Chapter 14 - Down in the Dumps
Time Works WondersChapter 14
~Down in the Dumps~
Belum sempat ia menutup pintu kantor Yunho, kakinya hampir saja menyerah dan menghempaskannya ke lantai yang keras. Changmin berjalan keluar dengan sikap yang tegas sebelumnya. Mengepalkan kedua telapak tangannya dengan erat di samping tubuhnya, mengeraskan aksen bahunya, memunggungi Yunho dan berjalan keluar seolah ia lah yang paling patut meninggalkan Yunho.
Dan apakah itu sebuah kemarahan yang menyebar di seluruh dadanya? Ataukah hanya sebuah sentilan baginya untuk menyerah dan mengakui saja kesalahan yang tidak pernah ia lakukan meski hampir ia melakukannya? Apapun itu, Changmin hanya mengetahui satu hal bahwa ia dan Yunho sudah berakhir. Seharusnya ia tahu sejak awal, namun satu-satunya hal yang harus disalahkan di sini adalah pendiriannya tentang mengikuti ke mana arus mengalir. Dan juga, semua hal yang ada pada dirinya. Kesempatan apa yang memangnya akan ia dapatkan dalam hal ini?
Yunho membencinya. Itu adalah satu-satunya kesempatan yang ia dapatkan sekarang.
“Mengapa kau memberikannya kepada Yunho?”
Changmin terpaku di tempatnya mendengar nama Yunho disebut. Tangannya masih bersandar pada dinding untuk menahan tubuhnya. Suara yang familiar tertangkap olehnya.
“Jangan sekarang,” balas seorang wanita dengan suara hati-hati.
“Aku harus berbicara denganmu sekarang juga. Kau baru saja mengorbankanku.”
Changmin tidak bisa berdiam diri di sana dan berjalan perlahan tanpa suara mendekati sumber suara. Ia bersembunyi di balik dinding dan melongokkan sedikit kepalanya untuk mengintip. Meskipun sudah berulang kali ia dikejutkan dengan banyak hal akhir-akhir ini, ia tidak dapat menghindar dari keterkejutan lain saat melihat BoA dan Yoochun sedang berbicara empat mata di balik dinding.
“Seharusnya kau memusnahkan rekaman itu.” Yoochun berbicara dengan nada yang tidak ramah. “Apa rencanamu sebenarnya?”
“Tidak ada rencana pribadi,” balas BoA tenang. “Aku hanya melakukan apa yang Donghae perintahkan.”
Yoochun terdiam beberapa saat dan terlihat seperti ingin mencekik BoA, namun ia tahu apa yang tidak seharusnya ia lakukan.
“Apa yang Donghae perintahkan kepadamu?”
“Kau tahu Donghae akan melakukan apa saja untuk melihat Yunho hancur?” BoA menatap Yoochun dengan tegas. “Membuatnya mengetahui hubunganmu dengan Changmin adalah salah satu caranya. Apalagi membuktikan bahwa kau dan Changmin bekerja untuk Donghae.”
Yoochun terdiam.
“Sudah terlambat, bukan?” Satu sudut mulut BoA terangkat. “Tidak seharusnya kau memiliki hubungan dengan Changmin.”
“Katakan itu pada Yunho,” geram Yoochun. “Ia yang datang mengacaukan semuanya.”
Changmin memutuskan untuk segera pergi dari tempat itu. Sudah cukup banyak yang ia dengar hari ini. Baginya, segala macam kebenaran yang terungkap setelah ini hanya akan menyeretnya dalam ke relung masalah. Bukan memberikan suatu kelegaan, melainkan siksaan batin yang selama ini selalu terbayang-bayang kendati itu menyadarkannya bahwa di mata Yunho, sekarang ia adalah orang-orang seperti mereka. Orang-orang brengsek yang bergantung pada eksistensi dan kesengsaraan Yunho untuk melanjutkan hidup mereka dengan rasa puas.
+++
Changmin terbiasa merenung di apartemennya saat ia sedang ingin berpikir sepanjang hari, namun kali ini ia melangkahkan kaki ke bar setelah satu hari penuh merenungkan sesuatu yang terasa tidak ada ujung dan kesimpulannya. Mungkin keramaian yang ekstrim lebih cocok untuknya malam ini. Kapasitas kotak nasib buruknya sudah melebihi batas. Bagaimanapun, ia harus mengurasnya segera dengan melupakan segalanya, meski dengan cara yang tidak biasa ia lakukan.
Changmin memilih untuk duduk di tempat paling pojok tanpa melakukan apapun selain memandang ke tengah-tengah ruangan dimana orang-orang bergumul untuk menikmati hidup atau hanya sekedar berbincang dan tertawa di bawah pengaruh alkohol. Telinganya sibuk mendengarkan berbagai macam suara yang kontras sekali dengan suasana rumahnya. Rumah yang satu hari penuh tidak berpenghuni kecuali dirinya sendiri.
Itu mengingatkannya kepada Yunho. Lagi. Apapun yang ia pikirkan akhir-akhir ini, nama dan bayangan wajah Yunho akan selalu mempunyai cara untuk menyela jalan pikirannya. Entah bagaimana dan mengapa. Namun ironisnya, Yunho sudah benar-benar tidak peduli padanya hingga orang itu mengabaikan pesan singkatnya dan membuat Changmin menunggu semalaman tanpa memejamkan mata sekalipun. Changmin tidak ingin membuat Yunho bertambah marah, namun ia tetap saja menguhubunginya berkali-kali. Dan tidak satupun yang terjawab. Ia menyerah saat waktu 20 jam ia habiskan hanya dengan menatap layar ponselnya, berharap Yunho akan memberikan respons. Meskipun kemudian ia sadar Yunho tidak akan memberikannya apapun jika ia hanya berdiam diri di rumah, Changmin tetap tidak ingin menghampirinya di kantor.
“Datang sendiri?” tanya seseorang yang kebetulan melihatnya. “Perlu sesuatu? Atau seseorang? Aku yakin aku masih mempunyai beberapa klien gratis untukmu jika kau ingin.”
Changmin masih belum terlalu sadar dengan orang itu, namun ia membalasnya dengan tatapan memperhitungkan. Sangat mudah baginya untuk menerima tawaran-tawaran semacam itu. Ada banyak cara baginya untuk bersenang-senang di tempat ini; tertawa sepuasnya dengan orang-orang asing yang pura-pura peduli dengan masalahnya, dan dengan begitu ia dapat dengan mudah teralihkan dari rasa tidak nyaman yang begitu besar bersarang di dalam dadanya. Namun, melakukan itupun ia masih akan dibayang-bayangi dengan semua yang Yunho tuduhkan kepadanya. Pada akhirnya, ia akan menyadari bahwa sekeras apapun ia berusaha, apa yang sudah terlanjur melekat dan terasakan tidak akan bisa hilang begitu saja selama itu belum terbunuh.
“Tidak,” kata Changmin. “Terima kasih.”
“Kau yakin?” Seseorang bertanya dari balik bahu pelayan yang berdiri di hadapannya. Changmin mengepalkan kedua tangannya saat wajah orang itu terlihat jelas.
Donghae menghampirinya dan duduk di sampingnya tanpa izin. Pelayan itu mengangguk kepada Donghae sebelum meninggalkan mereka berdua.
“Yakin tidak ingin menggunakan jasaku malam ini?”
Amarah menyeruak dan seolah menguar keluar dari seluruh pori-porinya. Hanya dirinya yang bisa merasakan betapa kuat ambisinya saat ini untuk menghancurkan Donghae di bawah kakinya hingga berkeping-keping dan memusnahkan seluruh sisanya agar ia tidak akan pernah melihatnya lagi bahkan dalam bentuk sebutir debupun.
“Jangan khawatir. Gratis. Kau datang ke tempat yang sangat tepat.”
Changmin tidak membalasnya.
“Mengapa tidak datang bersama Yoochun? Atau Yunho? Atau dua-duanya?”
“Apa lagi yang kau inginkan?” kata Changmin dengan setenang-tenangnya. “Urusan kita sudah selesai sejak lama. Jangan pernah berpikir untuk menggunakanku lagi.”
Donghae tertawa seperti biasa. “Benar. Selesai. Oleh karena itu aku ingin mengucapkan terima kasih kepadamu.”
“Aku tidak melakukan apapun untukmu.”
“Mencoba menyangkalnya sendiri?” ucap Donghae. “Berkat adanya dirimu, aku memiliki kontrol atas dua orang itu. Dan kau masih bersikap terlalu rendah hati. Tentu saja kau sudah melakukan sesuatu untukku. Jadi, terima kasih.”
Changmin menggelengkan kepalanya pelan.
“Jika ada yang membuatmu merasa menyedihkan sehingga kau harus keluar malam-malam hanya untuk bersembunyi di pojok barku dari semua bar yang ada, aku juga minta maaf,” lanjut Donghae, tanpa ada rasa penyesalan yang seharusnya hadir. “Kau harus berbahagia, Changmin. Sekarang setelah kau mendapatkan apa yang kau mau. Berterima kasihlah kepadaku.”
“Kau tidak merasa buruk sama sekali terhadap Yunho?” Changmin tidak ingin bungkam lebih lama lagi. “Apa kau benar-benar tidak mempunyai rasa sedikitpun terhadapnya? Kau telah menghancurkan keluargamu sendiri. Ini bukanlah kemenanganku, atau kemenanganmu. Tidak ada terima kasih untukmu sama sekali.”
“Apakah Yunho berhasil mencuci otakmu hingga kau berbicara demi kepentingan keluarga yang bahkan tidak pernah kauharapkan sebelumnya? Jangan melabeliku lagi dengan keluarga itu. Yang kutahu, satu-satunya keluarga yang kumiliki adalah mereka yang setia bekerja untukku.” Perlahan-lahan, Donghae tersenyum. “Bisnis tidak melibatkan perasaan, tetapi ini.” Ia menunjuk kepalanya sendiri. “Jika kau tidak memiliki akal untuk memikirkan segala hal yang harus dilakukan, kau akan hancur sendiri. Dalam dunia bisnisku, aku harus melumpuhkan Jung Yunho dan sekutunya, atau aku sendiri yang akan kalah. Aku yakin Yunho juga memiliki visi dan misi yang serupa denganku.”
Mereka dan ambisi keduanya. Changmin tidak akan membantah itu. Satu pasang saudara dengan satu paket ambisi yang sama untuk menjatuhkan satu sama lain. Meskipun demikian, ia mengetahui dengan pasti mana yang dilakukan dengan kepala dan perasaan dan mana yang dilakukan hanya menggunakan kepala.
“Sampaikan bela sungkawaku kepada Yunho jika kau masih bertemu dengannya,” kata Donghae serampangan. “Dan jika kau berubah pikiran, datanglah kepadaku selagi aku masih bermurah hati memberimu kesempatan kedua. Kita bisa membicarakan hal-hal menarik yang akan menguntungkan satu sama lain.”
Changmin mengencangkan dagunya sebelum mengatakan pengharapan terakhirnya. “Aku harap kita tidak akan pernah bertemu lagi.”
Donghae terkekeh. “Oh, menyakitkan,” katanya sambil berdiri. “Aku heran mengapa kau masih membela Yunho setelah apa yang ia rampas darimu. Sayang sekali kita belum bisa menjadi teman. Kalau begitu, selamat tinggal,” ucap Donghae terakhir kalinya sebelum melenggang pergi.
Sosoknya yang menjauh seperti badai berlalu yang masih meninggalkan puing-puing kebencian. Bahkan saat Changmin terdiam lama untuk mendinginkan darahnya yang mendidih pun, rasa muak yang berlebih itu masih mengendap, bercampur baur dengan semua rasa tidak nyaman yang telah menetap selama berpuluh-puluh jam. Ia kemudian menertawai dirinya sendiri setelah menyadari bahwa ia masih begitu lemah di hadapan Donghae. Orang itu mengacaukan keseimbangan hidupnya. Sendainya ia tidak pernah bertemu dengan orang itu. Seandainya Changmin bisa berpikir lebih jernih sebelum mengambil keputusan yang ternyata akan menghancurkan dirinya sendiri seperti ini. Seandainya sekarang ia dan Yunho masih dengan tenang melanjutkan hari-hari damai mereka.... Changmin merasa tenggorokannya tercekat saat memikirkan itu. Terlalu cepat kenyamanannya dirampas ketika ia sudah mulai berdamai dengan keadaan. Bahkan pada satu waktu tertentu, ia baru menyadari ada sesuatu dalam dirinya yang berusaha menyibakkan wujudnya.
Ia mulai curiga jika otaknya telah berubah mati rasa tanpa sebab yang jelas. Hingga perut dan dadanya sakitpun ketika ia menahan sesuatu yang berat dalam dirinya, ia tidak berpikir untuk bergerak sedikitpun dari tempatnya merenungi beberapa hal tersisa yang ia miliki. Changmin tidak tahu seberapa keras ia harus berusaha agar ia dapat mengeluarkan dirinya sendiri dari ruang kosong yang ia ciptakan sendiri antara dirinya dan kenyataan. Rasanya ia ingin membekukan dirinya agar semua rasa sakit yang menghantamnya ikut membeku. Untuk mengabulkan keinginannya sendiri, Changmin mengambil cara termudah. Ia menenggak beberapa botol soju hingga semua yang ada pada dirinya terbakar dan yang ia rasakan hanyalah sensasi terbakar itu sendiri yang entah bagaimana membekukan seluruh jalan pikirnya hingga alam bawah sadar menjemputnya.
+++
“Changmin.”
Changmin seperti merasakan sebuah batu besar bermukim di dalam kepalanya.
“Changmin, bangun.”
Saat ia mengerjapkan matanya berkali-kali, barulah ia terkejut dan mengangkat tubuhnya segera. Perlu beberapa saat untuk membiarkan memorinya mengalir setelah terbendung oleh ketidaksadarannya.
“Yoochun?”
“Ini sudah siang. Kau harus makan,” kata Yoochun.
“Apa yang kau lakukan di sini?” Changmin mengangkat satu tangannya dan mencoba mengingat lagi apa yang sudah ia lakukan sehingga Yoochun bisa berada di apartemennya saat ini. Terlebih lagi, bagaimana ia sendiri bisa sampai di apartemennya.
“Kau terlalu banyak minum tadi malam,” ucap Yoochun seakan menjawab pertanyaan Changmin. “Aku membawamu kemari.”
Changmin mulai memijat kedua keningnya dengan keras dan menutup matanya. Kepalanya pening, dan rasa kosong itu masih ada. Ia tidak tahu bagian mana yang harus dipijat untuk menghilangkan yang terakhir itu.
“Bagaimana kau tahu aku di bar semalam?” tanya Changmin.
Yoochun berpikir sebelum mengutarakan jawabannya. “Kau terlihat kacau semalam, dan aku khawatir kau tidak lagi mengurus dirimu dengan benar karena menurut pengamatanku dua hari terakhir ini– ”
“Kau mengikutiku?” Changmin memasang wajah curiga. “Dua hari ini, kau mengikutiku?”
“Aku harus mengetahui kondisimu setiap saat setelah apa yang terjadi waktu itu.”
“Jangan memperlakukanku seperti ini,” balas Changmin kesal. “Jangan mengurusi hidupku lagi.”
“Setelah kau kehilangan semuanya sekarang kau ingin membunuh dirimu sendiri?” tanya Yoochun sedikit meninggi. “Hidupmu tidak sebanding dengan semua ini. Jangan menyeret dirimu sendiri ke dalam lubang yang sebenarnya hanya diciptakan untuk Yunho.”
Kalimat-kalimat sembarang Yoochun membuatnya ingin marah, namun sebenarnya ia mempertanyakan hal yang sama. Dia bisa saja berjalan keluar dari masalah ini tanpa harus memberatkan hatinya sendiri. Yunho seharusnya tidak bisa membuatnya terluka, jadi mengapa ia memilih untuk melukai dirinya sendiri? Memikirkan jawaban dari pertanyaannya hanya membuat kepalanya kembali berat. Ia ingin kembali memejamkan matanya dan barangkali menghapus semua memorinya dan kemudian bangun kembali tanpa beban. Namun, hidupnya bukan sebuah program yang telah ia ciptakan dan hapuskan begitu saja saat ia menginginkannya. Ketika ia bangun nanti, ia sudah tidak bersama dengan Yoochun lagi; Yoochun masih menjadi seorang pembohong; bayang-bayang Donghae masih akan tertanam di kepalanya; dan Yunho....Yunho masih akan menganggapnya sebagai pengkhianat. Yang terburuk dari itu semua adalah ia akan segera mendapatkan kebebasan yang senantiasa ia idam-idamkan. Ironis.
“Pergilah.”
“Tidak bisa.”
Changmin memelototinya meskipun itu membuat kepalanya semakin berdenyut.
“Aku akan tinggal,” lanjut Yoochun. “Setidaknya sampai kau terlihat lebih baik.”
“Aku tidak membutuhkan bantuanmu,” tolak Changmin.
“Kau tidak pernah mengizinkan dirimu sendiri minum terlalu banyak. Aku juga yakin kau jarang menghabiskan waktumu di bar selama berjam-jam dan membiarkan dirimu tidak sadarkan diri, mudah untuk dimanfaatkan oleh orang-orang brengsek di dalam sana – ”
“Dan aku juga tidak berharap orang brengsek itu membawaku pulang.”
“Changmin!”
“Apa lagi yang kau harapkan? Aku tidak butuh rasa kasihanmu. Kita sudah berakhir, Yoochun.”
“Siapa bilang aku merasa kasihan padamu?” Yoochun berdiri. “Sudah kubilang aku tidak akan berubah ha
Comments