Chapter 15 - Time Works Wonders

Time Works Wonders
Please Subscribe to read the full chapter

Chapter 15

~ Time Works Wonders ~

 

 

 

 

“Aku ingin membicarakan sesuatu.”

Kebungkaman yang menyertainya terlalu lama untuk dikategorikan sebagai sambutan selamat datang yang seharusnya, namun Changmin tetap menunggunya untuk berbicara.

“Oh? Aku kira kau tidak ingin melihatku lagi?"

“Yoochun,” ucapnya dengan tegas. “Kali ini hanya kau yang dapat membantuku.”

Air mukanya tidak menyala sama sekali mendengarnya. Changmin hanya mendapatkan ekspresi wajah yang merasa terganggu dengan perkataannya baru saja. Meskipun ia terkesan menjilat ludahnya sendiri, Changmin harus melakukan apa yang harus ia lakukan.

“Aku ingin kau mengembalikan sesuatu yang kalian rampas dari seseorang.”

Yoochun mengangkat dagunya perlahan. "Apa yang membuatmu berpikir aku akan melakukan apapun untukmu sekarang  setelah semua yang kulakukan untukmu sebelumnya tidak berguna sama sekali dan menghancurkan semuanya?"

Changmin menatap Yoochun dalam diam selama beberapa saat.

“Aku tidak datang dengan janji kosong,” kata Changmin. “Akan kukabulkan satu permintaanmu yang cukup masuk akal.”

“Lupakan. Aku hanya memiliki satu keinginan yang sayangnya tidak akan bisa kaupenuhi."

“Coba saja.”

Changmin menahan napasnya sesaat setelah ia mengucapkannya. Kerutan-kerutan yang tadinya membentuk dahi Yoochun perlahan hilang, tergantikan oleh sebuah determinasi yang mendominasi air mukanya.

“Bagaimana jika aku menginginkanmu kembali?”

Suara Yoochun seperti sebuah tantangan. Sebuah permintaan yang ia takutkan akan terucap dari Yoochun. Hanya saja, permintaan itu datang dalam sebuah pertanyaan yang memberikannya opsi untuk menolak. Dan meskipun pilihan itu terbuka lebih lebar dari saat mana pun, Changmin tidak akan berjudi dengan kebebasannya lagi. Sebagai gantinya, ia harus membebaskan orang lain. Ia harus membebaskan Yunho.

“Baiklah,” jawabnya dengan singkat.

Yoochun kembali melemparkan tatapan curiganya.

“Jangan bercanda denganku,” ucap Yoochun memperingatkan.

“Kau pikir aku bercanda?"

Yoochun menegakkan tubuhnya dan mengamati mimik dan gerak-gerik Changmin. Apapun itu yang Yoochun cari, Changmin yakin orang itu tidak menemukannya. Changmin menahan napasnya ketika ia tahu Yoochun sudah memutuskan.

“Apa yang bisa kulakukan untukmu?”

 

 

+++

 

 

Di dalam kantornya yang remang karena langit kelabu di atas atapnya, Yunho tak pernah berhenti. Seluruh bagian tubuhnya telah ia paksa berpikir selama berhari-hari hingga ia merasa ia telah membunuh dirinya sendiri. Tidak salah, sebagian besar nuraninya telah sekarat, hanya menunggu sesuatu menyentilnya dengan pelan, ia akan roboh. Dan di atas situasi kritis personal itu, Yunho masih harus mencoba menghidupkan kembali perusahaan dan keluarganya. Dua hal yang mungkin masih bisa ia selamatkan saat ini. Mungkin.

"Daepyo-nim.”

BoA sudah berdiri di depan mejanya membawa berbagai macam dokumen.

“Ini jadwal pertemuan untuk hari ini.” BoA meletakkannya di meja Yunho. Pandangannya sedikit resah. “Beberapa surat kabar dan artikel membahas isu penting perusahaan. Aku pikir kau mungkin ingin membacanya. Dan, ada kiriman dokumen untukmu.”

Yunho mengangkat matanya dan melihat amplop coklat yang diletakkan paling atas di mejanya.

“Siapa pengirimnya?”

Kepala BoA menggeleng. “Tidak ada nama pengirim.”

Yunho memeriksa setiap permukaan amplop, namun masih tidak menemukan tulisan apapun di sana selain namanya. Meskipun terlihat mencurigakan, Yunho membukanya dengan hati-hati, dan menemukan beberapa lembar dokumen di dalamnya. Kedua matanya membaca cepat semuanya, hingga ia berhenti di lembar terakhir yang terpisah dengan dokumen lainnya. Yunho membacanya dengan hati-hati, sebelum akhirnya menyatukan semuanya dan memasukkannya kembali ke dalam amplop. Matanya beralih kepada headline di surat kabar dan artikel yang BoA serahkan kepadanya.

“Apa isinya?” BoA memecah perhatiannya.

“Seseorang mengembalikan semua dokumen bukti yang kita miliki, dan memberikan semua bukti yang Donghae miliki,” jawab Yunho. Kecurigaannya semakin menjadi.

BoA terpegun. Kerutan di antara kedua alis matanya begitu dalam. Mulutnya membuka dan menutup begitu saja, sebelum ia berhasil mengontrol dirinya kembali dan bersikap seolah informasi tadi bukanlah sesuatu yang mengejutkan.

“Tapi, mengapa?”

“Aku tidak yakin.” Yunho mendesah sebelum berdiri dan menyimpan amplop itu di laci meja kerjanya. “Aku akan meneliti lembar-lembar itu setelah semuanya selesai untuk hari ini.”

“Yunho.”

BoA menggamit lengan kemeja Yunho saat Yunho hendak keluar dari ruangannya. Wanita itu menatapnya selama beberapa detik dan terlihat ragu untuk mengatakan sesuatu.

“Kita selesaikan ini bersama-sama,” katanya pada akhirnya. "Percayalah padaku."

Wajah Yunho sedikit mendingin. Lekukan kedua mulutnya bahkan tidak terlihat seperti sebuah senyuman, namun tanpa mengurangi rasa hati-hatinya, Yunho menyentuh bahu BoA singkat, membiarkannya berpikir itu adalah sebuah konfirmasi.

 

 

+++

 

 

Kepala Yunho terasa berdenyut hebat. Satu hirupan napas di luar dapat membekukan paru-parunya, namun telapak tangannya berkeringat, terasa licin. Barangkali itu sebabnya semua yang dulunya telah ia genggam sekarang terlepas satu per satu dengan sangat cepat tanpa sanggup ia menangkapnya kembali.

“Aku di rumah sakit.”

Tidak ada suara di seberang. Yunho mengeratkan cengkeramannya pada ponsel.

Menahan yang seharusnya pergi bukanlah sebuah trik agar ia mendapatkannya kembali. Itu hanya akan mengulur waktu, dan pada akhirnya, mereka akan terlepas dengan menyakitkan. Yunho tidak bisa membiarkannya terjadi. Menyakitinya lagi dan lagi tidak akan membuatnya bertahan. Inilah terakhir kalinya ia meyakinkan dirinya. Ia harus mengakhiri ini semua.

“Ayah–”

“Abeonim?”

“Datanglah kemari.”

Tanpa basa-basi, sambungannya terputus begitu saja. Yunho mengendurkan genggamannya dan menurunkan lengannya yang terasa kaku. Ia tidak akan tahu apa yang akan terjadi setelah ini, namun kepalanya bahkan sudah merasa sangat beku untuk memikirkannya. Jika setelah ini ia akan berjalan dengan beban baru dan menuntaskan segala masalah mereka tanpa ada lagi ikatan yang menghubungkan mereka, Yunho tidak tahu lagi dari mana ia harus memulai hidupnya yang baru. Atau mungkin, ia tidak akan memulai sesuatu yang baru, karena baru berarti menghapus semua yang pernah terjadi. Meski apa yang terjadi di antara mereka hanya sekejap, tidak ada yang lebih berarti dari memori-memori itu.

Matanya terpejam, menyingkirkan sejenak semua hal. Sepinya lorong itu membuat Yunho tenggelam dalam kepalanya sendiri tanpa sadar berapa lama ia dalam posisi seperti itu, hingga akhirnya suara itu membangunkannya.

“Apa yang terjadi?”

Yunho mengamati situasi sejenak sebelum bangun dari tempatnya bersandar dan menghadapi Changmin yang masih terengah. Wajah dan telinganya yang memerah menjadi pulasan hidup di antara semua hal yang terlihat pucat yang membungkus tubuhnya. Ia bahkan tidak mengenakan jaket untuk melindungi tubuhnya. Memikirkan orang lain tanpa memperhatikan dirinya sendiri. Mendadak Yunho merasa kesal.

“Apa yang terjadi?” ulang Changmin dengan kepanikan yang jelas.

“Apakah kau akan berlari secepat ini jika aku yang terbaring di sana alih-alih ayahku?"

Changmin menatapnya tidak percaya.

"Apa maksudmu bertanya seperti itu?"

Yunho tidak memberikan respons yang berarti setelah itu, seolah pikirannya sedang berada di dunia lain.

Tak ingin menunggu jawaban Yunho, Changmin berjalan menuju ke kamar VVIP di depannya dan menghilang masuk ke dalam. Yunho menarik udara sebanyak-banyaknya dan memikirkan kembali rencananya. Bagaimana mungkin ia akan mengatakannya jika melihatnya saja membuat tangannya bergetar?

“Kau berbohong.”

Changmin kembali setelah beberapa menit, telah menyaksikan ayahnya yang terlelap tenang tanpa ada suatu urgensi sedikit pun.  Suaranya terdengar jauh lebih dingin dari butiran es di luar.

“Ya.”

Changmin menghela dengan keras. "Apa maumu, Jung Yunho?"

“Kita beritahukan Ayah tentang perceraian kita.”

Waktu di antara mereka serasa berhenti begitu saja ketika menjadi saksi ketidaktepatan yang sedang berlangsung.

“Kau lebih kejam dari yang kubayangkan." Suara Changmin tidak dilebih-lebihkan. Tenang tanpa terdengar orang lain. Tapi bagi satu-satunya orang yang mendengarkannya, rasanya seperti seribu orang berteriak di telinganya menyampaikan sebuah fakta yang tidak bercela sedikit pun. Jung Yunho adalah orang yang kejam.

"Apa kau ingin membunuh ayahmu sendiri? Kau tidak memikirkan apa yang akan terjadi setelah kau memberitahunya?"

“Ini adalah satu-satunya yang harus kulakukan," jawab Yunho kecil.  

Changmin menurunkan pandangannya perlahan. Kata satu-satunya terngiang di kepalanya, menyiratkan bahwa hubungan mereka hanya bisa kandas, dan Yunho tidak akan melirik opsi lain untuk memperjuangkan kepentingan bersama. Setelah janji yang ia buat dengan Yoochun, kira-kira inilah situasi ideal yang seharusnya Changmin harapkan. Namun ia tidak memperhitungkan rasa pedihnya, begitu menyadari bahwa waktu yang akan mereka jalani bahkan untuk mengucapkan selamat tinggal tidak begitu banyak. Ia juga tidak pernah memperhitungkan, bahwa meskipun ia bisa membenci Yunho kapan saja seperti sekarang, ia tidak lagi mempunyai kemampuan untuk itu.

“Baiklah,” katanya lemah. “Lakukan jika itu keinginanmu. Tetapi jangan memaksaku untuk melakukannya. Karena itu bukan keinginanku.”

Changmin mengangkat pandangannya ketika Yunho membubuhkan banyak sekali permohonan yang sama di kedua matanya. Changmin mengizinkannya, yang berarti satu hal, ia sudah menyerah. Mereka akan melewatkan kesempatan terakhir mereka begitu saja, dan Yunho mulai menyesali segalanya.

"Sebaiknya kita tidak bertemu lagi hingga waktunya tiba untuk menuntaskan ini,” ucap Changmin.

Dengan pemikiran yang tidak nyaman, Changmin melepaskan pandangannya dari sepasang mata yang mungkin esok hari atau hari-hari sesudahnya tidak lagi sudi menatapnya.  Ia memutar tubuhnya dan mengayunkan kakinya satu per satu ke depan. Sepasang kaki yang selalu ditakdirkan untuk melangkah berlawanan dengan Yunho.

Ketika ia sudah menerjang temperatur rendah di luar rumah sakit, matanya mulai menghangat, namun ia tidak mengizinkan keduanya untuk berulah lebih lanjut. Changmin harus menghela napas berkali-kali yang membuatnya muak untuk menghirup keringnya udara di luar sana. Gelintir-gelintir putih yang jatuh di kepalanya tak lagi menjadi masalah bagi tubuhnya yang kedinginan. Ia membakar dadanya sendiri dengan kekesalan, kekecewaan, dan kesedihan. Dan seolah itu tidak cukup menghabisinya, Changmin mengucapkan selamat kepada dirinya sendiri untuk pencapaian terbaiknya mendapatkan apa yang tidak lagi ia dambakan. Kebebasan dari Yunho.

“Apa kau selalu pergi seperti ini?!”

Changmin berhenti berjalan, namun tidak memutar kepalanya untuk mengetahui siapa yang baru saja berteriak jauh di belakangnya.

“Jangan pernah pergi sebelum aku mengizinkanmu!”

Mata Changmin terpejam. Jika terus begini, Yunho hanya akan menaburkan garam di atas lukanya yang sudah terlalu lebar.

“Kembali ke dalam dan selesaikan urusanmu.” Changmin ingin berseru dan menghentikan Yunho jika saja suaranya tidak selemah dan segoyah seperti sekarang. “Kembali ke dalam.”

“Apa kau benar-benar berpikir aku memanggilmu kemari hanya untuk memberitahukannya kepada Ayah?”

Changmin memberanikan diri untuk memutar tubuhnya, dan ia hampir saja menangisi betapa jauh jarak di antara mereka. Secara fisik, maupun psikis.

“Aku lelah,” ucapan Changmin diikuti helaan yang masih tersendat. “Bisakah kau membiarkanku pergi kali ini?”

Melihat sosok Changmin yang membeku dengan segala keterbatasan jauh dalam jangkauannya, memohon kepadanya untuk berhenti dan melepaskan semua beban mereka berdua, membuatnya sakit. Yunho ingin menuju ke arahnya. Kakinya berjalan terlebih dahulu tanpa berpikir.

“Biarkan aku melakukannya, kalau begitu,” ucap Yunho. “Aku akan mengucapkan kata perpisahanku dengan baik kali ini, jadi dengarkanlah.”

Changmin mengangkat dagunya perlahan dengan tegar, meskipun sekujur tubuhnya hampir tidak bisa bereaksi terhadap situasi mereka yang melumpuhkannya dari dalam.

“Aku ingin segera mengakhiri ini semua sampai aku tidak tahan ingin mengatakannya sekarang juga,” ujar Yunho dengan kebohongan yang menyengat lidahnya dan membunuh perasaannya sendiri.

Changmin terpaku. Momen di mana Yunho membiarkan waktu mengabur di antara mereka, Changmin menjaga matanya terbuka lebar. Telinganya tidak mendengar apapun selain detak jantungnya yang sejenak melemah, kemudian berdetak semakin cepat ketika ia menyadari ia tidak siap mendengarnya. Mengucapkan selamat tinggal kepada Yunho adalah sebuah kebohongan besarnya, tetapi jika Yunho yang mengatakan kepadanya, Changmin tidak tahu seberapa nyata kata perpisahan itu akan terjadi. Jika itu harus terjadi, Changmin tidak ingin mengingat bagaimana Yunho mengucapkannya dengan penuh kebencian.

“Jangan katakan.” Changmin melarang Yunho. “Apapun yang ingin kaukatakan, simpan untukmu sendiri.”

Mulut Yunho hanya bisa bergetar. Apa yang sudah menggantung di ujung lidahnya tertahan oleh permintaan Changmin yang putus asa.

“Mengapa?” tanya Yunho.

Changmin menggelengkan kepalanya. Tanpa tahu bagaimana mereka kini berdiri begitu dekat, Yunho seolah mengepungnya dari segala arah, membuatnya tidak bisa bergerak sedikit pun, bahkan untuk menggerakkan satu jarinya pun menjauh. Dan ia kembali lagi, menjadi seorang Changmin yang tidak pernah bisa menjauh dari Yunho betapa pun ia ingin melakukannya. Seharusnya itu mudah. Seharusnya ia merasa tidak terbebani dengan sikapnya di sekitar Yunho.

“Aku tidak bisa.”

Changmin mengalihkan wajahnya ke samping, berusaha mengatur dirinya sekeras mungkin. Ia ingin ini berakhir. Apapun ini yang masih mengikat mereka dalam sebuah tragedi. Mengapa ia membuat hal semudah ini begitu berat? Mengapa mereka berdua harus bertahan seperti ini meskipun mudah sekali melepaskannya? Ia harus melalui pertanyaan-pertanyaan seperti ini sebelum menyadari jawabannya sendiri.

“Mengapa tidak bisa? Katakan yang sebenarnya,” ucap Yunho berharap. “Kita akhiri ini bersama-sama sekarang.”

Changmin menatap satu per satu mata Yunho bergantian, takut untuk menyuarakan apa yang ada di kepalanya. Takut jika Yunho membuatnya melanggar janji yang sudah ia sisakan untuk Yoochun. Ia tidak siap meninggalkan Yunho, namun ia lebih tidak siap melihat Yunho jatuh karenanya.

“Aku membencimu. Jangan membuatku mengatakannya lagi.”

Semakin banyak ia berbohong, semakin sia-sia usahanya. Barangkali ia memperdengarkan sesuatu, atau memperlihatkan sesuatu yang sebaliknya lewat sepasang matanya.

Yunho semakin mendekatkan wajahnya, dan mempertemukan bibir mereka berdua dengan tiba-tiba. Dan hati-hati. Seolah ia khawatir Changmin akan menolaknya lagi dengan kasar seperti saat ia melakukannya pertama kali di tengah-tengah amarah mereka.

Kali ini, Changmin membiarkannya. Membiarkan Yunho mengambil sebanyak-banyaknya yang bisa ia dapatkan dari Changmin, intimasi yang hanya bisa terjadi untuk pertama kalinya, dan mungkin untuk terakhir kalinya. Tidak ingin memikirkannya detik ini juga, Changmin membawa wajah dan tubuhnya lebih dekat kepada Yunho dengan putus asa, tidak mengizinkan sedikit pun celah menghalangi mereka saat ini. Bahkan jika ini adalah hal yang salah untuk dilakukan, Changmin merasa tepat berada di dalam jangkauan Yunho, orang di hadapannya yang membelainya dengan tepat seperti kulit di seluruh permukaan tubuhnya.

Yunho membuka matanya saat Changmin menjauh. Kedalamannya hampir membuat Changmin ingin tenggelam saja di sana dan tak ingin meraih permukaannya, jika itu bisa menghentikan semuanya. Namun Yunho menerbitkan pertanyaan-pertanyaan di dalam keduanya yang membuatnya bertambah resah. Sebuah tanda baginya untuk segera mengakhiri perjumpaannya kali ini.

“Aku pergi,” ucap Changmin. “Jangan menahanku.”

 “Changmin.”

“Surat perceraian itu, aku akan menunggunya.”

Kalimat itu mengakhiri mereka berdua. Tangan Yunho yang menggantung di udara dalam upaya meraih kembali orang di depannya perlahan-lahan mulai turun. Kedua mata Yunho mengikuti jejak-jejak langkah kaki Changmin yang terbentuk semakin menjauh dan menjauh tanpa toleransi, dan pada akhirnya melesap begitu saja di titik ujung penglihatannya. Hingga ia tidak dapat melihatnya lagi.

 

 

+++

 


Desau napasnya terdengar tergesa-gesa di ruangan yang gelap dan senyap itu. Kedua telapak tangan serta dahinya berkeringat, sedangkan kedua matanya fokus pada lubang kunci. Berat tubuhnya mengguncang lututnya yang sedikit lagi menyerah ketika bunyi itu terdengar, hasil dari kunci L dan paperclip yang telah ia putar-putar selama setengah jam belakangan . Ia berhasil membuka laci meja kerja Yunho.

Dengan puas hati, ia berdiri dan membukanya. Sebuah amplop coklat teronggok di dalam. Utuh dan tak terlindungi. Yunho terlalu baik hati tidak menyimpan benda berharga seperti ini di tempat yang tidak akan terlihat olehnya. Namun bagaimana pun juga, tidak ada tempat di ruangan itu yang tidak ia ketahui.

"Senang sekali sepertinya?"

BoA mengeluarkan suara tercekat dan mendapati Yunho menyandarkan bahunya di ambang pintu. Dengan cepat, ia menyembunyikan amplop coklat di belakang tubuhnya.

"Y-Yunho?"

"Aku sudah mengizinkanmu pulang," ucap Yunho sembari berjalan mendekati BoA tanpa tergesa-gesa. Sikapnya yang tenang seolah baru saja ia tidak menyaksikan apa-apa membuat BoA semakin was-was. "tapi kau masih di sini selarut ini. Untuk apa?"

"Aku akan segera pulang. Jangan khawatir," ujar BoA tergesa-gesa bermaksud melewati Yunho. Tangan Yunho meraih lengan BoA dan menahannya di tempat. Mata mereka beradu selama beberapa saat, sebelum BoA memelintir lengannya pelan agar terlepas dari cengkeraman Yunho.

"Bisa kauberikan amplopku kembali?" pinta Yunho baik-baik.

BoA meremas singkat amplop coklat di tangan satunya yang tersembunyi. Ia tidak menjawab selama beberapa detik, sebelum akhirnya melemparkan sebuah senyuman kepada Yunho dengan gugup.

"Oh, ini?" BoA mengangkat amplop itu di antara mereka. “Aku baru saja mencari bahan yang harus diperbanyak untuk pertemuan besok. Bukankah ada di dalam sini?”

“Kau tahu betul apa yang ada di dalamnya,” tuduh Yunho. “Tidak perlu bersandiwara lagi, BoA. Kau akan menyerahkan bukti itu kepada Donghae lagi?”

"Yunho– "

"Kau ingin tahu apa yang ada di dalamnya?" Yunho bertanya dengan tenang, hanya untuk mengejutkan BoA setelahnya. "Buka dan bacalah!"

"Percayalah padaku –"

Please Subscribe to read the full chapter
Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!
kiborina
Hello, my beloved readers! Just want to let you know that I'm still alive and will continue my stories ^^
Don't worry, I won't discontinue my stories without prior notice.
Please have some faith in me. For those who keep waiting for my stories, THANK YOU SO MUCH!

Comments

You must be logged in to comment
retnoyuul #1
Chapter 16: Lucky me that I had a sudden urge to check my account. And see what I got? Another treasure from a deeper soil. Lucky me God I'm sO LUCKY!!
Jadi gini... Duh, Aku bingung mau bilang apa:(

Do we even share the same conscience?:( Cause your randomness of combining Siwon and Donghaes names altogether and tagging Siwon along into the story (wait. I don't quite remember. Dia baru muncul di epilog ini aja kan?) and making his encounter with Changmin and creating that ticklish romantic attraction--had me wrapped around your little fingers!
So basically I am a super nerd of that Yunho/Changmin/Siwon crack and this epilogue gave me a glimpse of hope of that relationship. But nah, I knew its supposed to be an epilogue (though I wouldn't mind AT ALL to have more of them hohoho) and that's okay. Thankyou for adding up their interactions :) I'm so blessed.

As for Haewon abbreviation: Does that mean Siwon and Donghae created the company together? Does Siwon have the similar hatred to Yunho? What has Siwon got to do with Yunho? Sorry I might have slipped in some chapters, but... There's just some tangled wires in my head.

Then again, thank you for giving us the epilogue we didn't expect. It's so sweet and romantic and just uwu :3 I hope to see more from you! Love
Bigeast88 #2
Chapter 16: Woah surprised for the epilogue!! Thank you for writing thisss XDD
vitachami
#3
Chapter 16: Seneng deh ada epilognya..
Manis banget sih changmin sekarang


Author, blh tambahi lagi yaaa...
Epilognya di lanjut..
azukireii #4
Chapter 16: Akkkkkkkkkkh ini epilog yang manis banget sampe ku baca berulang-ulang hahaaha
Memang orang yg dimabuk cinta ini kayak mereka ya hahaha terima kasih authornim, pembaca jadi memiliki persepsinya tersendiri terhadap sebuah kalimat yg bermakna ganda. Tetap semangat
QueenB_doll #5
Chapter 16: Huweee ada epilogue nya...aku harus baca dari awal lagi thornim..hiks..hiks..terharu bgt pokoknya authornim mau bikin chap penutup ini...TTT.TTT
upiek8288 #6
Chapter 16: Miss this story sooo much..
Epilogue yg butuh epilogue... ???
Thank you for the story.. ?
bebebe #7
Chapter 15: Love the ending !!!!!!
lusiwonkyu
#8
Chapter 15: Akhirnya ff yg di tunggu2 end... Thanks author udah nyelsaiin janjimu... Ending nya akuu sukaaaaa...
JiJoonie
#9
Hello my beloved author!!! Its been a while, udah lama sejak terakhir kali kakak up dan aku membaca karya kakak, jadi aku mau mengulang kembali membaca, mengulang kisah dan mengulang tawa serta air mata disini!! I love u and thank u soooo much kak!
retnoyuul #10
Chapter 15: So this is the end, a beautiful ending. I still can't believe that you're so determined and unshakeable hehe. Honestly, aku ngerti bgt gimana rasanya kehilangan fic yg udah ditulis sepenuh hati, like 'this computer apparently hates me so much' wkwk, karna aku juga (pernah) jadi author Homin di FFn.Net. Dan yang bikin aku keep up sama TWW pertama kali itU KARNA WRITING STYLE KAMU ITU SELERA AKU BANGETTT UNCHHH. And I think that I found myself my lost twin hoho (alay ya? Haha bodo ah yang penting aku cinta kamu dan TWW ^^). BTW, If you don't mind you can visit my story in (https://m.fanfiction.net/s/11235338/1/Rome-Philosophy) by ursolace. But still uncompleted, since I lost my chapter 2 and feeling no urge and lack of motivation to rewrite ehehe. Itulah kenapa aku bangga dan terkesan banget karna kamu masih mau bangkit dan terus ngelanjutin TWW walau nyaris lumutan ehehe.&lt;br /&gt;<br />
Anyway, as for the story: I LOVE THESE JOYFUL TIDINGS, tho. Penulisan yang bagus bgt ditambah konflik yang berbobot. Bahkan di tengah fic, aku sempet ship Yoo/Min karna YC lebih berprinsip dan showing his emotion daripada YH dan CM sendiri. Donghae is just another little scamp we all have the right to detest, right? Alongside the venomous BoA haha. Pokoknya aku suka banget ups/downs dan push/pull semua karakter kamu di sini. Dan setiap ada kissing scene Homin somehow aku meleleh banget wkwk. And you're too naughty to let ur readers have their wild ideas as the line goes "Kita tidak pernah membicarakan ini, tapi aku ingin kau tahu. Jangan berkata kau tidak tahu samasekali, Changmin." GOSH WHY DID U DO DIS TO ME SISTA. What do you mean with 'ini', Yunho? Why can't you make it obvious? Why don't we go with their more intimate scene??&lt;br /&gt;<br />
Dear author, pokoknya aku terus medukung karya2 Homin kamu berikutnya. Since it's getting hard to find fine and beautiful Homin fics out there nowadays. Don't let them go extinct! Love ^^