Chapter 22

Touch of Love
Please Subscribe to read the full chapter

 

Ketika Sehun tiba di rumah sakit setelah Jiyool menghubunginya puluhan kali hingga ia menjawab, dokter yang menangani Jongin menyatakan bahwa lelaki tersebut mengalami koma. Dua hari terlampaui sejak Soojung mendonorkan darahnya untuk Jongi. Dan kabar baiknya, tubuhnya tidak menolak pemberian darah baru. Namun lantaran ia telah kehilangan banyak darah serta denyut nadi yang melemah saat mendapatkan penanganan, hingga kini wajahnya masih tampak pucat. Ia bahkan tak menunjukkan tanda-tanda kesadaran. Matanya terpejam rapat, dadanya bergerak irtmis—naik dan turun. Kendati demikian, Jiyool cukup lega. Ia merasa begitu lega karena Jongin masih bertahan. Setidaknya, mereka masih memiliki harapan.

Jumat lalu, dokter menyambangi Hyorin dan mengajaknya berbicara di ruangannya. Ia menanyakan perihal memar serta luka-luka yang tertatah di kulit gelap Jongin. Mereka tampak seperti luka akibat tindak kekerasan. Bagaimanapun juga, dokter mencurigai jika niat Jongin untuk mengakhiri hidup lantaran mengalami depresi berat akibat penyiksaan yang diterimanya. Dan hal itu benar adanya. Tak ada yang perlu ditutupi, lantaran Hyorin pun tak mampu mengatakan tidak. Ia menceritakan segalanya kepada sang Dokter, mendapatkan banyak usulan dan bantuan pula darinya. Pria paruh baya tersebut menyarankan agar Hyorin melaporkan perlakuan Tuan Kim ke pihak berwajib.

Awalnya gadis itu menolak. Ia tak yakin itu adalah gagsan yang cermat. Ia mengenal dengan baik watak ayahnya, seorang diktator yang tak pernah dikalahkan oleh apapun. Ia bahkan dapat menyembunyikan dengan baik kejadian satu tahun yang lalu. Tak ada yang tahu apa yang telah ia lakukan selama ini. Dan Tuan Kim, sejatinya adalah orang paling berbahaya yang pernah ditemui Hyorin. Obsesinya begitu kuat, ia rela kehilangan keluarga demi adikara dan harta.

Namun tidak, hal itu tak absolut. Sebelum Jongin berumur dua tahun, ia adalah seorang ayah sempurna yang diinginkan setiap anak di dunia. Ia penyayang, ia mengasihi anak serta istrinya. Namun kala kenyataan tersebut terkuak ke permukaan, maka lesaplah sosok itu. Hyorin tak pernah menyalahkan Jongin. Ia begitu menyayangi sang Adik untuk menyalahkan eksistensinya. Lain halnya dengan kakak sulung mereka yang lebih memilih angkat kaki dan menetap di New York agar lekas luput dari segala masalah. Dua tahun yang lalu ia menikahi seorang model pria berdarah Eropa tanpa mengabari ibu serta ayah mereka. Mengirim undangan pun tidak. Itu sebabnya Hyorin tak acuh lagi padanya. Tak masalah jika itu hanya dirinya dan Jongin, karena Hyorin akan berjuang untuk kebebasan mereka, pun demi almarhum Nyonya Kim.

Diam-diam, wanita tersebut menyewa beberapa orang kuasa hukum untuk mengonsultasikan kesimpulan apa yang akan ia petik selanjutnya. Apa konsekuensi jika ia kalah oleh ayahnya, dan pernyataan serta bukti-bukti apa yang dibutuhkan untuk memerangi Tuan Kim. Ia mulai mengumpulkan beberapa saksi—termasuk Jiyool serta para pelayan yang menyaksikan kekerasan yang dilakukan pria paruh baya tersebut. Sebagian besar dari mereka tak bersedia lantaran merasa takut, namun beberapa pelayan yang telah lama mengabdi dan tahu bagaimana kejamnya perlakuan Tuan Kim, memilih untuk berpihak pada Hyorin. Ia hanya perlu bersabar menanti kesadaran Jongin dan mendiskusikan masalah ini bersama. Jika sampai pekan depan lelaki itu urung terjaga, barangkali ia harus membesarkan hati untuk melakukannya seorang diri. Sebelum Tuan Kim mengendus sepak terjangnya dan sebelum ia mengambil langkah pencegahan.  Lebih cepat maka lebih baik.

Kini, dengan presensi Sehun di ruang rawat Jongin—menatap sosok rengsa sang Sahabat yang terbaring tak berdaya di atas pembaringan—seakan meremas setiap inci jantungnya. Napas Sehun ketang, rasa bersalah menghantamnya berkali-kali hingga ia harus bertumpu pada sisian tempat tidur untuk berdiri kukuh. Jiyool baru saja menceritakan segalanya. Memberitahu perihal gejala bipolar yang diidap Jongin, depresi akut, serta beberapa kali percobaan bunuh diri. Ia terkejut bukan kepalang. Ia merasa gagal menjalani perannya sebagai seorang sahabat. Dan di sinilah puncaknya, kala Jiyool mengatakan bahwa Jongin telah lama menantikan kehadiran dirinya, namun mendapati kenyataan bahwa sahabatnyalah yang mengencani gadis yang ia cintai.

Mungkin dulu—ketika mereka hanyalah bocah ingusan—bukan cinta yang dirasakan Jongin. Namun seiring dengan bertambahnya usia dan acap kali memikirkan Jiyool serta mengingat segala kenangan yang mereka miliki, maka perasaan sayang pada seorang sahabat pun bersalin menjadi sesuatu yang lebih dalam. Perasaan yang begitu sensitif, begitu lugu, dan begitu rumit untuk dicari definisi sebenarnya. Di sanalah Jongin menemukan tujuan hidupnya. Ia ingin bertemu dengan Jiyool kembali untuk menyatakan apa yang ia rasakan pada saat itu. Sebaliknya, kenyataan pahitlah yang ia dapatkan setelah menyadari Jiyool telah melupakannya. Kemudian Sehun merebut gadisnya. Bagi Jongin, itu cukuplah kejam. Dan ia sangat terluka.

Suara derit pintu menyentak keduanya. Mereka menoleh—mendapati Hyorin yang kini tengah berjalan mendekat dengan wajah letih. Lingkar hitam di bawah matanya tampak jelas. Ia pasti tak mendapatkan cukup tidur untuk membicarakan segala langkah ke depannya dengan si Pengacara. Sekadar infromasi, ia sudah melayangkan gugatan ke pengadilan dan sedang menunggu proses selanjutnya.

“Aku ingin memberitahu kalian sesuatu.” Ujarnya rendah. Ia duduk di salah satu sofa di siku kanan ruangan, dan Jiyool pun mendudukan diri di sisinya. Sementara Sehun menarik bangku ke hadapan Hyorin.

“Ini mungkin tak seharusnya kuberitahu, tapi hal ini akan disinggung di persidangan. Dan aku tak mau kalian mengetahuinya bukan dari mulutku sendiri. Jongin pernah memberitahuku bahwa ia ingin mengubur kenyataan ini. Tapi, Jiyool, karena sekarang kau tengah mangandung anaknya, kupikir kau berhak tahu. Dan Sehun, kau sahabat yang sudah mendampingi Jongin sejak kalian masih kecil. Aku tak mau lagi ada kesalahpahaman di antara kalian.” Hyorin menghentikan kalimat, lalu melanjutkan, “anak yang kaukandung itu bukanlah cucu dari ayahku.”

Keduanya tercengung. Jiyool bahkan sampai harus menahan napas selama sekian detik dengan mata membeliak. Tak jauh berbeda dengan reaksi Sehun—bibir lelaki tersebut tak terkatup rapat seakan-akan persendian rahangnya terlepas.

“Ya, Jongin bukan anak kandung ayahku. Ibu kami bermain api dengan salah satu rekan bisnis Ayah. Mereka kerap melakukan kooperasi jika memiliki proyek besar selama beberapa tahun terakhir sebelum hubungan mereka tepergok. Orang itu tertarik pada ibuku, dan begitu pula sebaliknya. Mereka berhubungan secara diam-diam hingga akhirnya ibu mengandung anaknya. Ia tak berani mengatakan kepada ayah lantaran ayah tampak begitu bahagia setelah mengetahui ia akan mendapatkan anak laki-laki untuk menjadi penerus perusahaan. Ia menyayangi Jongin lebih dari kedua anaknya yang lain. Namun ketika Jongin berulang tahun yang kedua, orang itu datang. Ia  berbicara dengan ibu di halaman belakang rumah dan mengajaknya pergi bersama Jongin untuk membentuk sebuah keluarga baru. Aku tak sengaja mendengarnya ketika kuajak Ayah untuk mencari Ibu. Kau tahu, ayah begitu mencintainya. Ia tak menyangka jika semua yang ia berikan selama ini masih kurang. Ayah mulai menggenggam jemariku begitu erat hingga rasanya sendi-sendiku bergeser. Saat itu aku masih berumur tujuh tahun, aku tidak tahu apa yang terjadi, jadi aku menangis kesakitan dan memanggil Ibu. Mereka menyadari kehadiran kami, dan Ayah lantas menghajar ayah kandung Jongin hingga babak belur—”

Hyorin tercekat. Ia berusaha menahan isakan yang sudah menggantung di ujung lidah dan menarik napas dalam untuk menyuplai paru-parunya yang seakan terhimpit. Jiyool meraih jemarinya, mencoba untuk menenangkan dan membiarkannya melanjutkan cerita kelam lainnya yang telah tersimpan rapi selama bertahun-tahun lamanya.

“—sikapnya mulai berubah. Ia selalu memandang Jongin dengan kebencian dan tatapan hina, seakan-akan ia lebih rendah dari sampah. Ia mulai bermain tangan dengan Ibu sementara orang itu menghilang setelah perusahaannya dibuat bangkrut oleh Ayah. Bahkan ia tak pernah muncul sampai saat ini. Tapi tentu Ayah tak dapat membuang Jongin begitu saja. Ia membawa namanya, ia terdaftar sebagai anak kandungnya, ia pula sudah membuat pengumuman resmi di hari kelahiran Jongin, bahwa Jonginlah yang akan menjadi penerusnya. Ayah sangat mementingkan martabat, ia tentu tak ingin orang-orang mengetahui seberapa hancur rumah tangganya selama ini. Dan jika para petinggi perusahaan mengendus kabar bahwa ahli warisnya adalah anak dari hasil perselingkuhan, harga saham akan segera menurun drastis, mereka akan membuat petisi untuk mencari ahli waris baru yang tentu saja tak akan pernah disetujui oleh Ayah. Karena perusahaan kami berbasis grup, ayah tak ingin orang lain menggantikan posisi presdir yang telah dipertahankan oleh ayahnya sendiri sejak puluhan tahun lalu.”

Hyorin mengangkat wajah, kembali menatap sosok Jongin dengan pandangan sedih. Cairan bening tersebut melinang deras. Ia telah menghabiskan berhelai-helai tisu namun tak kunjung meredakan tangsinya.

“Kau tahu mengapa tiba-tiba Ayah memutuskan untuk pindah ke Melborune? Salah seorang petinggi perusahaan nyaris saja mengetahui siapa Jongin sebenarnya. Aku tak tahu bagaimana detilnya, tapi aku sedikit mendengar percakapan Ayah dan Ibu sepekan sebelum keberangkatan. Dan beberapa hari kemudian, untuk yang pertama kalinya, ayah memukul Jongin karena ia merengek tak mau pergi. Ia memohon kepada Ayah untuk membawamu juga ke sana, yang tentu saja ditolak mentah-mentah. Sejak saat itu, Ayah tak segan-segan melayangkan pukulan kepada Jongin jika ia tak ingin menuruti keinginannya. Ia mendidik Jongin dengan begitu keras. Ia ingin agar Jongin menjadi sesempurna dirinya untuk memimpin perusahaan. Itu karena Jongin akan membawa namanya kelak, ia yang akan melanjutkan kekuasaan di perusahaan yang telah dirintis oleh kakekku. Hingga satu setengah tahun yang lalu—kalian pasti sudah tahu tentang kecelakaan yang dialami Ibu dan Jongin. Aku tidak tahu inti permasalahannya, namun tiba-tiba saja malam itu Ayah memukul Jongin tanpa ampun. Ia bahkan melemparinya dengan gelas kristal yang menjadi pajangan di ruang tengah. Tentu Ibu berusaha mati-matian membela. Mereka mengurung diri di dalam kamar di lantai tiga semalaman penuh. Ibu mengatakan kepadanya bahwa ia akan membawa Jongin pergi, mereka akan pergi mencari ayahnya dan meninggalkan ayahku. Ia akan mengakhiri penderitaan Jongin. Tetapi Ayah mengetahuinya. Ia sudah memerintahkan orang untuk membuntuti mereka. Akibatnya, Ibu mengendarai mobil dengan kecepatan tinggi, berusaha menghindar. Ia tak dapat mengendalikan kemudi hingga akhirnya menghantam pembatas jalan. Jongin terluka parah sementara ibu kami pergi pada saat bantuan datang. A-aku—”

Tangisnya pecah. Jiyool sampai harus mendekap Hyorin dengan erat untuk meredakan getaran yang melanda sekujur tubuhnya. Sehun tak dapat berkata apa-apa lagi. Lidahnya terasa begitu kelu, bibirnya terbuka lebar dengan mata yang tak berkedip. Ini jauh di luar ekspektasinya. Ia tak tahu bahwa Jongin telah melalui banyak kesukaran.

“Ini salahku, Jing. Seandainya aku tak mengajak Ayah untuk mencari Ibu, ia tak mungkin mencuri dengar percakapan mereka. Jongin tak akan diperlakukan tidak adil, dan Ibu pasti masih ada. Dan kau tahu apa yang lebih menyakitkan? Kakak sulung kami, ia bahkan tak pulang untuk melayat sampai hari di mana Ibu dikremasi. Ia begitu marah dan benci padanya serta Jongin.” Guncangan pada bahu Hyorin semakin menjadi. Jiyool tak peduli lagi jika pakaiannya basah oleh air mata, ia hanya ingin menenangkan Hyorin saat ini. Wanita tersebut bersedia membuka luka lamanya kembali hanya untuk memberitahu segala kebenaran di balik peristiwa lalu. Entah bagaimana, namun Jiyool seakan dapat merasakan kesedihan Hyorin. Ia berusaha menempatkan diri di posisi Jongin, dan kepalanya mulai berdenyut kejam. Tidak heran jika ia sampai mengidap gejala bipolar hingga dua kali melakukan percobaan bunuh diri.

“Kau tidak melakukan kesalahan apapun. Kendati kau tak mengajak Tuan Kim untuk mencari Ibu kalian, suatu hari ia pasti akan mengetahuinya. Hal ini tak mungkin bisa disembunyikan selamanya.” Ujar Jiyool bergetar. Ia mengusap punggung Hyorin naik dan turun, memberikan kehangatan di tengah-tengah badai yang sedang melanda diri wanita tersebut.

“Dia tak memiliki siapa-siapa selain aku. Itu sebabnya saat Ibu pergi, dia begitu terpukul.” Kini kepala Hyorin terangkat untuk mempertemukan mata mereka. “Jika sesuatu terjadi padaku nanti, maukah kau menjaga Jongin? Lindungi dia, Jing. Selama ini aku tak bisa melindunginya dengan baik. Sejak kepergian Ibu, Ayah selalu berusaha memisahkan kami. Sebenarnya ia tak suka melihatku terlalu dekat dengan Jongin.”

Jiyool mengangguk mantap, “pasti, aku pasti akan menjaganya.”

“Aku juga akan berusaha sebisaku, Noona.” Ujar Sehun, menyela di tengah-tengah percakapan.

Senyuman samar nampak di wajah lelah Hyorin. Setidaknya ia merasakan sedikit kelegaan setelah mengetahui masih ada orang-orang yang peduli pada adiknya, terlepas dari kenyataan bahwa ia hanyalah anak haram.

 

(((*)))
 

 

Rasanya seperti mendengar ribuan suara dari ribuan sudut yang berbeda. Telinganya berdengung keras dan segalanya nampak begitu kelam. Ia menggapai ke segala arah, mencari sebuah dinding atau benda apapun yang dapat menjadi tumpuan. Ia bahkan tak dapat merasakan tungkainya sendiri, seolah mengambang di atas udara layaknya tersesat di luar angkasa.

Lalu sebuah titik terang menarik atensinya. Setidaknya ia mendapati secercah cahaya yang tak seberapa. Jongin berusaha mendekat, ia mengepakkan kedua lengannya, ia menendang-nendang kaki kebasnya, dan cahaya itu pun mulai melebar. Kian jernih yang nampak, kian membatu pula setiap sendi tubuhnya.

Di sana—tepat di depan matanya—sebuah layar raksasa sedang memutar ulang setiap peristiwa yang pernah ia lalui. Tampak usang dengan warna terbatas. Jongin tak paham mengapa ia berada di ruangan hampa udara ini sendirian. Mengapa napasnya tak tersendat. Mengapa sebuah layar besar memutar perjalanan hidupnya.

Ia melihat dirinya yang sedang tersenyum bahagia dengan sebuah kue ulang tahun di depannya. Lilin angka dua tertancap sempurna pada puncaknya. Aneh, sebelumnya ia sama sekali tak mengingat detil kejadian dalam hidupnya sebelum menginjak usia empat tahun.

Sekian meter jauhnya dari posisi ibunya, berdiri seorang pria dengan senyuman mengambang; menatap dirinya serta ibunya secara bergiliran dengan kepalan erat pada kedua tangannya dan gemeletuk gigi yang saling beradu. Lalu adegan tersebut berubah menjadi sebuah tangisan pilu sang Ibu. Kali ini Jongin ingat benar, ia ingat saat ibunya berlutut di bawah kaki ayahnya dan memohon maaf. Entah sejak kapan, namun wanita paruh baya tersebut acap kali melakukannya hingga Jongin sempat memiliki pemahaman bahwa hal itu cukup wajar dilakukan oleh seorang istri kepada suaminya. Ia baru menyadari ada yang tidak beres sejak menginjak usia enam tahun.

Tangan Jongin terangkat untuk menyentuh dadanya. Terasa begitu nyeri kendati ia tak dapat merasakan denyut jantungnya di dalam sana. Keningnya mengernyit dalam, kepalanya meneleng ke sisi kiri dan ia mulai menekan telapak tangannya lebih keras lagi. Matanya membeliak terkejut kala ia menyadari tak sehelai benang pun membungkus tubuhnya.

Jongin mengedarkan pandangan ke penjuru arah, mencari di mana ia telah membuang pakaiannya sendiri. Namun nihil, ia tak dapat menemukan dinding dan sudut. Ini bukanlah ruangan, tetapi sebuah tempat antah berantah yang tak memiliki ujung pangkal. Satu-satunya hal yang dapat ditangkap oleh indera penglihatannya hanyalah layar raksasa yang masih memutar jalan cerita hidupnya.

 

“Jongin, kau dengar Ibu? Kau bukan anak haram, kau bukan bajingan seperti yang selalu dikatakan ayahmu. Kau istimewa, kau berarti. Ingat itu dengan baik.”

 

Saat itu ia hanyalah murid sekolah dasar yang duduk di bangku kelas satu. Ia belum mengerti apa yang dimaksud dengan anak haram ataupun bajingan. Rasa pensaran dalam dirinya menuntunnya untuk menanyakan dua kata tersebut kepada ibunya. Dan dengan mata berkaca-kaca serta tangan gemetar, ibunya menangkup wajah mungil Jongin. Menatap lurus ke dalam manik cokelatnya hanya untuk mengatakan kalimat itu.

Please Subscribe to read the full chapter

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
suthchie #1
Chapter 22: Nice ending...
Kagum banget sama persahabatan mereka...
Walaupun banyak masalah berat yang mereka hadapi, tapi kekuatan persahabatan mereka tetap berakhir manis...
Untung juga kebahagian berpihak pada jongin jiyool...
suthchie #2
Chapter 21: ayah macam apa seperti tuan kim itu...
apa dia ngak takut bakal ditinggal kan orang disekitranya dan hanya hidup dengan kesendirian...
pantas saja jongin jadi seperti itu
suthchie #3
Chapter 20: ayah jiyool sungguh besar hati...
tapi masalahnya dengan sehun gimana
suthchie #4
Chapter 19: menakutkan juga sih kalo bakal ketahuan sama ayah jongin
suthchie #5
Chapter 18: ya ampunnn part ini bikin aku nangis bombai...
sumaph ngak berhenti mengalir
suthchie #6
Chapter 17: ya ampun... ternyata jongin semenderita itu...
suthchie #7
Chapter 16: walaupun hanya sebagai teman dengan sehun, itu sudah cukup...

wow... jadi jongin teman masa kecil jiyool ya...
suthchie #8
Chapter 15: kasihan banget si sehun...
padahal dia sudah berbeesar hati bakal nerima jiyool lagi, taip... yasudahlah
semoga dapat yang lebih baik ya hun
suthchie #9
Chapter 13: kok kadang kotak comments nya ngk muncul ya...

serius nih perempuan itu kakaknya bukan seseorang yang dulu pernah disukai
suthchie #10
Chapter 13: setidaknya jongin memberi kebahagiaan ke jiyool sesekali