12 - Kiss

Unfathomable Friends

Maaf untuk post kemarin... buru - buru.... jadi.... banyak typo :(

sekarang sudah sedikit diperbaiki semoga lebih enak dibaca :)

 

Hari ini adalah gladi terakhir untuk pementasan drama musikal. Latihan dilakukan langsung di tempat pementasan—Grand Theater Chungmu Art Hall.  Aku sedikit gugup mengingat bagaimana jadi harinya esok, ratusan pasang mata akan tertuju padaku. Seperti yang disarankan Sutradara Kim dan Baekhyun, aku tak perlu memporsir seluruh kemampuanku hari ini, persiapan untuk besok lebih penting.

Aku duduk bersila di tengah – tengah panggung tak ditemani siapapun—ditinggalkan  para anggota lain untuk makan siang. Aku membayangkan bagaimana reaksi orang – orang yang akan melihat penampilanku besok.

Akankah aku melakukan semuanya dengan benar? Menari sesuai ketukan? Menyanyi tanpa melupakan lirik lagu?

“Ah!” Membuatku frustasi memikirkannya, kali ini kurasa aku mengalami kekhawatiran yang Kyungsoo sering rasakan—mungkin lebih.

“Kau sudah melakukannya dengan baik, kau menari seperti peri di negeri dongeng.” Kyungsoo menyikut bahu kiriku. Derap langkah Kyungsoo bahkan tak kudengar karena terlalu fokus pada pemikiranku tentang hari esok.

“Oh kau berlebihan Soo,” Aku tersenyum mendengar pujian Kyungsoo, membuatku sedikit tenang setidaknya Kyungsoo salah satu yang mengakui jika tarianku tak buruk.

“Sebenarnya aku lebih gugup darimu, jika kau ingin tahu.” Kyungsoo berdeham.

Kyungsoo duduk disebelahku, kakinya diselonjorkan, telapak kakinya tepat menghadap kursi – kursi penonton di depan kami sementara ia menopang berat badannya dengan kedua telapak tangan yang menekan lantai panggung. Kyungsoo ternyata memiliki kaki yang panjang dengan tinggi badannya tak dapat dapat Ia banggakan itu.

“Kyungsoo, mungkin semua pemain akan merasakan hal yang sama hari ini. Rasa gugup ada karena kau merasa khawatir jika penampilanmu tidak akan memuaskan penonton dan artinya kau ingin memberikan yang tebaik.”

“Kira – kira begitu,” Kyungsoo mengadahkan wajahnya pada langit – langit ruangan “Kita akan mendapatkan yang terbaik jika kita memberi yang terbaik.”

Kyungsoo merubah posisinya, duduk memeluk lutut dan berbalik menghadapku. Mulutnya terbuka hendak mengatakan sesuatu kemudian tertahan oleh helaan nafas, akhirnya ia kembali mengunci mulutnya. Raut wajah ragu – ragunya terlihat jelas disana.

“Ada yang ingin kau katakan?” Tanyaku penasaran. Sejak tadi pagi Kyungsoo mencari kesempatan untuk berbicara denganku namun apa boleh buat waktuku tersita penuh untuk latihan.

“Uhm- Luhan- sudah pulang.” Katanya ragu.

“Oh, baguslah.” Aku tersenyum tipis.

Kyungsoo memandangku sekilas, pria bertubuh mungil itu mengetuk – ngetukan jari – jari panjangnya pada lantai panggung. “Dia sakit.”

“Sakit?” Aku mengerutkan kedua alisku.

“Ya, Luhan tinggal di Ilsan sementara waktu bersama ibunya karena Ia sakit, Ia juga di rawat beberapa hari di rumah sakit,” Jelas Kyungsoo dengan nada suara khawatir “Tapi sekarang Ia sudah pulih.”

Aku mengamini semua penjelasan Kyungsoo.

“Aku akan menemuinya setelah pementasan drama musikal berakhir.” Kataku.

“Kau yakin?” Kyungsoo membulatkan matanya.

“Tentu saja, dia sahabatku. Tak salah kan jika aku peduli padanya?”

“Kau benar,” Kyungsoo mengangguk yakin. “Dia meminta nomor barumu tadi pagi, kurasa dia akan menghubungimu secepatnya.”

 

***

 

“Hey kiddo!” Teriakan Chanyeol menggema seisi ruangan.

Chanyeol setengah berlari menghampiri kami, tidak segan – segan merangkul Kyungsoo dengan tangan raksasanya. Kyungsoo terlihat tak nyaman dengan posisinya—sedikit tercekik. Tak beniat melawan—Kyungsoo  hanya tertawa.  Kyungsoo terlihat kegelian. Mereka berdua terjatuh berbaring diatas lantai panggung, tentu saja tubuh mungkil Kyungsoo tak mungkin dapat menahan berat badan sang raksasa.

“Apa yang kalian lakukan?” Aku bangkit, berdiri di hadapan mereka. Mereka seperti anak kucing yang sedang berkelahi diatas lantai.

Chanyeol melepaskan Kyungsoo, ia berguling kesamping. Begitupun Kyungsoo berguling ke arah yang berlawanan.

“Hanya salam persahabatan Min Gi-ah.” Jawab Chanyeol sedikit tertawa.

“Kau menyakitinya!” Balasku sambil menunjuk Kyungsoo yang sedang terbatuk – batuk sambil memegangi lehernya.

Kyungsoo bangun dan ikut berdiri disampingku “Aku baik – baik saja.” Ia tersenyum. “Yeol, ayo aku ingin kita berlatih lagi untuk adegan saat kita melompat dari kursi diatas sana.”

Kyungsoo menunjuk kursi – kursi yang telah ditata di bagian belakang panggung dengan latar belakang pohon dan semak – semak  imitasi. Kursi – kursi itu diletakkan bersusun diatas sebuah tangga, masing – masing di depannya terdapat sebuah meja yang dilengkapi sebuah borgol yang akan melingkar di tangan Chanyeol. Kyungsoo bertugas membuka borgol tersebut, setelah itu ia akan melompat ke tangga berikutnya dari atas kursi.

Kyungsoo dan Chanyeol duduk bersebelahan di kursi tersebut. “Min Gi! Tolong perhatikan jika gerakanku salah.” Sahut Kyungsoo dari atas sana.

Aku mengacungkan jempol pada Kyungsoo.

“Jika Ia terjatuh kau bertugas menangkapnya!” Balas Chanyeol

“Aku bukan seorang spotter Yeol!” Aku berteriak dari bawah.

Kyungsoo menatap Chanyeol dengan tatapan tajam yang berasal dari mata bulat dan penuh miliknya—Ia meninju ringan lengan Chanyeol “Dan kau pikir aku akan melompat seperti seorang pemandu sorak huh?”

Chanyeol tak menjawab, Ia terkikik sendiri.

 

***

 

Hari telah larut, anggota yang lain telah pulang lebih dulu. Kyungsoo menawarkan tumpangan bersama scooter baru miliknya, tapi aku menolaknya karena aku kehilangan seseorang. Aku menyusuri pelataran gedung teater mencarinya—aku sampai tepat di depan pintu gedung teater. Aku membuka pintu gedung teater, rupanya disinilah orang yang kucari – cari.

Baekhyun mengusap – ngusap matanya beberapa kali, kurasa ia sedang menahan kantuk. Sejak tadi siang Ia sama sekali tak mengizinkan drinya untuk beristirahat. Ia memastikan semua properti lengkap dan terpasang dengan benar, memerhatikan penampilan setiap pemain, mendengarkan dengan musik yang bermain sepanjang pertunjukan dan mengecek segala hal yang diperlukan.

Baekhyun memandangku lurus dari kejauhan. Aku berjalan menuruni tangga, melewati barisan kursi penonton sebelum akhirnya aku sampai di hadapan Baekhyun.

“Alien, kau tak akan pulang?” Tanyaku.

“Aku tak mendapat tiket penerbangan ke Mars!” Baekhyun memukul kepalaku dengan gulungan kertas yang ia pegang.

“Ah- aku tidak memukulmu! Mengapa kau memukulku ha?”

”Aku benci kau memanggilku Alien! Aku lebih tampan dari itu kau tahu?”

“Berhentilah memuji dirimu sendiri Baek!”

“Dan berhentilah mengejekku Min Gi!”

Baekhyun berjalan dan duduk di barisan kursi penonton paling depan—mengambil sekaleng kopi yang ia letakkan diatasnya. Baekhyun duduk sambil menyelonjorkan kakinya, tak lama kaleng kopi itu dibuka, kafein itu segera mengalir kedalam tenggorokannya.

Aku mengikuti Baekhyun dan duduk di kursi sebelahnya, kesempatanku mencuri beberapa teguk kopi miliknya hilang sudah—Baekhyun menghasbiskannya dalam sekali teguk.

“Mengapa kau tak pulang bersama Kyungsoo?” Baekhyun berdeham. “Kudengar dari Chanyeol ia menawarkan tumpangan padamu.”

“Aku pikir kita akan pulang bersama, bukankah kita juga datang bersama?”

Pagi – pagi buta Baekhyun sudah menunjukan senyum lebar berbentuk segi empat saat aku membuka pintu apartemen. Tanpa mengirimiku pesan singkat atau panggilan telepon, Ia sudah bersiap mengajakku pergi bersama ke gedung teater ini. Saat Baekhyun datang sebenarnya adalah beberapa menit setelah aku bangun dari tidurku. Baekhyun tau kebiasaan burukku datang terlambat, kurasa itulah alasannya ia datang sepagi itu.

“Harusnya kau tak menungguku, kau harus istirahat untuk besok.” Baekhyun berdeham.

“Begitupun kau Baek!”

“Aku baik – baik saja-”

“Ayolah ini sudah larut, aku akan menyetirkan mobil untukmu.” Aku menarik tangan Baekhyun memaksanya agar bangkit dan segera keluar dari gedung teater.

Aku tak melepaskan genggamanku pada tangan Baekhyun. Aku berhasil menariknya hingga pintu keluar, yang benar saja apa ia akan bermalam di gedung teater ini?

Percaya atau tidak tenagaku sanggup merobohkan pertahanan Baekhyun.

“Lepaskan aku!” Protes Baekhyun yang sedang menyeret langkahnya mengikuti langkahku yang dipercepat.

“Tidak!” Teriakku, cukup membuat Baekhyun bungkam.

 

Kami sudah sampai di depan mobil Baekhyun. Aku melepaskan peganganku pada tangannya, pergelangan tangannya memerah, kurasa pegangan tanganku sukses menghambat aliran darah dalam arterinya.

“Berikan aku kuncinya Baek!” Aku menyikut lengan Baekhyun, menengadahkan wajahku berlaga sok jago di depannya.

“Masuklah aku yang akan menyetir.” Baekhyun menarik kerah mantelku, menggiringku menuju pintu masuk mobil.

“Oh, baiklah baiklah.” Aku tak membalas balik

Perjalanan terasa singkat akibat jalanan yang lenggang. Kami berdua sudah sampai di depan gedung apartemenku dalam menit yang singkat. Baekhyun tak dapat menyembunyikan wajah lelahnya, lingkaran hitam dibawah kelopak mata itu kurasa semakin luas, Baekhyun memang seorang yang pekerja keras. Pria itu kini  menumpu berat kepalanya pada setir mobil berharga ratusan juta won ini—menghidari tatapanku yang sepertinya terlalu intens.

“Oh, Baekhyun kemeja yang akan kau kenakan besok ada dalam tas kostumku, masuklah dulu.” Tawarku

Ia mengangguk tanpa menjawab.

 

***

 

Sesampainya di apartemenku, Baekhyun langsung memposisikan dirinya terlentang diatas karpet bulu domba yang dikirimkan Appa beberapa hari lalu sebagai pengganti sofa kesayanganku yang harus dibawa petugas jasa cuci sofa. Aku meninggalkan Baekhyun yang terkapar disana untuk berganti pakaian di kamar tidur.

Aku kembali, Baekhyun masih di tempat yang sama.

“Kau ingin aku buatkan susu? Coklat? Vanilla?” Tawarku pada Baekhyun yang kini tengah menyalakn sambil menonton sebuah acara reality show di salah satu stasiun televisi—yang menampilkan kisah kesuksekan seorang artis.

“Apa aku tidak salah dengar?” Baekhyun dikejutkan dengan tawaran langkaku.

Ia menengadah memandangku yang berdiri di sampingnya. Wajah heran Baekhyun terlihat setelah ia menaikkan sebelah alisnya dan menyipitkan mata menatapku dari ujung kaki hingga ujung kepala, memastikan jika hari ini aku tidak terjatuh dan mengalami amnesia ringan karena tiba – tiba bersikap manis padanya.

“Aku akan membuat untukku, aku tak mau kau menghabiskan milikku.”

Baekhyun salah. Tentu saja selalu ada alasan untuk sebuah tindakan. Meskipun sebenarnya aku benar – benar peduli tapi aku tak ingin membuatnya terlalu jelas.

“Baiklah buatkan aku yang vanilla.” Baekhyun berdecak.

 

Aku melangkah menuju dapur mini milikku di seberang ruangan. Sepasang mug couple bergambar Hello Kitty hadiah ulang tahun dari Hyemi kugunakan sebagai wadah. Aku tak bermaksud memancing protes dari Baekhyun tapi mug inilah yang terdekat dengan posisiku.

Aku duduk disamping Baekhyun, kedua tanganku masih  memegang gagang mug. Baekhyun berbalik kearahku—mengambil salah satu mug berisi susu vanilla, ia terhenyak melihat motif yang terpampang jelas di mug.

“Tidak ada protes!” Aku mendahului Baekhyun.

Baekhyun bangkit mengambil mugnya, mencicipi rasa susu vanilla buatanku dengan indera pengecapnya. Ia menggangguk pertanda jika rasanya tak buruk. “Kenapa tidak kau sekaligus pinjamkan aku salah satu piyamamu? Kita bisa melakukan pajamas party.”

“Sudahku bilang tak ada protes Baek!” Tegasku.

Baekhyun menyeruput susunya pelan – pelan, sesekali ia meniupinya, tampaknya airnya terlalu panas. Pemanas air listrik hasil dari undian berhadiah itu masih bekerja dengan sangat baik.

Mengabaikan Baekhyun yang sedang meminum secangkir susu seperti seekor anak kucing, aku berniat menonton beberapa episode drama yang tertinggal selama aku sibuk berlatih.

Belum sempat sinyal dari remote tv tersampaikan, Baekhyun lebih dulu merebutnya.

“Tidak ada lagi Do Minjoon!” Pekik Baekhyun sambil menaruh mug disisi kirinya—agak jauh dari posisinya.

“Baek, berikan remotenya! Hormati pemilik rumah!”

“Hanya jika Kim Soo Hyun digantikan oleh Byun Baekhyun.” Baekhyun tertawa.

“Apa? Kau tidak bisa membandingkan dirimu dengannnya Baek, kau ada diperut bumi dan Kim Soo Hyun ada dilangit ketujuh!” Aku mendorong Baekhyun hingga Ia kembali tergeletak diatas karpet.

“Apakah aku serendah itu huh?”

“Berikan padaku Baek! Dramanya sudah dimulai sejak 10 menit lalu.”

Baekhyun malah mengubah posisinya menjadi tengkurap, remote tv itu masih ia pegang—kini  posisinya tepat dibawah perut Baekhyun. Menggelitik Baekhyun merupakan salah satu ide bodoh karena dia pasti akan membalasnya lebih – lebih, tapi demi keinginan tak melewatkan episode drama dari aktor pujaan hal itu terpaksa dilakukan.

Aku menggelitik Baekhyun pada bagian perutnya, tanganku harus menelusup kedalam sweaternya agar reaksinya terasa. Berhasil. Baekhyun merasa geli dan berguling, posisinya menjadi terlentang sekarang, tangannya berusaha melepaskan tanganku yang menggelitik perutnya. Remote itu entah dilempar kemana oleh Baekhyun, fokusku beralih pada wajah Baekhyun yang menyemburkan tawa, atmosfir diruangan menjadi lebih hangat, terlalu sayang jika dilewatkan bahkan diakhiri sehingga aku tak berhenti menyentuhnya.

Baekhyun akhirnya berhasil menjerat salah satu tanganku, Ia mendorongku hingga terjatuh diatas karpet. Sesuai perkiraan Ia membalas menggelitikku di bagian perut dengan satu tangannya yang bebas, Ia tertawa dan tentu saja akupun tak sanggup menahan tawaku. Aku mendorongnya hingga ia berguling kesamping, salah satu tangannya yang masih menjeratku membuat aku juga ikut tertarik ke posisinya. Tubuh kami menjadi bersatu tanpa jarak, pipiku langsung berbatasan dengan dada Baekhyun, sementara satu tanganku entah mengapa dengan otomatis melingkar di pinggang Baekhyun.

Cuddling time. Tawa terhenti. Hening.

Yang kudengar hanya detak pemompa darah milik Baekhyun dan deru nafasnya. Hingga sampai akhirnya hitungan waktu menuju ke menit, Baekhyun mendorongku menjauh darinya.

“Jangan pernah menggelitikku lagi!” Ujar Baekhyun sambil berguling kesamping memunggungiku.

“Aku melakukannya bukan tanpa alasan.” Jawabku yang susah payah sedang berusaha mengumpulkan konsentrasi yang behasil hilang akibat situasi tadi.

Aku meraih remote yang ternyata terlempar ke ujung karpet. Dari pada terjebak suasana canggung bersama Baekhyun aku segera menyalakan TV, menjadikan Kim Soo Hyun sebagai pengalih perhatian, meskipun sebenarnya situasi tadi lebih menarik dibandingkan dengan episode drama ini.

Beberapa menit berlalu tampaknya Baekhyun memang tak menyukai tontonan semacam ini buktinya dari tadi Ia tak mengubah posisinya yang memunggungiku.

Adegan dalam drama harus di jeda dengan sebuah tayangan komersial. Membuatku harus mencari pengalih perhatian yang lain.

“Kau menyukai Do Minjoon?” Baekhyun akhirnya bersuara kembali. “Uhm- maksudku Kim Soo Hyun?” Ia mengubah posisinya menjadi terlentang.

Kami berbaring bersebelahan dengan toleransi jarak yang cukup, memandangi langit – langit apartemenku yang berhiaskan bintang – bintang yang dicat dengan cat fosfor, jika saja lampu di ruangan ini dimatikan bintang – bintang itu akan memancarkan cahaya. Bintang – bintang itu masih bertahan sejak tahun lalu—Baekhyun membantuku menggambar dan mengecatnya yang sukses membuat leher dan pundak kami pegal bukan main.

“Tentu saja.” Jawabku singkat.

“Dia itu seorang alien..” Ujar Baekhyun.

“Bagaimana kau tahu? Kau bilang tak menyukainya?”

Aku menaikan alis memandang Baekhyun heran.

“Semua orang membicarakan drama ini, beberapa yang mereka katakan menyangkut di telingaku,” Baekhyun tetap tak mau kalah “Itu berarti kau menyukai seorang alien.” Lanjutnya.

“Huh?”

“Kau juga memanggilku alien, apa kau juga menyukaiku?” Baekhyun bergumam, suaranya sangat pelan.

Aku merasa aliran darahku menjadi lebih cepat. Baiklah ini mungkin hanya lelucon, tapi aku merasa harus berpikir keras untuk menjawab pertanyaannya.

“Mungkin kau menyukainya tak semua orang membuatmu ada dalam situasi tak menentu seperti ini.” Kata hatiku.

“Tidak, kalian hanya sering bersamamembuat kalian mungkin akan saling peduli satu sama lain.” Giliran otakku yang memberi pendapat.

Sial. Mengapa sesulit ini.

“Ngg... Aku....” Sedikit – sedikit aku mulai mengeluarkan kata – kataku.

Namun telingaku menangkap suara khas dengkuran Baekhyun, aku segera mengalihkan pandanganku padanya. Baekhyun tertidur.

Byun Baekhyun sialan.

Aku mengambil selimut cadangan di dalam lemari, selimut itu kugunakan menutupi tubuh Baekhyun takut jika penghangat ruangan ini tiba – tiba rusak—Baekhyun mungkin akan terserang flu. Aku duduk dihadapannya, sekarang aku mengerti mengapa banyak gadis mengidolakannya, ia memang tampan. Tanganku meraih helaian rambut yang menjuntai dan beradu dengan bulu matanya pendeknya yang selalu ia harapkan bisa tumbuh lebih panjang—menyingkirkannya dari wajah Baekhyun.

“Selamat malam, Baekhyun.”

Aku mematikan TV, lekas menuju kamar tidur, esok adalah hari yang sangat penting aku tak boleh mengacaukannya.

 

***

 

“Park Min Gi!!!” Suara itu menyambar keras telingaku.

Seseorang memukulku bertubi – tubi dengan bantal. Aku bersumpah akan membalas pukulan orang yang mengganggu tidurku ini, mungkin dengan kap lampu yang terletak di atas nakas.

“Min Gi, kita akan terlambat!”

Ia berteriak, sangat mengganggu. Aku beniat menutup telingaku sebelum akhirnya sang pemilik suara membuka mataku secara paksa dengan tangannya. Bayangan buyar kulihat sekejap, Baekhyun?

“Bangunlah sebelum aku menyirammu dengan air!” Ia menarik lenganku kasar.

Aku membuka mataku perlahan, ternyata memang benar itu Baekhyun. Aku mengumpulkan sisa memoriku semalam. Drama Musikal!

Aku terperanjat dari tempat tidur, Baekhyun mundur beberapa langkah.

“Astaga Baek, kita akan terlambat!” Aku bergegas keluar kamar menuju kamar mandi, bisa kudengar derap langkah Baekhyun mengikutiku.

Sebelum aku memasuki kamar mandi, Baekhyun menahanku.

“Apa yang kau lakukan? Kita akan terlambat!” Protesku pada Baekhyun.

“Aku akan mandi lebih dulu!”

“Aku lebih dulu Baek!”

“Aku lebih dulu bangun!”

“Baekhyun, hentikan kita akan membuang waktu-”

Baekhyun melesat masuk ke dalam kamar mandi, kemudian membanting pintunya keras. Sial!

“Min Gi-ah, siapkan bajuku!” Sahut Baekhyun dari dalam kamar mandi. “Eh, Min Gi-ah buatkan aku sarapan!” Baekhyun benar – benar sedang menguji kesabaranku.

Kurasa tekanan darahku naik dengan sempurna. Bisa kubayangkan hidup bersama Baekhyun akan sangat menjengkelkan. Bagaimna tidak dia telah merebut posisiku yang seharusnya sebagai pemiliki apartemen untuk dapat menggunakan seluruh fasilitas lebih dulu.

“Diam kau Byun Baekhyun, sekali lagi kau memerintahku aku akan menguncimu dari luar!” Teriakku dari luar.

 

Bagaimanapun dengan sangat terpaksa aku harus membuatkan sarapan untuknya juga. Susu dan roti panggang menjadi pilihan. Beberapa menit kemudian aku mendengar kenop pintu kamar mandi terbuka dengan otomatis aku melihat ke arah sana.

“Ya Tuhan Baek!”

Baekhyun keluar dari kamar mandi bertelanjang dada—hanya menggunakan boxernya. Sebuah handuk menyampir dilehernya dan beberapa tetes air menetes dari rambutnya yang basah.

“Apa?” Tanya Baekhyun polos.

“Tidak bisakah kau menggunakan pakaianmu di dalam Baek?”

Oh, baiklah sebenarnya aku sedang menghindari menatapnya, karena sebenarnya Baekhyun terlihat.... menggoda.

“Maaf, pakaianku terjatuh dan basah.” Jawabnya sambil menggosokan handuk ke rambut basahnya.

“Dimana pakaianku?” Tanya Baekhyun.

“Di kamarku.” Jawabku tanpa memandangnya.

“Jangan mengintipku!” Kata Baekhyun sebelum menutup pintu kamar disertai dengan sengiran nakal.

Sekali lagi Baekhyun membuat lututku lemas.

 

Baekhyun telah lengkap dengan pakaiannya, begitupun aku. Kami berdua duduk di meja makan di temani dua gelas susu dan setumpuk roti panggang.

“Berikan aku selai coklat Min Gi,” pinta Baekhyun. “Oleskan diatas rotiku Min Gi.” Aku berhenti mengunyah dan memutar bola mataku.

“Baekhyun! Berhenti memerintahku atau aku akan menumpahkan selai coklat ini di kemejamu!” Ancamku.

Baekhyun meletakkan gelas susunya kasar diatas meja makan, “Park Min Gi!”

“Wae?” Aku menaikan nada bicaraku.

“Mengapa kau sangat perhitungan?” Tanya Baekhyun dengan nada kesal.

“Aku tidak perhitungan, tapi kau tidak berhenti memerintahku sejak pagi!” Jawabku menyolot.

Selera makanku hilang. Aku meninggalkan setengah gelas susu coklatku  dan sepotong roti yang belum kuhabiskan diatas piring. Aku berniat pergi lebih dulu ke gedung teater, karena semakin lama aku bersama Baekhyun semakin panas suasana di apartemen.

“Baek, dimana kuncinya?” Aku terhenti di depan pintu, melihat kunci yang biasanya menggantung tak ada di tempatnya.

“Aku tidak tahu.” Jawab Baekhyun tak jelas dengan mulut yang masih penuh dengan roti.

Aku kembali menyambangi Baekhyun di meja makan, kedapati ia sedang bersandar di kursi sambil memainkan ponselnya. “Kau yang terakhir menguncinya kemarin, katakan dimana?”

Baekhyun menatapku, “Aku benar – benar tidak tahu Min Gi!”. Kemudian Baekhyun bangkit dari kursinya menuju pintu, “Apa kau tidak memiliki kunci cadangan?”

“Jika aku punya aku tak akan bertanya padamu bodoh!” Aku berdiri di belakang Baekhyun sambil melipat tangan diatas dada.

Baekhyun berbalik, “Bagaimana jika aku mendobraknya?” Tanyanya tanpa pikir panjang.

“Apa kau gila? Jika kau mendobraknya siapapun dapat masuk kesini termasuk pencuri!”

“Min Gi, kurasa kemarin aku menaruh kuncinya di atas karpet, ayo kita cari!”

“Kau saja!”

“Hey, aku akan menghabiskan banyak waktu jika mencarinya sendiri. Ayolah jika kau tak ingin sutradara Kim melemparmu dengan mikrofon tepat di wajahmu.”

Benar, akhirnya aku harus kembali mengalah dan membantu Baekhyun.

Aku dan Baekhyun mencari kunci tersebut diantara tumpukan bantal dan selimut diatas karpet, aku meraba setiap bagiannya, namun nihil. Baekhyun sampai mencari ke dalam kamarku, kamar mandi dan meja makan.

“Tidak ada.” Kata Baekhyun lemas.

Ia menengok ke arah luar melalui jendela, “Ini lantai empat kan?”

“Ya,” Jawabku singkat “Tidak Baek, itu ide yang buruk!” Aku berfirasat jika Baekhyun memiliki ide agar kami melompat kebawah. Kemungkinan selamat sangat kecil terlebih lalu lintas dibawah sudah cukup ramai.

Baekhyun berjalan menuju tempatku “Tidak ada salahnya dicoba.” Ia mengangkat bahu.

Saat ia akan mundur beberapa langkah kakinya beradu dengan sepatu milikku yang terletak di ujung karpet, sepatu itu tersingkirkan dan tepat! Kunci itu ternyata ada dibawah sana.

“Ah ini dia!” Sahut Baekhyun gembira. “Ini ada dibawah sepatumu mungkin kau yang memindahkan sepatumu semalam!” Baekhyun menghakimiku.

“Itu- sepatu itu tidak ada disana semalam-” Kataku sambil menunjuk sepatu itu.

“Ah diamlah, kau sudah salah masih membela diri!” Timpal Baekhyun.

“Baekhyun ini bukan salahku, mungkin kau yang memindahkannya!”

“Jangan gila! Untuk apa aku melakukannya!”

“Berhenti menyalahkanku!” Aku menarik lengan Baekhyun menuju pintu. “Ayo kita pergi!”

Akhirnya kami berhasil keluar dari apartemen, aku berjalan mendahului Baekhyun beberapa langkah. Baekhyun tidak berhenti mengomel sepanjang jalan menuju area parkir. Kami memasuki mobil, aku pikir ia akan berhenti mengomel ketika menyetir, ternyata aku salah.

“Min Gi-ah aku sama sekali tidak menyalahkamu, aku hanya menunjukan jika akulah yang benar.” Kata Baekhyun masih ingin membawaku kedalam jurang kesalahan sedalam – dalamnya.

“Diam kau! Byun Baekhyun!”

 

***

 

Aku berdiri dibelakang panggung sudah siap dengan gaun berwarna biru langit—hiasan beberapa payet perak yang berkilauan memanjang di bagian atasnya. Panjang gaunnya semata kaki dan mengekspos sedikit bagian dada dan punggungku. Aku mengetuk – ngetukan sepatu kacaku ke lantai, sebagai pengalihan rasa gugup.

“Apa kau sudah siap?” Chanyeol berbisik ditelingaku sesaat sebelum pertunjukan dimulai.

Chanyeol berdiri disampingku dengan kostum kerajaannya—sebuah kostum pangeran berwarna putih lengkap dengan pedang panjang terselip di bagian kiri pinggangnya. Dengan tinggi badan yang proporsional Chanyeol akan terlihat cocok mengenakan berbagai macam pakaian.

“Ya, ya aku siap. Kau yang harusnya lebih bersiap – siap.” Jawabku tanpa melihatnya Aku mengintip bagaimana keadaan panggung dan penoton dari balik layar. Banyak sekali orang yang datang, dengan susah payah aku menahan degup jantungku yang semakin cepat.

“Kau bahkan sudah berkeringat padahal pertunjukan belum dimulai.” Chanyeol menyodorkan sapu tangan miliknya.

Aku tak menjawab, hanya membalasnya dengan senyuman bodohku sembari meraih sapu tangan yang ia sodorkan.

Mungkin benar akulah yang lebih tegang dibanding Chanyeol.

“Seseorang mencarimu.” Sehun menepuk pundakku dari belakang.

“Maksudmu Hyemi?” Tanyaku.

“Bukan,” Sehun menggeleng semangat “Ia menunggu di ruang ganti, cepat temui dia.” Sehun mendorongku menuju ruang ganti seolah mengusirku.

Aku berjalan menuju ruang ganti, ragu – ragu  membuka pintu kudapati seseorang duduk disana—membaca sebuah majalah yang sebelumnya telah tergeletak diatas meja.

Itu Ayahku.

“Appa!” Aku segera berjalan kearahnya memberi pelukan erat. “Appa! Aku pikir Appa tak akan datang, bahkan Appa tidak membalas pesanku.” Aku mempoutkan bibirku di hadapannya.

Ia hanya tersenyum sekilas “Ini namanya kejutan.”

Kami duduk bersebelahan diatas sofa, Appa bercerita sedikit tentang kabar di China. Appa bilang jika ia akan di promosikan sebagai manager baru di kantor. Aku rasa aku tidak perlu mengkhawatirkan Appa dengan berlebihan lagi. Wajah Appa tampak sangat cerah, sedari tadi Ia tak berhenti membagi senyum manisnya denganku. Hidupku telah kembali seperti sedia kala, semua orang disekitarku kini dapat tersenyum dengan tulus.

“Appa bertemu dengan Sehun ketika akan memasuki ruangan teater, Appa bilang ingin menemuimu, lalu ia mengajak Appa kesini agar perbicangan kita tidak diganggu banyak orang.”

“Ah- jadi Sehun-”

“Min Gi-ah,” Sahut seseorang yang membuka pintu. Sontak menjadi perhatianku dan Appa.

Kyungsoo datang membawa sebuah kamera yang digantungkan di lehernya. “Ah, Maaf, apa aku mengganggu?” Seru Kyungsoo menyadari kehadiran orang lain di ruang ganti.

“Tidak, Kyungsoo kemarilah ini Ayahku.” Kataku sambil menepuk pundak Appa.

Anyeonghaseyo, Tuan Park. Do Kyungsoo imnida.” Kyungsoo membungkuk memberi salam.

Anyeonghaseyo.” Appa balas membungkuk. “Duduklah mungkin kita dapat berbincang bersama.” Tawar Appa.

Kyungsoo menurut dan duduk di kursi yang berhadapan dengan kami.

“Kau sangat tampan nak.” Appa memuji Kyungsoo, tentu saja siapapun yang berkata Kyungsoo tak tampan artinya mengalami gangguan pengelihatan. “Apa kau seusia dengan Min Gi?” Tanya Appa.

“Ah, Terimakasih Ahjussi,” Kyungsoo tersenyum malu – malu “Ya, umur kami sama.”

“Kyungsoo, Min Gi mempunyai kebiasaan buruk saat ia gugup, ia akan menggigiti kuku jarinya sendiri. Aku harap kau bisa mencegahnya sebelum ia memakan habis tangannya.” Jelas Appa sambil sedikit tertawa.

Kyungsoo membulatkan mata, kemudian ia tertawa renyah “Ne, Ahjussi. Tidak hanya Min Gi, semua yang akan tampil sekarang akan merasa gugup.”

“Appa kau sangat berlebihan.” Balasku kesal sambil sedikit memukul bahunya.

“Appa sudah berpengalaman.” Appa mengirimkan tatapan penuh keyakinan padaku. “Kau ingat, saat kontes menyanyi ketika kau masih sekolah dasar? Akhirnya Appa harus pontang – panting mencarikan plester untuk tanganmu yang terluka.”

“Lihat tanganku! Aku baik – baik saja.” Aku menunjukan jemariku pada Appa memastikan jika aku sudah meninggalkan kebiasaan burukku.

“Eh, bolehkah aku mengambil gambar kalian.” Tawar Kyungsoo sembari menyiapkan kameranya pada posisi on.

Akhirnya perdebatan kami terhenti karena tawaran Kyungsoo.

“Tentu saja.” Jawab Appa sambil merangkul bahuku.

“Baiklah, hana dul set say kimchiiii~” Kyungsoo menekan tombol kamera untuk mengambil gambar.

Kyungsoo tersenyum puas melihat hasil fotonya.

“Sudah waktunya kau bersiap – siap, Appa akan kembali ke kursi penonton.” Appa bangkit dari sofa. Menepuk puncak kepalaku pelan. “Uhm- kau terlalu cantik malam ini.” Appa tersenyum.

“Eh Appaaaaa~ jangan coba – coba menggodaku.” Aku mencubit lengannya.

“Senang bertemu denganmu Kyungsoo,” Appa memberikan salam pada Kyungsoo, Kyungsoo mengangguk dan tersenyum.

Tak lama berselang—aku dan Kyungsoo segera menuju ke belakang panggung, pertunjukan akan segera dimulai.

“Ayahmu terlihat lebih muda dari usianya.” Kata Kyungsoo sembari memandangi fotoku dan Appa di kameranya.

Aku tersenyum sekilas. Appa memang pandai merawat diri untuk mencegah penuaan dini—krim anti aging yang sebulan lalu kukirim sepertinya bekerja dengan baik.

 

***

 

“Lima menit lagi, semuanya bersiap – siap!” Sahut Baekhyun.

Aku berdiri disamping Chanyeol. Memanjatkan bermacam jenis doa agar pertunjukan ini berjalan lancar. Chanyeol menggengam tanganku dan berbisik, “Ingat! jangan menginjak kakiku.”

Aku balik berbisik pada Chanyeol, “Aku tak akan memaafkanmu jika kau juga sampai menginjak gaun dan sepatu kacaku.”

Chanyeol tertawa ringan.

Pertunjukan dimulai para pemain mulai memasukki panggung, musikpun mulai mengalun. Tatanan musik hasil aransemen Baekhyun begitu apik dan nyaman didengar, kemampuan Baekhyun layak diacungi dua jempol bahkan lebih.

Pertunjukan-pun dimulai. Giliranku tiba. Semua akan berjalan dengan baik.

Satu persatu scene telah dilewatkan dengan baik. Kini aku menunggu di belakang panggung menunggu giliranku lagi. Beberapa menit lagi memasuki scene utama—pesta dansa di istana (adegan menari waltz bersama Chanyeol).

“Jangan lihat wajahnya, mugkin kau akan tertawa.” Kata Baekhyun di belakangku.

“Percayalah, aku tidak akan merusak pertunjukan ini.” Aku berbalik dan tersenyum meyakinkan Baekhyun.

“Sekarang!” Aba – aba Baekhyun menjadi tanda saatnya aku masuk kembali ke atas pentas.

Aku memasukki pentas. Chanyeol disana tengah menyambutku sembari tersenyum. Ia meraih tanganku, kami merapatkan posisi dan mulai menari saat musik mulai mengalun. Tahap demi tahap dilalui dengan pasti. Sempurna tak ada kesalahan yang kami lakukan.

Tepuk tangan yang berasal dari ratusan orang disini turut menambah keyakinanku jika aku telah melakukannya dengan benar.

Pertunjukan telah berakhir, tiga jam menegangkan dan menyenangkan dalam hidupku telah berakhir. Kami semua puas dengan penampilan kami, persiapan berbulan – bulan tidak berkahir sia – sia. Para pemain saling menyalami satu sama lain, memberikan selamat atas penampilan yang memukau ratusan pasang mata. Beberapa penonton bahkan menghampiri kami di belakang panggung meminta foto bersama, khusunya berfoto denganku dan Chanyeol.

 

***

 

Aku kembali menuju kursi penonton masih dengan gaun Cinderellaku untuk bertemu dengan Appa . Kami berbincang singkat. Appa memutuskan bermalam di rumah halmonim, alasannya karena sudah lama ia tak berkunjung kesana. Appa bercerita jika ia duduk bersebelahan dengan Luhan. Ia juga bilang banyak berbincang dengan Luhan.

Ternyata ia datang.

Appa telah pergi meninggalkanku, saat aku akan kembali menuju ke belakang panggung aku menangkap sosok pria dengan blazer berwarna hitam dan sweater berwarna merah didalamnya, ia baru saja memasuki ruang teater lagi kurasa. Ia tersenyum tipis dan melambaikan tangan ragu – ragu ke arahku.

Luhan?

Luhan berjalan menuruni tangga dengan cepat menuju ke arahku yang berdiri di dekat panggung. Tanpa kusadari Baekhyun sudah ada disampingku, mungkin ia akan memanggilku karena perayaan sehabis pementasan yang biasa kami lakukan akan segera dimulai.

Baekhyun menyipitkan mata mengamati sosok yang kini sedang berjalan menuju kami.

Luhan sampai di depan kami, ia kembali tersenyum padaku dan Baekhyun.

“Penampilanmu sangat luar biasa,” Luhan menunjukan sebuket bunga mawar berwarna putih yang ia sembunyikan di balik tubuh 178 cm nya. “Kau cantik sekali hari ini.” Pujinya.

Belum sempat aku menerima buket bunga pemberiannya, Baekhyun lebih dulu berbicara. “Apa yang kau lakukan disini? Tak usah berakting dengan wajah tanpa dosa seperti itu!”

“Baekhyun!” Aku mengguncang bahunya pelan.

“Baekhyun-ssi maaf jika aku mengganggu, tapi aku perlu berbicara dengan sahabat tercinta-mu ini.” Luhan berkata dengan penuh kesopanan, ia tak ingin membalas sentakan Baekhyun.

“Kami sudah punya acara perayaan bersama anggota drama musikal yang lain, jadi-”

“Baek, dapatkah aku berbicaranya dengannya sebentar?” Dengan terpaksa aku harus memotong kata – kata Baekhyun, Aku tahu Baekhyun tak menyukainya tapi tak ada pilihan lain sebelum Baekhyun melakukan hal – hal tak dewasa lainnya.

“Min Gi-ah, perayaan ini hanya setahun sekali, kau akan melewatkannya?” Baekhyun berdecak.

“Baek- kumohon..”

Baekhyun membuang nafas kesal. “Jika kau sudah selesai temui aku dibelakang.”

Baekhyun berlalu tak lupa sebelumnya ia meninggalkan tatapan menyebalkannya pada Luhan. Luhan hanya menanggapinya dengan dehaman ringan.

“I-ni untukmu.” Luhan berkata ragu – ragu sambil menyerahkan kembali buket bunga mawar itu kehadapanku untuk kedua kalinya.

Aku menerimanya dengan senang hati. “Terimakasih Lu.”

“Sama – sama,” Luhan mengangguk “Banyak sekali yang ingin aku katakan-”

“Kau tahu aku tak punya waktu banyak.” Jawabku singkat.

Luhan membawa matanya pada ujung sepatunya, ia tampak sangat gugup dan takut untuk melanjutkan kata – katanya, “Tapi- aku- uhm-” Luhan menghela nafas, “Min Gi-ah maafkan aku..”

Aku agak geram dengan tingkah Luhan. “Lu, ayolah!”

Luhan menatapku dengan tatapan memohon, “Aku benar – benar butuh berbicara denganmu, bisakah kita pergi keluar?”

“Aku sudah katakan jika aku tak punya waktu banyak Luhan..” Aku menjelaskan dengan nada lembut, meski harus aku akui sangat sulit menolak permohonan Luhan.

“Sekali ini saja, kumohon...” Luhan menatapku dalam – dalam. “Kumohon Min Gi...” Luhan kembali memohon dengan wajah yang sangat menyedihkan.

Aku berpikir ulang, Aku harus menyelesaikan masalahku dengan Luhan, jangan membuatnya menjadi abu – abu—semuanya  harus jelas. Akhirnya aku terpaksa luluh, “Baiklah tunggu disini, aku perlu mengganti pakaianku.”

Luhan mengangguk ringan.

 

Aku masuk ke ruang ganti—kudapati  Hyemi yang sedang membersihkan sisa make-up di wajahnya dan Sehun yang sedang mengembalikan tatanan rambutnya seperti sediakala.

“Oh, kau belum bersiap – siap Min Gi?” Sehun melihatku melalui cermin di depannya.

“Sehun, aku harus pergi bersama seseorang,” Aku mencari tasku yang bertumpuk dengan tas milik yang lain diujung ruangan, “Aku akan menyusul.” Akhirnya aku dapat menemukannya.

Aku berjalan menuju ruang ganti pakaian dan membanting pintunya kasar. Aku melepaskan gaun yang kukenakan, akhirnya aku terbebas dari korset yang membuatku susah bernafas itu. Aku kembali dengan pakaian yang semula kupakai, mantel berwarna coklat madu dipadukan dengan celana jeans berwarna gelap dan tentu saja sepatu boots yang menjadi penyebab pertengkaranku dengan Baekhyun tadi pagi.

 “Kau yakin tidak akan pergi bersama?” Tanya Hyemi yang masih duduk di depan cermin meja rias.

“Aku tak akan lama,” Aku menarik kerah mantelku hingga menutupi leher.

“Sampaikan juga pada Baekhyun.”

 

***

 

“Luhan, kajja!”

Luhan terlonjak dari duduknya, kurasa aku telah mengejutkannya.

Ne.” Ia tersenyum.

Luhan memimpin jalan menuju keluar gedung teater. Aku berjalan mengikutinya dari belakang, suasana menjadi saat canggung sepeti ada tembok tebal yang menghalangi kami, tidak ada topik pembicaraan yang dapat kuangkat, yang ada di pikiranku hanya Ga-eun, Ga-eun, dan Ga-eun.

Luhan berhenti sesaat di depan gerbang gedung menungguku untuk sampai di posisinya.

“Aku telah memesan meja di restoran Perancis di ujung jalan sana.” Kata Luhan sambil menunjuk sebuah tempat di ujung jalan saat aku telah sampai diposisinya.“Ini masih hari Natal kan? Kita harus sedikit merayakannya.” Lanjut Luhan.

“Oh, Aku belum pernah berkunjung kesana, kudengar makanan di restoran itu mahal-”

“Percayalah aku dapat membayar billnya.” Luhan tersenyum mengejek.

Sebelum aku dapat membalas pertanyaannya, ia telah berjalan lebih dulu menuju restoran. Langkah demi langkah kami mulai mencapai tempat tujuan—restoran itu terlihat semakin jelas, aura mewah dan elegan sudah terpancar dari dekorasi bagian depan restoran. Kali ini kami berjalan berdampingan. Aku melirik Luhan sesekali terdapat lingkaran hitam di kedua matanya, pipinya menjadi lebih tirus. Ia tak berhenti meniup – niup telapak tangannya dengan udara hangat dari mulutnya.

“Kau kedinginan.” Aku mengambil sepasang sarung tangan dari dalam saku mantelku, kurasa aku tak terlalu membutuhkannya.

Luhan mengambilnya ragu – ragu, kurasa warnanya yang membuat Luhan ragu. Sarung tangan berwarna rose pucat itu mungkin akan membuatnya terlihat lebih feminin. Perlu diketahui terakhir kali aku berbicara dengan Luhan sebelum ia menghilang—ia sedang mencoba menghilangkan image cute yang ada pada penampilannya, meskipun sangat sulit karena Luhan terlahir dengan itu. Tapi, ia juga belum bisa memperbaiki seleranya dalam berpenampilan, menurutnya pakaian dengan warna – warna lembut dan motif yang lucu akan membuatnya terlihat awet muda.

“Pakailah!” Perintahku.

Luhan akhirnya memasukan tangannya kedalam sarung tangan itu. Ia tak mengeluarkan protes apapun dari mulutnya, bagaimanapun ia membutuhkannya.

Kami sampai di perempatan jalan—beberapa  langkah lagi kami dapat mencicipi hidangan Perancis yang mahal itu. Kami menunggu lampu pejalan kaki berubah menjadi hijau. Disini ramai sekali, ketika lampu berubah menjadi hijau beberapa orang mendesakku agar dapat menyeberangi jalan lebih dulu. Sebuah jemari hangat berbalut kain wol yang halus dengan otomatis terselip diantara jemariku—Luhan  menggengam tanganku. Kamipun segera menyebrangi jalan sebelum lampu berubah menjadi merah kembali.

Tapi, getaran itu—perasaan yang kurasakan saat pertama kali bertemu dengan Luhan lagi kini tak lagi kurasakan.

Pelayan dengan tuxedo berwarna hitam dan dasi kupu – kupu menyambut kami di pintu masuk restoran, ia membungkuk dan tersenyum ramah.

“Tuan, apakah anda sudah memesan meja?” Tanyanya.

“Ya, atas nama Xi Luhan.” Kata Luhan.

Pelayan tersebut mengecek sebuah buku daftar pemesanan yang terletak diatas meja dibelakangnya, “Oh, saya akan menunjukan meja anda”.  Sang pelayan lebih dulu berjalan menuju meja kami, ditunjukkannya sebuah meja di tengah ruangan yang merapat ke dinding, di sebelahnya berdiri sebuah pohon natal imitasi yang seluruh daunnya berwana putih, setiap tangkainya penuhi dengan hiasan bola – bola mungil berwarna biru metalik yang memancarkan cahaya, di atasnya menggantung sebuah lonceng berwarna emas yang bekilauan. Indah sekali.

Luhan melepaskan genggamannya saat pelayan tersebut menarikan kursi—mempersilahkanku untuk duduk. Kami duduk berhadapan. Luhan mengamati menu yang telah disimpan diatas meja, aku melakukan hal yang sama. Sejujurnya ini pertama kalinya aku datang ke restorang Perancis, nama – nama menu yang tertera dibuku sangat asing bagiku, yang dapatku mengerti hanya sebatas macaron—kue  yang memiliki aneka warna mencolok dan sundae—eskrim dengan toping buah, coklat dan kacang yang terdapat di list bagian makanan penutup.

“Lu, aku tak tahu apa yang harus aku pesan.” Aku sedikit merunduk berbicara dengan nada berbisik.

Luhan tersenyum. “Baiklah, aku akan memilihkannya untukmu.”

Atmosfir antara aku dan Luhan telah kembali hangat. Tak ada yang dapat diselesaikan dengan diam. Jika karena Luhan berbohong—lalu  aku merubah sikapku padanya, maka masih pantaskah sekarang aku duduk disini sebagai sahabatnya? Tentu tidak.

“Jangan sampai kau membuatku muntah Lu, kau tentu tau seleraku!” Kali ini bahkan aku sedikit memajukan kursiku agar bisikanku dapat terdengar Luhan dan tak terdengar oleh pengunjung lain.

Luhan memanggil salah seorang pelayan, memberitahu pesanan kami. Sang pelayang mencatatnya dengan teliti dan meninggalkan kami. Tanpa kusadari sekarang tangan Luhan sudah tak berwarna rose pucat lagi, ia sudah melepas sarung tangan bodoh itu sedari tadi.

“Apa kau yakin kau sudah baikan? Kau masih terlihat pucat.” Tanyaku mengawali pembicaraan.

“Kyungsoo yang memberitahumu?” Tanya Luhan.

Aku mengangguk mengiyakan.

“Tentu, Aku hanya kelelahan aku tidak mengidap kanker atau hepatitis kau harus tahu!” Jawab Luhan.

Aku tertawa.

“Jadi, apa yang ingin kau katakan Lu?” Aku langsung menuju pokok pembicaraan mengingat jika aku tak mempunyai waktu lama.

Luhan menghela nafas, ia membawa pandangannya ke arahku. “Aku minta maaf tentang ibumu-”

“Luhan, kau tak ingin melihatku menangis disini bukan? Kau bahkan mengatakan jika kita akan merayakan Natal,” Aku langsung memotong perkataan Luhan. “Semua hal yang berhubungan dengan Eomma masih sangat sensitif untukku.” Lanjutku.

“Maafkan aku, aku turut berduka Min Gi.” Kata maaf itu terus mengalir dari mulut Luhan.

Sebuah peristiwa klasik ketika seseorang membuat kesalahan jika ia dengan mudahnya meminta maaf tanpa berpikir seberapa besar kesalahannya, maka dengan mudah ia akan mengulang kesalahannya lagi. Sejujurnya aku masih kecewa pada Luhan, meskipun aku berusaha bertindak senormal mungkin seperti tidak ada apa – apa terjadi dan tentu aku telah memaafkannya tanpa harus ia meminta. Memaafkan adalah hal yang sangat melegakan, karena disaat memutuskan untuk tidak memaafkan maka disitulah penderitaan akan dimulai.

“Aku rasa Kyungsoo sudah memberi tahu semua.” Luhan melanjutkan kata – katanya menyadari aku yang yang tak menjawab permintaan maafnya. “Aku tahu aku telah melakukan kesalahan, maafkan aku telah berbohong, aku terpaksa mengatakannya karena-”

“Aku tak pernah percaya jika ada kebohongan demi kebaikan Lu,” Kali ini aku memberanikan diri mengatakan apa yang bergejolak di dalam hati dan pikiranku—sedikitnya memberi Luhan saran agar tak melakukan kesalahan yang sama untuk kedua kalinya.

 

“Aku dan Ga Eun telah sepakat mengakhiri hubungan kami, Ga eun akan tinggal di New York dan Aku tak akan pernah datang kesana.” Jelas Luhan.

Luhan mengetahui kemana arah pembicaraanku—aku telah berbohong yang tadi ia katakan pada permintaan maafnya tak lain tentang hubungannya dengan Ga Eun. Kurasa itulah yang membuat Luhan langsung membawa nama Ga Eun dalam pembicaraan kami.

Wae?” Aku mengerutkan alis.

“Aku- uhm- aku tak tahu. Hidupku disini saja belum sepenuhnya dapat berjalan baik apalagi disana, bagaimana aku akan mendapatkan pekerjaan, bagaimana aku mendapat tempat tinggal, bagaimana-”

“Lu, kau hanya takut.” Jawabku singkat.

Luhan berkelak, “Aku tak ingin bersamanya, selama ini kami sudah banyak bertengkar, hubungan kami sudah tak sehat.” Nada bicara Luhan naik.

“Kau harus tahu itu.” Luhan kemudian merendahkan lagi nada bicaranya. Tentu saja ia tak ingin merusak suasana malam ini, yang sepertinya sudah ia persiapkan sejak beberapa hari lalu mengingat pemesanan kursi di restoran eksklusif ini tak mungkin dilakukan satu jam yang lalu.

“Maafkan aku tidak berterus terang padamu, aku salah besar. Kau boleh membenciku.” Luhan menunduk, matanya penuh dengan rasa bersalah dan penyesalan.

“Aku tidak membencimu, Lu” Kataku lembut.

Luhan mengangkat kepalanya dan tersenyum. “Syukurlah.” Jawabnya.

Pelayan berdasi kupu – kupu itu datang membawa beberapa hidangan, ia menatanya dengan rapi diatas meja. Pelayan tersebut pergi setelah mempersilahkan kami untuk menyantap hidangan.

“Itu Gratin Dauphinois, terbuat dari kentang dengan krim khas Perancis.” Jelas Luhan, menyadari aku yang tak segera menyantap makananku. “Kyungsoo bilang kau sedang menghindari daging.”

“Oh, itu- um- aku hanya bosan.” Aku tertawa kecil sambil meraih sendok dan garpu di sisi piring. Do Kyungsoo tak kusangka ia membicarakan hal seperti itu juga pada Luhan.

Tak ada kata – kata lagi setelah aku mulai menyantap makananku, Luhan tak mengecewakanku rasanya sangat lezat. Luhan fokus dengan makanannya, begitupun aku.

Makanan penutup dating—eskrim vanilla dengan toping buah stroberi dan coklat. Rupanya lelaki ini masih ingat favoritku.

“Asal kau tahu, Aku benar – benar menyukaimu.” Luhan tiba – tiba berbicara saat aku masih sibuk dengan eskrimku.

Aku berhenti dan mentap Luhan tepat di matanya. “Tidak Luhan,” timpalku selembut mungkin. “Dengar, itu mungkin hanya perasaan rindu atau-”

“Kau adalah cinta pertamaku, aku menyukaimu sejak kita masih sekolah menengah—10 tahun yang lalu.” Luhan tersenyum, menunjukan deretan giginya. Ia terlihat 10 tahun lebih muda sekarang.

“Huh?” Aku membulatkan mataku.

Cinta Pertama? Baiklah, tidak ada salahnya jika aku juga berkata jujur padanya.  “Luhan, kau juga cinta pertamaku.” Kataku malu – malu sambil membenarkan kerah matelku yang sama sekali tidak terlipat atau kusut.

“Benarkah?” Luhan hampir tersedak saat ia minum.

“Yang dulu kita rasakan itu tidak lebih dari rasa penasaran mengenai cinta, mengenai mengencani seseorang, kita masih sangat muda.” Jelasku takut – takut Luhan menanggapi berbeda.

“Tapi tidak untuk sekarang.” Katanya tegas.

“Maksudmu?” Tanyaku penasaran.

“Min Gi aku menyukaimu lebih dari seorang teman, sahabat- ”

“Luhan,” Aku berdeham.

“Aku hanya ingin mengatakan isi hatiku, Aku bukan orang yang senang memendam perasaan, tapi.... jika kau keberatan aku akan berhenti berbicara.”

Apa yang harus kukatakan pada lelaki tampan di hadapanku ini, ia tentu saja adalah tipe idaman setiap gadis. Tampan, pintar dan dapat memperlakukan seorang gadis dengan semestinya. Ia juga sudah mengakui kesalahannya dan meminta maaf padaku, tapi hatiku tetap menolak untuk menjadikannya seseorang yang lebih dari teman.

“Luhan aku menyukaimu, bahkan aku menyayangimu-”

“Tapi kau tidak pernah menginginkanku lebih dari seorang teman.” Benar, Luhan peka. Ia mengetahui apa yang ku maksud.

“Maaf membuatmu tak nyaman. Dengar, aku hanya menyampaikan apa yang aku rasakan, kau tidak perlu memikirkannya, arra?” Luhan memang pandai bertindak dewasa.

Aku tak ingin membahasnya lebih lanjut, Luhan sudah mengetahui perasaanku tanpa perlu aku menjelaskan. Tapi sesuatu menggelitik perasaanku. “Uhm- aku ingin bertanya sesuatu padamu.”

Luhan meneguk sisa minuman miliknya, “Katakan saja.”

“Mengapa kau tak berterus terang padaku jika kau sudah mempunyai seorang kekasih?” Tentu saja aku sangat penasaran dengan hal ini sejak Kyungsoo mengatakan yang sebenarnya padaku.

“Karena aku egois. Jika kau tahu aku sudah memiliki kekasih kau akan menjaga jarak denganku dan aku ingin kau selalu ada disampingku, Maaf.” Matanya lurus menatapku. Tak kulihat kebohongan disana.

“Dan mengapa kau juga berkata jika kita berkencan pada Baekhyun?” Satu lagi yang mengusik pikiran dan hatiku, dengan tujuan apa Luhan juga membohongi Baekhyun. Menurutku Baekhyun tak ada sangkut pautnya dengan Aku dan Luhan.

 “Oh, Baekhyun? Karena di mengancam posisiku, aku sangat iri padanya.”

 “Kalian berdua adalah sahabatku-”

“Tidak Min Gi! Seorang lelaki dan perempuan ketika mereka selalu bersama, perasaannya tak akan bisa dibatasi dengan pertemanan saja. Perasaan itu mungkin hanya sementara atau selamanya.” Potong Luhan.

“Apa yang kau bicarakan Lu?” Aku tak mengerti dengan apa yang ia katakan.

“Semakin lama bersama maka perasaan itu akan semakin besar—maksudku cinta” Luhan menarik nafas, “Sekarang lihat dirimu, dengan siapa kau lebih banyak menghabiskan waktu? Dengan siapa kau sering bersama?”

Aku tak menjawab mencoba mengingat dengan siapa... dengan siapa aku meghabiskan banyak waktu aku memutar otakku.

Sebelum aku dapat menjawab Luhan mendahuluiku “Aku pikir Chanyeol lebih banyak menghabiskan waktu mengerjakan tugas akhirnya atau bermain bersama anggota bandnya, Sehun sudah memiliki seorang kekasih, dan Aku? Jelas – jelas kau menolakku.”

“Aku-”

“Sejak pertama aku mengatakan aku menyukaimu lebih dari seorang teman, kau tak pernah mengatakan jika kau juga menyukaiku dengan cara yang sama, benarkan?” Kata Luhan memastikan “Itu adalah sebuah penolakkan Min Gi.”

Aku terdiam menyadari kebenaran yang dikatakan Luhan, semua yang keluar dari mulut Luhan seolah telah mewakili perasaanku yang sebenarnya. Aku menyukai orang lain, bukan Luhan. Seseorang yang selalu bersamaku.

“Kau akan tahu siapa orang yang kumaksud, sepertinya aku tak perlu menyebut namanya.” Lanjut Luhan.

Luhan berkata dengan sangat tegas, aku tidak tahu apa ia juga kesal padaku yang tak bisa mengatakan hal sebenarnya mengenai perasaanku.

“Luhan, aku harap tidak ada yang berubah dengan pertemanan kita.” Kataku cemas.

“Tentu saja, Hey! Apa aku membuatmu sedih?” Luhan tersenyum sembari mencubit pelan hidungku.

Aku menyingkirkan tangannya dari wajahku dan tak menjawab.

“Dengar aku sama sekali tak masalah dengan keputusanmu jika kita hanya bisa sebatas teman saja.”

“Apa kau akan menghindariku Lu?” Tanyaku lagi dengan nada cemas seperti pertanyaan sebelumnya.

“Apa kau takut kehilanganku?”

Luhan bertanya balik dan pertanyaannya sukses membuatku seperti di terjang ribuan butiran salju dari langit. Tentu saja aku tak ingin kehilangannya, aku mebutuhkannya sebagai sahabatku, tapi bukankah itu akan terlihat egois. Aku menolaknya tapi aku masih menginginkannya ada disampingku.

“Kau tak usah menjawabnya karena aku tak akan kemana – mana.” Luhan tersenyum. “Kita masih bisa pergi bersama, minum kopi bersama, aku akan tetap berkunjung ke apartemenmu, kau tak perlu khawatir, aku bersumpah telingaku tak pernah lelah mendengar ceritamu.”

“Luhan..” Aku sangat terpukau dengan kata – kata yang ia keluarkan dari mulutnya.

Wae?” Luhan menatapku bingung. “Apa sekarang kau menyesal menolakku?” Kemudian ia tertawa mengejekku.

“Diamlah!” Aku memukul tangannya pelan.

Tidak terasa hampir tengah malam. Aku melewatkan perayaan bersama tim Drama Musikal. Aku mengecek ponselku ada belasan panggilan dan pesan dari Hyemi, aku akan menjelaskan padanya esok hari.

Aku dan Luhan menyusuri jalanan menuju apartemenku, setelah taksi yang kami tumpangi tiba – tiba berhenti di perempatan jalan dengan alasan bahan bakar yang hampir habis. Ini hari natal, maka tebarkanlah kebaikan sepanjang hari, tanpa protes Aku dan Luhan melanjutkan perjalanan dengan berjalan. Kami menikmati bagaimana lampu – lampu jalan yang berpendar dan salju yang turun turut menemani perjalanan kami.

“Jangan berjalan seperti kura – kura, jika kau tak ingin hipotermia, mantelmu kurasa terbuat dari wol dengan kualitas rendah.” Ejekku pada Luhan yang sedang kedinginan, memeluk dirinya sendiri.

“Salah! Mantel ini harganya mahal tahu.” Balas Luhan.

“Kalau begitu kau membelinya karena harga diskon lebih dari setengah harga.” Aku tak mau kalah. Kurasa aku sudah tertular virus Baekhyun, yang tak mau kalah saat mengejek orang lain.

“Sial kau benar.” Luhan menyerah.

Kami tertawa bersama sambil melanjutkan perjalanan.

Banyak hal datang tak terduga, tapi aku pikir salah satunya adalah cinta. Mungkin itu yang terjadi pada Luhan, ia tak pernah berpikir akan bertemu denganku lagi dan menyimpan perasaan spesial untukku. Perasaan itu mungkin dapat membuatnya berantakan, terlebih ia sudah mempunyai kekasih. Tetapi ia sanggup melaluinya dengan mulus walaupun aku yakin tak mudah baginya memutuskan untuk berpisah dengan Ga Eun.

Kami dapat memperbaiki hubungan kami kembali seperti semula, Luhan sahabatku dan aku sahabatnya. Hadiah natal terbaik untukku.

 

***

 

Luhan hanya mengantar sampai pintu utama. Malam yang agak rumit, setidaknya hubunganku dan Luhan baik – baik saja. Aku melanjutkan langkah menuju apartemenku, berharap dapat segera melepas lelah diatas tempat tidur yang empuk.

Aku terkejut mendapati seseorang telah menyambutku di depan pintu apartemen.

“Baek?”

Baekhyun bersandar di pintu. Entah berapa lama ia menunggu di sana. Aku pikir pesta perayaan akan berakhir lewat tengah malam bahkan hampir pagi, mengapa alien itu ada disini.

“Baek, apa yang kau lakukan disini?” Tanyaku sembari menghampiri Baekhyun.

Baekhyun terdiam sesaat, lalu berkata pelan-pelan seolah kata-kata berikutnya sangat sulit untuk ia utarakan.

“Aku menunggumu.” Jawab Baekhyun.

“Menungguku?” Aku tersenyum mengejek sambil menyingkirkan tubuh Baekhyun dari depan pintu karena menghalangi kenop pintu.

Aku meneruskan langkahku masuk ke dalam apartemen, Baekhyun mengikutiku dari belakang dan lekas menutup pintu. Aku baru ingat jika kemarin Baekhyun bermalam disini, mungkin ia akan mengambil barang – barangnya.

“Oh, Baek kau akan mengambil barang – barang mu?” Tanyaku, sambil melepas mantel yang sedari tadi melindungiku dari hawa dingin kota yang tak dapat ditoleran. “Akan aku ambilkan-”

Langkahku terhenti, Baekhyun tiba – tiba memelukku dari belakang, dapat kurasakan lengannya membungkus pinggangku rapat dan ia mengubur wajahnya di salah satu pundakku.

“Baek,” Kataku dengan suara halus. “Kau baik – baik saja?” Tanyaku dengan nada yang sedikit terkejut, bagaimana tidak tiba – tiba Baekhyun yang sedari tadi larut dalam tawa bahagia, tiba – tiba menjadi dramatis seperti ini.

Akhirnya Baekhyun angkat suara “A-a-a ku tidak ingin kehilanganmu lagi,”

Suaranya putus – putus dan sangat pelan nyaris tak terdengar. Baekhyun semakin mengubur wajahnya di bahuku, aku dapat merasakan deru nafas hangatnya mampir di leher dan pundakku.

Aku berbalik melepaskan pelukannnya sehingga dapat melihatnya tepat di mata, apa yang sebenarnya terjadi pada Baekhyun.

“Baek, aku sungguh tak mengerti, apa yang terjadi?” Tanyaku.

Baekhyun menunduk, kedua tangannya di kepalkan. “Mengapa kau pergi bersama Luhan?”

Ia membawa matanya pada mataku. “Apakah Ia begitu penting bagimu?” Tanyanya lagi.

Aku berniat menjawab pertanyaannya, namun tangan Baekhyun tiba – tiba menggenggam tanganku erat. “Apa kau tidak pernah menyadari suatu hal?” Baekhyun maju selangkah.

“Kali ini aku sungguh tidak ingin kehilanganmu lagi,” Katanya lagi. Aku mundur selangkah mentoleransi jarakku dengan Baekhyun.

“Baek, aku tidak mengerti apa yang kau bicarakan-”

“Aku benci saat kau memilih pergi bersama Luhan,” Baekhyun menghela nafas, “Aku menyukaimu, semua tentangmu,” Ia maju beberapa langkah lagi, matanya terkunci pada mataku. “Membuatku ingin selalu ada disampingmu.”

Tepat, tidak ada lagi kesempatan bagiku untuk mentoleransi jarak, kali ini punggungku telah bertubrukan dengan dinding ruangan, kepalaku berantuk pada saklar sehingga mengubah posisinya menjadi mati. Seketika ruangan menjadi tak seterang sebelumnya, kini hanya di terangi cahaya bulan yang menembus jendela dan temaram lampu meja yang terletak diatas nakas di sudut ruangan. Bintang – bintang di atap ruangan itu kali ini bersinar.

Baekhyun menunduk, membuat dahi kami bertemu dan ujung hidung kami bersentuhan.

“Sungguh, aku menyukaimu Min Gi.” Suaranya jauh lebih rendah namun terdengar lebih jantan.

Aku bersusah payah mengambil nafas, menguatkan keyakinan jika ini bukan mimpi. Kata – kata itu keluar dari mulutnya, bagaimana mungkin?

“Baekhyun..”

Kataku berbisik, suasana berubah menjadi sangat canggung. Aku tak mendaratkan padanganku padanya, Baekhyun menutup jarak diantara kami, ia mendaratkan sebuah ciuman di bibirku. Bibirnya terasa hangat saat menyentuh bibirku yang dingin.

Beberapa detik berlalu, Baekhyun mundur selangkah menjauhiku.

Mm-mian-hae.” Katanya ragu – ragu dan ketakutan.

Aku masih terkunci di posisiku. Baekhyun menciumku?

Kata – kata apa yang pantas untuk mendeskripsikan hal ini—seorang  teman a.k.a sahabat yang selama ini selalu menemaniku, bersama – sama melakukan hal bodoh dan gila—berbagi gelak tawa saat mengejek satu sama lain, kebersamaan itu..

Aku menahan lengannya saat ia hendak berbalik menuju pintu. “Jadi, apa yang kau ingin dengar dariku Baek?”

Baekhyun menatapku.

Aku tidak tahu apa yang harus kukatakan. Pikirku aku menyukainya seperti caranya menyukaiku, persis dengan apa yang Luhan katakan  di restoran tadi—alasan kuatku mengapa tak bisa menerima Luhan. Orang yang Luhan maksud tentu saja Baekhyun.

Seorang lelaki dan perempuan ketika mereka selalu bersama, perasaannya tak akan bisa dibatasi dengan pertemanan saja. Perasaan itu mungkin hanya sementara atau selamanya.

Sementara? Atau Selamanya?

“Baek, apa kau benar – benar serius? ”

“Kau tidak perlu berkata apa – apa, jika kau-”

“Baek, jawab pertanyaanku!”

“Maaf, aku harus pergi.”

“Baekhyun!!”

Baekhyun bergegas menuju pintu. Aku tidak mengerti mengapa kejadian ini terulang kembali sama seperti Luhan yang pergi begitu saja setelah menyatakan perasaannya padaku. Apakah Baekhyun menyembunyikan sesuatu juga? Sama seperti Luhan yang menyembunyikan hubungannya dengan Ga Eun?

Pintu itu tertutup kasar. Tinggalah aku disini yang sukses kehilangan kemampuan berpikir. Interaksi tadi.. Ciuman itu...

Malam ini aku tak bisa tidur, diliputi oleh sesal—dan rasa takut bahwa apa yang kukatakan mungkin salah sehingga membuat Baekhyun pergi begitu saja. Seharusnya mungkin aku langsung mengutarakan perasaanku padanya, untuk apa aku membohongi diriku sendiri?

Aku menutup wajahku dengan bantal, Bodoh! Bodoh! Bodoh! Aku memaki diriku sendiri.

Aku harus meminta bantuan seseorang—Hyemi menjadi pilihan pertama. Beberapa kali aku mengulang panggilan pada Hyemi, namun tak kunjung ada jawaban. Ini hampir pagi Hyemi pasti sudah tertidur lelap.

Pilihan kedua adalah langsung menuju sumbernya, seseorang yang telah membuatku gelisah sepanjang malam—Baekhyun . Tak berbeda dari Hyemi, Baekhyun tak menjawab panggilanku.

 

It's very very very late update. I'm sorry, I'm freaking busy  :(

Many things happen to EXO, include Kris's lawsuit. As fan we don't know what really happened. I always support him and EXO, and wish the bright decision of both. I love EXO and Kris too.

Then, I've been showered by fancam in EXO concert. Do you see Baekhyun solo performance? Kyungsoo solo performance? OMG help me to control my self, Baek being y all the time an Kyungsoo being handsome all the time.~~~~~

I'm invite you to give me some comments for this story, so i can fix any mistake that I've done. Thanks <3.

 

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!
autumndoor
Editing is going on. Sorry :(

Comments

You must be logged in to comment
baekness58 #1
Chapter 15: waw.. mengharukan banget. cara ngelamarnya baekhyun dann ternyata anaknya pun ikut2an juga.
tentang percakapan minhyuk dan baekhyun, aku terharu dengernya
bener2 aku pengen nangis bahagia
apalagi yang minhyuk minta dikasih liat peri cahaya sama kata2 terakhir
itu bener2 kena banget di hati /? itu juga kalimat yang bener2 pas buat nutup cerita ini. keep writingg!!
gogigirl #2
Chapter 15: Ceritanya bagus.. Suka
baekness58 #3
Chapter 14: ini bener2 chapter yang aku suka banget.. baekhyun sweet bener dah. trus yang baekhyun nyium min gi itu seneng nya ga main beneran dah. seneng banget mereka uda balik. min gi juga uda bebas dri keterpurukannya itu. yaampun kalimat terakhir bener2 dah. sekarang yang pikirannya bermasalah baekhyun atau min gi ni hahhahahhahha
carikan pasangan buat chanyeol oke.
ggamjjongin
#4
Chapter 14: ini lucuuuu >< sweet bgt sih mereka berdua. heueueueueu
baekness58 #5
Chapter 13: Aduh aku penasaran banget
Cepet next chapter yaaa
jesikamareta10 #6
Chapter 13: aku menunggu kelanjutannya, penasaran deh min gi bisa ngomong gak ke baekhyun
jesikamareta10 #7
Chapter 12: baeki kok kabur gitu aja sih, kan jadi gtw perasaan min gi gimana
xhxrat_ #8
Chapter 13: Next chapt thor~~
kyungie12_ #9
Chapter 12: mudah mudahan min gi bisa sama baekhyun endingnya amin
cepat lanjutkan ya thor
hwaiting
ggamjjongin
#10
huft.... luhan.... huft...