13 - Get Closer & Get Away

Unfathomable Friends

Halooooooo readers, maaf baru sempat update kemarin aku masih berjibaku dengan ujian dan beberapa tugas dan yeaaaaaaay senangnya bisa update lagi Tahun ini bukan tahun keberuntungan EXO mulai dari skandal Kris dan sekarang...... Baekhyun. 

Banyak banget spekulasi berita tentang Baekhyun dan Taeyeon. Banyak yang mendukung pasangan ini (termasuk aku hehehehe) tapi banyak juga yang menghujat :(

Apapun yang terjadi sebenarnya, ingat fans jangan sampai mudah terbawa arus dan ber-emosi ria. Mereka yang dibilang ganteng dan cantik luarbiasa kaya malaikat itu tetep manusia kaya kita gini. Aku rasa sah - sah aja kalo mereka mau pacaran karena mereka punya perasaan  

As fans we should stay behind his back for supporting, we get happiness from them when we watch them, so give them happiness too. 

 

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

 

GET CLOSER AND GET AWAY

 

Sore ini Tuan Kim menyambutku dengan senyuman yang hangat di muka Kim’s Family Book Store, setelah aku membungkuk dan memberi salam pada pria usia 60an itu. Ia mengucapkan selamat natal—lekas memberiku sebuah pelukan singkat.

 

“Hyemi ada di meja kasir.” Ujar Tuan Kim yang sepertinya sudah mengetahui maksud kedatanganku.

 

Aku mengangguk singkat, tanpa ragu aku segera memasuki toko buku warisan turun temurun keluarga Kim tersebut. Begitu pintu tertutup kembali, pandanganku tertuju pada Hyemi yang sedang melayani seorang pelanggan di konter kasir—tepatnya di sudut bagian depan ruangan. Aku berdiri dibelakang sang pelanggan seolah – olah mengantri untuk membayar, ketika sang pelanggan pergi, Hyemi tersenyum mengejek—menyadari  jika akulah pelanggan selanjutnya.

 

“Hai....” Sapaku lemas.

 

“Apa yang terjadi?” Hyemi dapat langsung menangkap keadaanku dari ekspresi burukku. Kedatanganku tanpa diundang ke toko buku bukanlah semata – mata ingin bertukar sapa dengan ayahnya dan panggilan telepon tengah malam beberapa hari lalu, sudah menjadi isyarat telah terjadi sesuatu.

 

“Banyak.” Jawabku sambil menopang dagu diatas konter kasir disertai desahan kekhawatiran.

 

“Apa yang terjadi? Bukan berapa Min Gi! Sejak kapan kau menjadi sebodoh ini.” Hyemi berdecak.

 

“Bisakah kita tak membicarakannya disini?” Tawarku pada Hyemi.

 

Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan, toko memang tak seramai biasanya. Hanya kurang nyaman jika pembicaraan kami di interupsi oleh pelanggan yang hendak membayar. 

 

Hyemi melirik jam tangannya. “10 menit lagi pekerjaanku selesai, tunggulah sebentar.”

 

Aku mengangguk mengerti. Tak berniat mengganggu pekerjaan Hyemi aku memilih melihat – lihat buku keluaran terbaru di rak depan. Tumpukan buku ini tak semenarik biasanya, penyebabnya perasaanku saat malam itu—saat Baekhyun menyatakan perasaannya, masih terbawa hingga sekarang. Saat aku tengah membolak balik halaman sebuah buku—entah apa judulnya, aku dikejutkan oleh seseorang yang menepuk pundakku dari belakang.

 

“Kajja!”

 

“Kau mengejutkanku bodoh!”

 

Hyemi terkikik sendiri sementara aku berusaha mengembalikan wajah normalku kembali.

 

Memang belum sepuluh menit berlalu, Hyemi bilang Ayahnya mengijinkannya pulang lebih awal karena aku mengunjunginya. Jarak dari toko buku ke rumah Hyemi tidak terlalu jauh, masih dapat dijangkau dengan jalan kaki sekitar 10 menit. Kami membatalkan niatan berbincang di kafe setelah Ibu Hyemi meminta Hyemi makan malam dirumah.

 

 

***

 

 

“Jadi apa yang terjadi? Sampai – sampai membuatmu terlihat seperti zombie!” Kata Hyemi sambil menatapku intens, ia meraih gagang pintu depan rumahnya.

 

Aku meraba setiap inchi wajahku merasakan tak ada yang salah dengan wajahku, bisa – bisanya Hyemi mengaggapku seperti zombie.

 

 “Zombie?” Tanyaku heran.

 

“Iya! Berapa hari kau tak mendapat asupan gizi yang baik huh? Kau terlihat semakin kurus.”

 

Aku diam tak menjawab. Hyemi membuka pintu, enggan menunggu jawabanku segera melesat masuk ke rumahnya. Sepanjang perjalan kami hanya berbincang mengenai kelulusan kami bulan depan. Hyemi tak membawa arah topik pembicaraan ke masalahku, membuatku mengurungkan rencana awal untuk menceritakan hal yang sangat menggangguku beberapa hari ini—Baekhyun.

 

Aku mengikuti Hyemi dari belakang sampai akhirnya kami berhenti di ruang makan. Ahjumma—begitu aku biasa memanggil Ibu Hyemi, sedang menyiapkan hidangan di meja makan. Ia masih lengkap dengan apron biru langit yang melingkar manis di pinggangnya, rambutnya di ikat setengah, sebagian lagi terurai, Ahjumma selalu tampak muda dan cantik, mengingatkanku pada Eomma. Ahjumma menghentikan kegiatannya menyadari kehadiranku dan Hyemi.

 

“Min Gi-ah,” Ahjumma memberiku senyuman yang menghangatkan hati.

 

Aku berjalan menghampirinya, membungkuk dan memberi salam. Ahjumma menahan bahuku agar tak usah membungkuk, sudah lama kami tak bertemu jadi kurasa aku akan melakukan interaksi formal lebih dulu. Ahjumma memelukku erat dan memberiku sebuah kecupan manis di pipi.

 

“Aku rindu Ahjumma.”  Kataku. Berbulan – bulan aku tak menyambangi rumah Hyemi, tidak ada kesempatan untuk bertemu Ahjumma.

 

“Aku juga. Aku tahu kalian sangat sibuk dengan persiapan Drama Musikal.” Ahjumma melepaskan pelukkannya.

 

“Ayahmu datang ke Korean saat Natal, benarkah?” Tanya Ahjumma semangat.

 

Ahjumma dan Appa telah saling kenal sejak aku berteman dengan Hyemi. Terlebih, dulu Eomma sering menanyakan keadannku pada Ahjumma.

 

“Iya, Appa datang untuk menyaksikan Drama Musikal.” Jawabku.

 

“Sayang sekali waktu itu aku tak datang.” Keluh Ahjumma.

 

“Eomma, bisakah kita memulai makan malamnya aku sangat lapar..” Rengek putri tunggal keluarga Kim yang sudah mengambil tempat di meja makan.

 

“Baiklah, Eomma akan mengangkat sup nya dulu.” Ahjumma kembali menuju konter dapur hendak mematikan kompor—supnya kurasa sudah mendidih.

 

“Aku akan membantu-”

 

“Duduk saja temani maruko-chan yang sedang kelaparan itu.” Kata Ahjumma dari konter dapur diselingi tawa ringan.

 

“Eomma!” Hyemi murka.

 

***

 

Makan malam selesai. Cukup membuat perut kami sunyi senyap. Kini aku dan Hyemi ada balkon lantai dua rumahnya, menghadap pemandangan kota Seoul malam hari—bagian  rumah Hyemi yang menjadi favoritku. Kami duduk bersila diatas sofa, Hyemi yang dari tadi sibuk dengan ponselnya untuk mencari tahu keberadaan Sehun, akhirnya menyadari aku yang tak mengeluarkan satu patah kata pun sejak memutuskan datang ke balkon.

 

“Kau bisa mengatakannya sekarang.” Hyemi mendekatkan posisi duduknya denganku seraya menaruh ponselnya di atas meja di depan kami.

 

“Uh?”

 

“Ah lama sekali!” Umpat Hyemi. “Baiklah biar kutebak uhmmmm,” Hyemi memajukan bibirnya berpikir sok serius.

 

“Luhan? Junm-”

 

“Baekhyun.” Potongku. Hyemi membuka mulutnya, terkejut.

 

“Hal bodoh apalagi yang membuat kalian bertengkar?” Tanya Hyemi sedikit bosan.

 

“Kami tidak betengkar.” Aku mengubur wajahku ke dalam kedua telapak tanganku sambil menumpu badanku pada sandaran sofa.

 

“Lalu?” Hyemi menyingkirkan tanganku dari wajahku.

 

“Di-a ddi-a..” Kataku terbata – bata setengah hati mengatakan yang sebenarnya.

 

“Apa?” Tanya Hyemi menyolot, sedikit kesal dengan sikapku.

 

“Baekhyun berkata jika... Ia menyukaiku.” Akhirnya aku mengatakannya, serasa menghilangkan puluhan kilogram dalam kepalaku—hatiku juga.

 

Hyemi tertawa sekeras – kerasnya, aku hanya memandanginya heran. Apakah ini hal yang lucu?

Bukankah lebih banyak pertanyaan yang pantas untuk menanggapi kata – kataku seperti ; (1) Kau serius? (2) Bagaimana mungkin? (3) Sejak kapan?.

 

“Hyemi!” Aku mengguncang bahunya.

 

“Akhirnya ia mengatakannya juga, aku pikir ia akan membawa perasaaanya sampai mati.” Hyemi kembali tertawa.

 

“Maksudmu?” Aku mengerutkan alis.

 

Hyemi menutup mulutnya dengan tangannya. “Oooops!”

 

“Hyemi, kau sudah mengetahuinya? Apa Baekhyun juga mengatakannya padamu?” Aku meremas bahu Hyemi dengan kedua tanganku.

 

“Seharusnya aku tak mengatakannya-” Hyemi mendesah.

 

“Kim Hyemi!” Aku kesal. Bagaimana mungkin Hyemi dan Baekhyun menyembunyikan hal ini dariku.

 

Hyemi melepaskan tanganku dari bahunya dan kembali pada posisi semula. “Min Gi tenanglah, kau seperti akan membunuhku.”

 

“Kau ingat pertemuan konyol kita dahulu?” Tanya Hyemi.

 

Flashback

Saat itu adalah hari pertama masa orientasi, betapa bodohnya aku yang tak dapat menghapal jalan menuju Universitas padahal baru kemarin dilalui. Aku tertegun di gerbang besar Universitas yang terkunci dari dalam, menunggu keajaiban datang jika ada seseorang yang berbaik hati membukakan pintu untukku. Kupikir petugas keamanan selalu siap sedia menjaga pintu gerbang, namun tidak—tak satupun kulihat mereka disini. Terlintas dipikiranku untuk memanjat pagar, pagar itu sama sekali tidak memiliki bagian yang tajam dan membahayakan. Sebelum aku melaksanakan ide bodohku ternyata seseorang telah mendahuluiku.

 

Seorang pria berseragam sekolah menengah dengan mudahnya memanjat dan meloncat dari atas pagar. Ia menepuk – nepuk telapak tangannya yang terkena debu kering dari batang pagar, ia memandangku yang masih berdiri di balik pagar, tak lama ia mengalihkan pandangannya ke arah lain.

 

“Hyemi cepat! Lakukan sepertiku!” Sang pria berteriak dari dalam.

 

Saat aku berbalik, aku menangkap sesosok gadis yang berseragam sama dengan si pria tengah meremas bagian pinggir roknya, ia tampak ketakutan untuk melakukan aksi seperti si pria. Perlahan ia melangkah ke arah pagar, memegang salah satu batang pagar hendak memanjatnya. Kurasa ia tak akan mulus mendarat didalam sebab tangannya bergetar tak karuan, tak heran karena tinggi pagar ini hampir tiga meter.

 

“Hati – hati.” Kataku khawatir.

 

Sang gadis berbalik menatapku. Wajahnya sedikit berkeringat.

 

“Kau tak ingin masuk juga?” Ia bertanya.

 

“Aku akan masuk, setelah kau berhasil melalui pagar ini.” Jawabku sambil menatapnya. Rambutnya dikuncir kuda menggunakan ikat rambut berbentuk pita berwarna merah muda. Di tangan kirinya melingkar sebuah Casio Baby-G berwarna merah muda juga, tas gendong dengan motif tribal bergradasi warna merah muda, biru dan ungu menempel di punggungnya. Gadis ini sangan feminin, pantas ia ketakutan.

 

“Kau akan memanjatnya sendirian?” Tanya si gadis feminin.

 

Aku mengangguk. Memanjat pagar bukan hal amatir bagiku, selain pernah mengikuti kegiatan panjat tebing aku pernah melakukannya ketika terlambat sekolah dahulu dan selalu diakhiri dengan keberhasilan. Tak ada yang harus ditakutkan.

 

“Kalau begitu kau duluan!” Perintahnya.

 

“Aku?” Tanyaku heran sambil menunjuk diriku sendiri.

 

Gadis itu mendorong tubuhku mendekati pagar, mempersilahkanku memanjat terlebih dulu. Sementara di seberang sana kulihat sang pria menggerak – gerakan kakinya tak sabar menunggu, posisinya agak jauh dari kami sehingga dipastikan ia tak mendengar percakapan kami.

 

Aku mulai memanjat pagar. Diluar dugaan si gadis ikut memanjat disebelahku, gerakan amatir memanjatnya membuat pagar sedikit bergoyang, aku hampir terjatuh begitupun dia. Saat kami sampai diatas aku memberitahunya agar segera meloncat tapi ia malah memeluk batang pagar dengan ketakutan.

 

“Ayo, kita harus meloncat dari sini!”

 

“Aku tidak mau, Aku takut!” Ia menggeleng sambil menutup matanya.

 

“Hyemi cepat!” Teriak sang pria dari bawah.

 

Sang pria ternyata sudah ada dibawah kami tanpa kuketahui, mungkin untuk memberi semangat pada sang teman.

 

Sang gadis tak bergeming, ia malah mengeratkan pegangannya. Aku melepaskan satu peganganku pada batang pagar untuk meraih tangannya. Namun ia malah menghempaskan tanganku sontak membuatku kehilangan keseimbangan dan terjatuh menimpa teman prianya yang menunggu dibawah sana. Punggungku beradu dengan perutnya, ia berada dibawahku menumpu berat badanku.

 

“Aaaaaah-” Kata sang pria. Aku segera bangkit, ia tampak kesakitan.

 

Kemudian gadis itu perlahan mulai mencoba meloncat dari atas pagar, dan hasilnya ia mendarat dengan sempurna di sebelah kami.

‘Sial mengapa ia tak dapat melakukannya sedari tadi sehingga aku tidak terjatuh menimpa temannya ini.’ Gumamku dalam hati.

 

“Mma-maaf-” Kataku terbata – bata melihat sang pria mencoba bangkit sambil membersihkan seragamnya yang kotor terkena tanah kering.

 

Sang pria melihatku sekilas kemudian melanjutkan menepuk – nepuk celana dan blazernya.

 

Ia mengalihkan pandangan pada teman gadisnya, “Ini semua gara – gara kau Hyemi!”

 

“Baek! Aku sudah menyarankan agar kita membolos tapi kau tetap ingin datang kesini!” Si gadis mengumpat balik.

 

“Apa yang kalian lakukan disini? Upacara sudah dimulai sejak tadi.” Seorang pria pertubuh tinggi menyambangi kami.

 

Tidak salah lagi ia adalah senior kami. Ia mengamati masing – masing dari kami dengan seksama dari ujung kaki hingga kepala. Kemudian ia menatap kami dengan tatapan intimidasi, jelas sudah kami tertangkap.

 

Disinilah kami berakhir—di halaman belakang Universitas. Setelah tertangkap tadi kami bertiga di beri hukuman untuk membersihkan halaman belakang Universitas yang luasnya tak kalah dengan lapangan sepak bola. Aku sama sekali tak berbincang dengan mereka, mereka sibuk menyalahkan satu sama lain. Aku menghindari mereka menyeret sapuku ke tempat yang lebih tenang.

 

“Jadi kau bukan orang korea?” Suara itu mampir ditelingaku. Aku berbalik mendapati sang pria yang tepat ada di belakangku.

 

“Bagaimana kau tahu?” Tanyaku heran.

 

Lalu sang pria menunjukan sebuah papan nama, ya itu milikku. Disana tertulis jelas namaku dan dipojok kiri terdapat logo sekolahku dulu—Beijing Art High School. Aku lekas meraihnya dari tangan sang pria.

 

“Terimakasih.” Aku berterimakasih sambil tersenyum.

 

Ia tersenyum menunjukan deretan giginya yang rapih dibalik bibir merah tipisnya—sangat lucu. Dibandingkan dengan wajahnya tadi saat bertengkar dengan temannya sangat kontras  berbeda. Aku bersumpah kali ini dia begitu mempesona.

 

“Maafkan aku untuk yang tadi-” kataku sedikit salah tingkah.

 

“Itu salah Hyemi, dia memang menyusahkan.” Jawabnya.

 

“Ini untukmu.” Sang pria memberiku sebotol air mineral.

 

Awalnya aku enggan mengambilnya, tapi aku sangat membutuhkannya, tenggorokanku kering hampir dehidrasi, cuaca hari ini pun mendukung sekali matahari bertengger diatas langit dengan cerahnya, ditambah aku harus melaksanakan hukumanku—menyapu daun – daun kering yang berguguran tiada henti. Aku meraih botol itu dan meminumnya beberapa teguk.

 

“Terimakasih, lagi.” Aku tertawa sedikit.

 

Ia kembali menuju tempatnya. Beberapa langkah telah ia lewati, ia berbalik ke arahku..

 

“Park Min Gi, namaku Byun Baekhyun.” Teriaknya sambil tertawa ringan.

 

 

***

 

 

“Itu....” Aku tersenyum tipis sedikit terbawa suasana nostalgia. Membayangkan wajah – wajah polos kami yang baru dilepas dari sekolah menengah.

 

“Itu memang salahku.” Kata Hyemi sambil menyeruput jus jeruk yang ia bawa sebagai teman mengobrol kami.

 

Aku menerawang sebentar tampak bayangan Baekhyun saat itu, aku jadi tersenyum sendiri. “Saat itu aku pikir Baekhyun bukan Baekhyun yang sekarang, dia sangat....”

 

“Manis? Tampan?” Hyemi meletakkan gelasnya kasar.

 

“Aish! Hyemi!” Aku memukul bahunya ringan. Ia pura – pura meringis kesakitan.. “Sakiiiiiiit~”

 

Hyemi terpaksa harus buka mulut mengenai Baekhyun. Kali ini ia serius—sungguh bisa terlihat dari tatapannya. Ponsel yang bergetar sebagai tanda pesan masuk pun ia abaikan.

 

“Setelah masa orientasi selesai, Aku sering mengunjungimu ke kelas, ke kantin—kurasa kau sudah tahu alasannya.” Kata Hyemi memulai pembicaraannya.

 

“Kris.” Jawabku singkat, Hyemi mengangguk mengiyakan.

 

“Kau seharusnya sadar Baekhyun selalu membuntutiku ketika menemuimu padahal jurusan kami berbeda.” Hyemi memberikan penekanan di nada bicaranya menegaskan jika hal yang ia katakan memang benar adanya.

 

“Baekhyun senang sekali saat aku bilang kau juga akan bergabung dalam klub musik. Aku jelas menyadari ada yang berbeda dengan sikapnya, bagaimanapun aku mengenal Baekhyun lebih lama darimu.” Tentu saja Hyemi mengenal Baekhyun sejak sekolah menengah, 3 tahun lebih lama dibanding denganku.

 

“Akhirnya ia mengaku padaku, saat aku memergokinya membeli setumpuk cerpen Sherlock Holmes favoritmu dari toko buku ayahku. Aku sangat dekat dengannya tapi dia tak pernah sebaik itu padaku.” Lanjut Hyemi.

 

Aku hanya diam mendengarkan dengan seksama setiap kata yang keluar dari mulut Hyemi.  Mendengar cerita Hyemi aku seperti menemukan sosok baru dalam diri Baekhyun.

 

“Dia bilang menyukaimu sejak insiden pagar itu.” Hyemi berdeham. “Hanya aku dan Baekhyun yang tahu tentang ini, aku sendiri tidak mengerti mengapa Baekhyun ingin menyimpannya sebagai rahasia—dasar anak bodoh.”

 

“Apa kau tidak berpikir jika aku juga bodoh? Aku yang tidak peka pada Baekhyun..” Balasku. Kali ini aku tak memandang Hyemi. Aku memposisikan diri menghadap meja sambil memutar gelas jus jeruk milikku berlawanan arah jaruh jam sesekali aku menyeka embun di bagian luar gelas.

 

Aku datang pada Hyemi berusaha keluar dari perasaan kalut dan tak menentuku—dengan kata lain Baekhyun menggantungkan perasaanku sejak malam itu. Ia datang menyatakan perasaan selanjutnya menghilang—ya menghilang, saat aku telah menyadari punya perasaan yang sama padanya. Ironisnya sekarang aku dihadiahi fakta – fakta mengejutkan dari Hyemi. Baekhyun yang telah menyukaiku sejak dulu—sejak pertemuan pertama kami, membuat perasaanku semakin dalam padanya. Disisi lain aku juga tidak tahu apa yang harus aku lakukan sekarang karena sampai sekarangpun Baekhyun tidak bisa dihubungi.

 

“Apa kau ingat saat kau bilang kau tertarik pada hal yang berhubungan dengan astronomi?” Tanya Hyemi antusias, membuyarkan lamunanku. Aku mencoba memanggil kembali memori beberapa tahun yang lalu, agak sedikit susah mengingat banyak sekali hal penting yang terjadi.

 

“Itu kurasa karena Junmyun, dia belajar tentang ilmu semacam itu—jadi aku mencoba mempelajarinya juga.”  Jawabku setelah mendapatkan memori itu kembali.

 

Aku berdeham, bagaimana mungkin aku dapat melakukan hal semacam itu demi menarik perhatian seorang pria. Ilmu astronomi jelas bukan keahlianku, sejak sekolah menengah aku tak pernah lagi bertemu dengan pelajaran yang berbau eksakta. Namun tiba – tiba  hal itu menjadi serius saat aku menyukai Junmyun, aku masih ingat muka polos dan sok pintarku saat berbicara mengenai rasi bintang pada Junmyun.

 

Aish memalukan!

 

“Bukan! Tapi tentang Baekhyun.” Hyemi berdecak. Aku sedikit merasa berdosa mendengar kata – kata Hyemi, mungkin pada saat itu aku datang pada Junmyun dan mengabaikan Baekhyun yang selalu ada disisiku.

 

Aku ingat. Malam itu seusai latihan vokal Baekhyun datang dengan napas yang tak beraturan seperti habis berlari dari kejaran seekor harimau. Ia membawakanku sebuah teleskop, lalu membawaku ke atap gedung Universitas.

 

Atap gedung Universitas memang bukan tempat yang sering dikunjungi mahasiswa, kecuali untukku dan Baekhyun. Malam itu kami mulai mengamati bintang – bintang  di angkasa melalui teleskop itu sambil membuat kalkulasi kami sendiri, mengikuti peredaran benda-benda terang yang bertebaran di langit luas itu—menyenangkan sekali jika ada mesin waktu aku ingin kembali ke waktu itu saat ini juga. Kenyataannya lain saat itu aku sangat – sangat merusaknya. Malam selanjutnya aku mengundang Junmyun bergabung bersama kami, aku masih ingat wajah heran Baekhyun saat itu, aku lekas berbisik padanya “Baek terimakasih teleskopmu sangat membantu, akhirnya aku mempunyai waktu bersama Junmyun.”

 

“Dia sedikit kecewa setelah mengetahui alasan kau ingin mengetahui hal tentang astronomi karena Junmyun, tapi kau lihat sendiri dia tidak menunjukan sedikitpun rasa kecewanya padamu, Ia memberikan teleskopnya untukmu bukan?”

 

Aku membeku, Ya benar jawabku dalam hati.

 

Aku bersusah payah menelan ludah sambil menahan genangan di pelupuk mata. Karena setelah bisikanku itu aku ingat bagaimana Baekhyun melengos pergi sambil tersenyum tipis meninggalkan aku disana bersama Junmyun. Aku merasa semakin berdosa dan menyesal.

 

“Ingat waktu berjalan sangat cepat,  jangan membuat dirimu menyesal Min Gi-ah..”

 

Aku sudah menyesal Hyemi—sangat menyesal.

 

***

 

Pagi ini aku bangun di tempat tidur Hyemi. Kemarin malam Ahjumma memaksaku bermalam disini, kemarin malam memang sudah terlaru larut untuk pulang. Aku meregangkan ototku sambil beringsut dari tempat tidur. Kudapati Hyemi yang sedang mengeringkan rambut dengan handuk selepas mandi.

 

“Kau datang ke book store lagi hari ini?” Tanyaku sambil mengambil duduk di depan meja rias milik Hyemi memerhatikan wajah bangun tidurku di depan cermin.

 

Hyemi menggeleng, “Lalu?” Tanyaku Lagi.

 

“Sehun mengajakku kencan.” Jawab Hyemi sambil medorongku dari kursi mengisyaratkan gilirannya duduk di tempat itu.

 

“Sepagi ini?” Aku membulatkan mata sambil bangkit memberi Hyemi tempat untuk duduk. Jam 9 pagi menurutku waktu yang terlalu pagi untuk berkencan.

 

Hyemi tak menjawab malah memberiku sebuah senyuman bodoh.

 

***

 

“Kau yakin aku boleh ikut serta?” Kataku dari corong ponsel. Dari seberang kudengar Luhan tertawa kecil. Kuperjelas yang sedang berbicara denganku saat ini adalah Luhan. Luhan mengajakku ikut serta dalam perayaan kecil atas suksesnya proyek yang ia kerjakan bersama Kyungsoo dan Chanyeol.

 

“Min Gi-ah, ayolah...” Luhan memohon.

 

Hari ini aku bebas—tak ada kegiatan, tak ada salahnya menerima tawaran Luhan. Lagipula ini tidak seperti kencan, ada Chanyeol dan juga Kyungsoo yang akan membawa suasana lebih menyenangkan dibanding ikut serta dalam kencan Hyemi.

 

“Baiklah, tunggu aku disana.” Aku menutup sambungan.

 

 

“Sehun, bisakah kau mengantarku dulu ke Gangnam—maksudku CGV.” Pintaku pada Sehun yang menguasai kemudi.

 

“Apa yang akan kau lakukan disana?” Tanya Sehun datar.

 

Pertanyaan bodoh, Sehun seperti bukan orang Korea saja. “Tentu saja menonton film.”  Jawabku singkat.

 

“Baek-”

 

Belum sempat kata – kata penuh semangat dari Hyemi rampung, aku memotongnya “Tidak, aku pergi bersama Chanyeol, Kyungsoo dan Luhan.”

 

***

 

Luhan bilang perayaannya bukan perayaan besar – besaran hanya akan diisi dengan menonton film bersama, makan siang dan mungkin makan malam. Saat aku turun dari mobil Sehun, Luhan dan Kyungsoo sudah menungguku di pintu masuk. Luhan seperti biasa lebih senang menggunakan sweater di musim dingin seperti ini, kali ini sweaternya berwarna cream, rambutnya ditata berponi depan. Tak jauh beda dengan Luhan, Kyungsoo juga berponi depan—ia lengkap dengan jaket, kaos, dan celana berwarna hitam.

 

Apa yang mereka lakukan? Poni depan? Mencoba berpenampilan lucu?

 

Orang lain pasti akan menganggap mereka sebagai murid sekolah menengah, bagaimanapun aku harus mengakui tipe wajah babyface yang dimiliki kedua pria ini.  Aku melambaikan tangan disertai senyuman hangat.

 

“Apa kalian sudah lama menunggu?” Tanyaku khawatir.

 

“Kami baru saja sampai.” Kyungsoo mengkoreksi.

 

“Chanyeol?” Tanyaku setelah menyadari si raksasa tak ada disini.

 

“Ia sampai lebih dulu—sudah menunggu didalam.” Jawab Luhan.

 

Kami berjalan bersama menuju bioskop 4DX—bioskop  ini merupakan tempat hangout banyak anak muda di Seoul. Disini selain menonton kita dapat merasakan sensasi yang luar biasa nyata dari adegan di layar. Bioskop ini bisa memberikan efek gerakan, aroma, angin, dan air. Dilengkapi susana taman hiburan dan penyediaan kursi-kursi yang disesuaikan dengan penonton yang berpenyakitan sekalipun.

Sebelum kami sampai di mesin pemesanan tiket—Chanyeol telah menemukan kami lebih dulu. Kyungsoo berinisiatif yang pertama menyumbangkan hasil pendapatannya untuk acara menonton ini. Pilihan film yang akan ditontonpun sepenuhnya diberikan pada Kyungsoo—disamping kami juga tak memiliki rekomendasi. Tiket sudah diperoleh. Film akan dimulai 15 menit dari sekarang.

“Selagi menunggu, bagaimana jika kita mecoba itu?” Tawar Kyungsoo menunjuk sebuah layar pengambil foto otomatis.

Chanyeol dan Luhan  menyambut gembira. “Kajja!” Kata mereka berbarengan.

Kurasa aku benar – benar sedang berkencan dengan anak sekolah menengah.

“Min Gi, ayo kemari!” Ajak Chanyeol.

Setengah hati aku menghampiri mereka. Beberapa gadis usia belasan cekikikan memandangi tingkah mereka yang sedikit kekanak – kanakan—berpose dengan tangan berbentuk ‘V’. Sebelum aku ikut bergabung dengan mereka, tak sengaja aku melihat pemberitahuan di pojok layar disana tertulis Mesin ini tidak berjalan karena sedang dalam masa perbaikan.

Guys apa kalian tidak melihat ini?” Tunjukku pada tulisan pemberitahuan itu.

“Oh sial!” Sahut Chanyeol.

“Bodoh!” Tambah Luhan.

“Harusnya kita tak melakukannya!” Pernyataan terakhir datang dari sang pemberi ide—Kyungsoo. Harusnya mereka sadar lebih dulu, untuk usia 20 lebihan apa mereka masih pantas melakukan hal selucu itu—harusnya mereka bisa berakting sedikit cool.

Film segera dimulai, Kyungsoo juga membelikan kami nachos dengan saos keju ekstra serta masing – masing satu gelas cola. Kami menaiki eskalator menuju teater, di pintu tak lupa kacamata khusus harus dikenakan. Susasana didalam cukup ramai, kami duduk berderet dimulai dari Kyungsoo, Luhan, Aku dan Chanyeol di bagian ujung.

Rencana pertama selesai, kami puas dengan tontonan barusan, memacu adrenalin dan sensasinya memang benar luar biasa. Selanjutnya Luhan dan Kyungsoo berencana membeli sebuah dasi untuk dikenakan di acara kelulusan, karena universitas kami berbeda, Kyungsoo dan Luhan akan lebih dulu melepas titelnya sebagai seorang mahasiswa. Aku dan Chanyeol diikut sertakan dengan dalih selera kami lebih baik dari mereka berdua—Kyungsoo mungkin akan memilih warna hitam (lagi) dan Luhan bukan tidak mungkin akan berakhir dengan dasi berwarna pastel bercorak polkadot atau sejenisnya yang membuatnya terlihat lucu dan imut.

Kami keluar masuk Departemen Store sepanjang Gangnam, akhirnya diperoleh dasi berwarna silver dengan motif garis putih memanjang untuk Kyungsoo, sementara untuk Luhan dipilihkan dasi berwarna biru navy—sempurna.

Jam makan siang sudah lewat beberapa jam. Luhan memboyong kami ke sebuah restoran Pizza. Luhan mungkin sedang berselera dengan kuliner luar negeri setelah malam natal lalu mengajakku ke sebuah restoran Perancis. Roti bundar pipih tersebut disikat habis, kami makan seperti korban bencana yang tak mendapat pasokan makanan selama seminggu—mengerikan. Masing – masing diantara kami tak masalah dengan itu, bahkan Luhan menawari kami loyang selanjutnya.

Matahari telah tenggelam. Kami masih di restoran pizza saling bertukar cerita mengenai banyak hal, mulai dari pengalaman masa kecil sampai hal memalukan yang pernah dilakukan ketika menjadi mahasiswa. Gelak tawa saling menyambung diantara kami, kami tertawa sampai sakit perut dan menangis.

“Bagaimana jika hari ini ditutup di sebuah bar?” Tawar Chanyeol.

“Maksudmu minum?” Aku mengerutkan alis.

Chanyeol siap – siap memberi penjelasan takut aku menolak “Di dekat sini ada Bar favoritku, disana suasananya nyaman kita bisa mendengar musik jazz dan-”

Once in Blue Moon.” Potong Kyungsoo.

“Yap!” Chanyeol menjetikkan jari.

“Kau pernah kesana?” Tanya Luhan pada Kyungsoo.

“Hanya sekali.” Kyungsoo menjawab tanpa meninggalkan antusiasnya untuk mengunjungi tempat itu untuk kedua kalinya.

“Bagaimana? Luhan? Min Gi?” Tanya Chanyeol menatapku dan Luhan bergantian. “Kali ini aku yang traktir.” Tambahnya.

Meskipun Luhan bilang diawal jika ini adalah perayaan sederhana—ide Chanyeol sayang juga untuk dilewatkan. Aku dan Luhan akhirnya menyetujui.

 

***

 

Chanyeol tak salah tempat ini memang nyaman. Dibanding dengan bar atau club yang menyuguhi kami dengan musik – musik elektronik yang akan mengiring kami ke lantai dansa, suasana disini lebih tenang dengan alunan musik jazz dan blues. Kami berempat duduk agak belakang di pojokan agar lebih leluasa berbicara. Aku dan Chanyeol duduk bersebelahan didepan kami Luhan dan Kyungsoo.

“Yeol, apa ini tidak terlalu mahal?” Tanyaku pada Chanyeol, melirik harga minuman di daftar menu yang jelas – jelas tidak sesuai dengan kantong kami. “Kau membuang uang-”

Chanyeol menunjukan sebuah kartu plastik dari dompetnya—kartu kredit. “Noona, memberiku ini.” Chanyeol tersenyum.

“Baru – baru ini aku melihat kakakmu menjadi seorang penyiar berita di TV, hmmm namanya Park Yura benarkan?” Tanya Kyungsoo.

“Soo, mengapa kau tahu segala tentang Chanyeol? Tempat ini, kakaknya..” Luhan angkat bicara.

“Aku menonton TV dan bar ini aku bilang aku pernah datang kesini kan?” Bela Kyungsoo.

“Tenang saja aku mempunyai banyak fanboy Lu, aku sudah terbiasa-” Belum selesai Chanyeol memuji dirinya aku menjewer daun telinga lebarnya untuk memperingatkannya. Kyungsoo memang tak bisa dikatakan sebagai fans Chanyeol, kakak perempuan Chanyeol itu memang memiliki kemiripan 95% dengan Chanyeol, setiap orang yang melihatnya akan langsung menyadari mereka berasal dari keturunan yang sama, terlebih Yura unnie memang sering datang ke Universitas untuk bertemu Chanyeol, maka hubungan kakak beradik mereka sudah menjadi rahasia umum.

Luhan tertawa “Hentikan Min Gi, kau akan membuat telinganya semakin panjang.”

“Diam kau Bambi!” Balas Chanyeol.

Giliran aku dan Kyungsoo yang tertawa. Menghindari pernghinaan fisik selanjutnya aku mencoba mengalihkan pembicaraan.

“Hentikan, hentikan!” Aku menutup mulut Chanyeol dengan telapak tanganku—masih melanjutkan tawa. “Jadi apa yang akan kalian lakukan setelah lulus?” Tanyaku pada Luhan dan Kyungsoo.

Kyungsoo memutar gelasnya berlawanan arah jaruh jam, menoleh ke sebelahnya—Luhan, lalu terkikik sendiri.

“Ada apa denganku?”  Protes Luhan.

“Tidak, aku hanya ingat perjanjian kita dulu.” Jawab Kyungsoo sambil meneguk bir dalam gelasnya.

“Itu...” Luhan ikut tertawa. Sekarang aku dan Chanyeol yang saling memandang, kebingungan dengan tingkah aneh mereka.

Tak lama Kyungsoo segera buka mulut. “Begini, dulu ketika aku dan Luhan masuk ke Universitas kami mempunyai mimpi, setelah lulus kami harus bekerja di luar negeri. Tak muluk – muluk cukup negara dibagian Eropa sana. Jika salah satu dari kami gagal maka yang gagal tersebut harus menyumbang ¾ biaya pernikahan yang menang.” Kyungsoo tertawa.

“Gila!” Chanyeol berkomentar.

“Logikanya orang yang kalah itu akan tetap ada di Seoul—pendapatannya tak akan lebih banyak dari yang menang. Bagaimana mungkin bisa memberikan banyak uang.” Balasku.

“Kita lihat saja nanti.” Luhan berkata—memberikan Kyungsoo tatapan aku pasti menang.

“Bagaimana dengan kalian?” Tanya Kyungsoo.

Penasaran, tentu saja. Chanyeol yang lebih senang bermain musik dibanding berkutat dengan dunia jurnalisme maupun penyiaran. Bakatku dalam bidang seni memang bisa dikatakan dapat bersaing dengan mahasiswa yang memang belajar di jurusan seni seperti Baekhyun.

“Aku sedang mencoba membuat lagu untuk band-ku.” Jawab Chanyeol.

“Apa kau tak tertarik menjadi seorang seperti kakakmu?” Luhan bertanya.

“Lihat saja nanti.” Chanyeol tertawa. Luhan berdecak, Chanyeol mengulang jawabannya tadi.

Bola pertanyaan dengan otomatis menggelinding kearahku. Kali ini mereka semua menunggu jawabanku. Aku tidak mungkin menggunakan kata lihat saja nanti lagi. Mereka akan murka jika aku melakukannya.

“Aku... aku akan melakukan apapun yang membuat Appa bahagia.” Jawabku sambil bergantian menatap tiga pria tersebut. “Jika Appa ingin aku menjadi sepertinya aku akan lakukan, jika aku diizinkan bekerja di bidang seni aku juga akan senang.” Aku mengangguk yakin.

“Apa kau tidak punya sebuah mimpi? Atau apapun itu yang sangat ingin kau capai?” Luhan bertanya penuh penekanan di setiap katanya.

“Kurasa aku memilih menjadi seorang jurnalis yang sesekali bermain drama musikal.” Jawabku enteng.

“Min Gi apa kau belum tahu seberapa kerasnya botol ini?” Chanyeol mengangkat botol bir di depan wajahku.

“Memangnya kenapa?” Tanyaku polos.

“Dengar Min Gi jawaban pertama dan keduamu itu sama saja. Mengerti?” Jelas Luhan yang juga menahan kesal.

Aku hanya tersenyum lebar menanggapi reaksi teman – temanku. Seharusnya aku tak sepenuhnya disalahkan masing – masing dari merekapun tak mendeskripsikan arah masa depannya dengan jelas, hanya mengandalkan kemana waktu akan membawa mereka.

Beberapa tuangan bir dari botol masuk ke gelas kami masing – masing. Dalam perayaan memang tak lengkap jika acara minum ditiadakan—lagipula kita sudah cukup usia tak perlu ada yang dipertimbangkan kecuali jika kami berakhir mabuk.

Aku sangat berharap tak ada yang mabuk diantara kami. Tapi harapan itu pupus setelah Chanyeol dan Luhan menumpu kepala mereka di meja, matanya terlihat tak fokus, kata – kata yang keluar dari mulutnya pun mulai tak jelas.

Kami memutuskan segera meninggalkan bar sebelum Chanyeol dan Luhan semakin parah. Kami pulang bersama menggunakan mobil Kyungsoo—maksudnya mobil pinjaman. Bagaimanapun kami bukan orang sekelas Baekhyun dan Sehun yang memiliki segala fasilitas lengkap. Kyungsoo mengantarku ke apartemen Chanyeol. Awalnya aku meminta Kyungsoo menungguku sampai aku selesai mengantar Chanyeol ke kamarnya, namun tiba – tiba Luhan yang duduk di kursi penumpang muntah, wajahnya juga pucat, berkeringat dingin dan gemetar—mungkin ia tidak terbiasa minum. Aku mengurungkan niat meminta Kyungsoo menungguiku, aku menyuruh Kyungsoo segera membawa Luhan ke klinik terdekat, cairan tubuhnya akan habis jika ia tak berhenti muntah dan berkeringat seperti itu.

 

***

 

“Chanyeol, berikan aku kuncinya!”

 

Ditinggalkan Kyungsoo aku sedikit kesusahan disini. Aku bersyukur karena Chanyeol masih bisa berjalan menaiki tangga hingga sampai di depan pintu apartemennya. Tak lama dari itu, Chanyeol yang sedang mabuk malah menyenderkan badannya di pintu, kemudian beringsut turun dan berakhir duduk di lantai.

 

“Demi tuhan Chanyeol! Apa kau ingin berakhir disini?” Aku bertolak pinggang memandang Chanyeol dari atas. Beruntung aku tak menghabiskan gelas terakhirku, jika itu kulakukan—mungkin kami berdua akan berakhir menyedihkan disini.

 

Chanyeol malah bergumam tak jelas, ia lekas menutup kedua matanya.

 

Tidak! Dia tak boleh tidur disini!

 

 “Chanyeol!” Aku menepuk pipinya sedikit kasar. Chanyeol bergeming, memang benar ia minum jauh lebih banyak dariku.

 

Aku merogoh setiap kantung di mantel Chanyeol mencari kunci apartemennya. Ini tidak adil mengapa bukan aku saja yang mabuk, mungkin Chanyeol tak akan kesusahan sepertiku. Bayangkan saja setelah kunci itu kutemukan aku harus menyeret badan raksasanya kedalam apartemen. Takdir memang berpihak pada Chanyeol, kunci itu kutemukan di kantung bagian dalam mantel Chanyeol.

 

Tanpa ragu aku segera membuka pintu apartemen Chanyeol. “Awwww~” Chanyeol meringis kesakitan, kepalanya berantuk dengan lantai—aku lupa jika Chanyeol bersandar di pintu.

 

“Chanyeol! Ayo Masuk!” Teriakku.

 

Nihil, Chanyeol kembali tak sadarkan diri, haruskah aku memukulnya dengan benda yang lebih keras? Sejauh ini yang kulihat adalah pot bunga yang terbuat dari tanah liat yang bertengger di ujung lorong—ide buruk aku mungkin akan membunuh Chanyeol.

 

Aku berusaha mengumpulkan seluruh tenagaku untuk menyeret Chanyeol, percobaan pertama mungkin sekitar 15 sentimeter aku dapat menariknya, percobaan kedua jarak itu memendek, dan percobaan selanjutnya tak ada pergerseran sama sekali. Aku berjongkok didepan tubuh Chanyeol, bagaimana mungkin ia dapat tidur dengan damai seperti itu sementara aku disini menderita seperti seorang pengangkut barang berat. Aku mendesah kelelahan.

 

Aku mengalihkan pandanganku ke arah tangga,  ada sepasang kaki disana—berbalut sebuah sepatu sneaker berwarna abu. Mataku mengikutinya sepanjang alur tubuhnya hingga sampai di wajah—itu Baekhyun.

 

Aku berdiri dari posisiku, Baekhyun berjalan cepat kearahku. Tanpa kata – kata ia segera menyampirkan lengan Chanyeol dibahunya dan membawanya kedalam apartemen sementara aku mengikuti langkahnya dari belakang. Baekhyun berhasil mendaratkan Chanyeol diatas tempat tidur, meskipun tubuh Baekhyun lebih mungil dari Chanyeol tapi jangan salah tenaganya kurasa dapat diadu dengan Kris sekalipun—raksasa lainnya.

 

Baekhyun menghampiriku, “Ayo pulang.” Katanya.

 

Baekhyun berjalan menuju pintu, aku mengikutinya keluar setelah menutup pintu apartemen Chanyeol. Baekhyun memimpin jalan dan aku di belakangnya. Kami sampai di depan gedung apartemen, mobil Baekhyun terparkir disana. Tak lama Baekhyun masuk kedalam mobil, aku masih terdiam di tempatku.

 

 Serius, apa ia akan meninggalkanku sendiri disini? Tanyaku dalam hati.

 

Mobil Baekhyun berputar arah, akhirnya sampai di depanku, Baekhyun menurunkan jendela. “Masuklah..” Tawarnya.

 

Aku masuk, duduk sebelah Baekhyun. Hening, tak ada kata – kata yang keluar dari mulutku maupun Baekhyun.

 

Apa aku harus mengatakannya sekarang? Jika aku menyukainya. Lalu setelah itu, bagaimana? Bagaimana hubunganku dengan Baekhyun? Kami berpacaran? Atau tetap berteman? Pertanyaan itu berkecamuk di pikiranku.

 

Aku berdecak memandang jalanan melalui jendela di sampingku. Baiklah aku tidak boleh membiarkan suasana ini semakin berlarut – larut. “Baekhyun...” Aku memanggil Baekhyun dengan suara selembut mungkin.

 

“Aku-”

 

“Aku tak menyarankan jika kau mabuk bersama Chanyeol lagi.” Baekhyun memotong.

 

“Aku- Aku tidak tahu jika ia akan tak sadarkan diri secepat itu, jadi-”

 

“Sudah sampai, pulanglah.” Kata Baekhyun melepaskan kedua tangan dari setir mobil.

 

Mengapa jarak begitu terasa sangat dekat, kediaman-ku tadi telah memakan menit – menit berharga diantara kami. Kami sampai di gedung apartemenku. Aku masih duduk di dalam mobil Baekhyun.

 

Aku rasa banyak yang harus kukatakan, mengapa ia malah menyuruhku pergi?

 

“Apa aku harus membukakan pintu untukmu?” Tanya Baekhyun sambil memandangku sekilas.

 

Ia benar – benar ingin aku pergi? Ia mengusirku? Baekhyun, yang kau katakan beberapa hari lalu... Apa itu tak berarti apa – apa untukmu?

 

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!
autumndoor
Editing is going on. Sorry :(

Comments

You must be logged in to comment
baekness58 #1
Chapter 15: waw.. mengharukan banget. cara ngelamarnya baekhyun dann ternyata anaknya pun ikut2an juga.
tentang percakapan minhyuk dan baekhyun, aku terharu dengernya
bener2 aku pengen nangis bahagia
apalagi yang minhyuk minta dikasih liat peri cahaya sama kata2 terakhir
itu bener2 kena banget di hati /? itu juga kalimat yang bener2 pas buat nutup cerita ini. keep writingg!!
gogigirl #2
Chapter 15: Ceritanya bagus.. Suka
baekness58 #3
Chapter 14: ini bener2 chapter yang aku suka banget.. baekhyun sweet bener dah. trus yang baekhyun nyium min gi itu seneng nya ga main beneran dah. seneng banget mereka uda balik. min gi juga uda bebas dri keterpurukannya itu. yaampun kalimat terakhir bener2 dah. sekarang yang pikirannya bermasalah baekhyun atau min gi ni hahhahahhahha
carikan pasangan buat chanyeol oke.
ggamjjongin
#4
Chapter 14: ini lucuuuu >< sweet bgt sih mereka berdua. heueueueueu
baekness58 #5
Chapter 13: Aduh aku penasaran banget
Cepet next chapter yaaa
jesikamareta10 #6
Chapter 13: aku menunggu kelanjutannya, penasaran deh min gi bisa ngomong gak ke baekhyun
jesikamareta10 #7
Chapter 12: baeki kok kabur gitu aja sih, kan jadi gtw perasaan min gi gimana
xhxrat_ #8
Chapter 13: Next chapt thor~~
kyungie12_ #9
Chapter 12: mudah mudahan min gi bisa sama baekhyun endingnya amin
cepat lanjutkan ya thor
hwaiting
ggamjjongin
#10
huft.... luhan.... huft...