Chapter 7 - The Dark Horse
Time Works Wonders
“Hyung tidak bisa menemuimu.”
Yunho mengambil napas.
“Hyung tidak bisa menemuimu.”
Ia menghembuskannya.
“Hyung?” bisiknya.
Segera setelah Changmin masuk ke dalam dan membanting pintu di belakangnya, segala rasa bersalahnya meleleh seiring dengan kepalanya yang mulai berspekulasi tidak menentu. Sebagian besar karena satu orang yang tiba-tiba terlintas di pikirannya.
Hyung.
Yunho menggerakkan kakinya, membuka pintu, dan mendapati Changmin sedang mencari-cari sesuatu di almari pakaiannya.
“Aku masih belum selesai bicara,” katanya dengan penuh urgensi. Ia menunggu beberapa saat. Changmin tidak menggubrisnya.
“Aku perlu bicara denganmu. Sekarang,” ulangnya.
“Apa lagi?” Changmin berseru tanpa memperhatikan Yunho sedikitpun. “Kau sudah mendapatkan apa yang kau mau di luar tadi, Jung Yunho. Lebih dari cukup!”
“Dengarkan dulu.”
“Berapa kali perlu kukatakan aku tidak mengenalnya?” Changmin melayangkan tatapan kesalnya kepada Yunho. “Kau membuat segalanya menjadi lebih buruk, aku tidak sedang ingin berbicara denganmu.” Changmin menemukan benda yang ia cari-cari. Ia mengenakan mantelnya dengan segera.
“Mau kemana kau?”
“Keluar.”
“Apa?” Yunho terkejut. “Ini sudah terlalu malam.”
“Tidak peduli,” balas Changmin singkat.
“Mereka akan tahu.”
“Akan kupastikan tidak ada yang tahu.” Changmin berjalan menuju ke pintu sambil mengancingkan mantelnya.
“Tidak bisakah kau tinggal malam ini?” Pertanyaan Yunho membuatnya berhenti sejenak di depan pintu. Bagaimanapun Changmin ingin memutar tubuhnya dan tidur saja, meluruhkan seluruh rasa lelahnya hingga esok hari yang ada di pikirannya hanyalah jejak semu hari ini yang tidak akan membuat kepalanya serasa ingin pecah, tetapi...
“Tidak bisa,” jawabnya.
Changmin bahkan tidak menunggu reaksi Yunho ataupun melihat ke belakang saat ia keluar dari kamar mereka.
“Yeoboseyo.”
“Hm?”
“Maaf aku mengganggumu malam-malam. Aku ingin bertemu denganmu. Di tempat biasa.”
+++
“Aku tiba lebih dulu,” ucap Yoochun, wajah memerah akibat dingin.
Yoochun hanya mengenakan jaket yang tidak terlihat memuaskan untuk menahan hawa dingin. Wajahnya begitu tenang meskipun Changmin sendiri tidak bisa menyembunyikan rasa tegangnya. Sebagian karena ia harus mengendap-endap dan berusaha keras untuk tidak membuat suara sedikitpun untuk keluar dari rumah dan sebagian lagi karena kepalanya terlalu sibuk menyusun sederet kata panjang untuk dikatakan kepada Yoochun. Terdengar berlebihan, memang. Namun hanya itu yang dapat ia pikirkan saat ini untuk mengalihkan perhatiannya terhadap bayangan Yunho yang terus saja mengganggunya.
“Sudah berapa lama?” tanya Changmin hati-hati.
“Sekitar...” Yoochun melihat jam tangannya. “dua jam yang lalu.”
Changmin mengerjap beberapa kali. Sepertinya Yoochun bercanda, tapi melihat betapa seriusnya dia menjawab, Changmin tidak bisa tidak merasa bersalah. Meskipun sebenarnya ini bukan sepenuhnya salahnya karena ia baru saja menghubungi Yoochun untuk bertemu dengannya di tempat itu sepuluh menit yang lalu. Ternyata kekasihnya itu sudah berada di sana jauh sebelum dirinya.
“Aku tahu kita akan bertemu di tempat ini.” Yoochun menjelaskan. “Aku hanya menunggu sampai kau menghubungiku.”
“Oh,” ucap Changmin. “Maaf membuatmu menunggu lama.”
“Tidak masalah.” Sebuah senyum tipis tersungging di mulut Yoochun meskipun hanya sesaat dan tidak seharusnya dilakukan. Changmin menggerakkan kedua kakinya yang agak membeku dan duduk di samping Yoochun.
Sekarang setelah ia bertemu dengan Yoochun, rangkaian kata yang sebelumnya telah ia rencanakan akhirnya terbang begitu saja seakan ditiup angin. Mungkin terlalu banyak kata maaf yang tidak sabar ingin keluar sehingga melepas begitu saja semua untaian yang telah tersusun rapi.
“Mengapa kau begitu baik-baik saja dengan semua ini?” Changmin mendesah. “Aku kira kau begitu marah denganku?”
Yoochun memutar kepalanya ke samping dan menatap Changmin. “Tentu aku marah.” Changmin menelan ludahnya. “Tetapi apa untungnya? Semuanya sudah terjadi.”
“Maafkan aku,” kata Changmin.
Yoochun menanggapinya dengan dengusan. “Kenapa kau selalu meminta maaf?”
“Karena aku harus mengatakannya.” Changmin berpikir bahwa satu dua kata maaf tidak akan cukup untuk menebus semua kesalahannya kepada Yoochun.
Kekasihnya hanya terdiam dan menerawang jauh ke depan. Saat Changmin melihatnya, ia merasa apa yang ia pikirkan benar. Yang ada di kepalanya hanyalah rasa bersalah, bukan perasaan-perasaan manis yang biasa ia rasakan bersama Yoochun. Rasanya lemah dan tak berguna mengesampingkan perasaan-perasaan manis tersebut hanya untuk menunjukkan kepada dirinya sendiri bahwa ia sangat merasa bersalah kepada Yoochun. Aneh rasanya merasakan pribadi Yoochun yang biasanya perlahan-lahan mulai memudar. Ketidakberuntungan hubungan mereka membawa perubahan. Atau mungkin, seperti inilah Yoochun yang sebenarnya. Serius namun tenang dan bersikap seolah semua kesalahannya adalah hal yang paling umum. Mungkin Changmin memang belum mengetahui semua tentangnya, seperti yang Yoochun katakan.
Beberapa menit tanpa suara, Yoochun akhirnya memutar tubuhnya ke samping, menghadap Changmin. “Dengar, Changmin,” katanya. “Aku tidak tahu bagaimana perasaanmu atau apa pun yang ada di pikiranmu, tapi aku ingin bertanya satu hal.” Changmin menahan napasnya menantikan pertanyaan Yoochun. “Kau dan aku...kau masih ingin bersamaku, kan?”
Kelegaan muncul begitu saja setelah mendengar pertanyaan itu keluar dari mulut Yoochun. Changmin tersenyum dan mengangguk sekali. Yoochun menghela. “Syukurlah,” ucapnya lirih.
“Tapi,” lanjut Yoochun. “Meskipun kau sudah menikah, tawaranku masih berlaku.”
Changmin mengerutkan alisnya.
“Aku bisa membantumu dan ayahmu. Membangun kembali perusahaan. Dan kau mempunyai pilihan untuk menentukan masa depanmu dengan Yunho.”
“Apa maksudmu?” Changmin masih belum mengerti tentang Yoochun yang ingin membantu perusahaan ayahnya. Kepercayaan diri Yoochun terlalu besar untuk ia pertimbangkan. Membangun kembali perusahaan ayahya membutuhkan usaha yang lebih, terutama finansial. Yoochun jelas-jelas tidak akan sanggup untuk melakukan itu sendiri jika ayahnya saja tidak bisa. Dan lagi, apa maksudnya mengatakan bahwa Changmin mempunyai pilihan untuk menentukan masa depannya dengan Yunho?
Yoochun hanya tersenyum. “Kemari, mendekatlah,” perintahnya. Changmin menurutinya dan Yoochun dengan segera meraih kepala Changmin dan membenamkannya di bahunya. Selama beberapa detik Changmin menegang, namun kemudian merasa rileks saat ia dapat mencium aroma khas Yoochun yang begitu familiar. Yoochun mengecup pucuk kepalanya dengan pelan. “Kau masih mempunyai waktu untuk memikirkannya.” Yoochun berkata di atas kepala Changmin. “Tapi untuk sekarang, tetaplah seperti ini.” Yoochun melingkarkan satu tangannya di bahu Changmin dan yang satu lagi di dadanya. “Seperti ini.”
Changmin tidak bisa menahan senyumnya yang mengembang hingga mencapai kedua matanya. Sikap romantis Yoochun sering membuatnya risi, namun untuk saat ini, ada kemungkinan ia rela menukar seluruh dunia untuk mendengarnya dan merasakannya. Seperti ini, untuk mendapatkan Yoochun yang lama kembali.
“Aku begitu bodoh.”
“Hm?”
“Jika aku orang lain, seharusnya aku sudah meninggalkanmu.”
Sejenak, Changmin berpikir. “Kau merasa bodoh karena tidak meninggalkanku?” Suaranya terdengar kecewa.
“Bukan.” Yoochun berhenti beberapa detik. “Aku merasa bodoh karena aku tidak bisa menjadi orang pertama yang melamarmu.”
+++
“Apa jadwalku hari ini?” tanya Yunho saat BoA sudah berada di ruang kantornya.
“Serah terima jabatan dan ada beberapa pertemuan yang harus dihadiri, ” jawab Boa lancar setelah memeriksa agendanya. “Haewon Group juga meminta pertemuan pribadi denganmu, Daepyonim. Seseorang dari perusahaan itu menanyakan waktu luangmu.”
Yunho mengerutkan keningnya. “Aku tidak pernah mendengar tentang Haewon Group sebelumnya.”
“Perusahaan yang sedang berkembang yang berbasis di Jeju. Mereka sedang membangun relasi di luar kota dan proyek mereka selanjutnya adalah membangun cabang di Seoul.”
“Siapa yang akan kutemui?”
Boa mengangkat bahunya. “Direktur mereka, sepertinya.”
“Hmm. Bilang pada mereka untuk menemuiku besok pagi.”
Boa menganggukkan kepalanya dan bergeming beberapa saat di sana. Merasakan Boa belum juga keluar ruangan, Yunho mendongak. Boa tersenyum iba kepadanya.
“Terlalu repot untuk hari pertama?” tanya BoA. Yunho yang sebelumnya ingin bersikap profesional akhirnya mengalah dan menurunkan bahunya yang secara tidak sadar terlalu kaku. Boa selalu melakukan itu. Saat ia sedang terlalu tegang, atau saat ia tidak bisa membentuk pemikirannya secara benar, wanita itu selalu mendorongnya untuk melepaskan semua keseriusannya dengan mengajaknya bicara layaknya dua orang teman. Bahkan sejak Yunho hanya karyawan biasa di perusahaan keluarganya itu, Boa selalu menjadi temannya. Mendapatkan Boa sebagai sekretarisnya adalah sebuah bonus yang dengan senang hati Yunho terima.
“Ya, tapi bukan sesuatu yang tidak bisa kuhadapi,” jawab Yunho santai. “Aku sudah mengalaminya jauh sebelum ini.” Yunho mencoba tersenyum. “Kau adalah saksi perjuanganku mencapai puncak ini.” Yunho mengambil pena dan memainkannya di antara jari-jarinya. Bahunya tersandar dengan lega di sandaran kursi.
“Benar,” kata Boa, mulai menggunakan bahasa informal. “Dan kau masih tetap mementingkan pekerjaanmu di atas segalanya.” Boa menggelengkan kepalanya. “ Segalanya termasuk suami barumu.”
“Itu,” ucap Yunho. “tidak bisa dihindari.”
Satu sudut mulut Boa terangkat. “Kau memang Jung Yunho.”
Yunho mengangkat kedua bahunya sebagai respons.
“Baiklah,” kata Yunho sambil bergeser untuk mengakses komputernya. “Aku akan mencari profil perusahaan yang kau maksud.”
“Tunggu dulu, Daepyonim,” kata Boa menanggapinya lagi. “Dalam sepuluh menit, kau akan menghadiri rapat. Sebaiknya menggunakan waktu yang tersisa untuk mempersiapkan diri. Ini adalah debutmu.” Boa tersenyum.
Yunho mengangguk. “Baiklah.” Ia mematikan komputernya dan mengikuti saran Boa.
+++
Pertemuan pertama berjalan tidak sesuai dengan yang Y
Comments