menangis. Ia harus mampu menahan buncahan emosi. Janji untuk tidak menangis di depan Chanyeol harus ia tepati. Ya, Chanyeol tak butuh permintaan maaf, tangis atau penyesalan. Chanyeol butuh senyuman, harapan, rasa percaya sehingga ia bisa kembali berkumpul.

“Sehun ah, kau sudah berjanji—” kata Luhan mengingatkan.

Mendengar ucapan pengendali telekinesis, Sehun menganggukkan kepala dan mengusap air matanya. Ia menarik napas sejenak dan memaksa diri tersenyum tulus. Sejujurnya, itu sangat berat untuk ia lakukan. Namun, Sehun harus melakukannya.

Hyung, aku akan berusaha untuk tak menangis lagi. Tapi, bisakah kau cepat kembali? Sepi rasanya tak ada dirimu, Hyung. Tak ada yang bisa membuatku tertawa. Kembalilah dan buatlah aku tertawa lagi. Aku merindukanmu—Haruskah aku melakukan aegyosupaya kau cepat bangun?”

Luhan tersenyum kecil melihat aksi Sehun. “Kau dengar itu, Chanyeol ah? Semua terasa sepi tanpa dirimu. Cepatlah kembali! Kembali pada kami! Segeralah bangun, Chanyeol ah. Kita selamatkan Baekhyun dan pengendali lain. Ayo, kita cari Tao dan bertanya mengapa dia berkhianat. Ayo, kita selesaikan semua ini. Kita satukan kekuatan dan kalahkan penguasa kegelapan. Kita akhiri perang ini dan kita bisa hidup bahagia selamanya. Jadi, bangunlah. Apa kau tak kasihan dengan kami? Kami selalu menunggumu—menunggu kau kembali. Jangan terlalu lama tidur, Dongsaeng. Baekhyun pasti menunggu untuk kauselamatkan. Apa kau tak mau melakukannya?”

Secara ajaib, sulur yang menyelubungi Chanyeol membesar. Kuncup di sepanjang sulur ikut tumbuh membesar. Luhan dan Sehun tak bisa menyembunyikan rasa gembiranya. Mereka tersenyum sembari melemparkan pandangan penuh harap.

Tinggal menunggu waktu hingga kuncup itu mekar dan memperlihatkan bunga yang indah. Ya, tinggal menunggu waktu hingga tiba saat Chanyeol membuka mata. Sebentar lagi. Ya, sebentar lagi, Chanyeol ah.

.


.

“—Dengan kekuatan Lay Hyung dan bantuan kristal Zoe, kita bisa menyadarkan pengendali lain. Tak perlu lagi kita bingung mencari cara menyelamatkan sahabat kita. Kita hanya perlu melemahkan mereka saja, kan? Mm, Luhan Hyung dan Sehun telah kembali. Tinggal Xiumin Hyung, Baekhyun, Kai dan Tao. Menurut kalian, kira-kira di mana kita bisa menemukan mereka? Apa kita perlu melakukan serangan langsung ke Sinister Kingdom?” cerocos Chen sembari mengayunkan katananya.

Suho dan Lay memilih diam, tak menanggapi ocehan Chen yang tanpa henti. Mereka sibuk melakukan kegiatan mereka sendiri-sendiri di sungai kecil tak jauh dari desa.

Suho tengah berdiri di atas air—sibuk melatih salah satu jurusnya. Matanya terpejam, sementara tangannya terus membuat gerakan untuk mengendalikan air di sekitarnya. Sekumpulan air melayang-layang mengitari dan berkumpul menjadi sebuah gumpalan besar di atas kepalanya.

Pengendali air merapal mantra dan merentangkan tangannya. Kumpulan air tadi memipih dan memisah menjadi beberapa bagian. Masing-masing membentuk lingkaran air pipih serupa cakram yang terus berputar. Mata Suho terbuka lebar, membuat piringan air tadi terbang berpencar mengenai beberapa batang kayu mati—target yang telah diletakkan sedemikian rupa sebagai alat bantu latihan—di sekitar sungai.

Slash—Slash—Slash—

Suara keras bak tebasan benda tajam terdengar di beberapa sudut, tempat target latihan berada. Suho memang baru saja menyerang batang kayu mati dengan cakram airnya yang tajam. Sekalipun terbuat dari air, piringan pipih itu mampu menyayat dan menebas musuh layaknya pedang. Beruntung, latihan itu hanya menggunakan batang kayu. Efeknya saja sudah luar biasa. Beberapa kayu patah, terbelah. Sisanya menunjukkan bekas sayatan dalam. Bisa dibayangkan bagaimana jika musuh yang menjadi sasaran. Mereka pasti akan langsung mati.

Dua buah cakram air tak menyerang target, tapi malah mengarah ke dua pengendali di tepi sungai. Chen masih bersungut-sungut karena tak ada yang memedulikan perkataannya. Lay sendiri terlihat asyik bermain air dengan kakinya, sementara tangannya sibuk membersihkan healing staff.

Begitu menyadari ada bahaya, pengendali petir segera menebaskan katana dan mengeluarkan kekuatannya. Petir menyambar cakram air—menimbulkan ledakan kecil. Asap mengepul. Petirnya berhasil menghanguskan air. Menimbulkan uap.

Master dari Chiyu tak mengubah posisi. Kakinya masih terayun dalam sungai jernih dan dingin. Tak tampak kepanikan—bahkan terpengaruh pun tidak—kala cakram mengarah langsung padanya. Ia hanya mengangkat tongkatnya ke atas dan secara tiba-tiba, muncul penghalang di depan tubuhnya. Cakram menabrak penghalang tak kasat mata itu keras, namun tak berhasil menembusnya. Piringan pipih itu akhirnya hancur. Jatuh dan menyatu kembali dengan sungai—menimbulkan suara kecipak pelan. Lay pun segera menghilangkan pelindung dan kembali membersihkan senjatanya. Kini, ia bersiul—seolah tak terjadi apa-apa barusan.

Chen tak terima dengan serangan dadakan Suho. Apalagi, ia tadi juga emosi diabaikan hyungnya itu. Teriakan penuh amarah ia lontarkan ke arah pengendali air yang tengah berjalan—di atas sungai—menuju ke tepi. “Ya! Hyung! Kau mau membunuh kami, eoh? Kau gila! Bagaimana kalau aku tak bisa menghentikan seranganmu? Kau ingin kepalaku jadi korban? Aish, kau menyebalkan! Sudah mengabaikanku, sekarang malah menyerangku tiba-tiba! Aku tak terima!”

Suho telah sampai di tepi sungai. Tanpa rasa bersalah, ia menjawab. “Kau ini berisik sekali. Kau sudah menanyakan pertanyaan yang sama lebih dari tiga puluh kali. Kau tahu? Aku lelah menanggapimu! Kau sudah tahu jawabannya! Tunggu Chanyeol bangun, baru kita putuskan. Dan, mengenai seranganku, mengapa kau marah-marah? Toh, kau bisa menghadapinya, kan? Kalau tak bisa, berhentilah jadi pengendali!”

Lay yang sedari tadi tak peduli kini terkekeh pelan. Senang rasanya bisa mendapat hiburan seperti itu. Pertengkaran-pertengkaran kecil semacam ini bisa membuat mereka sedikit melupakan kesedihan yang mendera. Suho sekarang juga tertawa. Puas rasanya bisa membuat Chen merajuk layaknya anak kecil.

Tawa itu mendadak menghilang. Ketiga pengendali berubah waspada. Mereka merasakan ada ancaman bahaya. Kali ini, bahaya yang sebenarnya. Kuda-kuda terpasang. Senjata di tangan digenggam erat. Mereka siap menyambut serangan musuh yang datang.

“Bersiaplah! SERANGAN!” teriak Suho.

Tiba-tiba, beberapa titik di permukaan air sungai membeku. Dari atas, puluhan jarum es tajam berjatuhan menyerang para pengendali di sungai. Suho, Lay dan Chen segera menghindar dengan gesit. Mereka melompat ke sana kemari. Sesekali, ditangkisnya jarum-jarum es dengan senjata masing-masing.

Belum sepenuhnya berhasil menghindari serangan dadakan itu—bahkan untuk balas menyerang—, pemuda berkulit gelap sudah berteleportasi, berpijak di atas beberapa titik yang telah beku. Ia lancarkan serangan dengan membabibuta. Dengan menggunakan invicible clawnya, Kai terus berteleportasi sembari mencari titik lemah pengendali. Gerakan cepatnya membuat tiga pengendali terpojok.

Ya, Xiumin dan Kai telah sampai ke desa. Mereka melancarkan serangan balasan!

Serangan kombinasi dadakan pengendali es dan teleportasi membuat Suho dan yang lain kewalahan. Serangan Xiumin membuat mereka tak bisa balik menyerang—hanya fokus menghindar. Sementara, serangan membabibuta dari Kai sungguh sangat merepotkan. Mereka harus selalu siaga karena serangan Kai tak bisa diperkirakan. Situasi yang sungguh sangat membahayakan.

Chen berusaha menahan serangan cakar Kai dengan katananya. Harus fokus melawan pemuda itu, pergerakan pengendali petir pun tak bisa bebas. Tak bisa ia menghindari serangan jarum es Xiumin dengan sempurna. Beberapa bagian tubuhnya telah terluka—tergores. Sungguh, ia sangat kewalahan dengan serangan ini.

Suho fokus menangkis serangan Xiumin dengan terus memutarkan tridentnya. Namun, matanya sempat menangkap bahwa Chen dalam bahaya. Dirapalnya sebuah mantra dan water barrier yang cukup tinggi tercipta. Tembok tinggi tebal dari air itu berhasil melindungi—setidaknya mengurangi—serangan jarum pengendali es. Ya, meskipun tak terlalu efektif karena masih saja ada jarum yang lolos. Keadaan itu jauh lebih baik karena mereka bisa menarik napas sejenak.

Namun, Xiumin bisa membaca pikiran Suho. Tak akan dibiarkannya para pengendali beristirahat. Segera, dikeluarkannya ice bow. Ia melepaskan anak panah bermata es ke arah water barrier pengendali air. Anak panah meluncur cepat dan hancur kala menghantam tembok air itu. Begitu menghilang, water barrier Suho membeku! Semua jadi es! Keras!

Tangan Suho pun nyaris beku. Dingin sekali. Ditarik tangannya cepat sebelum ia bergerak menghindar. Ia tak bisa melawan Xiumin dengan mudah. Setiap serangan yang ia lancarkan selalu berhasil dibekukan oleh pengendali es. Sial. Ia melawan pengendali yang salah!

Xiumin dan Kai sendiri terus menyerang—tanpa henti—, membuat lawan mereka semakin kewalahan. Suho dan yang lain hanya bisa bertahan dan menghindar. Posisi mereka semakin tak menguntungkan, mereka juga mulai lelah. Akhirnya, perlahan, mereka mundur. Namun, serangan pengendali es dan teleportasi memaksa mereka terbagi menjadi dua kelompok bertarung. Ini sungguh tak bagus.

.

.

Kali ini, Chen harus berhadapan dengan Kai. Sejujurnya, ia sudah sangat kelelahan menghadapi serangan kombinasi tadi. Beruntung, ia bisa fokus menghadapi pengendali teleportasi sekarang. Namun, tetap saja, tak semudah itu mengalahkan Kai. Apalagi dengan kondisi luka di sekujur tubuhnya.

Pengendali petir merapal mantra dan mengayunkan katana—menggunakan kekuatannya untuk balas menyerang. Sayangnya, kecepatan petirnya kalah cepat. Kai telah berteleportasi—menghindari serangan sembari mencari celah kosong untuk melancarkan serangan balasan. Sebuah serangan berefek fatal.

Meski tahu kalah cepat, Chen tetap melancarkan serangan. Dan, bisa ditebak hasilnya. Sia-sia. Chen mulai kehilangan fokus karena terlalu lelah. Tak bisa lagi ia melayani serangan membabibuta Kai dengan mudah. Pengendali petir kini mulai terus menghindar—sambil terus menjaga diri supaya tak lengah. Namun, semakin lama, semakin sulit. Serangan tak bisa dilancarkan, pertahanan Chen pun melemah.

Mengetahui itu, Kai pun tak mau kehilangan kesempatan. Ia berteleportasi dan muncul tepat di belakang Chen—tanpa sepengetahuan pengendali petir—. Diayunkannya clawdi tangan kanannya ke punggung Chen. Punggung pengendali petir robek. Sebuah luka dalam terbentuk. Chen berteriak kesakitan dan jatuh bersimbah darah. Lightning katana pun tak lagi dalam genggaman tangannya.

Melihat lawan tak lagi berdaya, Kai tak mau lagi menyia-nyiakan kesempatan bagus ini. Ia mendekati Chen dan memasang seringai. Claw di kedua tangan diarahkannya ke pengendali petir yang masih meringis kesakitan. Namun, sebelum serangannya membunuh Chen, invicible claw Kai tertahan sesuatu. Sesuatu yang tak terlihat. Penghalang.

Lay.

Sang penyembuh membuat penghalang tepat waktu. Tepat sebelum cakar Kai mencabik tubuh tak berdaya Chen. Dengan segera pula, sebuah lingkaran sihir terbentuk di bawah Chen—sebuah usaha penyembuhan jarak jauh. Lay pun segera menghampiri pengendali petir.

Luka Chen mulai tertutup perlahan. Pemuda itu juga merasakan ada tambahan energi—menghilangkan sedikit rasa lelahnya. Namun, ternyata master Chiyu juga terlalu lelah. Kekuatannya telah jauh menipis sehingga proses penyembuhan luka tak bisa secepat biasanya. Apalagi, ia harus tetap memastikan penghalangnya tetap bekerja.

Kai jengkel setengah mati karena pertarungannya terganggu. Ia semakin kalap. Berulangkali diayunkan cakarnya—berusaha menghancurkan pelindung menyerupai kubah tertutup yang melindungi dua pengendali di dalamnya.

Sementara itu, Lay membawa Chen berjalan mundur—di bawah naungan pelindung—. Ia tak yakin seberapa pelindungnya akan bisa bertahan. Apalagi, dengan serangan membabibuta Kai. Entahlah—Lay hanya pasrah. Mereka hanya bisa bertahan dan menunggu—tak yakin apa nanti akan bisa selamat dari Kai.

.

.

Suho merasakan kekuatannya sudah di ambang batas. Dengan Xiumin sebagai lawan, ia benar-benar kewalahan. Pengendali es bukan lawan yang sepadan. Semua kekuatan air Suho dipatahkan dengan sangat mudah. Cakram air pun tak mampu melukai—bahkan sekadar mencapai pengendali tertua itu pun tak mampu. Serangan jarak jauh saja tak berhasil, apalagi serangan langsung dengan senjata. Itu lebih mustahil. Tridentmiliknya tak sebanding dengan busur panah es Xiumin. Suho jelas kalah jauh dari pengendali es.

Pengendali air semakin terpojok dengan serangan es yang terus diarahkan padanya. Kaki kanan Suho pun terluka cukup parah—tertembus panah es, rupanya. Suho benar-benar tak berdaya.

Kini, serangan jarum es kembali dilayangkan Xiumin. Mau tak mau, Suho kembali membangun water barrier dengan kekuatan seadanya. Ya, Suho tahu itu percuma. Tapi, ia tak punya pilihan lain selain bertahan. Dan, bisa ditebak. Dengan tembok air tak sempurna, jarum es dengan menembusnya dan menorehkan luka di sekujur tubuh Suho.

Pengendali air meringis kesakitan. Namun, ia terus bertahan sembari berjalan mundur perlahan. Tiba-tiba, serangan beruntun jarum es menerjang dan menembus barrierSuho bersamaan—membuatnya terlempar hingga menabrak sebuah pohon.

Begitu melihat lawannya jatuh, Xiumin membekukan kaki dan tangan Suho—membuat pengendali air tak bisa lolos lagi. Perlahan, kakinya melangkah mendekati Suho. Dengan wajah tanpa ekspresi, Xiumin menarik busur panah esnya, tepat di wajah pemuda tak berdaya itu. “Mati kau, Pengendali Air—”

Suho hanya memejamkan mata. Menunggu jawaban apakah takdir masih akan membiarkan hidup atau memang sudah saatnya ia mati.

.


.

Di Divine World, Zoe tengah bersama Luhan dan Sehun. Sang Dewi baru saja membersihkan jiwa dua pengendali itu dari sisa-sisa kendali Erebos. Rasa sakit dan beban yang mendera mereka pun ia sembuhkan. Rasa sakit dan beban karena perasaan marah, takut, benci, sedih, bersalah, dan semua perasaan negatif yang telah mereka tanggung. Zoe menyalurkan kekuatan positifnya untuk menghapus semua luka.

Pengendali telekinesis dan angin juga sempat berbincang sebentar dengan penjaga pohon kehidupan tentang Erebos. Bagaimanapun, mereka belum cukup puas mendengar cerita dari Kris dan Lay. Itulah sebabnya mereka meminta penjelasan terkait beberapa hal langsung pada Zoe. Dengan sedikit miris, sang Dewi pun menceritakan kembali secara detail apa yang terjadi sebenarnya di masa lalu.

Baru saja berniat membahas tentang Tao, Zoe mendadak bangkit berdiri. Mata indahnya terbelalak sempurna. Sang Dewi terlihat sedikit panik dan ketakutan.

“Cepat! Cepat! Pengendali lain dalam bahaya! Pengendali es dan teleportasi telah kembali! Mereka menyerang pengendali air dan lainnya! Cepat! Bantu mereka sebelum mereka bertindak lebih jauh! CEPAT! SEBELUM TERLAMBAT!” seru Zoe.

Mendengar itu, Luhan dan Sehun hanya bisa saling berpandangan. Sedikit tak percaya dengan apa yang keluar dari mulut Zoe. Namun, mereka segera mengeluarkan senjata dan berlari keluar dari Divine World. Harapan mereka hanya satu. Mereka tak boleh terlambat. Tidak! Mereka harus berhasil menghentikan pertarungan itu!

.


.

Begitu para pengendali pergi, Zoe menutup mata dan mengatupkan tangan di depan dada seperti berdoa. Ia hanya bisa memberikan sedikit kekuatan dan doa saja. Bukan tugasnya untuk ikut campur dalam masalah ini. “Kuharap kalian semua baik-baik saja. Bagaimanapun, rasa percaya dan keterikatan kalian sangatlah kuat. Aku yakin kalian bisa menghentikan Erebos. Kalian pasti bisa karena kalian adalah yang terpilih,” bisiknya lirih penuh harap.

Zoe membuka mata dan mengalihkan pandangan pada sosok Chanyeol. “Wahai, Pengendali Api! Waktumu kembali sudah dekat! Berjuanglah! Lihat teman-temanmu, mereka membutuhkanmu! Bangun dan segera selesaikan perang ini! Bangkit dan rebut kembali semua yang jadi milikmu! Kembalikan semua pada tempatnya. Dan—” Sang Dewi berhenti berbicara.

Tangan putihnya masuk di antara celah sulur. Zoe memegang dahi pengendali api. Kembali ia memejamkan mata, menarik napas panjang sebelum mengembuskannya dengan berat hati. “Begitu kau bangun, akan kubantu kau melepas segel penghalang kekuatanmu. Dengan lepasnya segel itu, kau akan bisa menggunakan kekuatanmu yang sebenarnya. Kau akan bisa memanggil hewan panggilanmu. Dan, segel penyempurnaan kekuatan yang terpilih akan terbuka. Kalian akan jadi semakin kuat. Namun, ada sesuatu yang harus kuberitahukan padamu. Suatu akibat dan risiko dari pembukaan segelmu. Kau bisa mendengarku, kan? Pikirkan baik-baik. Setelah kau bangun, putuskan! Karena begitu kau membuat keputusan, tak ada jalan kembali. Mengerti?”

Jelas tak ada tanggapan dari Chanyeol. Zoe kembali melanjutkan kata-katanya. “Dengarkan baik-baik, Pengendali Api. Jika segelmu terlepas, maka—”

.


.

Kris dan Kyungsoo tengah berbincang sembari melangkahkan kaki menuju taman. Baru saja mereka tiba di depan gerbang masuk taman, Luhan dan Sehun tampak keluar dengan terburu. Senjata di tangan dan muka dua pengendali itu tampak panik—bahkan terlihat ketakutan.

Kris dan Kyungsoo hanya berpandangan—tak mengerti mengapa keduanya seperti itu. Namun, mereka tahu sesuatu yang buruk telah terjadi.

Hyung!” teriak Kyungsoo dari jauh.

Luhan yang melihat keberadaan dua pengendali lain hanya berteriak—tanpa mengurangi kecepatan larinya. “Cepat! Xiumin dan Kai telah kembali! Pengendali lain dalam bahaya! Di mana mereka?”

Mendengar itu, Kris dan Kyungsoo jelas tak bisa menyembunyikan rasa terkejut  mereka.  Namun, mereka segera bereaksi.

“Sungai! Mereka ada di sungai di luar desa!” seru Kris.

Mendengar jawaban itu, Luhan semakin mempercepat larinya. Sehun sendiri tampak melompat ke sebuah pohon ke pohon lain. Baginya, cara itu lebih cepat daripada berlari. Dan, pengendali angin pun sudah tak terlihat.

Kris dan Kyungsoo mengeluarkan senjata dan berlari menyusul Luhan. Kini, pengendali naga telah mengambil alih pimpinan kembali. Ia tahu benar harus pergi ke mana dan melakukan apa. Ia berharap semua pengendali dalam kondisi baik. Semoga tak terlambat!

.


.

Lay tak bisa lagi menahan pelindungnya lebih lama. Serangan Kai semakin membabibuta—tak tertahankan. Bahkan, serangan invicible claw bisa ia rasakan di sekujur tubuhnya. Setiap hentakan, setiap cakaran. Memang, jika terlalu lama menggunakan kekuatan, Lay akan mengalami efek rasa sakit. Kali ini, ia tak bisa lagi menahannya. Jurus pelindung miliknya kapan saja bisa hancur.

Sebuah seringai terbentuk di bibir Kai melihat dua pengendali tak berdaya itu. Ternyata, mudah sekali menghabisi para pengendali. Mengapa tak dari dulu saja ia melakukannya? Ini lebih mudah dari perkiraannya. Pengendali teleportasi itu bersiap melayangkan serangan terakhirnya, saat ia terhempas angin yang sangat kuat. Ah, Sehun datang tepat waktu.

Sehun menyerang Kai dengan jurus pisau anginnya, namun pemuda berkulit tan itu dengan sigap menghindari—berpindah ke tempat yang lebih aman. Pengendali angin segera menghampiri Lay dan Chen. Setelah memastikan mereka bisa ditinggalkan, Sehun kembali melayangkan serangan. Kai lagi-lagi hanya bisa menghindar.

Pengendali teleportasi akhirnya muncul dan berdiri tegak di atas sebuah batu besar. Sehun sendiri berdiri di sebuah pohon berdahan banyak. Anggota termuda itu siap melancarkan serangan. Tak ada keraguan lagi dalam dirinya. Bagaimanapun, ia harus menghentikan Kai. Dengan begitu, mereka akan bisa menyadarkannya. Kai dan Sehun saling menatap tajam satu sama lain—namun, tak ada gerakan apa pun. Mereka bergeming. Hanya tatapan awas yang terlihat. Mereka siap bergerak menyerang kapan saja.

Kyungsoo yang baru datang segera menghampiri Lay dan Chen. Sang Penyembuh tampak duduk beristirahat sembari menyembuhkan luka di punggung pengendali petir yang masih meringis kesakitan. Setelah mengetahui mereka baik-baik saja, Kyungsoo pun bergerak membantu Sehun.

Kai dan Sehun telah kembali bertarung. Mereka saling beradu kecepatan—siapa yang bisa lebih cepat menyerang dan menghindar. Sehun terus melancarkan serangan angin sambil sesekali melemparkan wind daggernya. Kai sendiri menghindar dengan gesit. Ia gencar berteleportasi dan berusaha menorehkan luka pada Sehun dengan invicible clawnya.

Kyungsoo hanya mengamati adu kecepatan dua pengendali. Ia tahu kecepatan bukan keahliannya. Pengendali tanah memilih memejamkan mata dan merapal mantra. Ia lemparkan bebatuan ke arah Kai.

Pengendali teleportasi jelas kewalahan menghadapi dua tipe kekuatan yang diarahkan padanya. Angin dan batu. Jelas ia hanya bisa menghindar. Sesekali ia tampak mengumpat karena ia mulai kelelahan dan kehabisan energi.

Tak ada tanda-tanda Kai akan menyerah, Kyungsoo dan Sehun saling melemparkan pandangan. Mereka telah berhasil membaca pergerakan Kai. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, satu rencana telah mereka ciptakan cepat. Rencana yang akan mereka jalankan untuk menghadapi pengendali teleportasi. Ya, itulah hebatnya para pengendali. Menyusun rencana cepat dengan melempar mata adalah hal biasa. Mereka sudah sangat terlatih.

Rencana sudah dibuat—menunggu untuk dijalankan. Setelah mengganggukkan kepala, Sehun kembali menyerang Kai dengan cara sebelumnya. Pengendali teleportasi lagi-lagi hanya bisa lari dan menghindar.

Kyungsoo kembali melemparkan bebatuan ke arah Kai. Kali ini, bukan sembarangan arah. Ia mengikuti pergerakan Sehun. Jika pengendali angin menyerang ke arah barat, ke sana pulalah ia akan menyerang. Begitu seterusnya.

Kerjasama antara pengendali angin dan tanah terus berjalan. Mereka berusaha mengarahkan Kai pada satu titik. Saat Sehun masih sibuk melancarkan serangan, Kyungsoo menghentikan serangannya mendadak dan memukulkan earth hammernya ke permukaan tanah dengan kerasnya. Sebuah dinding batu besar tinggi muncul.

Kai yang terlalu fokus menghindari serangan Sehun, rupanya tak menyadari keberadaan dinding batu yang baru muncul. Dengan keras, ia menabraknya dan jatuh terjerembab ke tanah. Ia baru saja berniat bangun saat pengendali tanah mengeluarkan jurus untuk mengunci pergerakannya. Gundukan tanah menutup tangan, kaki dan tubuh Kai. Pengendali teleportasi berusaha membebaskan diri, namun sia-sia.

Lay telah cukup pulih. Ia berdiri, memegang healing staffnya dan mulai merapal mantra. Lingkaran sihir mengelilingi tubuh Kai dan memaksa pemuda itu mengeluarkan kristal gelap yang mengendalikannya. Seperti yang dialami Sehun, Kai hanya bisa berteriak dan terus meronta kala kristal hitam beraura kegelapan pekat itu keluar dari tubuhnya. Tak butuh waktu lama, pengendali teleportasi akhirnya bebas dari kendali Erebos. Kini, ia terbaring lemah karena rasa sakit luar biasa dan lelah yang mendera.

Sehun bergerak menghampiri pemuda itu. Kyungsoo merapal mantra dan melepaskan kekangan dari Kai. Pengendali angin tersenyum dan membantu Kai berdiri. “Selamat datang kembali, Kai.”

Kai yang merasakan seluruh anggota tubuhnya—terutama kepalanya—sangat sakit, hanya mengangguk. Ya, ia sudah kembali.

.

.

Suho dalam keadaan bahaya. Tangan kakinya tertutup es. Tak bisa lagi ia bergerak. Ia tak berdaya dan seluruh tubuhnya terasa sakit. Tak kuasa ia melawan. Kekuatannya terkuras habis. Kini, ia hanya bisa pasrah. Mati di tangan salah satu pengendali—apa yang bisa lebih menyakitkan dari itu?

Hyung—Sadarlah, kumohon,” pinta Suho lemah. Ia tahu semua itu percuma. Tapi, setidaknya ia sudah mencoba, kan?

Xiumin masih berdiri dengan busur panah terarah tepat di depan wajah Suho. Kala ia bersiap melepaskan anak panah, kepalanya mendapat serangan lagi. Ya, rasa sakit itu kembali—membuat ingatan dan kilasan aneh memenuhi kepala Xiumin. Rasanya begitu sakit, nyaris membuatnya meledak. Belum lagi, kecamuk berat begitu mengusik batin. Aish, mengapa harus di saat seperti ini? Pengendali es terus mengumpat di sela rasa sakitnya.

Xiumin terus meringis. Tak bisa lagi ia menahan rasa sakit di kepalanya. Diturunkan busur esnya sebelum ia bergerak memegang dan memukul kepalanya. Ia berharap rasa sakitnya segera hilang. Namun, semua malah semakin menjadi. Tubuhnya gemetar hebat, tak terkontrol. Keringat dingin mulai membasahi tubuh. Wajah Xiumin berubah pucat pasi.

Xiumin tak bisa membiarkan rasa sakit itu menguasai dan menghentikan tindakannya lebih lama. Ia menggelengkan kepalanya berulangkali dengan keras. Masih berharap usahanya akan berhasil menghilang rasa sakit yang mendera. Tak sepenuhnya berhasil, namun memang sedikit berkurang. Xiumin harus menggunakan kesempatan ini untuk benar-benar menghabisi Suho sebelum rasa sakitnya semakin parah.

Diambil senjatanya dan diarahkan pada Suho, lagi. Ia menarik busurnya dan mulai berbicara. “Ucapkan selamat ting—”

“XIUMIN! HENTIKAN!”

Seruan itu memotong perkataan dan aksi Xiumin. Pemuda itu langsung menghindar karena Kris muncul tiba-tiba dan menyerangnya dari atas dengan dragon broadswordnya. Pengendali es memilih bergerak mundur.

Suara tadi bukankah suara Luhan? Tapi, mengapa ia menghentikan tindakannya? Apa Luhan sudah dihasut?

Tidak ada waktu untuk mencari jawaban karena Kris kembali mengayunkan pedang besarnya pada Xiumin. Pengendali tertua itu dengan gesit menghindar. Sementara, seruan Luhan terus terdengar—memintanya berhenti.

Berhenti? Tidak! Ia tak bisa berhenti!

“Sadarlah, Xiumin ah! Ini kami, temanmu! Kau di bawah kendali!” seru Kris. Ia berusaha menyadarkan sahabatnya itu. Ia berharap tak perlu memakai kekerasan kali ini.

Xiumin memilih mengabaikan seruan Kris. Ia malah membuat pijakan es melayang di udara dan mulai berpijak dari es satu ke yang lain.

Kris mencoba mengejar Xiumin. Terbang menggunakan kemampuannya. Seruan meminta Xiumin menghentikan pertarungan ini terus ia lontarkan. Namun, semua tak digubris.

“Diamlah! Kalian semua membuatku muak!” teriak Xiumin kesal. Kembali dirapalnya mantra, meski ia tahu persis kekuatannya mulai melemah. Namun, pengendali es memaksa diri menggunakan jarum esnya lagi.

Mendapati serangan benda kecil nan tajam itu, mau tak mau, Kris harus menghindar. Ia bergerak melayang ke sana kemari—menghindari kejaran jurus Xiumin. Beberapa kali, Kris harus menangkis jarum-jarum itu dengan broadswordnya.

Di bawah, Luhan hanya bisa terdiam, melihat sang sahabat tak mengindahkannya. Kini, ia berpaling pada Suho yang masih terkekang es. Digunakan senjatanya untuk melepaskan pengendali air, namun sia-sia. Tak bisa ia menghancurkan es itu.

Dengan lemah, Suho meminta Luhan untuk membantu Kris saja sekarang. Ia merasa akan baik-baik saja—bisa bertahan. Pengendali naga lebih membutuhkan Luhan dibanding dirinya.

Dengan berat hati, Luhan menganggukkan kepala. Ya, menghentikan Xiumin adalah prioritas utamanya. “Xiumin! Hentikan! Sadarlah! Kau dikendalikan!” teriak Luhan.

Xiumin dan Kris masih bertarung. Pengendali es terus berpijak di pijakan yang dibuatnya sembari melancarkan jarum es pada Kris. Sementara, pengendali naga berusaha menyerang Xiumin menggunakan pedang besarnya sembari terus bertahan.

Luhan kembali berteriak. Ia tahu sebenarnya Xiumin mendengarnya. “Dengarkan aku, Xiumin ah! Apa kau tak merasa ada keanehan dalam dirimu? Apa kau tak merasakan kecamuk dalam diri yang membuat dadamu begitu sesak? Apa tak ada pertentangan kuat yang membuatmu tak nyaman? Apa kepalamu tak terasa sakit karena banyak kilasan dan ingatan aneh yang membuatmu ingin meledak? Jawab aku!”

Tak ada tanggapan. Luhan kembali melanjutkan. “Kau tak bisa menggunakan kekuatan secara maksimal, kan? Kau pasti juga tak bisa memanggil hewan panggilanmu! Kau mengalami itu semua, kan? Xiumin ah, dengarkan aku! Aku tahu jawaban semua itu! Aku tahu! Akan kujelaskan semua padamu, tapi hentikan semua ini! Sekarang! Berhenti!”

Di sela pertarungan dengan Kris, Xiumin memang mendengarkan Luhan. Benar. Benar sekali. Apa yang dikatakan Luhan padanya—semua pertanyaan itu, semua benar. Ia ingin tahu jawabannya. Ia ingin tahu semuanya. Xiumin juga ingin berhenti. Ia tak ingin melawan Kris lagi. Tapi, mengapa? Mengapa ia tak bisa berhenti? Apa yang terjadi padanya? Xiumin malah semakin beringas melawan Kris. Ia tak bisa mengendalikan dirinya sendiri.

Tak terlihat respon. Namun, Luhan tahu persis Xiumin bisa mendengar apa yang ia katakan. Mungkin, pengendali es tak mampu melawan kristal gelap itu. Luhan harus bergerak membantu Kris menghentikan Xiumin sekarang juga.

Dipanggil Kokoro dan Luhan berdiri di atas punggung rusa panggilannya. Mereka memejamkan mata dan memusatkan pikiran. Luhan dan Kokoro berniat menembus benak Xiumin—menyadarkan pengendali es itu dari dalam. Awalnya, cukup sulit. Namun, karena keadaan Xiumin sekarang sedang bimbang—karena mantra Seishin telah melemahkan pengaruh Erebos—dan rasa percaya Luhan akan persahabatan kuat mereka, pengendali telekinesis akhirnya berhasil memasuki pikiran pengendali es.

‘Dengarkan aku, Xiumin ah. Kau dikendalikan. Kuatkan dirimu. Lawanlah kekuatan jahat kristal itu. Kau bisa, sahabatku. Kau harus kembali pada kami. Keluarkan benda jahat itu. Kau pasti bisa. Kau—’

Usaha Luhan untuk menyadarkan Xiumin terganggu. Kristal jahat itu mendadak menguat dan mendorong Luhan keluar dari benak Xiumin. Luhan pun kembali tersadar. Ia telah kembali ke dunia nyata. Napasnya terengah dan dadanya terasa sakit. Darah telah terlihat di sudut mulutnya. Sial, kristal itu melukai jiwanya.

Mendadak, Xiumin berteriak kesakitan. Ia memegang kepalanya yang terasa sangat sakit. Kecamuk dalam dirinya semakin menguat. Tak bisa lagi ia mengendalikan diri. Xiumin lepas kontrol!

Pengendali es membekukan air di sekitarnya dengan cepat. Ia melancarkan serangan ke semua arah—tanpa target yang jelas. Begitu membabibuta. Sungguh, ia benar-benar lepas kendali. Xiumin tak lagi tahu apa yang telah dan harus ia lakukan. Sekarang, ia hanya tersiksa dengan rasa sakit yang terus mendera. Ia tak bisa menghilangkannya dan itu membuatnya sangat kesal dan marah.

Teriakan pilu kesakitan semakin terdengar. Xiumin semakin tak terkendali. Ia seolah menyiksa dirinya sendiri.

Akhirnya, Luhan bertindak. Dilemparkan bandul besi di ujung rantai kusarigama ke arah sahabatnya. Rantai itu berhasil membelit Xiumin—mengunci gerakannya. Pengendali es jatuh ke tanah. Ia masih saja meronta dan terus berteriak. Esnya terus saja menyerang ke segala penjuru, bahkan tanpa kontrol pengendalinya. Bahkan, tembok es tercipta—mengurung pengendali es di dalamnya.

Kris masih melayang di udara. Tangannya mengerat melihat penderitaan Xiumin. Matanya terpejam dan ia mulai memusatkan kekuatan pada pedang besarnya. Dengan cepat, ia melompat turun sembari mengayunkan senjatanya dengan kekuatan penuh, menghancurkan tembok es yang dibuat tanpa kendali. Berhasil. Tembok es itu hancur berkeping-keping membentuk pecahan es yang akhirnya mencair.

Sebuah lingkaran sihir muncul di sekeliling Xiumin. Ya, ini giliran Lay. Rapalan mantra keluar. Mantra untuk membebaskan Xiumin dari penderitaan. Butuh waktu cukup lama bagi pengendali es untuk mengeluarkan kristal itu. Karena terlalu banyak menggunakan tenaga, Xiumin akhirnya tak sadarkan diri.

Para pengendali menghela napas lega. Xiumin, pengendali es telah kembali. Tinggal dua pengendali lagi yang harus diselamatkan. Dan, satu pengendali untuk dibangunkan. Mereka percaya tak lama lagi, mereka akan bisa berkumpul dan melakukan tugas yang sebenarnya.

.


.

Erebos dan Seishin tengah membahas sebuah rencana penyerangan besar-besaran untuk menghancurkan dunia, saat tiba-tiba penguasa kegelapan berteriak kesakitan sembari memegang dada. Pemuda bertudung abu-abu hanya mengernyitkan kening melihat itu.

“Sial! Lagi-lagi kristalku hancur! Beberapa hari lalu, aku kehilangan pengendali telekinesis dan angin. Sekarang, kristal yang tak bisa kucari keberadaannya malah hancur. Sialan! Siapa yang berani bermain-main denganku? Aish, akan kupastikan dia membayar mahal semua ini! Sial! Sakit sekali! Kekuatanku belum sepenuhnya kembali dan aku telah kehilangan para pengendali. Tidak. Aku tak bisa lagi membiarkannya. Zoe—Dia pasti ada di balik semua ini. Dia pasti sudah ikut campur. Tapi, aku senang akhirnya dia kembali. Baiklah, aku akan segera menemukanmu, Zoe! Tunggu saja!”

Erebos memegang dadanya yang masih terasa sakit. Keringat tampak membasahi seluruh tubuhnya—tak terkecuali wajah pucatnya. Kehilangan kristal-bagian tubuh dan jiwanya-cukup merepotkan. Satu dua tak masalah. Tapi, ia tak bisa kehilangan lebih banyak lagi. Ia harus segera melakukan sesuatu. Harus.

“Grey—” panggil Erebos.

“Mm—” sahut Seishin tanpa semangat.

“Aku harus pergi ke suatu tempat beberapa saat. Aku harus mengembalikan kekuatanku. Aku juga perlu mengambil sesuatu milikku di sana. Tempat itu cukup jauh, jadi, aku terpaksa pergi cukup lama. Kuserahkan tempat ini padamu untuk sementara. Kuserahkan pimpinan padamu dan panglima lain. Beritahu aku akan kembali secepat yang aku bisa. dan, satu lagi—”

Seishin memicingkan mata.

“Jika ada yang berani bermain-main, bunuh saja. Mengerti?” perintah Erebos tegas.

Seishin mengangguk tanpa mengubah raut mukanya. Dan, setelah mendapat tanggapan itu, Erebos menghilang.

Begitu keberadaan penguasa kegelapan tak terasa, sebuah senyuman tersungging. “Jadi, haruskah aku membunuh diriku sendiri?” Seishin terkekeh. “Ah, darimana aku harus mulai, ya? Lebih baik aku berbicara dengan pengendali cahaya. Kurasa ia mau mendengar kisahku.”

Seishin kembali terkekeh. Dengan raut muka datarnya, kekehan itu terasa begitu aneh dan menakutkan. Bahkan, jauh lebih mengerikan daripada Erebos. Ah, pemuda bertudung abu-abu itu benar-benar licik.

.

.

Seishin memasuki ruang pertemuan. Tubuh kosong Erebos masih ada di tengah ruangan dengan pengendali cahaya di dalamnya. Tubuh mungil Baekhyun terjebak di sana. Tak bisa bangun, tak bisa keluar, tak bisa melakukan apa-apa. Malang sekali.

Pemuda bertudung abu-abu memilih bersandar pada sebuah tiang besar penyangga. Letaknya sekitar dua meter dari letak kristal Erebos yang kosong tanpa jiwa. Dipandangnya tubuh Baekhyun miris. Seishin kini tampak membuka tudung abu-abunya—memperlihatkan rambut abu-abu—ah, sebenarnya lebih keperak-perakan—yang tergerai sebahu. Surai yang menutupi mata kirinya membuat pemuda tanpa ekspresi ini terlihat menawan.

Seishin memejamkan mata, merapal mantra sebelum kembali membuka matanya. Ajaib, mata abu-abu redup itu kini berubah cemerlang. Berubah menjadi biru secerah sapphire—biru menenangkan. Rambut keperakannya pun ikut berubah menjadi hitam kelam dengan biru samar. Tak ada lagi wajah pucat. Hanya ada wajah segar seorang Seishin. Ia benar-benar berubah dari sosok Grey menjadi pemuda yang sangat berbeda. Ia adalah Seishin—Seishin yang sebenarnya.

“Kita sudah aman. Tak ada yang bisa mendengar pembicaraan kita, sekalipun itu Erebos. Tempat ini sudah kusegel.” Suara Seishin berubah. Jauh lebih dalam dan berwibawa. Begitu tenang sekaligus menghanyutkan.

“Kau mau dengar satu kisah cinta tragis dan menyedihkan, Pengendali Cahaya? Kurasa kau akan tertarik. Nasibmu tak jauh beda dengan tokoh di kisah ini. Sama-sama memiliki kisah cinta pahit karena Erebos. Ah, jangan khawatir. Ia tak akan bisa mendengar kita. Kristal ini hanyalah cangkang kosong karena dia lebih suka memakai wujud manusianya. Jadi, kita tak perlu takut membicarakan dia. Toh, kita akan berbicara banyak tentang Erebos.”

Jelas, tak ada tanggapan dari Baekhyun. Seishin kembali berbicara. “Kau tahu? Erebos itu memuakkan. Sangat menjijikkan harus tetap bersamanya. Eh? Apa kau terkejut mengapa aku bisa mengatakan itu? Hei, aku membencinya. Sangat membencinya. Jika membencinya, mengapa aku bekerja untuknya? Kau penasaran? Ah, ini semua ada kaitannya dengan kisah yang akan kuceritakan. Kisah cinta yang tragis.”

Seishin menghela napas panjang sebelum mulai bercerita. “Dahulu kala, ada seorang pangeran. Dia hidup di kerajaan yang begitu damai dan sejahtera. Dia sangat baik hati dan sempurna. Karena itulah, dia dicintai rakyatnya. Dia memiliki segalanya: kerajaan, rakyat dan kekuatan hebat. Kau tahu? Dia pun bisa mengendalikan pikiran. Bukankah itu luar biasa? Apalagi, dia selalu menggunakannya untuk kebaikan. Lebih sempurnanya lagi, dia memiliki seorang kekasih cantik. Seorang kekasih yang mengisi harinya dengan kebahagiaan dan senyuman. Dia sungguh sangat bahagia. Hingga suatu hari—”

Pemuda bermata blue sapphire itu mengepalkan tangan erat-erat. “Pasukan kegelapan menghancurkan semua. Rakyatnya dibunuh dengan keji. Sisanya dijadikan budak dan pasukan kegelapan. Semua milik sang Pangeran dirusak—dihancurkan tanpa sisa. Tapi, itu belum cukup. Sang Pangeran pun diincar. Kekuatannya diinginkan. Mereka bermaksud menjadikannya bawahan penguasa kegelapan. Mm—kau tahu apa yang terjadi?”

Hening. Tak ada suara.

“Sang Pangeran ternyata tak sempurna. Dia sangat ketakutan. Semua yang dimilikinya lenyap tanpa sisa dalam waktu singkat. Keluarga, kekayaan, kekuasaan, rakyat—semuanya telah diambil. Semua telah porak-poranda. Kerajaan yang damai itu telah hancur. Jalanan dipenuhi mayat dan darah. Bukankah itu mengerikan? Dan, yang tersisa hanyalah dia dan kekasihnya.” Seishin terkekeh miris.

“Mereka berdua terus bersembunyi—mencoba menghindari pasukan kegelapan. Sang Pangeran terlalu takut menghadapi musuh. Dia takut kehilangan segalanya. Sang kekasih telah berusaha menguatkan dirinya, namun sia-sia. Dan, sebuah kejadian buruk akhirnya terjadi. Seorang panglima berhasil menemukan tempat persembunyian mereka. Dari balik sebuah ruang rahasia, sang Pangeran tahu bahwa panglima itu bukanlah dirinya sendiri. Dia telah dikendalikan kekuatan yang begitu jahat. Hal itu membuat sang Pangeran semakin takut. Panglima kegelapan itu berteriak meminta pangeran menyerahkan diri. Namun, jelas dia tak mau keluar.”

Seishin memejamkan mata. “Mereka akhirnya ketahuan. Mereka berusaha lari namun akhirnya terpojok. Sang Pangeran meringkuk ketakutan seperti anak kecil. Kekasihnya begitu miris melihatnya dan memutuskan untuk melindungi pangeran menyedihkan itu. Musuh melihat betapa besar cinta si gadis untuk sang Pangeran. Dia mulai berbicara tentang cinta sebenarnya adalah sumber kelemahan. Dia bermaksud menyerang sang Pangeran, namun si gadis merentangkan tangan dan menjadikan dirinya sebagai tameng untuk melindungi kekasihnya. Panglima itu mengubahnya menjadi patung batu.”

Sebuah helaan napas berat terdengar. “Pangeran itu terpukul mendapati apa yang terjadi. Dia kehilangan semuanya. Dan, bodohnya, hal terakhir yang dilindunginya malah direnggut di depannya—tanpa ia sempat mempertahankannya. Dan, pangeran itu menyerah pada kegelapan. Dia membiarkan jiwanya ditelan emosi negatif: kesedihan, kemarahan dan kebencian. Bukankah dia bodoh? Ah, kurasa itu akhir kisah cinta tragis ini? Bagaimana menurutmu? Menyedihkan, kan?”

Tangan Seishin bergerak memasang kembali tudung abu-abunya. Suaranya kini terdengar serius. “Kau tahu? Kisah itu nyata, Pengendali Cahaya. Tempat ini dulunya adalah kerajaan damai itu. Akulah sang Pangeran dan Luna, kekasihku, kini jadi patung batu karena ulah Erebos. Aku dipaksa jadi bawahan sosok yang telah menghancurkan hidupku. Ya, awalnya aku menuruti semua perintahnya karena dia berjanji akan membebaskan Luna. Tapi, akhirnya, aku sadar dia hanya memanfaatkanku. Harusnya aku sadar sejak dulu. Sekarang, semua berubah. Aku hanya berpura-pura. Beruntung, dia tak mengendalikanku dengan kristalnya. Aku pun bersyukur bisa jadi Grey yang tak bisa ditebak. Sosok Grey membuatnya tak mudah curiga padaku. Ya, kekuatanku cukup hebat untuk menyembunyikan semua rahasia ini. Namun, aku tak cukup kuat untuk menghancurkannya sendiri.”

Seishin membuka mata. Kini warna abu-abu Grey telah kembali. Mata dan rambutnya telah kembali berubah. “Dengarkan aku. Aku membutuhkan kalian dan sebaliknya. Akan kubantu kalian keluar dari sini. Tapi, kalian harus mengalahkan Erebos sehingga kutukan Luna bisa dipatahkan. Meskipun aku belum tahu bagaimana cara mengeluarkanmu dari dalam sana, aku bisa melakukan sesuatu untukmu sekarang.”

Pemuda bertudung abu-abu mengeluarkan ocarina dan mulai memainkan sebuah lagu. bukan lagu bernuansa sedih, namun lagu penuh cinta dan harapan. Musik indah itu terus mengalun, menembus kristal hitam besar dan mencapai tubuh tak berdaya Baekhyun.

Pengendali cahaya bangkit dari tidurnya—sekalipun masih terjebak. Tubuhnya terasa bertenaga. Jiwanya menguat. Ia sudah sadar. ‘Aku—Aku di mana? Mengapa aku di sini? Siapa pun, tolong aku! Keluarkan aku! Chanyeol! Selamatkan aku!’

Begitu mendapati usahanya berhasil, Seishin menyeringai. “Baiklah, mari kita mulai permainan sebenarnya, Erebos. Sekarang, giliran pengendali waktu.” Seishin bersiul pelan dan meninggalkan ruang itu seakan tak terjadi apa-apa.

.

.

Seishin melangkahkan kaki dengan santai menuju ruang bawah tanah khusus—penjara Tao. Ia tahu tempat rahasia itu, karena ya, Erebos memercayainya lebih dari apa pun. Seishin hanya terkekeh jika menyadari fakta itu. Kepercayaan Erebos padanya—karena ia yang terlalu pintar berbohong atau Erebos yang terlalu bodoh? Entah, mungkin dua-duanya benar.

Pemuda tanpa ekspresi itu mengatupkan tangan dan mulai menggosok-gosokkannnya. Tak sabar, ia memulai rencana liciknya. Ya, ia tak sabar bisa melihat Luna bebas. Terlalu lama ia menunggu. Sekarang adalah saat yang tepat untuk menjalankan rencananya. Mm—ia bersyukur karena Erebos memecah belah pengendali dan mengendalikan mereka. Itu tak buruk karena Seishin jadi terbantu. Ya, Erebos ternyata berguna juga.

Seishin menyusuri tangga batu diterangi nyala obor temaram. Setelah berjalan di tempat lembab dan gelap itu beberapa saat, tibalah ia di penjara Tao. Sebuah penjara khusus yang telah disegel sehingga pengendali waktu tak bisa menggunakan kekuatannya. Tao tak akan bisa melakukan apa-apa di sana kecuali menyesali semua kebodohannya.

Beruntung, Seishin tahu melemahkan pengaruh Erebos di sana dengan menggunakan ocarina ajaibnya—meskipun tak bisa melepas segel pengunci. Setidaknya, ia bisa bercakap-cakap sejenak tanpa diketahui penguasa kegelapan. Apalagi, Erebos sedang tidak ada di istana.

Seishin mulai memainkan ocarina berwarna biru laut. Alunan memenuhi tempat khusus itu. Tak terlihat penjaga di sana, jadi Seishin tak perlu khawatir ada orang yang akan melihat aksinya. Ya, ia beruntung karena Erebos memberikan wewenang. Dengan mudah, ia menyingkirkan para penjaga—sekalipun penjara itu tak memerlukannya.

Setelah beberapa saat, permainan ocarina itu berhenti. Seishin menyandarkan punggungnya di pintu batu tempat Tao dikurung. “Pengendali Waktu, kau mendengarku?” kata Seishin cukup keras. Tak perlu ia khawatir ada yang mendengar suaranya.

Tak ada jawaban dari dalam. Seishin kembali mengulangi panggilannya.

Akhirnya, terdengar suara Tao. “Siapa? Siapa di luar? Tolong, bebaskan aku! Lepaskan aku dari sini! Bantu aku keluar! Siapa pun, aku mohon!” teriak pengendali waktu dengan parau. Suaranya nyaris habis karena ia terus berteriak tanpa henti. Tanpa ada seorang pun yang mendengar atau peduli padanya.

“Kau lupa suaraku?” tanya Seishin lagi.

“Kau? Grey? Untuk apa kau kemari, keparat! Akan kubunuh kau kalau aku bisa keluar dari sini!” teriak Tao penuh amarah.

Seishin mendecakkan lidah. “Kau ini—menyedihkan sekali. Aku mau membantumu dan kau mengataiku keparat. Itu sungguh tak sopan.”

“Persetan denganmu! Aku akan membunuhmu, Grey! Dan, membantuku? Jangan bercanda! Aku tak butuh bantuanmu!” Ditolaknya mentah-mentah bantuan dari orang kepercayaan Erebos itu.

“Kau ini polos sekali, Tao ya. Aku benar-benar berniat membantu. Mengeluarkanmu dari penjara. Membantumu menyelamatkan pengendali cahaya. Bukankah itu yang kauinginkan?” tawar Seishin lagi.

“Omong kosong! Bagaimana aku bisa percaya pada tangan kanan Erebos, eoh? Aku tak sebodoh itu memercayaimu!”

Seishin mulai malas berdebat dengan pengendali waktu. Suaranya berubah jadi lebih kasar. “Dengarkan aku! Persetan denganmu juga! Terserah kau percaya padaku atau tidak! Aku berniat membantumu dan itu tak gratis! Kau harus melakukan satu hal untukku! Kalahkan Erebos! Hanya itu syarat yang kuajukan! Aku baru saja membangunkan jiwa pengendali cahaya, meskipun aku tak bisa mengeluarkannya saat ini. Percaya atau tidak—itu urusanmu! Tapi, pikirkan baik-baik. Sampai kapan kau bisa bertahan? Sampai mati dan membusuk di situ? Lalu, kau akan membiarkan pengendali cahaya terjebak di sana selamanya? Bagaimana dengan pengendali lain? Haruskah mereka berjuang sendiri dan kalah melawan Erebos karena dua pengendalinya telah mati? Apa kau ingin dunia ditelan kegelapan? Kau ingin itu terjadi?”

Tak ada jawaban. Tao sedang mencerna perkataan Seishin. Ia tak mau itu terjadi. Tapi, mengapa Seishin melakukan itu? Dan, mengapa ia tampak bersikeras membantunya? Apa ia bisa memercayai Seishin? Apa ini bukan jebakan?

“Aku hanya berpura-pura selama ini! Aku pun punya dendam mendalam pada Erebos. Dan, aku melakukan semua ini untuk balas dendam. Bagaimana? Tertarik? Hanya aku yang bisa membantumu sekarang. Terima saja!”

Masih tak ada jawaban. Seishin mulai lelah menunggu. Kalau Tao tak bisa membantu, maka ia harus mencari jalan lain. Dan, Seishin yakin itu tak akan mudah. Pemuda bertudung abu-abu menghela napas panjang, menarik punggungnya dan bersiap menjentikkan jari—menghentikan jurus penghalangnya, saat terdengar suara dari dalam penjara.

“Aku tak bisa percaya sepenuhnya padamu. Tapi, mungkin ini satu-satunya cara untuk bisa keluar dari sini dan menebus segalanya. Jadi, katakan, apa rencanamu? Tapi, dengarkan aku, Grey. Kalau kau sampai berbohong, aku akan mengirimmu ke neraka dengan tanganku sendiri. Camkan itu!” ancam Tao.

Seishin menyeringai. Rencananya akan berjalan lancar. Ia akan segera menghancurkan Erebos dengan bantuan dari para pengendali. Pemuda tanpa ekspresi itu kembali menyandarkan punggungnya. “Kau membuat keputusan tepat, Saudaraku. Jadi, begini rencanaku—”

.


.

Ini hari ketiga sejak Xiumin dan Kai kembali ke desa dan bebas dari kendali. Semua luka pengendali sudah sembuh. Lay dan Zoe telah bekerja keras menyembuhkan mereka. Sekarang, Xiumin dan Kai tampak tengah berbincang dengan Chanyeol. Ya, sama seperti Luhan dan Sehun, penyesalan yang begitu dalam mereka rasakan.

Kai terlihat paling tertekan melihat keadaan Chanyeol. Bagaimanapun, ia sudah sangat keterlaluan. Tak pantas ia jadi seorang pengendali. Ia begitu kejam dan beringas kala menyerang pengendali lain—terutama ketika berhadapan dengan pengendali api.

Tidak. Kai tak bisa memaafkan dirinya sendiri. Muak dan benci ia pada dirinya. Dengan tangannya, Kai nyaris membunuh hyung yang selalu membanggakannya itu. Dengan mulutnya, ia telah melukai hati hyung yang sering membuatnya tertatwa. Karena dirinyalah, keadaan jadi seperti ini. Semua salahnya.

Ia tak bisa dimaafkan. Ia tak mau dimaafkan. Ia tak pantas dimaafkan. Itu perkataan yang selalu Kai ulang setiap saat. Namun, Kris menegaskan tak boleh ada lagi penyesalan. Jika merasa bersalah, Kai harus berusaha membuat Chanyeol bangun. Ia harus berbagi hal positif dan menyingkirkan semua perasaan negatif. Memang berat, namun ia harus melakukannya. Chanyeol harus dibawa kembali. Dan dengan bantuan Zoe dan dukungan pengendali lain, Kai pun bisa melakukannya.

Xiumin dan Kai pun telah bertemu sang Dewi Kehidupan. Xiumin menceritakan semua yang ia tahu—terutama percakapan Baekhyun yang telah diambil alih dengan Seishin. Semua mendengarkannya baik-baik dan berusaha menarik sebuah kesimpulan. Meskipun, mereka tidak tahu apa kesimpulan itu benar adanya.

Semenjak kembali—seperti saat ini, Xiumin dan Kai menghabiskan waktu untuk mengajak Chanyeol bicara. Penuh harapan, mereka terus berbicara—mengesampingkan rasa bersalah mereka. Sekarang, pengendali api butuh rasa percaya dan harapan. Dengan begitu, ia akan bisa kembali.

Kuncup di sepanjang sulur mulai banyak dan membesar. Tinggal sedikit lagi, semuanya akan mekar dan memperlihatkan bunga yang sangat indah. Sebentar lagi. Ya, tinggal sebentar lagi. Pengendali api telah berjuang keras. Semua dukungan dari sahabat yang tak pernah meninggalkannya membantu Chanyeol untuk terus berjuang. Ya, pengendali api telah memutuskan untuk kembali. Ia harus bangun dan menghadapi takdir yang sesungguhnya. Ia harus menyelesaikan apa yang harus ia selesaikan.

Kali ini, Xiumin bercerita tentang keadaan terakhir Baekhyun kala ia meninggalkan Sinister Kingdom. “Chanyeol ah, percayalah, Baekhyun tak akan meninggalkanmu. Dia telah diambil alih Erebos. Cepatlah kembali. Bukankah kau harus menjemputnya? Apa kau tak kasihan padanya? Baekhyun pasti kesepian, Chanyeol ah. Dan Tao, aku tak tahu persis alasan mengapa dia melakukan semua ini. Yang pasti, semua ini rencana Erebos. Bangun. Bangun, Chanyeol ah. Ayo, kita jemput Baekhyun dan Tao. Kita selesaikan semuanya. Tinggal kau, Baekhyun dan Tao—kita akan kembali lengkap. Bangunlah, Dongsaeng.”

Xiumin terus berbicara tentang Baekhyun. Dan, itu sangat efektif. Setiap mereka berbicara tentang pengendali cahaya, sulur tumbuh dan berkembang dengan cepat. Semua luka di tubuh Chanyeol sudah nyaris sembuh sempurna. Begitu pun dengan luka bekas tusukan Baekhyun. Mungkin hanya tersisa bekasnya saja.

“Chanyeol ah, Baekhyun—” Xiumin berhenti berbicara. Sebuah kejadian membuatnya terhenyak. Kai juga melakukan hal yang sama.

“Chanyeol Hyung—”

Sebuah perasaan bahagian menelusup dan senyuman terkembang. Apa ini keajaiban?

“Kai ya, panggil yang lain! Katakan kala Chanyeol akan segera bangun!” teriak Xiumin. Tak bisa ia menyembunyikan buncahan perasaan bahagianya.

Kai mengangguk dan segera berteleportasi memanggil yang lain.

Ya, sebuah kejadian membuat mereka bahagia. Tangan Chanyeol bergerak! Ya, sudah saatnya, pengendali api bangun dari tidur panjangnya. Chanyeol akan segera kembali!


TO BE CONTINUED

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!
chachamariditha
Well, I posted Chapter 6 here *and other sites*! If you want to read the next chapter, you can visit my wordpress. Kekeke

Comments

You must be logged in to comment
Sky_Wings
#1
❤_❤
drnewbie #2
Wow genre favorite ini haha, pas baca fereword nya jdi tertarik sendiri haha, oke i'll begin to explore and hopefully to find a lot of 'awesome' things later, ya dan kayanya dalam 1 jam kedepan bakal selesai sampai chapter terakhir yang di update haha
PCY92BH #3
Hey you! I knew you haha cerita ini pernah aku baca di screenplays (kalau tdk salah) dan ini cerita dewa banget. Semangat terus ya, jangan patah semangat seperti yang tahun lalu kkk~
HaeHunUp
#4
Chapter 6: eonni dimana" ada. ga sabar nunggu ch 17 apa 18, lupa ._.
cepat kembali eonni ~~
AWPark #5
Chapter 5: Lanjut dong min...