9 - Lose

Unfathomable Friends

LOSE

Aku berjalan lemas menuju apartemenku, hari ini menjadi salah satu hari yang sangat aku tidak inginkan dalam hidupku. Kacau, itu lah kata yang dapat menggambarkan keadaanku sekarang.

Setelah masuk kedalam apartemen, pemandangan apartemenku sama kacaunya denganku. Aku berjalan gontai mulai meletakkan barang – barang kembali pada tempatnya, terakhir aku menaruh beberapa buku yang bergeletakan diatas meja kedalam lemari. Aku mengalihkan pandanganku pada nakas disampingnya, dalam sebuah frame terlihat senyum bahagia dari Aku, Hyemi, Baekhyun, Sehun dan Chanyeol, pemandangan yang berbanding terbalik dengan sekarang. Mereka pasti kecewa padaku, Aku mengambil tindakan atas keinginanku sendiri, Aku tidak ingin mendengarkan pendapat mereka, Aku mencoba melakukan semuanya sendiri dan pada akhirnya semuanya menjadi berantakan.

Benar apa yang dikatakan Hyemi, aku membuat mereka merasa  tidak penting.

Beberapa kali aku melakukan panggilan pada mereka, namun tak satupun yang menjawab panggilanku. Hyemi pasti sudah menceritakan kejadian tadi siang pada Baekhyun dan Chanyeol.

Kali ini aku mencoba menghubungi Luhan, aku berharap ia bisa membantuku. Beberapa kali aku menelepon Luhan, jawaban yang kudengar tetap sama ‘Nomor yang anda tuju sedang berada di luar jangkauan’.

Luhan berbohong padaku, secara tidak langsung ia juga membuat hubunganku dengan sahabat – sahabatku menjadi sedikit buruk, mulai dari Baekhyun hingga Hyemi yang menuduhku melupakannya karena kehadiran Luhan, dan sekarang ia menghilang begitu saja tanpa berpamitan padaku.

‘Kau meninggalkanku untuk yang kedua kalinya, Lu’.

 

***

Keesokan harinya.

Aku berjalan menuju studio musik, mata dan kepalaku sangat berat, hampir semalam aku memikirkan masalahku dengan mereka.

“Hey, kenapa baru datang sekarang?” Junmyun menyapaku yang baru saja masuk kedalam studio yang sepi, hanya ada Junmyun disana yang sedang membereskan barang – barangnya.

“Uhm, tentu saja latihan.” Jawabku bingung.

“Mwo? Latihan sudah berakhir. Hari ini jadwal latihan kita pagi hari Min Gi-ya.” Jawab Junmyun.

Aku melihat jadwal latihan yang kucatat dalam handphoneku. “Di jadwalku hari ini latihan siang hari.”

“Baekhyun mengirim pesan jika jadwal latihan hari ini dirubah. Kau tidak menerima pesannya?” Junmyun menyampirkan tasnya pada bahunya.

“Ah, ani, aku lupa aku tidak membaca pesannya” Aku tertawa palsu didepan Junmyun, padahal jelas – jelas aku tidak menerima pesan dari Baekhyun.

“Baiklah, sebaiknya kau pulang. Aku akan mengunci studio, Baekhyun yang memintanya.” Junmyun menunjukan kunci yang ia pegang.

“Ne” Jawabku singkat.

Setelah Junmyun pergi, tinggalah Aku sendiri disini, duduk di kursi tepat di depan studio musik. Aku meminta Junmyun menceritakan kejadian beberapa hari lalu. Salah satu perkataan Junmyun terus menerus terngiang –ngiang di telingaku.

“Baekhyun kehilangan kata – katanya setelah Sutradara Kim melempar beberapa kertas tepat didepan wajahnya. Aku tidak mengira jika Sutradara Kim semarah itu. Padahal ia sudah menjelaskan jika kau sedang sakit dan tidak memungkinkan untuk latihan.”

Aku semakin merasa bersalah, Baekhyun mencoba melindungiku yang menjadi satu – satunya orang yang patut disalahkan atas semua ini. Pikiranku menjadi semakin kacau, aku mengirimi beberapa pesan pada Baekhyun namun tak satupun ia balas, panggilanku pun jelas – jelas ia abaikan sejak kemarin.

Aku memegang erat handphoneku berharap Baekhyun membalas pesan atau panggilanku. Tatapanku kosong, aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan, jika aku datang ke apartemennya tentu saja ia tak akan membukakan pintunya untukku. Tiba – tiba handphoneku berdering, tanpa melihat siapa yang menelepon aku langsung mengangkatnya, karena yang ada dalam pikiranku hanya Baekhyun.

“Baek, mianhae-”

“Min Gi-ah, ini Aku, Kyungsoo”

“Ah, Kyungsoo mianhae. Ada apa?”

“Kau tidak akan datang ke cafe? Hari ini adalah hari terakhir kita bekerja disini.”

“Aku datang, aku akan segera kesana.”

“Baiklah, kau baik – baik saja? Bagaimana dengan teman – temanmu?”

“Akan aku ceritakan nanti. Sampai bertemu disana Kyungsoo..”

Aku mengakhiri panggilan Kyungsoo secara sepihak, aku bergegas menuju cafe kurasa hari terakhirku disana tidak akan berakhir seperti hari kemarin.

 

***

Hari terakhirku dan Kyungsoo cukup menyenangkan, para pegawai disini membuatkan kami kimchi spaghetti makanan favoritku dan Kyungsoo sebagai hadiah perpisahan. Mereka mengucapkan banyak terimakasih pada kami yang sangat membantu. Setelah acara makan bersama selesai aku dan Kyungsoo duduk di tempat favorit kami disini, dapur. Kami mencuci piring - piring bekas perayaan perpisahan kami.

“Kyungsoo, apa yang harus kulakukan? Tak satupun dari mereka dapat kuhubungi” Aku membilas setiap piring yang sudah Kyungsoo cuci.

“Kau harus menemui mereka.” Jawab Kyungsoo.

“Mwo?” Aku membulatkan mataku.

“Kau takut?” Kyungsoo mengerutkan keningnya.

“Ani, aku hanya- mereka pasti menghindariku.” Aku ragu – ragu menjawab pertanyaan Kyungsoo.

Kyungsoo mencuci tangannya, tugasnya mencuci piring telah selesai.

“Kau harus mencobanya terlebih dulu.”

“Baiklah” Aku mengangguk setuju. “Uhm berikan aku sebuah tart ukuran kecil dengan lilin ulang tahun diatasnya” Lanjutku.

“Untukmu?” Tanya Kyungsoo.

“Bukan, untuk Chanyeol. Aku akan menemuinya dulu sebelum yang lain, Aku akan mengucapkan selamat ulang tahun padanya.” Tugasku selesai, aku meletakkan piring dan gelas pada rak disebelahku.

“Baiklah, kurasa ia akan senang mendapat kejutan darimu.” Kyungsoo tersenyum.

Ia kembali dengan sebuah tart coklat dengan beberapa buah cherry sebagai hiasannya, ia juga meletakkan beberapa lilin ulang tahun diatasnya.

Aku menghentikan kegiatanku dan berkata lemas “Ta-pi- ini sangat terlambat.”

“Tidak apa – apa, dia akan menghargaimu. Chanyeol adalah orang yang baik.” Kyungsoo mencoba meyakinkanku.

“Ya aku tahu itu, mereka semua sangat baik padaku, Aku lah yang penyebab semua masalah ini.” Kataku dengan nada parau.

“Berhentilah menyalahkan dirimu sendiri” Kyungsoo meletakkan piring terakhirnya.

 

***

 

Aku berdiri di depan pintu apartemen Chanyeol dengan kue tart dan lilin ulang tahun yang sudah kunyalakan di tanganku, beberapa kali aku mengetuk pintunya. Semoga ia belum tidur. Syukurlah Chanyeol membuka pintunya setelah ketukan ke sepuluhku, mungkin.

“Saengil chuka hamnida Saengil chuka hamnida Saengil chuka hamnida, Saengil chuka Chanyeol Oppa, Saengil chuka hamnida~”

“Apa yang kau lakukan?” Respon tak terduga datang dari Chanyeol, ia berdiri disana menatapku tak ramah.

 Aku menunduk sedih menatap lilin diatas kue tart yang hampir habis dimakan api.

“Chanyeol, mianhae.”

“Dengan siapa kau datang kesini huh?” Tanya Chanyeol ketus.

“Kyungsoo mengantarku, tapi ia baru saja pulang” Jawabku ragu – ragu.

“Pulanglah kembali bersamanya! Dia pasti belum jauh.” Chanyeol hendak menutup pintunya kembali, tidak memperdulikanku yang masih berdiri tegap didepannya.

“Chanyeol-” Aku menahan pintu itu dengan sebelah tanganku. Tentu saja penolakan dari Chanyeol tak dapat kubiarkan begitu saja.

“Wae?”

“Kau tidak memaafkanku? Dengar, kerja paruh waktuku telah berakhir aku akan berlatih dengan sungguh – sungguh sekarang-”

“Ini sama sekali bukan tentang itu, tapi kau yang telah berbohong!”

“Chanyeol, aku dapat menjelaskan semuanya-”

Aku berhenti sebelum melanjutkan kata - kataku, merasakan cairan berwarna merah berbau amis keluar dari salah satu lubang hidungku.

“Hey, kau sakit?” Tart itu segera berpindah ke tangan Chanyeol. Ia menarikku masuk kedalam apartemennya.

Chanyeol memberiku sebuah handuk kecil bersih untuk membersihkan mimisan di hidungku. Kami duduk bersebelahan diatas tempat tidur Chanyeol yang dipenuhi berbagai macam benda mulai dari laptop, kertas – kertas yang berserakan dan seperangkat alat makan.

“Maafkan aku untuk ulang tahun mu, aku sangat menyesal-”

“Kue nya enak, dimana kau membelinya huh?” Tanpa menunggu penawaran dariku Chanyeol segera melahap tartnya.

“Chanyeol, kau sudah memaafkanku?” Aku memiringkan wajahku menatap Chanyeol.

“Hanya jika kau mencarikanku kekasih seperti Sandara Park.” Chanyeol menyikut sikutku disertai tawanya.

“Yeollie!” Aku menghadiahinya sebuah cubitan di hidungnya.

“Sebenarnya aku tidak marah padamu, aku hanya kecewa padamu.” Jawabnya dengan nada yang agak serius.

“Aku tidak bermaksud seperti itu”

“Lalu?”

“Aku tidak ingin merepotkan kalian, aku hanya mencoba menyelesaikan masalahku sendiri”

“Hey, kau hanya hidup sendiri di dunia ini huh?”

“Uhm, tidak.”

“Seharusnya kau mengatakannya pada kami, sehingga kau tidak mengacaukan semuanya.”

“Aku tahu” Aku mengangguk mengerti.

“Jika kau ingin aku benar – benar memaafkanmu datang lah dengan  2 tart seperti ini lagi.”

“Chanyeol, aku sedang tidak ingin bercanda, kau mengerti?” Aku memutar mata dan hendak menghadiahinya pukulan di perut sebelum akhirnya Chanyeol berhasil menangkap tanganku lebih dulu.

“Yes Mom!”

“Chanyeol!” Teriakku.

Chanyeol melahap potongan terkakhir tartnya, aku hanya di berinya satu potongan itupun potongan terkecil. Aku patut bersyukur karena seorang Park Chanyeol yang begitu mudahnya melupakan kesalahanku.

“Bagaimana dengan Baekhyun?” Tanyaku pada Chanyeol yang kembali pada kegiatan awalnya sebelum aku datang, bermain dengan gitar kesayangannya.

“Kau tentu tahu seperti apa dia, kadang – kadang ia sangat sensitif  dan dia tak semudah aku yang dapat disogok dengan sebuah kue tart.” Chanyeol memetik senar gitarnya dengan teratur menciptakan sebuah nada yang nyaman di telinga.

Aku mengehembuskan nafas ke udara. Tentu saja Baekhyunlah yang paling keras kepala diantara kami.

“Dia pasti sangat marah padaku.”

“Kau sudah mengetahuinya untuk apa bertanya padaku” Jawab Chanyeol yang masih berkonsentrasi dengan gitarnya.

“Uhm- Bagaimana dengan Hyemi?” Tanyaku lanjut.

“Dia bilang kau bekerja disana karena butuh uang dan karena ada Luhan disana.”

“Ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan Luhan, aku bekerja disana bersama Kyungsoo” Aku menggeleng tak percaya bagaimana mungkin Hyemi menyimpulkan hal bodoh semacam itu.

“Jadi, kau memiliki hubungan dengan Kyungsoo?” Chanyeol menghentikan permainan gitarnya. Park Chanyeol sama bodohnya.

“Chanyeol! Harus kukatakan berapa kali aku sedang tidak ingin bercanda!” Bentakku pada Chanyeol.

“Arraseo arraseo.” Chanyeol tertawa kecil.

Aku memandang Chanyeol dengan sorot mata perlu belas kasihan. “Chanyeol, bantu aku menjelaskan semuanya pada Baekhyun.”

Chanyeol meletakkan gitarnya dan merebahkan tubuhnya diatas tempat tidur. “Kau pikir dia akan mendengarkanku huh?”

“Uhm mungkin” Jawabku lemas.

Aku beringsut menuju sofa untuk mengambil barang – barangku. Hampir tengah malam waktunya untuk pulang.

“Baekhyun, bilang ia akan datang malam ini. Tunggulah sebentar.” Sahut Chanyeol

Aku menuruti perintah Chanyeol, menunggu Baekhyun.

Chanyeol mungkin tertidur. Aku masih dengan setia menunggu kedatangan Baekhyun, aku duduk diatas sofa menonton siaran televisi yang sama sekali tidak menarik. Tak henti – hentinya aku melirik jam tanganku, menghitung berapa lama aku telah menunggu Baekhyun. Pengharapanku tidak terlalu besar, seperti yang dikatakan Chanyeol, jika Baekhyun itu tidak mudah. Tapi tidak ada salahnya mencoba.

Ketukan pintu yang keras membangunkan Chanyeol dari tidurnya, aku yang sedari tadi masih terjaga tahu betul sekarang sudah pukul 1 malam, 3 jam sejak Chanyeol berkata ‘Tunggulah sebentar’.

Chanyeol beringsut dari tempat tidurnya “Bukakan pintunya” perintahnya dengan suara yang serak.

Aku menyiapkan diriku bertemu dengan seseorang dibalik pintu. Aku berjalan menuju pintu dan memberanikan memutar knop pintu kemudian membukannya.

“Baek,” Sapaku diikuti gerakan kikukku

Baekhyun menatapku sekilas.

“Baek, mianhae”

Tidak ada jawaban, Baekhyun mematung disana.

“Baek, jeongmal mianhae.” Ucapku memohon.

Baekhyun sama sekali tidak menghiraukanku, ia berjalan melewatiku sedikit menabrak pundak kananku, ia berjalan menuju tempat tidur Chanyeol kemudiam memilah – milah kertas yang berserakan disana.

“Yeol, Aku hanya datang untuk membawa tugasku yang tertingga.l” Kata Baekhyun.

Aku menutup pintu dan berjalan menhampiri mereka, aku berdiri di depan tempat tidur Chanyeol menonton kegiatan Baekhyun yang sedang berpura – pura sibuk.

Chanyeol yang sedang duduk bersila disebelahnya akhirnya membuka mulut.

“Baekhyun, Min Gi ingin berbicara denganmu.”

“Yeol, dimana kau menaruh kertas – kertasnya?”

Baekhyun masih memilah – milah kertas yang berserakan tak karuan tersebut.

“Baekhyun, dia menunggumu sejak 3 jam lalu.”

Baekhyun tak menanggapi kata – kata Chanyeol , ia memeriksa kertas - kertas miliknya.

“Kau menghilangkan halaman terakhirnya Yeol!”

“Baek, aku sedang tak mebicarakan kertas – kertas sialan itu.” Jelas Chanyeol.

Baekhyun memasukkan kertas miliknya kedalam tas kemudian berbalik menuju pintu.

“Baiklah aku sudah selesai, aku pulang.”

Aku menggenggam pergelangan tangan Baekhyun saat ia melewatiku.

“Baekhyun, kumohon-” Baekhyun tertahan di tempatnya.

“Baekhyun, dengarkan aku sekali saja Baek-” Kataku memohon.

Baekhyun melepaskan tanganku kasar. Ia benar – benar tidak mengakui keberadaanku disini, tak satu pun kata yang keluar dari mulutnya tertuju padaku.

“Uhm Chanyeol, besok jangan lupa besok latihan dimulai pukul 8 pagi,” Baekhyun keluar dan menutup pintu kasar.

Aku menelungkupkan kedua tanganku pada wajahku, mendesah penuh putus asa. Bagaimana cara memperbaiki kesalahanku pada Baekhyun, satu – satunya yang terlintas dalam pikiranku.

“Kau lihat?” Chanyeol menghampiriku.

“Yeollie, apa yang harus aku lakukan?” Suaraku bergetar karena hampir menangis.

Chanyeol mencoba menenangkanku melalui pelukan di pundakku. “Ini sudah sangat malam, aku akan mengantarmu pulang kajja!”

 

***

Aku tidak berniat melakukan apapun begitu aku sampai di apertemen, selain tidur. Saat aku sudah mematikan saklar lampu kamarku dan berada pada posisi yang nyaman untuk tidur, suara ringtone dari handphone menggangguku untuk kesekian kalinya setelah beberapa menit lalu aku abaikan.

Aku menatap layar handphoneku, ‘Appa’ gumamku

“Appa? Mengapa meneleponku selarut ini?”

“Uhm, kau harus pulang Min Gi”

“Appa, aku sudah berada di apartemen sekarang, Appa tidak pelu khawatir”

“Pulang ke China Min Gi-ya”

“Mwo?”

“Appa sudah mentransfer uang ke rekeningmu, belilah tiket pesawat besok pagi, ne?”

“Apa yang terjadi? Mengapa mendadak sekali?”

“Kami merindukanmu dan kebetulan Appa mempunyai cukup uang untuk membelikanmu tiket pesawat. Kau tidak sedang sibuk kan?”

“Uhm, ada latihan drama musikal besok pagi.”

“Min Gi-yaaaaa~”

Suara Appa terdengar seperti suaraku saat masih kecil yang sedang memohon diberikan sepatu baru, aku tersenyum sendiri membayangkannya. Aku juga sangat merindukan mereka.

“Ne Appa, tunggu aku ne? Besok pagi aku akan berangkat.” Jawabku meyakinkan.

“Baiklah, selamat malam sayang.”

“Selamat malam Appa.”

 

***

 

Kebiasaan burukku bangun terlambat datang disaat yang tidak diinginkan. Aku memasukkan barang – barang yang akan kubawa kedalam tas dengan terburu – buru. Tidak lebih dari 10 menit aku menghabiskan waktu untuk mandi. Aku bergegas menuju Incheon, mengingat perjalanan dari sini ke Incheon memakan waktu yang tak sebentar.

Aku memandangi jalanan dari balik jendela taksi yang kutumpangi, Aku teringat jika hari ini ada latihan drama musikal, aku segera mengambil handphone dalam tas untuk memberi kabar pada Chanyeol dan Baekhyun, tapi sialnya handphoneku kehabisan baterai.

Akhirnya aku sampai di Bandara, aku segera menuju loket pembelian tiket.

“1 Tiket untuk tujuan Beijing dengan jam penerbangan paling awal dan kelas bisnis.”

“Ini boarding pass anda Nona. Penerbangan anda 1 jam dari sekarang” Sang pramuniaga tersenyum padaku.

Setelah melalui semua pemeriksaan oleh security, aku berjalan menuju ruang tunggu. Aku duduk disamping seorang wanita paruh baya bersama seorang gadis kecil berumur sekitar 5 tahun. Gadis kecil itu berlari-lari kecil di dalam ruang tunggu, tiba – tiba ia berhenti tepat dihadapanku, memerhatikan wajahku tanpa berkedip.

“Eonnie, kau cantik sekali aku ingin menjadi sepertimu.” Anak perempuan itu tersenyum menunjukan deretan giginya yang bagian tengahnya ompong.

“Ah, kau juga, kau sangaaaaaaaaaaaat cantik. Siapa namamu tuan putri?” Aku tersenyum ramah pada gadis kecil itu.

“Eomma, Eonnie cantik ini memanggilku tuan putri!” Ia menghampiri ibunya yang duduk tepat disebelahku.

“Tuan putri tidak ada yang memiliki gigi seburuk itu.” Wanita tersebut menyentuh hidung kecil milik gadis kecil tersebut.

Wajah sumringah gadis kecil itu berubah menjadi muram, ia melirik kearah ku “Namaku Yuri, siapa nama Eonnie?”

“Nama ku Min Gi, hey wajahmu tidak cantik jika cemberut seperti itu, tersenyumlah.” Aku mengelus pipi Yuri lembut. Yuri malah mengalihkan pandangannya pada sepatunya dan memegangi bagian bawah roknya, ibunya hanya tertawa kecil melihat kelakuan Yuri.

“Kalau begitu Eonnie harus memberiku permen agar aku tersenyum” Aku bertatapan dengan sang ibu, ia menggelengkan kepalanya memberi tanda agar aku tidak memenuhi permintaan Yuri.

“Uhm, Yuri dengar yang membuat gigimu tidak indah adalah permen yang kau makan. Permen memang enak dan manis tapi jika kau memakannya terlalu banyak mereka akan menjadi jahat.” Jawabku.

“Benarkah? Jahat?” Yuri menggaruk kepalanya kebingungan.

“Iya, jika kau terlalu banyak memakannya mereka akan berubah menjadi monster – monster kecil yang tinggal dalam mulutmu dan merusak gigimu. Maka dari itu kita tidak boleh berlebihan memakannya” Aku mengelus kepala Yuri.

“Eonnie, dari mana kau tahu itu?” tanya Yuri.

“Ibuku yang memberi tahuku ketika aku seusiamu” Aku tersenyum manis pada Yuri dan Ibunya.

“Eomma, aku hanya akan makan 1 permen sehari, aku tidak mau ada monster tinggal di dalam mulutku” Yuri meletakkan kepalanya di pangkuan ibunya.

Ibunya, melirikku dan menutup mulutnya dengan sebelah tangannya lalu berbisik “Gomawo”

“Chonmaneyo” Jawabku dengan suara pelan.

Setiap perkataan Eomma selalu kuingat hingga sekarang, Eomma mengajarkanku mulai dari  hal – hal kecil hingga bagaimana menyelesaikan setiap masalah krusial yang kuhadapi setelah aku dewasa. Eomma selalu ada dibelakangku untuk mendukungku dan menjadi penghalang ketika aku mencoba untuk melangkah mundur atau berbalik arah.

‘Eomma, beberapa jam dari sekarang aku dapat memelukmu lagi, tunggu aku’.

‘Kepada para penumpang untuk pesawat B-890-001 dengan tujuan Beijing, diharapkan menuju pintu gerbang kedua. Pesawat anda akan berangkat 20 menit dari sekarang’

Setelah mendengar pengumuman tersebut aku segera menuju pintu gerbang menuju pesawat.

 

***

 

Perjalanan 1 jam dalam pesawat kumanfaatkan untuk tidur.

Akhirnya aku dapat menghirup udara Beijing lagi setelah beberapa bulan meninggalkannya. Aku berjalan keluar airport, kulihat seseorang diluar sana melambaikan tangan ke arahku.

“Tao, sudah lama sekali tidak bertemu.” Aku menghampiri Tao dan memeluknya.

Tao balas memelukku “Aku sedang liburan sampai minggu depan. Ayahmu memintaku untuk menjemputmu di airport.” Katanya.

Tao adalah teman masa kecilku sama seperti Luhan, Aku dan Tao sekolah di sekolah yang sama pada saat sekolah menengah. Tao melanjutkan pendidikannya ke Amerika, itulah yang membuatnya meninggalkan China.

Aku sudah berada dalam mobil Tao. Tao tidak banyak berbicara selama perjalanan. Biasanya ia akan bercerita mengenai kehidupannya di Amerika dan menunjukan selca-selcanya di berbagai tempat di Amerika. Mata Tao agak terlihat sembab, ‘Apa yang salah dengannya’ gumamku dalam hati.

“Tao, mengapa kau sangat pendiam huh?” Tanyaku.

Tidak ada jawaban, Tao tetap fokus menyetir.

“Tao!” Panggilku.

“Ah, ada apa Min Gi?” Tao terkejut mendengar suaraku yang meninggi.

“Lupakan saja” Jawabku singkat.

Tao kembali diam.

 

***

 

Aku sampai di blok rumahku, tapi Tao tidak dapat memarkirkan mobilnya tepat di depan rumahku karena banyak sekali mobil yang terparkir disini. Aku mengikuti Tao keluar dari mobil, kemudian berjalan menuju rumahku, pemandangan yang mengejutkan kudapati di depan rumah.

Orang – orang dengan pakaian gelap ada disana, Halmonim dan Paman juga ada diantara mereka. Mereka semua memandangku dengan tatapan sedih. Aku tidak tahu hari apa ini mengapa semua orang berpakaian seperti itu, aku melirik Tao di sebelahku yang baru kusadari juga memakai pakaian dengan warna yang sama.

“Tao ada apa ini?” Tanyaku.

Tidak ada jawaban, Tao memegang tanganku erat

Aku melepaskan pegangan tangannya, meninggalkan barang – barangku dan berlari menuju rumah melewati beberapa orang yang berkumpul di depanku. Appa sudah menyambutku di pintu dengan senyum tipisnya, matanya merah dan bengkak, rambutnya tidak tertata rapi seperti biasanya. Aku takut, sangat takut, aku tidak ingin melangkah aku takut apa yang ada dipikiranku ini benar adanya.

Aku membeku ditempatku, lutut dan tanganku bergetar. Appa berjalan mendekatiku dan memelukku.

“Appa, dimana Eomma?” Tanyaku.

Appa tidak menjawab pertanyaanku, aku merasakan tetesan air mata Appa yang jatuh diatas pundakku.

“Appa, jangan membuatku takut.” Kataku lirih.

Appa tidak menjawab aku bisa merasakan nafasnya yang tidak teratur dan tangisnya yang semakin memuncak.

Aku melepaskan pelukannya, dan berteriak “Mengapa semua orang disini tidak ada yang mau berbicara padaku?”

“Pelankan suaramu sayang,” Suara Appa bergetar karena tangisnya.

Appa menuntunku memasuki rumah, disana kulihat sebuah peti mati bertengger di ruang tengah, aku menguatkan langkahku berjalan menuju benda paling menyeramkan itu. Ketakutanku semakin memuncak, badanku bergetar. Sebuah tubuh kaku ada didalamnya, Eomma.

Aku sangat berharap jika ini hanyalah mimpi, sosok yang kulihat didalam sana bukan Eomma, Aku mungkin salah orang. Tapi disampingku Appa memeluk pundakku erat, tangisnya masih belum berhenti sebuah ekspresi nyata yang meyakinkanku jika ini bukan mimpi. Aku tidak dapat menahan air mata dalam pelupuk mataku lagi.

“Eomma, aku pulang. Jawab Aku Eomma,” Aku mengelus wajah putih bersihnya. Kulitnya sangat dingin.

Aku melihat beberapa luka bekas infusan pada tangannya. Sangat menyakitkan bagiku.

“Eomma, apa ini sakit? Eomma katakan padaku bagian mana yang sakit?” Aku menyentuh lembut lukanya. Air mataku mengalir semakin deras.

“Eomma, jangan tinggalkan Aku,” Aku memegang tangannya yang terkulai lemas, tidak ada sambutan pegangan erat dari tanganya.

“Eomma, kumohon Eomma-”

Aku tersungkur diatas lantai, menangis sejadi – jadinya. Eomma telah pergi, pergi untuk selamanya. Aku tidak bisa melihat senyumnya lagi, mendengarkan suaranya, merasakan setiap sentuhannya. Mengapa Eomma pergi secepat ini, bahkan disaat aku tidak ada disampingnya.

 

***

 

Upacara pemakaman telah selesai, satu persatu kerabat meninggalkan rumahku, hingga yang tersisa hanya Aku dan Appa.

Aku duduk di beranda kamarku menatap langit yang sebentar lagi berubah menjadi gelap. Aku masih tidak percaya dengan adanya hari ini, semuanya terjadi begitu cepat. Ini bukanlah hidup yang seperti aku bayangkan atau inginkan. Aku tidak tahu apa yang akan aku lakukan setelah ini, aku kehilangan arah, Eomma yang selalu menjadi penunjuk-ku, menuntunku dan dibelakangku telah tiada.

‘Cklek’

Suara kenop pintu terbuka terdengar dari dalam. Aku melihat sekilas, Appa datang dengan sebuah burger dan cola tangannya. Appa menghampiriku dan duduk disebelahku yang sedang duduk memeluk lutut ini.

“Appa yakin kau masih menyukai ini.” Appa menawarkan burger dan cola yang ada ditangannya.

Aku bergeming.

“Min Gi, kau belum makan apa – apa sejak tadi pagi, ayolah jangan membuat Appa khawatir.” Appa menatapku dengan tatapan memohon.

Akhirnya Aku luluh mengambil burger yang ada ditangan apa, Aku memakannya perlahan. Appa membukakan kaleng colanya kemudian menyodorkannya kehadapanku, Aku mengambilnya dan meminumnya sedikit.

“Kemarin malam, Eomma ada dalam kondisi kritis. Dokter bilang ia masih bisa bertahan hingga 3 bulan kedepan, tapi Tuhan memiliki rencana lain. Tadi pagi, mungkin ketika pesawatmu baru berangkat, Eomma pergi meninggalkan kita untuk selamanya.” Jelas Appa. Kali ini ia sudah tak menangis lagi, mencoba terlihat tegar dihadapanku.

“Kenapa Appa tidak memberitahuku sejak awal?” Aku tidak bisa berpura – pura seperti yang Appa lakukan, air mataku kembali menetes untuk kesekian kalinya.

Appa menatap langit yang kini sudah gelap dan menarik nafas panjang. “Eomma hanya tidak ingin membuatmu khawatir, ia ingin agar kau tetap fokus belajar. Eomma di rumah sakit sejak 2 bulan lalu, Appa mengusahakan segala yang terbaik untuknya.”

Inikah alasan mengapa Eomma tidak mau melakukan video call denganku, karena Eomma berada di rumah sakit’ gumamku dalam hati.

Aku bungkam. Tak ada yang bisa aku katakan, lidahku kalu, hanya air mata yang tak berhenti mengalir di wajahku. Appa memelukku dengan tangan kirinya, membiarkan kepalaku beristirahat di pundaknya. Appa mengelus - ngelus kepalaku dengan lembut.

“Dengar, sekarang kau adalah satu – satunya milik Appa. Kita dapat melaluinya bersama sayang, jangan khawatir Appa selalu ada disampingmu.” Ucapnya.

 

 

 

Mianhae for typo, I've little frustation to finish this chapter kekekeke ~

Thankyou for reading <3

Tell me if something weird about this story :D

 

At next chapter will show who will help Min Gi, is Baekhyun? or Luhan? Seeeee youuuuuuu readers :D

 

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!
autumndoor
Editing is going on. Sorry :(

Comments

You must be logged in to comment
baekness58 #1
Chapter 15: waw.. mengharukan banget. cara ngelamarnya baekhyun dann ternyata anaknya pun ikut2an juga.
tentang percakapan minhyuk dan baekhyun, aku terharu dengernya
bener2 aku pengen nangis bahagia
apalagi yang minhyuk minta dikasih liat peri cahaya sama kata2 terakhir
itu bener2 kena banget di hati /? itu juga kalimat yang bener2 pas buat nutup cerita ini. keep writingg!!
gogigirl #2
Chapter 15: Ceritanya bagus.. Suka
baekness58 #3
Chapter 14: ini bener2 chapter yang aku suka banget.. baekhyun sweet bener dah. trus yang baekhyun nyium min gi itu seneng nya ga main beneran dah. seneng banget mereka uda balik. min gi juga uda bebas dri keterpurukannya itu. yaampun kalimat terakhir bener2 dah. sekarang yang pikirannya bermasalah baekhyun atau min gi ni hahhahahhahha
carikan pasangan buat chanyeol oke.
ggamjjongin
#4
Chapter 14: ini lucuuuu >< sweet bgt sih mereka berdua. heueueueueu
baekness58 #5
Chapter 13: Aduh aku penasaran banget
Cepet next chapter yaaa
jesikamareta10 #6
Chapter 13: aku menunggu kelanjutannya, penasaran deh min gi bisa ngomong gak ke baekhyun
jesikamareta10 #7
Chapter 12: baeki kok kabur gitu aja sih, kan jadi gtw perasaan min gi gimana
xhxrat_ #8
Chapter 13: Next chapt thor~~
kyungie12_ #9
Chapter 12: mudah mudahan min gi bisa sama baekhyun endingnya amin
cepat lanjutkan ya thor
hwaiting
ggamjjongin
#10
huft.... luhan.... huft...