Chapter 3 - Only Tonight
Time Works WondersChapter 3
~Only Tonight~
Changmin membuka pintu dengan lesu. Di ambang pintu ia mencium sesuatu yang ia kenal, namun ia tidak terlalu memedulikannya, berpikir bahwa otaknya menangkap hal-hal yang tidak seharusnya. Mantel hangatnya tidak melindunginya lagi dari dingin karena hujan baru saja membuatnya basah kuyup. Sudah dini hari dan ia baru pulang dari sebuah bar.
Bukan suatu kebiasaan Changmin pergi minum di bar, apalagi yang penuh sesak dengan berbagai macam manusia sosialita yang ternyata lebih brengsek dari para penghuni kolong jembatan. Bukan salahnya pula jika pakaiannya menempel dengan erat di tubuhnya, mengundang beberapa hidung belang untuk mendekat, meskipun ia – sama sekali – tidak sengaja berpenampilan basah sedemikian rupa. Rambutnya berantakan, dan kakinya tidak begitu kokoh menahan beratnya akibat perjalanan jauh menuju bar.
Ketika ia sudah berada di dalam apartemen miliknya, bau harum itu semakin menguat. Dan betapa terkejutnya ia saat mendapati seseorang berdiri di depan pintu kamarnya, kedua tangan di dalam saku jaketnya. Changmin berpendapat bahwa dirinya masih berada di bawah pengaruh alkohol, namun bahkan otaknya masih bisa berpikir dengan rasional.
“Baru pulang?” kata orang di ambang pintu dengan suara sedang, namun berat, seperti biasa.
Changmin mengerutkan dahinya. Walaupun demikian, perasaan senang itu perlahan muncul. “Park Yoochun?”
“Siapa lagi?”
Otaknya tidak berhalusinasi.
Changmin tersenyum dengan lebar dan berjalan terhuyung-huyung ke arah Yoochun. Saat berada di depannya, ia dengan tidak sengaja mendorong Yoochun hingga punggungnya membentur pintu kamarnya karena ia terlalu bersemangat untuk memeluknya.
“Kau pergi terlalu lama.”
“Aku merindukanmu.”
Mereka berdua melepaskan pelukan bersamaan, lalu saling melemparkan sebuah senyuman.
“Tapi kau tidak terlihat begitu senang?”
Changmin menggelengkan kepalanya. “Tentu saja aku senang. Bodoh kau.” Sebisa mungkin ia tidak memikirkan apa yang baru saja terjadi. “Aku hanya terkejut. Kau tidak memberitahuku terlebih dahulu.”
“Um, aku harus kembali secepatnya, sekaligus memberimu kejutan seperti ini.” Yoochun menimpali sambil tersenyum, namun berubah serius dalam hitungan detik. “Apa yang terjadi?” tanyanya tiba-tiba.
“Apa?”
“Bajumu dingin dan basah.” Yoochun memutar-mutar jari telunjuknya di atas kepala Changmin. “Ceritakan apa yang membuatmu seperti ini. Ada masalah serius?”
Yoochun masih mencoba mengejarnya untuk mengatakan sesuatu, Changmin tahu itu. Kemudian ia teringat sesuatu. Changmin buru-buru menyembunyikan tangan kirinya ke belakang, berharap Yoochun tidak akan melihat cincin yang melingkar di jari manis kirinya. Terlanjur panik, mulutnya terbata dan hanya membuatnya terlihat lebih kacau di depan Yoochun.
“Aku bisa mencium sisa alkohol,” ujar Yoochun lagi tanpa menunggu jawaban Changmin.
“Y-ya.” Changmin mengatur nafasnya sejenak. Kemudian ia memaksakan sebuah senyum. “Aku hanya perlu pelampiasan untuk menghilangkan kebosananku karena kau pergi.”
Yoochun tertawa kecil.
“Aku senang kau kembali lebih cepat.” Changmin bergerak ke depan untuk memeluk Yoochun lagi. Tangannya melingkar dengan erat di sekitar tubuh Yoochun, dan diam-diam melepas cincinnya di belakang punggung Yoochun.
“Tenang saja. Aku di sini sekarang,” kata Yoochun manis.
“Hm.” Changmin menggumam. ”Kau di sini."
“Merasa lebih baik sekarang?” tanyanya.
“Sangat.” Changmin mengerutkan dahinya. “Jangan bilang kau hanya pulang sebentar dan akan pergi lagi.”
Yoochun mengusapkan telapak tangannya di punggung Changmin. “Tidak. Untuk sekarang.”
Changmin tidak terlalu mengambil hati perasaan bersalah dalam nada bicara Yoochun. Di sinilah ia berdiri, di dalam pelukan kekasihnya sembari menggenggam cincin tunangannya dengan orang lain. Ya, Changmin tidak perlu mengambil hati permintaan maaf Yoochun yang tersirat.
Yochun melepaskan pelukannya.
"Kau menggigil. Ganti bajumu dan beristirahatlah."
+++
“Aku sudah mempunyai kekasih, Yunho.”
Sesaat setelah kata-kata itu keluar, hujan sepertinya ingin menambah suara ribut dalam kepalanya. Menghantam seluruh permukaan mobil tanpa jeda, menghempas ke jendela di sampingnya, seolah meminta izin untuk masuk menerkamnya.
Mata Yunho, terlebih lagi, menusuk miliknya. Tangannya memelintir setir kemudi lebih erat. Ketegangan menggerogoti setiap sel dalam tubuh Changmin.
“Apa katamu?” tanya Yunho.
“Aku...sudah mempunyai kekasih.”
Changmin merasa sangat kecil di bawah tatapan menghakimi milik Yunho. Terlihat sekilas keraguan di mata nyalangnya yang membaur dengan kegelapan, menjadikannya lebih mengintimidasi. Changmin dapat merasakan bahwa Yunho geram. Sangat geram hingga ia bergidik.
“Aku tidak bisa menyimpan ini lebih lama lagi. Sebelum kita berjalan terlalu jauh.” Changmin memberikan tatapan memohon. Yunho mengalihkan pandangannya. Rahangnya terlalu rapat dikatupkan. “Aku harus mengatakan sekarang, atau tidak pernah sama sekali.”
Yunho terdiam lama. Changmin menunggu dalam kekhawatiran. Hanya suara hujan yang dapat ia dengar.
“Kau marah?” tanya Changmin ingin memastikan.
Yunho memejamkan matanya sejenak sebelum menarik nafas panjang dan menghelanya.
“Katakan sesuatu,” pinta Changmin. Keheningan Yunho sangat membuatnya resah sekarang. “Apapun.”
Changmin mendesah panjang karena Yunho tidak kunjung berucap.
“Aku ingin kau mempertimbangkan pernikahan ini, Yunho. Kau tahu sekarang mengapa kita tidak bisa bersama.”
“Kau pikir dengan pengakuan ini aku akan membatalkan pernikahan?” Yunho akhirnya mengatakan sesuatu. "Kau menyetujuinya, kau ingat? Untuk itu kau datang kepadaku waktu itu."
“Aku tahu," ucap Changmin menyesal. "Tapi selagi belum terlambat, kau bisa membatalkannya.” Changmin menatap cincin di jarinya.
“Aku membatalkan pernikahan ini dan perusahaan ayahmu jatuh. Itu yang kauinginkan?” Yunho membalas dengan kejam. Helaan nafas Changmin tersangkut di tenggorokannya. “Itu sangat mudah.”
“Apa kau mengancamku?”
“Aku memberitahumu tentang kenyataan yang bisa saja terjadi.”
Hampir saja Changmin bergelung dalam kengerian saat Yunho mengatakannya dengan penekanan yang kental sebelum ia berhasil mengatur posisi duduknya lagi.
“Kita bisa membuat kontrak. Kita melakukan pernikahan kontrak.” usul Changmin. Ia tahu ia memikirkannya dengan tergesa-gesa tanpa memikirkannya terlebih dahulu, namun tidak ada opsi yang lebih memberikan peluang daripada itu.
“Jangan memasukkan ide-ide konyol ke dalam kepalaku.” Yunho merespon dengan suara geram. “Apa kau ingin menjual dirimu sendiri? Jika kau ingin bermain-main, jangan harap aku akan mengikuti semua taktikmu.”
Dalam sesaat, Yunho berhasil menunjukkan betapa gegabahnya dirinya. Ia segera pulih dan menepiskan sejenak harga dirinya. “Hanya ini yang bisa kulakukan. Tolong mengertilah. Aku tidak ingin meninggalkannya begitu saja.”
“Lalu bagaimana denganku?”
“Maksudmu jabatanmu? Kau tidak akan diturunkan bahkan setelah kita memutuskan untuk berpisah. Kau tidak akan kehilangan hal berarti saat itu terjadi.”
“Kau berpikir ini semua hanya tentang karirku?” Tanggapan Yunho semakin tidak ramah.
“Tolong, Yunho. “
“Keluar.”
“Yunho!”
“Aku bilang keluar!”
Changmin melebarkan matanya. “Kau tidak serius.”
“Aku serius. Keluar sekarang dari mobilku.”
“Apa-apaan kau?”
“Keluar sekarang.” Yunho mempertegas kata-katanya. “Jangan membuang waktuku.”
Changmin membeku di tempatnya duduk. Ia tahu jika ia tetap berada di dalam mobil, harga dirinya akan tambah terluka lagi. Yunho, di sisi lain, tidak ingin memperbaiki suasana. Changmin menunggu selama 30 detik yang mencekam, menunggu jika saja Yunho ingin menarik kata-katanya. Ketika tidak ada yang bisa ia tunggu lagi, Changmin membuka pintu mobil dan turun.
“Kau benar-benar tidak punya hati," ucapnya di bawah guyuran hujan yang kini mulai membasahi rambutnya.
Yunho menginjak pedal gas dengan segera setelah ia menutup pintu. Orang itu melaju kencang dan tidak berhenti. Rintik deras hujan semakin membuat kepalanya sakit. Dingin tidak tanggung-tanggung menjalar ke seluruh tubuhnya. Mantel yang ia kenakan mulai terasa berat tertekan hujan.
Ia berjalan kemanapun kakinya akan membawanya. Sebuah bar menantinya untuk melupakan masalahnya sejenak dan terutama, melupakan bagaimana Yunho meninggalkannya di jalanan itu tanpa melihat ke belakang. Harga dirinya terluka.
+++
“Ada rencana untuk hari ini?” Yoochun bertanya. Rambut basahnya terlihat mengkilap di bawah sinar mentari yang menerpa jendela kamar Changmin yang lebar.
“Mmm...” Changmin berpikir sejenak. “Aku tidak akan di rumah hingga siang.”
“Ke mana?”
“Ke rumah sakit,” jawabnya jujur. “Menjenguk ayah temanku yang sedang sakit." Kali ini sebuah kebohongan.
“Benarkah? Perlu aku temani?”
Changmin mendadak panik. “Tidak perlu,” ucapnya terbata. “Aku akan ke sana sendiri. Kau harus pergi. Kau bilang ada urusan pekerjaan hari ini?”
Yoochun mengangkat kedua alisnya. “Apa kau baru saja memaksaku untuk pergi?” candanya.
“Memaksa? Bukankah kau suka sekali bekerja dan selalu saja bepergian selama ini?”
“Apakah itu sebuah sindiran?”
“Bukan. Sebuah pujian,” ucap Changmin ketus.
“Baiklah, terima kasih.” Yoochun memperbaiki letak handuk yang tersampir di pinggangnya. Changmin memberikan sebuah tatapan.
“Kau bisa terlihat masa bodoh dengan itu, Yoochun. Tapi jangan pikir kau akan lolos dari pukulanku sebentar lagi.”
Changmin beranjak maju dan meninju bahu Yoochun berkali-kali dengan tidak lembut. Yoochun mengaduh kesakitan.
“Untuk apa itu?” Mata Yoochun melebar.
“Untuk malam itu ketika aku berlari-lari ke Namsan Tower!” Changmin menunjukkan kekesalan yang beralasan kali ini. "Aku belum memberimu pelajaran untuk yang satu itu."
“Ah!” Yoochun menyadari dengan cepat dan memasang wajah bersalahnya. “Maafkan aku, sweetheart. Aku benar-benar harus segera pergi saat itu.”
“Coba lebih keras lagi.” Changmin beranjak dari tepi tempat tidur dan segera mengambil handuk untuk kemudian masuk ke kamar mandi sebelum Yoochun mengejarnya dengan seribu permintaan maaf yang terlalu didramatisir.
+++
Changmin lega Yoochun tidak mencurigainya. Ia juga lega Yunho tidak menjemputnya di apartemen. Dan lebih tepat lagi, ia lega karena tidak mendapati Yunho di rumah sakit.
Mungkin orang itu masih marah. Kemungkinan besar ia tidak ingin melihat Changmin karena pengakuannya yang mendadak malam itu. Changmin tidak menyesal mengatakannya. Ia pun tidak ingin menyembunyikan kenyataan itu lebih lama lagi meskipun itu akan membuat keadaan mereka lebih canggung lagi dari sebelumnya. Jika memang Yunho masih menyimpan dendam untuknya, itu sama sekali bukan urusannya.
“Kau datang sendiri?” tanya Tuan Jung saat Changmin menata bunga yang baru saja ia bawa. “Di mana Yunho?”
“Aku sengaja datang lebih awal,” jawab Changmin. “Yunho sedang sibuk, jadi aku datang sendiri, Abeonim.”
“Maaf karena anak itu suka sekali bekerja. Apa kau menyadari matanya yang perlahan membengkak karena kurang tidur?” Tuan Jung tertawa lemah. "Aku merasa bersalah kepadanya."
“Yunho terlihat sangat lelah setiap hari,” komentar Changmin menyetujui.
“Apa yang terjadi?” tanya Tuan Jung tiba-tiba. Changmin tahu cepat atau lambat Tuan Jung akan menyadari ada sesuatu yang salah di antara mereka berdua, namun Changmin tidak ingin mengatakannya sekarang kepadanya. Cukup kepada Yunho. Ia tidak ingin memperumit keadaan.
“Tidak ada masalah,” jawab Changmin. “Semuanya masih baik-baik saja. Abeonim tidak perlu khawatir.” Ia berusaha menenangkan Tuan Jung.
Tuan Jung hanya mengangguk, meskipun Changmin tahu kata-katanya tidak begitu memberikan pengaruh sebaliknya kepada Tuan Jung.
“Aku tahu tiduran di ranjang rumah sakit setiap hari sangat memuakkan,” sambung Changmin saat mendapati raut wajah Tuan Jung yang tidak bersemangat. “Aku sudah meminta izin dokter. Kita bisa menghirup udara segar di luar.”
Seketika, dua sudut bibir Tuan Jung terangkat.
Changmin tersenyum melihat perubahan itu. Dengan bantuan kursi roda, Changmin membiarkan Tuan Jung sekali lagi menatap birunya langit dan menghirup udara sebebas-bebasnya.
“Syukurlah tidak ada Sooyeol ataupun Yunho kali ini.”
Changmin menghentikan kursi roda dan memosisikannya dengan baik sebelum ia sendiri duduk di bangku taman.
“Kenapa?”
“Karena mereka tidak pernah mengizinkanku keluar ruangan.”
“Benarkah? Apa aku telah melakukan kesalahan sekarang?”
“Tidak. Aku suka menghabiskan waktu di luar. Ini membuatku
Comments