Chapter 13

Careful What You Wish For

A/N: Sorry for not updating last Friday! Here's the new chapter!

 

Seungcheol terbangun dengan sakit kepala ringan.

Kamarnya gelap. Tak ada sedikitpun sinar matahari yang masuk bahkan dari celah kecil tirai jendelanya. Sepertinya hari masih sangat pagi. Ia memutuskan untuk bangun saja karena tidak bisa tidur lagi.

Saat ia terduduk, selimut yang tadinya menutupi sampai ke lehernya jatuh ke pangkuannya. Mungkin kemarin Jeonghan atau Seungkwan masuk dan menyelimutinya, karena setahunya ia tertidur tanpa berbalut selimut. Ia beranjak dari tempat tidur dan menyalakan lampu, lalu menghampiri jendela dan menyingkap tirai tebal berwarna biru tua.

Sesuai dugaan, langit masih gelap. Mungkin masih sekitar jam 3 atau 4 pagi. Suasana di luar jendela yang gelap membuat kaca jendelanya bak cermin dan memantulkan dirinya.

Ia terlihat letih dan pucat. Pakaiannya yang terhitung sudah dipakainya dua hari berturut-turut itu sangat berantakan. Seungcheol jadi menertawakan dirinya sendiri. Ia tampak seperti orang yang tinggal di jalanan dan bukan seperti bos pemilik perusahaan entertainment. Dan sepertinya ia perlu mandi.

Dengan tak bersemangat ia memasuki kamar mandi dan memulai rutinitasnya.

Lampu kamar mandi yang terang membuatnya bisa melihat dirinya dengan lebih jelas. Pantulannya di cermin menampakkan lingkaran hitam di bawah matanya. Ia menghela napas dan melanjutkan kembali acara menyikat giginya.

Saat hendak meletakkan kembali sikat giginya setelah selesai dipakai, Seungcheol terheran. “Mana sikat gigi satu lagi?” Ia mencari-cari di lantai sekitar wastafel. Tidak ada. Bahkan di dalam bak mandi pun tidak ada. Ia menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Kemana pula benda itu? “Ah! Jangan-jangan..” Ia tergesa-gesa membuka penutup kloset. Bisa runyam kalau terjatuh ke dalam kloset, sikat gigi itu milik-

Seungcheol terpaku. Matanya terbelalak lebar saat kenyataan berhasil disadari oleh otaknya.

Kloset itu bersih. Tidak ada sikat gigi atau benda apapun yang jatuh ke dalamnya. Tidak juga sikat gigi Jihoon. Karena memang Jihoon tidak pernah ada disini.

Bahu Seungcheol merosot. Jika kemarin ia merasa kesepian, maka saat ini perasaan itu semakin parah. Dengan langkah gontai ia keluar dari kamar mandi.

 

“Katamu kau sudah ingat semuanya?” Jisoo menemani Seungcheol di dapur. Mereka duduk berhadapan di meja makan dengan dua gelas teh yang masih panas. Seungcheol menelepon Jisoo pagi-pagi sekali dan temannya itu sampai di apartemennya dengan wajah khawatir.

Seungcheol mengangguk. Ia menatap temannya itu penuh selidik. Mungkinkah Jisoo tahu sesuatu tentang keadaannya ini?

Tatapan intens dari Seungcheol disadari olehnya. “Kau ingin bertanya sesuatu, Cheol?”

“Ya. Apakah,” Ia sedikit ragu-ragu, “Apakah kau juga sama denganku? Apa kau terbangun suatu hari dan mendapati dirimu berada di tempat dan keadaan yang sama sekali berbeda?”

“Ya, Cheol.” Ia meletakkan gelas yang isinya tinggal separuh ke meja. Seungcheol menatapnya tanpa berkedip, menunggu Jisoo melanjutkan perkataannya. “Aku ingat kejadian di kafe. Semua kata-katamu saat itu, tentang bagaimana seandainya Jihoon tidak pernah mengenalmu, aku ingat semuanya.” Seungcheol menundukkan kepalanya malu. “Aku ingat pulang dan tidur sekamar dengan Jeonghan. Lalu keeseokan harinya aku terbangun di kamar yang terasa asing namun familiar.

“Kau tahu tidak, betapa terkejutnya aku waktu keluar dari kamarku dan langsung ada Hansol di hadapanku. Untung saja aku menahan diri untuk tidak menanyakan sedang apa dia di apartemen milikku dan Jeonghan. Bisa-bisa dia menganggapku tidak waras.” Ia tertawa kecil.

“Aneh, ya? Tak kusangka bisa ada kejadian seperti ini.”

“Benar.” Kata Jisoo, “Ini seperti yang kubaca di buku tentang fenomena aneh. Tidak, mungkin lebih berbeda. Aku tidak punya penjelasan apapun soal hal ini.” Keduanya terdiam.

“Apa menurutmu kita bisa kembali? Ke kehidupan sebelumnya, atau apapun itu. Aku tidak bisa terus seperti ini, aku bisa gila. Memiliki dua ingatan berbeda dalam satu kehidupan yang sama seperti ini memusingkan.”

“Setuju. Aku ingin kembali bisa bersama Jeonghan.”

Seungcheol memandang heran padanya. “Bukankah Jeonghan yang ini juga suka padamu? Kau masih bisa bersamanya, Jisoo.”

“Dan membiarkanmu yang single dan patah hati ini merana sendirian? Tidak, terima kasih. Aku masih setia kawan.” Dengan dengus sebal ia kembali minum dari gelasnya.

“Terima kasih.” Seungcheol tersenyum hangat padanya. “Aku.. merindukan Jihoon.” Ucapnya sambil memainkan gelas di tangannya. Minuman di dalamnya sudah dari tadi habis. Jisoo tersenyum prihatin padanya. Ia tidak tahu harus bagaimana menghibur Seungcheol.

“Bantu aku, Jisoo-ya,” ia menatap Jisoo dengan sorot mata memelas, “Aku harus bagaimana?”

Jisoo menghabiskan waktu hampir seharian itu untuk menenangkannya.

 

Jisoo berdiri diantara Seungcheol dan Jeonghan di area kedatangan di bandara, menanti kepulangan Mingyu dan Jihoon. Teman-teman mereka juga ingin ikut serta, tetapi tidak bisa karena ada pekerjaan penting di agensi. Jadilah tinggal mereka bertiga yang pergi, meskipun menuai protes dari sekumpulan teman mereka.

“Kenapa saat ada pekerjaan penting begini malah bos dan asistennya yang pergi? Dan kenapa pula Jisoo-hyung ikut kalian? Hansol hari ini ada jadwal dan kita butuh Jisoo sebagai manager-nya!” Akhirnya setelah meyakinkan mereka dengan panjang lebar bahwa ini tidak akan makan waktu lama, barulah mereka bersedia.

Seungcheol tampak gugup karena saat Mingyu dan Jihoon berangkat minggu lalu, hubungannya dengan Mingyu sedang tidak baik. Tapi ia ingin menunjukkan pada Jisoo bahwa ia bisa merelakan orang yang disukainya bersama sahabatnya. Seminggu terakhir yang dihabiskan Jisoo untuk menghiburnya tidak akan ia buang sia-sia.

Sedangkan perasaan Jeonghan bercampur antara khawatir dan tidak senang. Ia khawatir pada Seungcheol yang sebentar lagi akan menyaksikan Jihoon yang tiba dengan Mingyu, cemas kalau-kalau Seungcheol kembali kacau seperti minggu lalu. Dan jujur saja, itu bukan pemandangan yang sedap untuk dilihat. Tapi tak bisa dipungkiri bahwa ia kesal pada temannya satu itu. Seminggu ini ia menempel terus pada Jisoo. Dan berapa kali pun mereka menjelaskan bahwa tidak ada apa-apa, tetap saja Jeonghan cemburu.

“Itu dia Mingyu dan Jihoon! Mingyu-ya! Jihoon-ah! Kami disini!” Jisoo melambaikan tangannya dengan bersemangat.

Seungcheol mengarahkan pandangannya ke arah Jisoo melambai, dan disanalah sepasang kekasih itu berdiri, bergandengan tangan dengan mesra dan tersenyum cerah. Meskipun air muka Mingyu sedikit menggelap saat sadar Seungcheol ada diantara orang yang menyambut mereka. Mereka berjalan mendekat, dan Seungcheol bisa melihat mereka dengan lebih jelas.

Hal pertama yang dicarinya adalah jemari mereka. Sebuah cincin melingkar manis di jari Jihoon dan Mingyu. Seungcheol menatap sedih, mengingat cincinnya dan Jihoon dulu.

Jeonghan memeluk Mingyu dan Jihoon bergantian. Ia sibuk bertanya-tanya apakah mereka makan dengan teratur dan tidur nyenyak, persis seorang ayah yang menanyai anak-anaknya.

Seungcheol tersenyum menyambut mereka. ‘Aku bisa menjalani ini’, ucapnya pada diri sendiri. ‘Bagaimanapun mereka adalah temanku. Aku harus berbahagia untuk mereka.’ Ia menggapai untuk memeluk Mingyu dan untung saja Mingyu menyambut pelukannya dengan senang hati.

“Selamat datang.” Ucapnya saat memeluk Mingyu. Jeonghan jelas terlihat lega, begitu juga dengan Jihoon. Mingyu dan Seungcheol melepas pelukan mereka dan ada seulas senyum di wajah mereka. Seungcheol lalu berjalan mendekati Jihoon.

Seungcheol mengulurkan tangannya. “Selamat datang juga, Jihoon.” Jihoon sedikit terkejut, tapi dijabatnya juga tangan yang terulur itu. Mingyu dan Jihoon melanjutkan dengan memeluk Jisoo yang menyambut mereka dengan hangat.

“Oh iya, aku ingin memberitahukan kabar baik.” Ujar Mingyu. “Tiga hari lagi akan ada pesta kecil-kecilan untuk merayakan pertunanganku dengan Jihoon. Kalian harus datang.” Jihoon cuma bisa tersenyum malu-malu saat Jeonghan dan Jisoo mengucapkan selamat padanya dan Mingyu.

Seungcheol bisa merasakan bibirnya bergerak untuk mengucapkan “Selamat, ya!” kepada mereka juga, tetapi suaranya sendiri terasa jauh. Seperti tidak berada di tubuhnya sendiri. Hatinya berdenyut sakit. Melihat wajah-wajah bahagia teman-temannya membuatnya merasa ia tak sepantasnya berada disini. Dan melihat wajah Jihoon yang tersenyum bahagia sambil menggandeng lengan Mingyu, saat itulah Seungcheol benar-benar sadar bahwa pria mungil yang berdiri di hadapannya bukanlah lagi Jihoon-nya.

 

Ponsel Jisoo berdering nyaring, bergema di ruang kerjanya yang hanya ditempati olehnya seorang. Pekerjaannya sore ini tidak mengharuskannya keluar dari kantor, sehingga Jisoo duduk santai di ruangannya sambil menyusun jadwal berikutnya untuk Hansol.

“Halo Cheol, ada apa?” Jisoo agak-agak khawatir padanya tadi karena Seungcheol langsung mengatakan bahwa ia tidak akan datang ke kantor dan langsung pulang ke apartemennya dari bandara.

“Jisoo,” Suara Seungcheol di telepon nyaris tidak dikenalinya. Suara itu terdengar putus asa dan sedih. “Bisakah kau kemari? Aku.. butuh ditemani.”

“Oke. Aku segera kesana.” Jisoo segera mengambil mantel beserta dompet dan kunci mobilnya. Jurnal dan kertas-kertas kerjanya dibiarkan begitu saja. Bagaimanapun, teman baiknya lebih penting.

.

Seungcheol menutup telepon dan membiarkan tangannya terkulai lemas di lantai. Ponselnya pun turut tergeletak tak berdaya.

Ruang tamu dan dapurnya kacau balau. Vas bunga, bingkai foto, bahkan piring dan gelas pecah bertebaran di sana-sini. Seungcheol terduduk di lantai, bersandar pada sofa yang untungnya masih utuh. Napasnya kacau karena terbawa emosi. Sebuah luka goresan akibat terkena pecahan kaca dengan perlahan mengalirkan darah di lengan kirinya.

Sementara menunggu Jisoo tiba, ia hanya duduk dengan tatapan kosong. Di benaknya sebuah memori berputar lagi dan lagi.

“Jihoonie?”

“Hm?”

Love you.”

Jihoon tersenyum, “Aku juga mencintaimu.”

Untuk sesaat Seungcheol melupakan tentang perkataan Jisoo dan berpikir bahwa mungkin saja semua itu hanya sekedar mimpi, bahwa ini adalah kenyataan dan Jihoon hanyalah seseorang yang disukainya secara sepihak. Bayangan tentang Jihoon dan Mingyu yang berangkulan dan tertawa lepas menghantuinya.

Tanpa disadarinya setetes air mata mengalir di pipinya. Luka di lengannya berdenyut samar. Sakit. Tetapi tidak sesakit hatinya saat ini.  

 

 

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!
Na_Foresther
Psst! Teman-teman!
Ada 2 fic baru buatanku nih!
Jika berkenan silahkan mampir dan dicek ya, siapa tahu naksir ^^

Comments

You must be logged in to comment
24Delution
#1
Chapter 16: Hong Jisoo, Joshua Hong, Hong Josh O_O ku pikir kau penyihir, tenyata angel kkkk. Terima kasih telah mempersatukan mereka kembali, angel. Terima kasih juga buat authornim yg udah nulis dan menamatkan ini happy ending hehe :D
Ditunggu fict jicheol berikutnya ^^
24Delution
#2
Chapter 15: "Aku pulang, Jihoonie". Duh, pas baca part ini perasaan campur aduk :')
scoupstu #3
Chapter 15: EA AKHIRNYA TAMAT YEYYY~~~~~ W BISA BAYANGIN ITU DUA BERANTEM GIMANA WKWKWK EA CSC TOBAT YEY HEPI ENDING DITUNGGU FF BERIKUTNYA HEHEHEHE
sseundalkhom
#4
Chapter 16: finally!!!
makasih udah sebut nama, makasih udah buat fanfic sebagus ini yaaa
viagain
#5
Chapter 16: Angel pacaran sm angel yaa.. anaknya jadi apa deh.
Makasih fanficnyaaaa.. makasih atas semua angst, dan makasih udah nyebut nama ^^
leejihoon92
#6
Chapter 16: Dan gue betapa senangnya saat ada notif updatean dri loe... dan bener keknya gue tunggu2 dr mngu kmaren akhirnya cheol jisoo balik lagi... tapi kenapa end huuaaaaaa kenapa cepet banget endnya huhuhu... thanks ya thor jarang2 ada jcheol yg bahasa jadi gue seneng banget... jangan bosan bosan buat nulis jicheol ya thor haha.. semangat
24Delution
#7
Chapter 14: Hah, sudah ku duga pasti ada sesuatu dengan Joshua. Next chap semoga segera terbongkar kkkk~
viagain
#8
Chapter 14: Tuh kan, josh itu pasti semacam angel atau cupid deh
sseundalkhom
#9
Chapter 14: ya ambyar sudah baca ini
leejihoon92
#10
Chapter 14: Nahhh part yg gue tunggu keknya bakal nongol minggu depan .. semoga