Chapter 9 - Foul is Fair
Time Works Wonders
Changmin mengetukkan jari-jarinya di kemudi. Ketukan di dalam dadanya bahkan lebih keras. Di depan, ia melihat sebuah papan nama sebuah bar yang menyala terlalu benderang untuk matanya. Menjadi tanda yang jelas bahwa ia tidak salah menghentikan mobilnya di depan tempat itu. Changmin memandangnya lama sekali. Menunggu hingga sugesti-sugesti positif yang ia tujukan untuk dirinya sendiri meresap dan dengan demikian ia dapat melepaskan tangannya dari kemudi dan membuka pintu mobilnya tanpa merasa ragu.
Di dalam bar itu, secara mengejutkan, tidak ada satu orang pun. Changmin mengedarkan pandangannya ke seluruh pojok ruangan, kedua tangannya terkepal, mengantisipasi sesuatu.
“Akhirnya,” kata seseorang yang tiba-tiba muncul dari pintu belakang. Changmin mengerutkan keningnya ketika berhasil melihat orang itu dengan jelas di dalam keremangan ruangan. “Shim Changmin, kau datang.”
Orang itu berjalan hingga sampai pada meja paling tengah dan menarik sebuah kursi. “Tidak keberatan untuk duduk di sini?” tanyanya.
Changmin menatap orang itu sejenak. Kedua kepalan tangannya ia lepaskan perlahan-lahan dan dengan perlahan pula kedua sudut bibirnya ia kembangkan. “Tentu,” jawabnya sebelum melangkah dan duduk di kursi yang telah disediakan untuknya.
Donghae duduk di seberang. Raut mukanya masih sama seperti pertama kali mereka bertemu. Selalu menebarkan senyumnya. Cara yang ia lakukan untuk meyakinkan orang di dekatnya bahwa tidak ada yang perlu dikhawatirkan tentang dirinya. Namun Changmin tak dapat melepaskan pengawasannya.
“Aku merasa senang kau mau meluangkan waktu untuk bertemu denganku,” ucap Donghae. “Aku sengaja membersihkan bar ini dari orang-orang. Demi kedatanganmu malam ini. Bagaimana menurutmu?”
“Benarkah? Berapa jumlah yang harus kaukeluarkan untuk menyewa tempat ini?” balas Changmin sedikit bercanda, berusaha untuk mengulang kembali suasana santai yang mereka ciptakan saat pertama kali bertemu di pesta pernikahannya.
“Untungnya, aku tidak perlu mengeluarkan uang seperserpun.” Donghae menggerak-gerakkan tangannya. “Aku memiliki tempat ini.”
Changmin memandang dengan seksama. “Benarkah?” tanyanya tanpa ekspresi terkejut. “Apakah tidak apa-apa? Kau tidak seharusnya melakukan ini untukku.”
“Kenapa tidak? Untuk seseorang yang spesial seperti dirimu, aku harus memberikan perlakuan spesial juga.”
Changmin memaksakan sebuah senyum untuk menanggapinya. Donghae menjetikkan jari-jarinya untuk memanggil pelayan yang yang membawakan mereka satu botol red wine dan menuangkannya ke dalam dua gelas wine mereka.
“Jadi,” lanjut Donghae. “Kau tahu siapa aku?”
Changmin menatap kedua mata Donghae tanpa ekspresi yang berarti.
“Mungkin,” jawab Changmin. “Tujuanku kemari adalah ingin mendengarnya dari mulutmu sendiri.”
Donghae mengangkat kedua alisnya. “Tunggu hingga aku menjabarkan maksudku mengundangmu kemari.”
Orang itu mulai menanggalkan kesan yang ia tampakkan sebelumnya. Yang ada di hadapannya sekarang bukan lagi orang yang pernah ia temui. Wajahnya penuh dengan tujuan-tujuan yang terencana. Changmin dapat membacanya dengan jelas.
“Siapa mereka?” Changmin memandang ke sekeliling mereka dengan kedua matanya.
Donghae mengikuti arah pandangan Changmin. “Oh, mereka adalah orang-orang yang akan melakukan apa saja yang kuperintahkan.” Kedua sudut mulut Donghae terangkat. “Namun tenang saja. Mereka tidak akan membunuhmu. Tidak tanpa perintahku, tentu saja.”
Changmin menangkap sebuah ancaman dalam kalimat Donghae. “Apa yang kauinginkan?”
“Sederhana,” ucap Donghae. “Aku hanya menginginkan sebuah dokumen. Untuk mendapatkannya, aku membutuhkanmu.”
“Dokumen apa?”
“Dokumen bukti yang sekarang dipegang oleh Yunho.” Donghae berhenti untuk melihat reaksi Changmin dan melanjutkan saat tatapan Changmin menuntut penjelasan. “Anak itu bermaksud untuk menjatuhkanku. Jika dokumen itu ia salahgunakan, tidak hanya akan merugikanku, tapi akan merugikan seluruh anggota kami,” kata Donghae dengan tubuh condong ke depan.
“Lalu?”
“Dokumen itu berisi catatan-catatan penting yang dapat membuktikan banyak hal.”
“Jika aku mendapatkan dokumen itu, apa yang akan kaulakukan?”
“Aku bisa melakukan apapun,” jawab Donghae. “Lagipula, aku mempunyai catatan hitam perusahaan Yunho. Jika aku mendapatkan kembali dokumenku yang terakhir itu, tidak ada yang perlu dikhawatirkan lagi.”
“Kau akan mengancam Yunho setelah itu?”
Donghae menyeringai. “Aku bisa melakukan apapun jika aku mau.” Wajah Donghae penuh dengan keangkuhan. “Termasuk memutuskan ikatan kalian yang hanya berdasarkan pada bisnis itu.”
Changmin memicingkan kedua matanya. “Apa maksudmu?”
Kali ini Donghae tertawa lepas, membuat sesuatu dalam diri Changmin mulai tidak ramah dalam memandang Donghae.
“Aku mengetahui apapun, Changmin. Lebih dari yang kau tahu.” Donghae mengisap wine-nya sejenak. “Kau harus bekerjasama denganku.”
“Kenapa harus aku?”
“Karena kau adalah satu-satunya orang yang tinggal dengan Yunho sekarang.”
Changmin terdiam.
“Pikirkan baik-baik. Jika kau berhasil mendapatkan dokumen bukti itu, aku akan membantumu untuk menjadi bebas lagi, tanpa ikatan pernikahan dengan Jung Yunho dan keluarganya. Setelah itu, aku pastikan perusahaan ayahmu akan terlepas dari Jung Corporation dan akan berdiri kembali, jauh lebih baik daripada sebelumnya. Aku bahkan lebih dari mampu untuk membangun lima perusahaan sekaligus.”
“Jujur, bantuanmu sangat menggiurkan,” komentar Changmin dan hanya menggantung di sana karena jujur saja tawaran Donghae membuatnya berpikir dua kali.
“Jadi?”
Dengan sikap tenang, Changmin hanya memberikan sebuah senyum sebagai jawaban untuk mengatasi kerumitan konflik batinnya.
“Aku harap kau dapat memutuskan di pihak mana kau akan bersanding. Kau cukup cerdas untuk memutuskan, aku rasa.”
Changmin menggelengkan kepalanya dan terkekeh. “Aku tidak mengenalimu sebagai salah satu anggota keluarga Jung, terlebih lagi kakak laki-laki Yunho. Mengapa saling bersaing dan menjatuhkan, saat kalian dapat bersatu dan hidup dengan tenang tanpa harus menyusahkan orang lain seperti ini?”
“Karena Yunho tidak pernah satu pikiran denganku,” jawab Donghae. “Kau bisa memandangnya seperti apapun, tapi kau lihat sendiri, Yunho menggunakanmu sebagai alat untuk mencapai tujuan liciknya. Bukan dia yang seharusnya menduduki kursi itu, tapi aku.”
“Kalian memperebutkan jabatan?” tanya Changmin tidak habis pikir.
“Tidak. Tapi aku yakin Yunho mempunyai andil besar dalam menghasut pemilik perusahaan untuk mengubah surat wasiat.”
Dengan informasi-informasi sementara yang ia dapat dari Donghae, garis kepercayaannya terhadap Yunho semakin buram, namun di sisi lain ia tidak dapat mempercayai Donghae sepenuhnya.
“Sampai kapan kalian akan seperti ini?”
Donghae meneguk red wine-nya tanpa sisa. “Sampai aku bisa menjatuhkannya.” Dan meletakkan gelasnya dengan keras di atas meja.
Ada satu tarikan terlewatkan dalam nafasnya setelah Donghae mengatakan itu. Entah karena cara Donghae yang begitu yakin mengatakannya, atau karena ia mulai takut dengan ambisi kedua orang yang ingin saling menjatuhkan itu. Ia sadar kali ini ia dilibatkan lagi dalam sebuah permainan. Permainan yang hanya keluarga Jung mainkan.
“Benar-benar ambisi yang berbahaya,” komentar Changmin. “Tapi aku tidak berminat untuk menjadi kambing hitam. Kau salah memilih orang.” Changmin berdiri dari kursinya dan memandang Donghae selama beberapa detik. “Aku sudah mendapatkan jawabanku. Jika tidak ada hal penting lain yang ingin kausampaikan, aku pergi.”
Changmin memutar tubuhnya, memunggungi Donghae, dan berjalan beberapa langkah sebelum kedua penjaga Donghae menghalangi jalannya tepat di depan wajahnya.
“Oh jangan terburu-buru memutuskannya, Adik Ipar.” Donghae bersuara di belakang punggungnya. “Atau aku akan bernegosiasi dengan ayahmu, sebagai rencana B.”
+++
“Aku sudah mendapatkan bukti lain yang ia simpan di kantornya. Untuk dokumen yang kumaksud kali ini, aku rasa ia menyimpannya di rumah.”
Tangan Changmin menyapu setiap sudut rak yang ada di ruang kerja Yunho di rumah mereka. Sudah bermenit-menit ia mencari dan segala kecermatan yang ia lakukan tidak membuahkan hasil.
Suara-suara di kepalanya terus berteriak kepadanya untuk mencari dengan lebih cermat lagi, namun deru jantungnya yang sangat keras hingga terdengar kedua telinganya sendiri membuatnya terganggu. Berkali-kali ia membasahi tenggorokannya yang kering.
“Yang harus kaulakukan hanyalah mengambil dokumen itu.”
Nafasnya mulai memburu seiring dengan peluh yang perlahan-lahan terbentuk di dahinya.
“Begitu kau menemukannya, yang harus kaulakukan hanyalah menunggu.”
“Menunggu apa?”
“Menunggu masa kebebasanmu saat perusahaan mereka hancur.”
Changmin mengutuk dengan suara keras di ruangan itu. Kepalanya terus memutar perkataan Donghae dan semakin ia mengingatnya, semakin keras usaha jantungnya untuk mendobrak tulang rusuknya.
Matanya beralih ke jam dinding yang berdetak, menginterupsi keheningan di saat adrenalinnya mulai meningkat. Hampir tengah malam dan tidak ada tanda-tanda yang menunjukkan mobil Yunho telah memasuki pekarangan. Jujur ia sangat lega.
Changmin hendak melanjutkan ketika ponselnya berdering tiba-tiba, membuatnya menjatuhkan beberapa lembar kertas. Ia memungutnya sebelum menatap layar ponselnya untuk memastikan siapa yang menghubunginya.
“Changmin, ini aku.”
“Yoochun!” seru Changmin sambil menyapu rambutnya ke belakang. “Dari mana saja kau?”
“Apa yang sedang kaulakukan? Kau terdengar tidak santai.”
Changmin menelan ludahnya dan mengatur nafas.
“Hanya membereskan ruangan.” Changmin berbohong. “Di mana kau sekarang?”
“Di luar,” jawab Yoochun. “Di depan rumahmu.”
“Apa?! Kau bercanda?”
“Tidak. Datang kemari dan temui aku.”
Kaki Changmin tidak sabar untuk berlari keluar dari ruangan kerja Yunho dan menuruni tangga dan bahkan tidak berhenti saat ia membuka pintu karena tangan Changmin setengah mendobraknya. Efek dari kepanikan sekaligus kelegaan yang dirasakannya.
“Mengapa kau kemari?” adalah sambutan Changmin pertama kali saat ia melihat Yoochun melambai di depannya. “Apa kau gila? Yunho bisa saja pulang sewaktu-waktu dan jika ia melihatmu –
Comments