Chapter 06

Touch of Love
Please Subscribe to read the full chapter

Kedua gadis itu hanya dapat membisu selama di dalam kendaraan. Kendati ia belum mendapatkan ijin mengemudi, namun Soojung membesarkan hati mengendarai mobil orangtuanya dan mengantar Jiyool ke salah satu toko farmasi dekat perumahan. Namun hingga kini, tak ada satu pun dari mereka yang berani keluar dari mobil dan masuk ke dalam toko tersebut.

Soojung meremas kuat kemudi mobil dengan tatapan kelompong ke arah depan. Sementara Jiyool hanya dapat menyurukkan kepala sembari memilin-milin ujung pakaiannya. Napas keduanya tak teratur dikarenakan rasa gugup hebat. Menerka-nerka; apakah si Penjaga Kasir nanti akan menatap mereka aneh dan pengunjung lain akan berbisik-bisik melihat Jiyool membawa tes kehamilan di tangannya?

Soojung, orang pertama yang memecah kesunyian tersebut. Ia berdeham pelan sembari menengokkan kepala, sadar jika tak ada salah satu dari mereka yang memberanikan diri, maka Jiyool takkan tahu apa yang sedang terjadi pada dirinya saat ini.

“Jing, apa kau sudah siap?” tanya Soojung serak.

Jiyool menelengkan ke samping kiri, menatap manik Soojung dengan kedua mata bulatnya. Ia tak menjawab, karena ia sendiri tidak yakin apakah dirinya sudah siap.

“Tenang saja, aku akan menemanimu.” Tambahnya lagi, kali ini ia meraih tangan Jiyool dan menggenggamnya erat. Gadis itu merasakan sedikit kelegaan membasuh tubuhnya, namun lenyap sedetik kemudian ketika Soojung melepaskan genggamannya dan beranjak keluar dari mobil.

Ia berjalan memutar ke sisi kanan lalu membukan Jiyool pintu. Namun sahabatnya itu tak urung keluar. Ia hanya menatap jari-jemarinya yang saling bertaut dengan gemetar.

“Jing, jangan kuatir. Ayo,”

Soojung merangkul bahu Jiyool lalu mereka berjalan masuk ke dalam toko farmasi dengan wajah menunduk. Mata Soojung menilik setiap rak yang menyimpan berbagai macam obat. Mereka mengitari beberapa lorong hingga tiba pada yang paling ujung.

Pembalut, obat pelancar datang bulan, penghilang nyeri, pil pencegah hamil, hingga akhirnya matanya menangkap beberapa jenis alat tes kehamilan. Langkah keduanya terhenti dan Jiyool memutuskan untuk mengangkat wajah. Untungnya, hanya ada mereka berdua di baris rak ini.

Tangan Soojung terjulur untuk mengambil salah satunya yang paling mahal dengan hasil akurat. Ia menoleh kearah Jiyool selama beberapa sekon, meminta persetujuan apakah mereka harus membeli yang ini. Sebagai jawaban, Jiyool menganggukkan kepala, tak memiliki tenaga untuk mengeluarkan suara.

“Apa kita beli dua saja? Hanya untuk jaga-jaga jika yang satunya tidak bekerja.”

Kembali, Jiyool menjawabnya dengan anggukan pelan. Mereka pun berjalan menuju kasir, di mana seorang kasir wanita muda berseragam putih menyambut mereka dengan senyuman ramah.

Perlahan Soojung meletakan dua alat tes kehamilan terseut di atas meja kasir. Ia menggigit bibir bawahnya keras, tak berani menatap reaksi wajah sang Wanita Kasir.

Ada jeda selama beberapa detik sebelum akhirnya wanita itu bersuara, “semuanya $22.80.”

Soojung membuka dompetnya dengan tangan bergetar, menyerahkan dua lembaran uang. Sementara Jiyool semakin menyembunyikan wajah di balik helaian rambut panjangnya. Sejak pertama kali masuk ke toko farmasi, Jiyool sama sekali tak berani mengangkat kepala. Ia takut jika saja mereka akan bertemu dengan orang yang dikenal. Atau lebih buruknya lagi, Jiyool takut jika ia akan bertemu dengan Minhyuk atau ayahnya tanpa sengaja kendati kemungkinannya kecil untuk terjadi.

Setelah si Wanita Kasir memasukkan dua barang tersebut ke dalam kantong plastik, bergegas mereka keluar dari toko. Tak menghiraukan sekitar dan lantas masuk ke dalam mobil. Jantung keduanya berdegup begitu kencang, bulir-bulir peluh membasahi telapak tangan serta pelipis mereka. Dan setelah merasa lebih tenang, dengan hati-hati Soojung menyalakan mesin mobil lalu menjalankan kendaraan tersebut menuju rumahnya.

Mereka tiba tujuh menit kemudian, langsung memasuki kamar Soojung dan mengempaskan tubuh di atas tempat tidur. Kedua pasang mata tersebut menatap kantong plastik putih yang kini terbujur tak jauh dari tubuh keduanya.

“Jadi, kau mau mengetesnya sekarang?” tanya Soojung melepas kesunyian.

Jiyool menelan saliva dengan susah payah, matanya masih terfokus pada kantong plastik tersebut. Berargumen dengan dirinya sendiri; apakah ia akan melakukannya sekarang juga atau menunggu sampai mentalnya merasa siap? Namun setelah melalui pertimbangan matang, agaknya pilihan kedua tak bisa masuk dalam hitungan. Menunggu selama apa pun, mental gadis itu takkan pernah siap untuk melihat hasil tes nanti.

Tak ada jawaban dari Jiyool, Soojung meraih kantong plastik putih tersebut lalu mengeluarkan isinya. Ia membaca setiap kalimat yang tercetak untuk mempelajari cara pemakaian.

“Lebih akurat jika digunakan pada pagi hari saat perutmu kosong.” Gumamnya, tertangkap oleh indera pendengaran Jiyool. “Kau mau melakukannya besok pagi?”

Gadis itu menoleh dan menatap kedua mata Soojung. Ia mengangguk pelan lalu merebahkan tubuhnya, menatap langit-langit. Dan selama beberapa jam ke depan, keduanya hanya mengurung diri di dalam kamar. Mereka keluar ketika ibu Soojung memanggil untuk menyantap makan malam bersama-sama di lantai satu. Kendati napsu makan Jiyool lenyap tak bersisa, namun demi kesopanan ia memaksakan diri menghabiskan Steak malam itu. Lidahnya terasa pahit dan kapan saja ia bisa memuntahkan kembali daging panggang tersebut. Sementara Soojung hanya dapat menatapnya prihatin.

 

(((*)))

 

Pintu kamar mandi menjeblak terbuka, Jiyool berlari kearah toilet dan menumpukan kedua sikunya di sisian benda putih tersebut. Tenggorokannya tercekat beberapa kali dan kepalanya berdenyut sinting—hal yang selalu dirasakannya setiap pagi dalam empat hari belakangan. Ia memuntahkan seluruh makanan yang dimakannya semalam hingga lambungnya terasa perih.

Soojung menghampiri Jiyool lalu mengelus punggung gadis itu dengan pola melingkar. Kakinya menjadi lemas setelah melihat kondisi sahabatnya, karena ini baru pertama kalinya ia melihat Jiyool tampak payah seperti sekarang.

“Kau baik-baik saja? Mau kuambilkan air?” tanyanya cemas.

“Tidak,” Jiyool menggeleng, “Bawakan saja alat tesnya kemari.”

Soojung membatu selama sekian detik selepas mendengar ucapan Jiyool. Benar, inilah waktunya untuk mengetahui kebenaran dari simptom aneh yang diderita gadis itu. Ia berjalan keluar dari kamar mandi dan mengambil dua alat tes yang ia sembunyikan di dalam laci meja rias. Memberikan salah satunya kepada Jiyool yang kini sudah terduduk di atas toilet.

Ia membuka bungkusnya dan mulai melakukan langkah-langkah tes dengan getaran takut di sekujur tubuhnya. Sementara Soojung hanya memperhatikan Jiyool dengan jantung berdegup begitu kencang. Rahangnya pun mengeras untuk menahan gemeletuk gigi yang saling beradu.

Mereka menanti sampai alat itu menunjukkan perubahan. Dan seperti presumsi keduanya, satu garis biru muncul berdampingan dengan garis lainnya, membuat napas Jiyool tercekat. Ia menatap Soojung dengan pandangan lesu, menyerahkan tes pertama kepadanya.

“I-ini bisa saja salah,” ujarnya gelagapan sembari membuang stick tes ke dalam tempat sampah, lalu menyerahkan satu lagi yang masih terbungkus rapi di balik kemasan.

Jiyool ingin memercayai kata-kata Soojung kendati mungkin hanya kemungkinan kecil kebenarannya. Namun ia mengikuti saran gadis itu.

Untuk tes kedua, mereka sudah patah semangat lantaran hasilnya tetap sama seperti tes yang pertama. Atmosfer terasa begitu mencekik hingga rasanya Jiyool tak bisa menarik napas untuk menyuplai paru-parunya. Dan Soojung, sebagai sahabat, ia hanya dapat memeluk Jiyool dengan erat dan menangis sembari mengelus rambutnya. Merasa bersalah atas peristiwa yang menimpa sahabatnya. Menyesali kebodohannya untuk yang ke sekian kali hingga rasanya ia ingin menyakiti dirinya sendiri.

 

(((*)))

 

Pada minggu pagi, Jiyool memutuskan untuk kembali ke rumahnya setelah ia menghabiskan akhir pekan di rumah Soojung. Mereka sepakat kehamilan Jiyool hanya akan menjadi rahasia keduanya untuk sementara waktu ini hingga gadis tersebut merasa siap memberitahu Minhyuk serta ayahnya. Dan Sehun.

Nama sang Kekasih tak urung usai menghantui dirinya sejak kemarin. Bingung apa yang akan ia lakukan pada hubungan mereka. Jiyool masih mencintainya dan ia tak ingin menyelesaikan semuanya begitu saja. Terdengar egois? Memang benar. Ia tahu lelaki sebaik Sehun tak pantas memacari dirinya. Ia hanya seorang gadis yang tak tahu diri setelah tidur dengan laki-laki lain dan masih berharap tak ada yang berubah di antara mereka.

Jiyool menghela napas, menggulingkan tubuh di atas tempat tidur, terbungkus oleh selimut tebal miliknya. Ia menatap keluar jendela, mengerjap beberapa kali dengan sepenggal asa bahwa ketika ia membuka mata, segalanya akan kembali seperti sedia kala, dan kehamilan dirinya hanyalah sebuah mimpi belaka.

Namun sampai hari menjelang malam, tak ada perubahan nyata. Ia tetap merasakan sebuah kehidupan di dalam perutnya. Ia tetap merasakan simptom-simptom ganjil yang melanda tubuhnya. Hingga ketika Minhyuk mengetuk pintu kamarnya dan memberitahu bahwa makan malam telah siap, gadis itu hanya dapat menggeram pelan sembari beranjak keluar untuk menemui mereka.

 

(((*)))

 

Hari senin pagi—seperti biasanya—Jiyool kembali menghuni ruang kesehatan ditemani oleh Miss Seo. Kali ini ia tak terlelap, matanya berusaha keras agar tetap membuka dan tak membiarkan rasa kantuk mengambil alih dirinya. Kedua manik hitamnya tetap fokus pada langit-langit ruang kesehatan, membiarkan segala pikiran pelik memenuhi ruang di kepalanya.

Sementara Miss Seo hanya dapat menatap sosok lemah itu dari meja kerjanya. Hal ini memang tampak tak biasa, karena sesuatu yang menurutnya normal adalah; Kang Jiyool yang langsung terlelap sesaat setelah tubuhnya dibungk

Please Subscribe to read the full chapter
Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
suthchie #1
Chapter 22: Nice ending...
Kagum banget sama persahabatan mereka...
Walaupun banyak masalah berat yang mereka hadapi, tapi kekuatan persahabatan mereka tetap berakhir manis...
Untung juga kebahagian berpihak pada jongin jiyool...
suthchie #2
Chapter 21: ayah macam apa seperti tuan kim itu...
apa dia ngak takut bakal ditinggal kan orang disekitranya dan hanya hidup dengan kesendirian...
pantas saja jongin jadi seperti itu
suthchie #3
Chapter 20: ayah jiyool sungguh besar hati...
tapi masalahnya dengan sehun gimana
suthchie #4
Chapter 19: menakutkan juga sih kalo bakal ketahuan sama ayah jongin
suthchie #5
Chapter 18: ya ampunnn part ini bikin aku nangis bombai...
sumaph ngak berhenti mengalir
suthchie #6
Chapter 17: ya ampun... ternyata jongin semenderita itu...
suthchie #7
Chapter 16: walaupun hanya sebagai teman dengan sehun, itu sudah cukup...

wow... jadi jongin teman masa kecil jiyool ya...
suthchie #8
Chapter 15: kasihan banget si sehun...
padahal dia sudah berbeesar hati bakal nerima jiyool lagi, taip... yasudahlah
semoga dapat yang lebih baik ya hun
suthchie #9
Chapter 13: kok kadang kotak comments nya ngk muncul ya...

serius nih perempuan itu kakaknya bukan seseorang yang dulu pernah disukai
suthchie #10
Chapter 13: setidaknya jongin memberi kebahagiaan ke jiyool sesekali