Chapter 5 - Unexpected

Time Works Wonders
Please Subscribe to read the full chapter

Chapter 5

~Unexpected~

 

 

Begitu heningnya ruang tamu apartemen Changmin. Hanya ada suara jarum jam berdetak yang hanya terdengar jika ia benar-benar berniat untuk mendengarkannya. Namun bukan itu yang berhasil telinga Changmin tangkap. Ia mendengar berbagai macam pemikiran di dalam kepalanya, terlebih lagi ia hampir bisa mendengar suara gemuruh perasaan di dalam dadanya. Naik, turun, tidak beraturan membentuk benang-benang kusut yang terdengar seperti permainan biola yang sumbang. Memekakkan telinga.

“Ini bukan sebuah lelucon?”

Datang suara Yoochun di atas keheningan yang memekakkan. Pelan namun sarat kegaduhan yang ia sendiri tidak mengerti. Batang otaknya memperingatkan bahwa lari adalah pilihan yang lebih baik daripada melawan rasa takutnya. Instingnya bermain-main di kepala.

Pada akhirnya Changmin mendongak, berhenti mendengarkan sesuatu yang abstrak. Untuk kemudian melihat keabstrakan lain di dalam mata Yoochun. Semacam kekalutan dan kebingungan jadi satu. Atau sebenarnya ada sesuatu yang lebih besar dari itu, yang Changmin sendiri tidak ingin mengobservasinya karena sekarang bukanlah gilirannya melakukan itu.

Yoochun mendobraknya melalui tatapan liar itu. Mencoba mencari celah-celah sempit di sela-sela benang kusut di matanya. Changmin menggelengkan kepalanya sebagai respon. Ia menggigit bagian dalam bibir bawahnya. Terlihat kekanakan, namun sebenarnya ia hanya berusaha meredakan tremor di bibirnya. Itu sebabnya ia tidak sanggup menjawab secara lisan.

Yoochun masih berusaha beberapa saat, dan kemudian menjauhkan diri dari Changmin, memutar tubuhnya. Dengan tangan terangkat dan kemudian meremas rambutnya sendiri, Yoochun bergerak-gerak gelisah.

“Apa,” kata Yoochun. “Apa-apaan ini?” Yoochun bertanya entah kepada siapa. “Kalau bukan lelucon lalu apa?”

Kemurkaan terdengar sangat kental dalam suaranya. Tanpa sedikitpun menatap Changmin, kekasihnya itu mencoba menahan emosi sambil membelakanginya, membuat Changmin menahan napasnya untuk beberapa saat. Sistem di otaknya seolah berhenti bekerja. Ketegangan meresap dalam kandungan udara yang ia hirup hingga terasa sesak untuk mengambil napas.

Jawaban atas pertanyaan Yoochun, hanyalah sesederhana pertanyaan itu sendiri. Mereka berdua sama-sama tahu. Namun keduanya pun tidak ingin memerintahkan mulut mereka untuk membentuknya menjadi kata-kata, karena berbentuk pemikiran saja sudah membuat kalut.

Yoochun melangkahkan kakinya dengan tekanan cukup tegas untuk membuat suara resah di atas lantai. Ia menghempaskan tubuh di sofa. Kedua tangan ia satukan di atas pahanya, matanya bergerak-gerak gelisah, dan pada akhirnya memilih untuk melayangkan tatapan ke arah Changmin.

Changmin menelan ludah. Ia berjalan mendekat sebelum duduk di seberang Yoochun tanpa sedikitpun memberikan perhatian pada mata Yoochun yang memiliki segudang pertanyaan yang sebenarnya belum siap ia jawab.

Detik demi detik berlalu dan tidak ada di antara mereka yang ingin mengalah saja pada keheningan. Satu pihak tidak siap untuk bertanya dan pihak lain tidak siap untuk menjawab, menciptakan interaksi bisu. Semua ini membuat Changmin frustasi. Ingin rasanya ia enyah saja, namun melakukan itu pun tidak dibenarkan saat dirinya mempunyai sejuta rasa penyesalan yang harus ia hilangkan dengan cara mengatakan kebenaran kepada kekasihnya yang secara nyata telah ia khianati. Jika saja Yoochun mempunyai hati untuk memukulnya hingga ia tidak akan merasakan rasa penyesalan itu lagi, Changmin bersedia untuk mengorbankan dirinya. Dengan lapang dada ia akan menerima.

“Maafkan aku...” Kepalanya semakin tenggelam. Kata maaf saja terlalu dangkal untuk menghapus kesalahannya.

“Kau pikir dengan kata maaf akan memperbaiki keadaan? Apa yang ada di kepalamu, Shim Changmin?”

Nyalinya semakin ciut. Ia memberanikan diri untuk menawarkan penjelasan.“Jika kau ingin mendengarkan penjelasanku – “

“Ya! Tentu saja ya!” Yoochun terlihat murka, dan Changmin seumur hidup belum pernah melihatnya demikian. Namun setidaknya Yoochun bukanlah orang yang akan menepiskan sebuah alasan, meskipun itu tidak bisa diterima sekalipun. “Aku ingin tahu apa yang membuatmu berpaling semudah itu.”

“Ini bukan seperti yang kaupikirkan, Yoochun.” Satu ton besi yang dijatuhkan dari atasnya bahkan tidak mampu menggambarkan betapa besar rasa sakit yang ia rasakan.

“Lalu mengapa?!”

Changmin menarik napas dalam-dalam untuk kemudian menghembuskannya. “Aku akan menjelaskan.”

Yoochun tidak mengatakan apapun setelah itu. Akan tetapi raut wajahnya menegang, ekspresinya kaku seperti ditahan. Changmin sedikit menyesal telah mendongak, dan ia tidak segan-segan melengos ke arah lain.

“Perusahaan ayahku hampir bangkrut,” ucapnya memulai. Ia mencari mata Yoochun saat kekasihnya melakukan hal yang sama. Setidaknya ekspresinya sedikit melunak mendengar fakta lain itu. “Ayahku harus mencari cara bagaimana perusahaannya tetap berjalan. Percayalah padaku, ia sudah berusaha keras untuk mencari berbagai alternatif lain yang sesuai dengan keadaan. Sayang sekali, hanya satu yang ingin membantu kami.”

Yoochun masih memandanginya dengan konsentrasi penuh. Cukup mendorong Changmin untuk melanjutkan.

“Aku tahu aku tidak seharusnya membicarakan masalah perusahaan kepada orang lain,” ungkap Changmin sambil melihat Yoochun. Dahi Yoochun berkerut. “tapi aku beritahu kepadamu, Ayah dibantu oleh satu keluarga saat membangun perusahaannya. Bukan sesuatu pekerjaan yang terikat secara hukum antara dua perusahaan, hanya persetujuan kasual antara dua keluarga. Mengetahui bahwa perusahaan kami akan bangkrut, mereka datang menawarkan sebuah pilihan yang mau tidak mau harus kami lakukan untuk menyelamatkan perusahaan Ayah.”

Changmin berhenti untuk berkutat dengan kedua telapak tangannya yang tidak bisa tenang sambil mencoba mengatur tarikan napasnya karena sialnya suaranya mulai bergetar juga mengucapkan kalimat terakhirnya.

“Ini.” Changmin menyentuh cincin peraknya yang sedikit berkilau saat ia gerak-gerakkan. “Ini adalah hasil kesepakatannya.” Yoochun mengerahkan matanya pada cincin itu. “Aku akan menikah dengan pewaris perusahaan mereka. Dengan begitu, perusahaan kami dapat bergabung dan menghindari kerugian.”

Raut muka Yoochun yang semula sudah sangat garang, kini menggelap semenjak mendengar kata pernikahan.

“Mengapa harus dirimu?” tanya Yoochun dengan suaranya yang dalam. “Itu bukan salahmu. Mengapa harus kau yang melakukannya?”

Changmin tidak mempunyai jawaban yang pasti untuk itu. Ia bahkan mempertanyakan hal yang sama berulang kali. Mengapa harus ia yang menanggungnya? Tapi pilihan lain apa yang bisa ia pilih selain untuk menolong ayahnya sendiri?

“Aku hanya harus melakukannya, Yoochun. Ini pilihan antara aku menolong Ayah, atau membiarkannya terpuruk begitu saja.”

“Tapi ini sangat tidak adil!”

Hati Changmin merana. “Aku tahu,” ucapnya lemah.

“Mereka memaksamu?”

Changmin ragu-ragu. “Tidak juga,” jawabnya. Namun jika apa yang harus ia pilih bukanlah sebuah pemaksaan, ia tidak tahu apa namanya.

“Ini bukan perjanjian absolut, bahkan kau bisa menolaknya.” Tangan Yoochun bermain-main di depannya. “Aku pikir ayahmu tidak akan membiarkanmu melakukan ini! Kau berhak untuk menolak, Changmin.”

“Aku tidak bisa,” respon Changmin lirih. “Ini murni keputusanku. Seperti yang aku katakan, kita tidak punya pilihan lain.” Changmin mendesah.

“Mengapa kau tidak mengatakannya padaku sebelum kau memutuskan? Kau anggap aku apa, Shim Changmin? Kau bisa mendiskusikannya denganku, dan memutuskan jalan keluar lain selain...ini.”

“Aku ingin melakukannya, namun aku tahu ini akan sulit untukmu. Aku benar-benar minta maaf, Yoochun.”

Mata menampakkan kekecewaan mendalam, Yoochun tidak mengatakan apapun. Mungkin sama seperti Changmin, berbagai pemikiran melintas tidak beraturan di kepalanya, masih mencoba untuk menghadapi situasi paling konyol dengan kepala dingin.

“Lagipula,” kata Changmin. “Kau pernah bilang bahwa kepentingan orang tua lebih penting. Bahwa aku harus mengorbankan kepentingan diriku sendiri untuk mereka. Kau ingat?”

Mata Yoochun melebar seketika. Kesadaran menghinggapinya untuk waktu yang lama. Percakapan mereka di telepon saat Yoochun berada di Jeju waktu itu ternyata bukan hanya sekedar masalah kecil yang pantas untuk diabaikan begitu saja.

Yoochun tersenyum sinis. “Jadi ini maksudmu?” Senyumannya berubah menjadi tawa yang lebih sinis. “Aku begitu bodoh hingga tidak mengetahui masalah apa yang kau hadapi dan menyarankan sesuatu yang lebih bodoh lagi.”

“Tidak. Kau tidak bodoh. Hanya aku yang terlewat bodoh.” Changmin buru-buru menyangkal.

Tiba-tiba Yoochun sudah ada di depannya, berlutut, dan menangkup kesepuluh jarinya yang dingin, hampir-hampir membeku.

“Katakan padaku,” ucap Yoochun tiba-tiba pelan. “Siapa yang melakukan ini.”

Changmin mempertimbangkan sejenak sebelum menjawab, “Keluarga Jung.”

“Jung?”

“Jung Corporation.”

Changmin mendongak saat tangan yang menangkup jari-jarinya mengerat. Mata Yoochun bergeming dan membeku selama beberapa saat sebelum kedua bola matanya menatapnya dengan ragu dan sangsi.

“Katakan padaku bukan Jung Yunho yang akan menikah denganmu.” Kata-kata Yoochun mengalir dengan tidak elegan dari sela-sela giginya yang terkatup.

Changmin mempunyai firasat bahwa jawabannya tidak diinginkan Yoochun. Ia diam.

“Ya Tuhan!”

Yoochun berdiri dengan kasar dan kemudian menjauh dari Changmin sambil menyisir rambutnya ke belakang dengan kelima jarinya. Pandangannya semakin gelisah dari waktu ke waktu.

“Yoochun..” panggilnya sangat pelan. “Maafkan aku.”

“Oh hentikan itu!” seru Yoochun. Kepanikan terpancar dari raut mukanya. “Bagaimana bisa....Jung Yunho?”

Di tengah-tengah jantungnya yang berdetak cepat, Changmin masih berani bertanya. “Kau mengenalnya?”

Yoochun berhenti mengedarkan pandangannya ke segala arah, dan pandangan mereka bertemu. Terbersit sebuah tanda-tanda asing di mata Yoochun, sebelum tergantikan oleh ekspresi netral. “Siapa yang tidak mengenalnya?”

Kesadaran menghampiri Changmin seketika. Siapa yang tidak mengenalnya? Secara teknis, perusahaan keluarga Jung adalah salah satu yang terkemuka di seantero Korea. Bahkan di luar sana pun, banyak yang mengetahui perusahaan multinasional milik mereka. Desas-desus calon direktur yang sebentar lagi akan mengambil alih perusahaan sudah mulai sibuk berlalu-lalang di media. Jika keluarga mereka begitu diperhatikan, cepat atau lambat namanya akan menjadi bahan perbincangan umum. Membayangkannya saja membuat Changmin bertambah panik.

“!” umpat Yoochun.

Saat Changmin berdiri perlahan, Yoochun berpaling darinya dan meraih mantelnya yang tergeletak di sofa. Kekasihnya berjalan menuju pintu.

“Yoochun!” Changmin hendak menyusulnya.

“Jangan,” ucap Yoochun geram. “Aku perlu waktu untuk mencerna ini semua,” lanjutnya sebelum ia keluar dari apartemennya, meninggalkan Changmin yang berdiri kaku di tengah ruangan.

 

 

+++

 

 

Tidak pernah ia merasa sedingin ini. Sejak malam tadi, Yoochun tidak memberi kabar. Changmin berusaha menghubunginya pagi ini, setelah kecamuk dalam kepalanya berkurang, bukan hilang. Orang yang ia tunggu-tunggu tidak kunjung merespon. Begitu banyak hal yang ia sesalkan saat ini.

Ia memutuskan untuk tidak berkunjung ke rumah sakit menemani Tuan Jung. Ia juga memutuskan untuk tidak keluar dari tempat tinggalnya, tidak ingin berinteraksi dengan segala kesibukan kehidupan di luar. Yang ia antisipasi hanyalah seseorang yang melangkah masuk dengan satu pengampunan untuknya, dengan satu kepastian akan hubungan mereka. Changmin begitu berharap Yoochun tidak akan menghentikan begitu saja apapun yang ada di antara mereka. Tidak untuk saat ini. Sesederhana itulah yang ia inginkan.

Beberapa jam berlalu. Penantiannya tidak berujung pada sesuatu kecuali ketidakproduktifan. Changmin mengerang bangkit dari sofa saat ponselnya berdering. Ia cepat-cepat mengangkatnya, berharap itu adalah Yoochun.

“Yoboseyo.”

“Kau tidak ke rumah sakit tadi pagi.” Adalah kalimat pertama yang menyambut telinga Changmin. Ekspresinya jatuh. Tanpa melihat nama pemanggil, Changmin tahu betul siapa yang berbicara di seberang sana. Bukan Yoochun. Changmin hendak memutuskan sambungan saat Yunho melanjutkan. “Datang ke kantorku sekarang. Aku tidak bisa menjemputmu.”

Changmin berharap ia tidak harus menjawab perintah Yunho. “Kenapa aku harus ke kantormu?” tanyanya sinis.

“Awalnya aku ingin mengajakmu pergi keluar dan menjemputmu di rumah sakit, tapi kau tidak di sana.” Terdengar suara gemerisik kertas di seberang sana. “Ini sudah jam makan siang. Aku harus menghentikan pekerjaanku.”

“Lalu?”

“Datang ke kantorku sekarang.”

“Aku tidak ingin pergi denganmu.”

Tidak terdengar apa-apa untuk beberapa saat. Ketidaksabaran mengusik Changmin.

“Dengar. Aku sedang tidak ingin bertemu denganmu, terlebih lagi sekarang. Pergi saja sendiri dengan berkas-berkasmu itu.“

“Jangan menyulitkan keadaan.” Yunho memperingatkan.

“Aku tidak menyulitkan keadaan. Aku mempermudahnya. Mengapa harus repot-repot?”

“Karena Ayahku mengatakan demikian dan aku harus menurutinya. Kau sudah melupakannya?”

Changmin ingat. Tuan Jung meminta Yunho untuk berhenti berkutat dengan pekerjaannya hanya karena seseorang yang Changmin ingat namanya sebagai Donghae. Ia masih tidak tahu apa peran orang asing itu dalam kehidupan Yunho yang sepertinya sangat sarat akan orang itu. Changmin bahkan tidak seharusnya mendengar namanya sejak awal. Yunho melayangkan tatapan kasar karenanya.

“Kau tidak harus benar-benar pergi denganku. Katakan saja kau sudah melakukannya.”

“Apa kau memberi usul kepadaku untuk berbohong kepada Ayah?”

Changmin mengangkat bahunya tak acuh sebagai jawaban meskipun Yunho tidak bisa melihatnya.

“Datang ke kantorku. Sekarang. Atau aku akan mengirim orang ke sana untuk menjemputmu dengan paksa.”

Changmin mengerang dengan keras. Suasana hatinya sudah tidak nyaman, ditambah lagi seorang Jung Yunho yang sangat mengganggu dengan segala tuntutannya yang sebenarnya tidak harus ia penuhi, namun ia tidak ingin kepalanya gusar, jadi satu-satunya hal yang akan ia lakukan adalah menuruti perintah Yunho jika itu bisa membungkam mulutnya.

“Baiklah!” serunya kesal. “Aku akan ke sana.” Kemudian ia menutup sambungan telepon dengan segera sebelum mengambil kunci mobilnya dan bergegas keluar dari apartemennya.

Saat Changmin berhasil naik ke kantor Yunho, para karyawan terlihat sibuk, berjalan ke sana kemari. Beberapa keluar masuk dari ruangan Yunho. Ternyata orang itu berbohong. Ia bilang pekerjaannya harus dihentikan, nyatanya masih banyak yang datang dan pergi masuk ke ruangannya.

Boa mengatakan pada Changmin bahwa Yunho masih memiliki banyak pekerjaan, jadi wanita itu menyuruhnya untuk duduk di sofa tunggu di depan ruangan Yunho. Changmin menanggapinya dengan decakan karena pertama, Yunho benar-benar berbohong dan mempermainkannya, kedua, BoA masih melihatnya seolah ia adalah orang asing yang tidak pantas dihargai. Wanita itu tahu benar siapa Changmin, namun caranya memandangnya tidak berubah, bahkan lebih buruk dari saat mereka pertama kali bertemu. Shim Changmin tetaplah orang tidak tahu diri yang menguping pembicaraan dan menginap di ruangan Yunho tanpa izin. Tidak lebih dari itu.

Waktu senggang membuatnya berpikir kembali. Ia masih ingin tahu di mana Yoochun sekarang, dan apakah ia begitu marah dan kecewanya sehingga ia tidak muncul di hadapannya atau pun menghubunginya. Namun ia sendiri bisa mengerti bagaimana perasaan Yoochun. Changmin dapat membayangkan betapa kecewanya ia jika Yoochun melakukan hal yang sama seperti apa yang ia lakukan terhadapnya. Perasaannya akan terluka dan mati rasa. Dan ia tidak melebih-lebihkannya. Bahkan sekarang, keadaan Changmin tidak jauh berbeda dengan itu. Ia memejamkan matanya, menahan kesedihan yang menyeruak. Ia telah menyakiti Yoochun.

Changmin berdiri. Ia tidak tahan dengan kesenduan dan kekalutan yang lama-lama memakannya habis. Ia memutuskan tidak akan menunggu lebih lama lagi. Seenaknya saja orang itu memerintahkannya datang hanya untuk menunggu.

“Aku bilang tunggu di sana,” ucap BoA saat Changmin sudah memegang gagang pintu ruangan Yunho dan membukanya, namun Changmin tidak mengindahkannya. “Tunggu!” Terdengar suara BoA yang teredam karena pintu sudah ditutup. Cha

Please Subscribe to read the full chapter
Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!
kiborina
Hello, my beloved readers! Just want to let you know that I'm still alive and will continue my stories ^^
Don't worry, I won't discontinue my stories without prior notice.
Please have some faith in me. For those who keep waiting for my stories, THANK YOU SO MUCH!

Comments

You must be logged in to comment
retnoyuul #1
Chapter 16: Lucky me that I had a sudden urge to check my account. And see what I got? Another treasure from a deeper soil. Lucky me God I'm sO LUCKY!!
Jadi gini... Duh, Aku bingung mau bilang apa:(

Do we even share the same conscience?:( Cause your randomness of combining Siwon and Donghaes names altogether and tagging Siwon along into the story (wait. I don't quite remember. Dia baru muncul di epilog ini aja kan?) and making his encounter with Changmin and creating that ticklish romantic attraction--had me wrapped around your little fingers!
So basically I am a super nerd of that Yunho/Changmin/Siwon crack and this epilogue gave me a glimpse of hope of that relationship. But nah, I knew its supposed to be an epilogue (though I wouldn't mind AT ALL to have more of them hohoho) and that's okay. Thankyou for adding up their interactions :) I'm so blessed.

As for Haewon abbreviation: Does that mean Siwon and Donghae created the company together? Does Siwon have the similar hatred to Yunho? What has Siwon got to do with Yunho? Sorry I might have slipped in some chapters, but... There's just some tangled wires in my head.

Then again, thank you for giving us the epilogue we didn't expect. It's so sweet and romantic and just uwu :3 I hope to see more from you! Love
Bigeast88 #2
Chapter 16: Woah surprised for the epilogue!! Thank you for writing thisss XDD
vitachami
#3
Chapter 16: Seneng deh ada epilognya..
Manis banget sih changmin sekarang


Author, blh tambahi lagi yaaa...
Epilognya di lanjut..
azukireii #4
Chapter 16: Akkkkkkkkkkh ini epilog yang manis banget sampe ku baca berulang-ulang hahaaha
Memang orang yg dimabuk cinta ini kayak mereka ya hahaha terima kasih authornim, pembaca jadi memiliki persepsinya tersendiri terhadap sebuah kalimat yg bermakna ganda. Tetap semangat
QueenB_doll #5
Chapter 16: Huweee ada epilogue nya...aku harus baca dari awal lagi thornim..hiks..hiks..terharu bgt pokoknya authornim mau bikin chap penutup ini...TTT.TTT
upiek8288 #6
Chapter 16: Miss this story sooo much..
Epilogue yg butuh epilogue... ???
Thank you for the story.. ?
bebebe #7
Chapter 15: Love the ending !!!!!!
lusiwonkyu
#8
Chapter 15: Akhirnya ff yg di tunggu2 end... Thanks author udah nyelsaiin janjimu... Ending nya akuu sukaaaaa...
JiJoonie
#9
Hello my beloved author!!! Its been a while, udah lama sejak terakhir kali kakak up dan aku membaca karya kakak, jadi aku mau mengulang kembali membaca, mengulang kisah dan mengulang tawa serta air mata disini!! I love u and thank u soooo much kak!
retnoyuul #10
Chapter 15: So this is the end, a beautiful ending. I still can't believe that you're so determined and unshakeable hehe. Honestly, aku ngerti bgt gimana rasanya kehilangan fic yg udah ditulis sepenuh hati, like 'this computer apparently hates me so much' wkwk, karna aku juga (pernah) jadi author Homin di FFn.Net. Dan yang bikin aku keep up sama TWW pertama kali itU KARNA WRITING STYLE KAMU ITU SELERA AKU BANGETTT UNCHHH. And I think that I found myself my lost twin hoho (alay ya? Haha bodo ah yang penting aku cinta kamu dan TWW ^^). BTW, If you don't mind you can visit my story in (https://m.fanfiction.net/s/11235338/1/Rome-Philosophy) by ursolace. But still uncompleted, since I lost my chapter 2 and feeling no urge and lack of motivation to rewrite ehehe. Itulah kenapa aku bangga dan terkesan banget karna kamu masih mau bangkit dan terus ngelanjutin TWW walau nyaris lumutan ehehe.&lt;br /&gt;<br />
Anyway, as for the story: I LOVE THESE JOYFUL TIDINGS, tho. Penulisan yang bagus bgt ditambah konflik yang berbobot. Bahkan di tengah fic, aku sempet ship Yoo/Min karna YC lebih berprinsip dan showing his emotion daripada YH dan CM sendiri. Donghae is just another little scamp we all have the right to detest, right? Alongside the venomous BoA haha. Pokoknya aku suka banget ups/downs dan push/pull semua karakter kamu di sini. Dan setiap ada kissing scene Homin somehow aku meleleh banget wkwk. And you're too naughty to let ur readers have their wild ideas as the line goes "Kita tidak pernah membicarakan ini, tapi aku ingin kau tahu. Jangan berkata kau tidak tahu samasekali, Changmin." GOSH WHY DID U DO DIS TO ME SISTA. What do you mean with 'ini', Yunho? Why can't you make it obvious? Why don't we go with their more intimate scene??&lt;br /&gt;<br />
Dear author, pokoknya aku terus medukung karya2 Homin kamu berikutnya. Since it's getting hard to find fine and beautiful Homin fics out there nowadays. Don't let them go extinct! Love ^^