Chapter 12

Careful What You Wish For

A/N : Halo semuanya ^^ SEVENTEEN akan segera comeback! Readers sekalian, are you ready? I'm so excited!

Fic ini tetap akan diupdate setiap hari Jum'at ya. Selamat membaca!

 

 

Jihoon berdiri bersebelahan dengan Mingyu di tengah hingar bingar keramaian bandara. Masing-masing memegang gelas kertas berisi minuman berkafein yang masih mengepulkan asap. Penerbangan mereka dijadwalkan pukul 10.15 dan mereka sudah sampai dari jam 7 pagi untuk mengurus segala prosedur keberangkatan.

Jeonghan dan yang lainnya berjanji akan mengantar kepergian mereka, tapi belum ada satupun wajah teman-teman mereka di kerumunan orang yang berlalu-lalang.

Mingyu sedari tadi terus melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Bahasa tubuhnya gelisah. Jika Jihoon tidak sedang menggenggam sebelah tangannya, mungkin sekarang Mingyu sedang berjalan mondar-mandir di hadapannya.

"Tenanglah, Gyu. Sebentar lagi pasti mereka sampai."

“Tapi mereka lama sekali, hyung. Satu jam lagi kita sudah harus naik ke pesawat.” Ujarnya. Matanya tak lepas dari pintu masuk bandara, memperhatikan satu per satu wajah orang yang masuk.

“Jeonghan-hyung bilang jam berapa mereka sampai?”

“Harusnya mereka sudah sampai dari tadi, hyung.”

Baru saja dibicarakan, beberapa wajah familiar berjalan memasuki bandara. Jeonghan melihat kesana-kemari untuk mencari sosok tinggi Mingyu. Setelah pandangan matanya menangkap sosok temannya yang berbadan tinggi di atas rata-rata itu, Jeonghan melambaikan tangannya dan tersenyum lebar.

 

 

.

“Hei, siapa namamu?” Seorang anak kecil dengan pipi chubby mendongak menatap seseorang yang mengajaknya bicara. Anak itu tampak seumuran dengannya.

“Lee Jihoon. Namamu siapa?” dengan protektif Jihoon melindungi benteng pasir yang sudah dibangunnya. ‘Anak ini bukan tukang bully, kan?’ pikirnya.

“Choi Seungcheol. Boleh aku ikut bermain?” Jihoon menatap sekelilingnya. Ada anak-anak lain selain dirinya di taman ini, tetapi Seungcheol ini malah mengajaknya.

“Boleh saja.”

 

“Mereka akrab, ya?” Dua wanita muda yang adalah ibu dari Jihoon dan Seungcheol mengawasi dua orang anak yang sedang bermain di halaman belakang rumah Seungcheol. Dua anak itu berlarian dan tertawa dengan ceria. Tak disangka mereka berdua bisa akrab seperti saudara meskipun baru berteman tidak lama.

 

“Lihat itu, Jihoon-ah! Gerakan dance-nya keren!” Seungcheol memandangi televisi dengan mata berbinar-binar. Mulutnya tak henti-henti ber-‘wah’ ria saat ada gerakan yang sulit muncul. “Kalau sudah besar nanti aku ingin jadi artis seperti mereka!”

“Hyung, kaki dan tanganmu bisa terkilir kalau bergerak seperti itu.”

“Kan aku bisa belajar. Kau tahu tidak Jihoonie, mereka berlatih keras selama beberapa tahun, setelah itu barulah bisa didebutkan sebagai artis.”

“Tampaknya sulit sekali, hyung.”

“Tidak ada yang sulit kalau kita mau berusaha, benar kan?” Senyum lebar di wajah Seungcheol berhasil meyakinkan Jihoon dan membuatnya tersenyum juga. Jihoon mengangguk antusias dan melanjutkan mengagumi acara musik di layar televisi.

 

“Kalian yakin mau pergi, Nak?” seraut wajah khawatir ibu Seungcheol menatap Seungcheol dan Jihoon bergantian.

“Kami yakin, Bu. Jangan khawatir. Anakmu ini akan merantau ke Seoul untuk belajar hidup mandiri.” Ibu Seungcheol masih tampak tak rela melepas anaknya pergi. “Ada Jihoon di sisiku, Bu. Aku akan baik-baik saja.”

“Justru itulah yang Ibu permasalahkan. Bagaimana kalau terjadi sesuatu padanya? Harus bagaimana Ibu menjelaskan pada orangtuanya?”

Seungcheol memeluk Ibunya erat. “Aku akan menjaganya, Bu. Aku juga sudah berjanji pada Bibi Lee.” Seungcheol melepas pelukannya dan menatap hangat pada wanita paruh baya yang sudah membesarkannya. “Kami berangkat dulu, Bu. Doakan agar kami berhasil.”

 

Hidup di kota besar seperti Seoul tidak segampang hidup di kota kecil kampung halaman mereka. Kenyataan itu menampar Seungcheol saat mereka kesulitan melunasi uang sewa rumah dan memenuhi kebutuhan sehari-hari dengan gaji yang tak begitu besar. Lupakan soal hang out bersama teman, bisa makan tiga kali sehari saja mereka sudah bersyukur.

Jihoon lah yang terus menyemangati dan mendukungnya. Jihoonnya yang manis dan penuh perhatian, Jihoon yang tidak pernah mengeluh walau hidup mereka di Seoul tidak bisa dibilang berkecukupan.

Dengan kata-kata dan senyuman Jihoon sebagai motivasinya, Seungcheol menjalani hari-harinya.

 

Seungcheol menyelimuti Jihoon yang tertidur di meja studio. Kekasih mungilnya itu berkeras ingin menyelesaikan sebuah lagu bahkan saat jam kerja sudah selesai. “Selagi ide dan inspirasi masih ada,” ujarnya siang tadi.

Agensi ini memang kecil, tetapi inilah hasil jerih payahnya bersama Jihoon beberapa tahun belakangan ini. Tidak lupa juga bantuan dari teman-teman baik mereka yang sebagian juga adalah anak perantauan di Seoul.

Seungcheol mengusap pelan rambut Jihoon. Pandangannya beralih dari wajah Jihoon ke jari tangannya. Sebuah cincin melingkar manis di sana. Cincin perak berukirkan Ji&Cheol. Ia tersenyum hangat.

 

Mereka bertengkar. Lagi. Selalu tentang hal yang sama. Pertengkaran itu akan berakhir tanpa ada penyelesaian. Jihon akan mengurung diri beberapa malam di studio dan Seungcheol pulang sendirian ke apartemen. Lalu beberapa hari kemudian mereka akan kembali bertegur sapa seolah tidak ada apa-apa, untuk kemudian terulang lagi.

Teman-teman mereka sampai geleng-geleng kepala melihatnya. Nasehat sudah mereka berikan, tetapi Seungcheol orang yang keras kepala. Begitu juga dengan Jihoon. Kalau sudah begini mereka juga tidak bisa apa-apa.

 

“Kau dan Jeonghan sudah melihat sendiri kan seberapa seringnya kami bertengkar? Sudah berapa kali aku membuat Jihoon sedih? Dia sudah cukup menderita waktu ke Seoul bersamaku, dan sekarangpun aku tak sanggup membuatnya bahagia!”

“Kalau saja.. dulu aku tak mengajaknya ke sini. Menurutmu apakah Jihoonie sedang berbahagia bersama orang lain saat ini?”

“Seandainya aku tak pernah mengatakan impian bodohku itu. Seandainya Jihoon tidak pernah bersamaku. Seandainya ia tak pernah mengenalku.”

.

Seungcheol membuka matanya. Sinar matahari yang samar masuk ke kamarnya melalui celah tirai jendela yang tebal menunjukkan hari sudah lumayan siang. Sepertinya ia bangun kesiangan. Kepalanya masih sakit dan badannya terasa dingin. Matanya terpaku menatap langit-langit, beberapa hal memenuhi pikirannya. Tanpa mempedulikan kondisi tubuhnya yang belum sehat sepenuhnya, ia memaksakan diri untuk bangun. Ia mulai beranjak dari tempat tidur dan tanpa ragu berjalan keluar dari apartemen.

Mimpi atau apapun itu tadi, Seungcheol berterimakasih karena sekarang semuanya sudah jelas.

Seungcheol sudah ingat semuanya.

 

 

“Jangan lupa bawa oleh-oleh untukku!”

“Iya, iya, pasti kami bawakan untukmu.” Mingyu menjawab Seungkwan yang dengan antusiasnya berceloteh tentang beberapa barang bagus yang bisa dibeli di Jepang.

Sementara Mingyu sibuk berbicara dengan Seungkwan, Jeonghan sibuk dengan Jihoon seperti seorang ayah yang hendak mengirim anaknya bepergian jauh.

“Jaket dan pakaian tebal sudah dibawa?”

“Sudah.”

“Paspor dan uang yang cukup? Obat-obatan? Celana dalam?”

“Semuanya sudah lengkap, hyung.” wajah Jihoon memerah malu. Ditanyai seperti itu di tempat yang begini ramai, beberapa orang yang kebetulan berdiri di dekat mereka  tersenyum-senyum kecil.

“Jihoonie-hyung,” Mingyu menaruh tangan di pundak Jihoon. “Ayo, sudah waktunya.” Jihoon mengangguk dan membiarkan Mingyu menuntunnya pergi.

Sebelum keduanya hilang dari pandangan, Mingyu berbalik dan melambaikan tangan dengan bersemangat. “Sampai jumpa semuanya! Jangan lupa jemput kami minggu depan ya!”

Teman-teman mereka membalas lambaian tangannya dan senyum menghiasi wajah mereka. Bahagia turut mereka rasakan melihat sepasang kekasih yang berangkulan itu berjalan menjauh.

Tak butuh waktu lama bagi mereka menunggu sampai Jihoon dan Mingyu tidak kelihatan lagi. Acara mengantar sudah selesai dan waktunya untuk kembali bekerja. Mereka tidak menunggu sampai pesawat lepas landas agar bisa sampai ke agensi lebih cepat.

 

“Tidak ada.” Seungcheol berdiri dengan napas terengah-engah di ambang pintu ruang kerjanya. Matanya menyusuri setiap inci ruangan itu, berharap menemukan sesuatu. Lebih tepatnya sebuah pigura dan cincin. Diperhatikannya setiap sudut rak buku yang diingatnya sebagai tempat menaruh pigura berisi fotonya dengan Jihoon. Saat tak menemukan yang dicarinya, ia mulai menarik satu demi satu barang-barang di rak tersebut, berharap benda yang dicarinya terselip diantara buku-buku dan dokumen yang memenuhi rak itu.

“Tidak ada.” Seungcheol beralih ke meja kerjanya. Lantai ruangan berantakan karena perbuatannya tadi, tapi ia tak peduli. Satu per satu laci meja dibukanya. Tak puas hanya dengan mengaduk-aduk isi laci, Seungcheol menumpahkan seluruh isi laci ke lantai. Terdengar suara denting kecil logam yang beradu dengan lantai dan Seungcheol buru-buru mencarinya di tumpukan kertas yang berserakan. Ia harus kecewa karena suara itu bukanlah dari cincin yang dicarinya, melainkan sebuah paku kecil.

Seungcheol melanjutkan mengobrak-abrik seisi ruangan.

“Ya ampun, Seungcheol-hyung! Kau ini kenapa?” mata Seungkwan membelalak melihat ruangan yang seperti kapal pecah itu dan kondisi Seungcheol. “Jeonghan-hyung! Cepat kemari, hyung! Seungcheol-hyung sepertinya sudah gila!”

Jeonghan tergesa-gesa berlari menuju kantor milik Seungcheol. Benar kata Seungkwan, mungkin Seungcheol sudah gila.

Rak tempat menaruh buku, dokumen, dan beberapa trofi di sudut ruangan kosong, barang-barang yang seharusnya berada di sana memenuhi lantai ruangan. Begitu juga dengan beberapa buah laci meja yang dikeluarkan dari tempatnya.

Kondisi Seungcheol juga tidak bagus. Rambut dan pakaiannya berantakan. Wajahnya seperti baru bangun tidur dan tampak ia masih pucat serta meringis kesakitan. Dan bukankah itu baju yang dipakainya kemarin?

“Jeonghan? Seungkwan?” Seungcheol menatap mereka lega. “Syukurlah kalian ada disini. Aku sedang mencari cincinku. Apa kalian melihatnya? Aku tidak bisa menemukannya.” Tangannya masih dengan setia mengais-ngais di tumpukan benda di lantai.

“Cincin? Cincin apa?”

“Cincin perak. Yang ada ukiran namaku dan Jihoon.” Seungcheol masih mencari-cari, tidak menyadari air muka Jeonghan yang berubah masam.

“Kau sudah tidak waras, hah?” Jeonghan menarik tangan Seungcheol, nada suaranya meninggi. “Sejak kapan kau membuat cincin dengan ukiran namamu dan nama pacar orang?”

Seungcheol hanya diam.

“Kupikir selama ini Jisoo dan kau sudah bicara panjang lebar mengenai masalah ini. Kenapa jadi parah begini?” Ia mendudukkan Seungcheol di kursi kerja. “Tunggu disini, akan kupanggil Jisoo kemari.”

“Tidak usah panggil Jisoo.” Kata Seungcheol. Jeonghan mengurungkan niatnya untuk mengangkat gagang telepon.

“Kau tahu, Jeonghan-ah? Jihoonie juga punya cincin yang sama. Dia selalu memakainya. Bukankah itu manis?” ia tersenyum hangat, tak peduli jika hal yang diucapkannya masuk akal atau tidak.

“Kau,” Jeonghan berusaha menahan diri untuk tidak menghajarnya. Diingat-ingatnya Jihoon tadi, tapi tak sedikitpun dilihatnya ada cincin yang tersemat di jari pria mungil itu. Kecuali cincin dari Mingyu nantinya.

Ia berbalik menatap Seungkwan yang masih berdiri di ambang pintu. “Seungkwan, panggil Soonyoung dan Jun. Kita harus membawa Seungcheol pulang ke apartemennya.” Ia prihatin dengan keadaan sahabatnya itu. Mungkin karena patah hati, Seungcheol benar-benar sudah menjadi gila.

Tanpa perlawanan, Seungcheol membiarkan Soonyoung dan Jun memapahnya menaiki mobil. Seungkwan duduk di balik kemudi dan Jeonghan menemaninya duduk di kursi belakang.

Beberapa menit berlalu dan mereka diam saja selama perjalanan sampai Seungcheol membuka mulutnya.

“Jeonghan-ah, ceritakan padaku bagaimana pertama kali kau dan Jisoo bertemu denganku.”

Jeonghan menatapnya heran. Dari tadi dia takut Seungcheol akan bicara lagi soal Jihoon. Namun pertanyaan barusan sedikit membuatnya tenang. Setidaknya topik ini bisa mengalihkan perhatiannya.

“Kau sedang berteduh di halte bus saat itu.” Jeonghan mulai bercerita. “Membawa koper besar dan kelihatan seperti anak hilang. Hampir saja kau ditipu dan dirampok orang kalau bukan karena Jisoo yang memperhatikanmu.” Ia tersenyum saat mengingat-ingat kembali. “Aku heran kenapa ada anak sepolos dirimu yang datang ke kota besar seperti ini tanpa persiapan sedikitpun. Tidak ada sanak keluarga ataupun teman, dan tidak tahu kemana mencari tempat tinggal. Kalau Jisoo dan aku tidak menemukanmu, mungkin kau sudah tidur di pinggir jalan saat itu.”

Seungcheol tersenyum kecil. Ia ingat itu. Tapi ia juga ingat ingatan satunya lagi. Dirinya yang berteduh berdua bersama Jihoon di depan sebuah toko, dengan Jihoon yang khawatir karena mereka tidak tahu apa yang harus dilakukan setelah sampai di Seoul.

“Kau sudah tidak apa-apa kan, Cheol?” pertanyaan Jeonghan menyadarkannya. Seungcheol mengangguk pelan dan menjawab seadanya, cukup untuk meyakinkan Jeonghan kalau ia baik-baik saja.

Jeonghan menjadi lebih tenang melihat Seungcheol yang tampaknya tidak keberatan saat ia dan Seungkwan memapahnya keluar mobil dan menuju lantai tempat apartemennya.

“Kami akan berada di ruang tamu jika kau butuh sesuatu. Istirahatlah, Cheol. Lupakan soal dia.” Jeonghan menutup pintu kamarnya.

Lupakan dia. Apa Jeonghan pikir melupakan orang bisa segampang itu? pikir Seungcheol.

Ia mendudukkan dirinya di kasur dan menatap sekeliling. Meskipun ia tahu selama ini ia tinggal sendirian disini, pikirannya terus menyodorkan ingatan lainnya soal Jihoon. Jihoon yang sedang memasak sarapan di dapur, Jihoon yang menyesap kopi di meja makan, Jihoon yang tidur di sampingnya, semua itu begitu jelas terbayang olehnya.

Kamar itu mendadak terasa terlalu luas baginya. Begitu juga dengan tempat tidurnya. Ia merindukan kehadiran seseorang. Yang sekarang sedang bersama kekasihnya, pikirnya pahit. Seungcheol tak tahu lagi mana yang kenyataan dan mana yang khayalan, yang ia ingat adalah Jihoon yang merupakan orang yang dicintainya.

Seandainya ia bisa diberi kesempatan kedua, Seungcheol ingin memperbaiki kesalahannya.

Suara televisi dari ruang tamu menyadarkannya kembali bahwa ada orang lain selain dirinya di apartemen ini. Meskipun begitu, tetap saja Seungcheol merasa kesepian.

Ia berharap jika ini semua adalah mimpi buruk dan ia bisa terbangun dan menemukan Jihoon di sisinya lagi.

 

 

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!
Na_Foresther
Psst! Teman-teman!
Ada 2 fic baru buatanku nih!
Jika berkenan silahkan mampir dan dicek ya, siapa tahu naksir ^^

Comments

You must be logged in to comment
24Delution
#1
Chapter 16: Hong Jisoo, Joshua Hong, Hong Josh O_O ku pikir kau penyihir, tenyata angel kkkk. Terima kasih telah mempersatukan mereka kembali, angel. Terima kasih juga buat authornim yg udah nulis dan menamatkan ini happy ending hehe :D
Ditunggu fict jicheol berikutnya ^^
24Delution
#2
Chapter 15: "Aku pulang, Jihoonie". Duh, pas baca part ini perasaan campur aduk :')
scoupstu #3
Chapter 15: EA AKHIRNYA TAMAT YEYYY~~~~~ W BISA BAYANGIN ITU DUA BERANTEM GIMANA WKWKWK EA CSC TOBAT YEY HEPI ENDING DITUNGGU FF BERIKUTNYA HEHEHEHE
sseundalkhom
#4
Chapter 16: finally!!!
makasih udah sebut nama, makasih udah buat fanfic sebagus ini yaaa
viagain
#5
Chapter 16: Angel pacaran sm angel yaa.. anaknya jadi apa deh.
Makasih fanficnyaaaa.. makasih atas semua angst, dan makasih udah nyebut nama ^^
leejihoon92
#6
Chapter 16: Dan gue betapa senangnya saat ada notif updatean dri loe... dan bener keknya gue tunggu2 dr mngu kmaren akhirnya cheol jisoo balik lagi... tapi kenapa end huuaaaaaa kenapa cepet banget endnya huhuhu... thanks ya thor jarang2 ada jcheol yg bahasa jadi gue seneng banget... jangan bosan bosan buat nulis jicheol ya thor haha.. semangat
24Delution
#7
Chapter 14: Hah, sudah ku duga pasti ada sesuatu dengan Joshua. Next chap semoga segera terbongkar kkkk~
viagain
#8
Chapter 14: Tuh kan, josh itu pasti semacam angel atau cupid deh
sseundalkhom
#9
Chapter 14: ya ambyar sudah baca ini
leejihoon92
#10
Chapter 14: Nahhh part yg gue tunggu keknya bakal nongol minggu depan .. semoga