Chapter 19

Touch of Love
Please Subscribe to read the full chapter

 

Tepat tiga hari Jiyool tak menyambangi Jongin. Tepat tiga hari gadis itu memikirkan segala macam cara untuk membuat segalanya menjadi lebih mudah. Tepat tiga hari ia memberikan Jongin waktu untuk merenungkan kembali keputusannya. Ia tak paham mengapa menjauh dari lelaki tersebut adalah pilihan yang terbaik. Jiyool memikirkan setiap kata yang Jongin ucapkan tiga hari lampau, namun tak pernah mendapati jawaban pantas atas pertanyaannya. Karena bagi Jiyool, berpisah bukanlah sebuah opsi. Mungkin dulu—sebelum ia mengingat segala kenangan mereka—berpisah memang satu-satunya jalan terbaik. Tak ada alasan yang cukup rasional mengapa Jongin masih ingin memilih untuk berpisah.

Maka setelah Rabu pagi Jiyool menelepon Hyorin dan mengajaknya bertemu kembali di kedai kopi seperti biasa, akhirnya kedua orang itu mendapatkan titik terang. Diskusi panjang yang melibatkan emosi dan keberanian. Sebelumnya Jiyool sama sekali tak pernah memikirkan hal ini, namun sekonyong-konyong gagasan tersebut muncul.

Dan kini, untuk merealisasikannya, Jiyool meminta Tuan Kang serta Minhyuk untuk berkumpul di ruang tengah. Ia harap kedua orang itu tak keberatan dengan keputusannya. Mungkin Jiyool tak perlu mencemaskan reaksi Tuan Kang, pria paruh baya tersebut selalu memahami dirinya dan tak pernah gagal untuk menaruh kepercayaan pada setiap rancangan hidupnya. Namun Minhyuk, mungkin ia harus memberikan perhatian lebih padanya guna mendapatkan ijin.

“Jadi, ada apa?” tanya Minhyuk dengan kedua alis terangkat tinggi. Menatap adiknya was-was lantaran ia tahu bahwa Jiyool sedang ingin membicarakan sesuatu yang penting. Entah sejak kapan, namun setiap kali gadis itu meminta mereka berkumpul di ruang tengah, perasaan Minhyuk selalu menjadi kacau. Baiklah, ia tahu bahwa kini Jiyool sudah dewasa. Ia tak begitu memerlukan perlindungan dirinya dan ia pula tahu Jiyool cukup kuat menghadapi masalahnya. Namun agak sulit baginya untuk melepaskan. Sejak dulu Minhyuk sangat menyukai perannya sebagai seorang kakak. Ia sangat menyayangi Jiyool hingga rasanya ia ingin kembali ke masa kecil mereka. Sedangkan pada kenyataannya, ia akan segera menjadi seorang paman dalam waktu beberapa bulan. Benar, secepat itu waktu berlalu. Minhyuk tak dapat memercayai bahwa kini Jiyool tengah mengandung seorang bayi. Ia bukan bocah kecil.

Helaan napas berat meluncur dari kedua bibir tipisnya, membuat Minhyuk menegakkan tubuh sementara Tuan Kang hanya menatap lurus ke arah putrinya—tampak begitu tenang seperti biasanya.

“Kalian tahu tentang keadaan ayah bayiku, ‘kan? Saat ini ia memang sedang membutuhkan banyak dukungan.” Jiyool memulai. Kedua maniknya menatap Minhyuk serta Tuan kang bergiliran.

Ayahnya mengangguk, namun kening Minhyuk kian mengernyit. “Kau sudah mengatakannya beberapa hari lalu.”

“Well, aku tahu keputusan ini begitu tiba-tiba. Tapi aku akan tinggal di rumah laki-laki itu selama beberapa pekan atau bulan sampai kondisinya menjadi lebih baik. Aku juga sudah membicarakan hal ini dengan kakaknya, meski awalnya ia berpikir bahwa ini bukan cara yang tepat. Aku akan mulai pindah besok lusa.”

Empat pasang mata itu membeliak lebar. Bahkan rahang Minhyuk tak dapat mengatup rapat. Ia terkejut bukan kepalang, tak pernah menerka keputusan Jiyool yang satu itu. Memang benar sejak dulu Jiyool kerap membuatnya terkejut. Namun ia tak menyangka bahwa setiap kejutannya akan menjadi lebih mengejutkan seiring dengan pertambahan usia mereka. Oh, jelas-jelas Minhyuk tak ingin adik kesayangannya menjadi dewasa karena ia tak ingin terkena serangan jantung di usia muda.

Lain halnya dengan Tuan Kang, kendati ia pun terkejut, namun dengan cepat dapat menguasai diri. Otaknya bekerja lebih cepat dari Minhyuk dan pikiran logisnya berfungsi dengan baik. Benar jika dikatakan bahwa ada sekelumit perasaan tak rela. Tetapi bipolar bukanlah sebuah penyakit sepele. Tentu ia tak mau ayah dari cucunya hidup menderita hanya oleh karena penyakit yang terlambat ditangani. Ia percaya kepada putrinya, ia percaya bahwa Jiyool dapat membantu Jongin. Dan itu artinya ia harus melepaskan anak gadis satu-satunya.

“Kau bercanda, Jing.” Celetuk Minhyuk sembari menggeleng-gelengkan kepala tak percaya.

“Aku serius, Oppa. Aku bahkan sudah mengepak setengah dari pakaianku.” Jawabnya dengan wajah datar.

“Kenapa kau selalu begini?”

“Selalu bagaimana maksudmu? Dia sedang sakit dan membutuhkanku!”

“Tapi dia brengsek!”

“Oh, Tuhan, harus berapa kali kujelaskan padamu? Dia tak bermaksud untuk bersikap brengsek.”

Minhyuk memutar kedua bola matanya, “ya, ya, tunggu saja sampai dia melakukan sesuatu di luar kendalinya.”

Bibir Jiyool menipis, matanya pula memicing. Ia memang selalu tak bisa berbicara baik-baik dengan Minhyuk. Mungkin dulu gadis itu selalu menurut. Namun kini, ia sudah dewasa, ia akan segera menjadi ibu, maka ia pun harus bisa mengatur hidupnya sendiri. Jiyool tahu segala keputusan yang diambil memiliki konsekuensinya sendiri. Dan ia pula sudah mempersiapkan segalanya—mental serta batinnya. Ia tidak bodoh seperti yang Minhyuk kira.

“Dengar, prioritasku saat ini adalah membantunya untuk sembuh dari penyakit itu. Jika aku yang Oppa kuatirkan, sebaiknya jangan. Aku tahu apa konsekuensi dari opsi itu, aku siap menanggungnya.” Mata Jiyool menatap lurus kedua manik Minhyuk. Meyakinkannya bahwa semua akan baik-baik saja. Meski kelak akan berakhir di luar kendalinya, ia tak akan begitu merasa terpukul.

“Bagaimana jika kau kehilangan bayimu?” suara Minhyuk lirih, seperti desau angin pada musim gugur.

Jiyool menutup mulutnya rapat-rapat. Hanya dengan membayangkannya saja sudah membuat dadanya sesak. Ia tak tahu bagaimana jadinya nanti jika hal itu benar-benar terjadi.

“Aku sudah memikirkannya juga. Tentu aku akan merasa sangat terpukul, tapi aku takkan menyesalinya karena aku sendirilah yang sudah mengambil keputusan riskan seperti ini.”

Tuan Kang berdeham pelan, mengalihkan perhatian Jiyool serta Minhyuk. Setelah mendengar perdebatan alot antara kedua anaknya, kini ia tak perlu berpikir panjang untuk memberikan ijin. Jiyool adalah gadis yang keras kepala, ia kuat dan ia sadar benar apa yang sedang ia lakukan di sini. Tak ada alasan baginya untuk menahan putrinya tersebut.

“Ayah, aku tahu Ayah berada di pihakku.” Ujar Jiyool, menatap ayahnya dengan senyuman samar.

Tuan Kang mengangguk pelan, “ya, lakukan apa yang menurutmu terbaik bagi kalian, aku akan selalu mendukungmu. Dan ingat, kau dapat mencariku kapanpun kau butuh.”

Kini rahang Minhyuk semakin menganga lebar. Ia mencengkram lengan Tuan Kang, berharap pria tersebut menarik kata-katanya. Namun tidak, karena tampaknya Tuan Kang sudah membulatkan tekad untuk memberi ijinnya kepada Jiyool.

“Ayah, apa kau tidak kuatir pada keselamatan Jiyool dan bayinya?”

“Tentu saja aku cemas, tapi lihat adikmu. Dia sudah begitu yakin dengan keputusannya sendiri. Kita tak perlu ikut campur terlalu dalam, dia sudah dewasa.”

Yah, benar. Minhyuk benci jika ada orang yang mengingatkan dirinya akan hal itu. Menurutnya, Jiyool tetaplah adik kecilnya. Ugh, agaknya ia memang harus belajar untuk menerima kenyataan ini.

“Baiklah, aku akan pindah besok lusa.”

Dengan begitu, Minhyuk tak bisa membantah. Ia kalah telak dan hanya dapat menerima. Apapun itu yang akan terjadi ke depannya, ia harap Jiyool dapat melaluinya dengan selamat. Sungguh, ingin sekali rasanya ia melihat lelaki yang sudah membuat adiknya menjadi seperti ini. Dalam ingatannya bocah itu memang jelek. Berkulit gelap yang membuatnya terlihat dekil. Atau apakah karena ia sudah terlanjur membencinya sejak dulu maka ia menganggapnya terlalu jelek untuk Jiyool? Oh, ia harap bayi mereka akan mewarisi wajah dan kulit ibunya.

 

(((*)))

 

“Apa?!” mata Soojung melotot lebar selepas mendengar penyataan Jiyool. Ia sama terkejutnya dengan Minhyuk ketika sahabatnya tersebut mengatakan bahwa ia akan pindah ke rumah Jongin. “Jangan main-main, Jing.”

“Ck, kau dan Oppa sama saja. Aku tahu ini agak sulit untuk diterima, tapi apa kau tak merasa simpati pada Jongin?”

“Dia masih punya kakak dan ayah, Jiyool.”

“Dan kaupikir ayahnya seperti para ayah kebanyakan yang selalu ada di sampingnya dan mendukungnya saat dibutuhkan? Aku sudah menceritakan masa kecilnya padamu, ‘kan?”

Soojung mengangguk pelan. Tentu saja ia ingat benar saat Jiyool menceritakan bahwa semasa kecilnya, Jongin kerap menangis oleh karena tuntutan ayahnya. Tetapi tak menutup kemungkinan bahwa keadaan bisa berubah, ‘kan?

“Tapi, Jing, apa kau yakin?”

Gadis itu mengangguk mantap, “seribu persen yakin. Percayalah padaku, Soojung. Aku tak mungkin membahayakan diriku sendiri.”

“Tapi Jongin berbahaya.”

“Soojung, ia hanya membutuhkan seseorang yang dapat memahami dirinya. Itu saja,”

Soojung tak menjawab, ia tahu perdebatan mereka takkan berakhir hingga ia menerima keputusannya. Jiyool bukanlah lawannya untuk berdebat. Ia sudah pasti kalah telak.

Keheningan mengisi waktu selama beberapa menit. Jiyool mengaduk sup asparagus dingin yang dipesannya setengah jam lalu. Sementara Soojung menyeruput cokelat panasnya tanpa ekspresi. Bahkan cokelat panas tersebut terasa hambar di lidahnya setelah mendengar keputusan Jiyool.

Memang benar bahwa Jongin tak sepenuhnya lelaki brengsek, namun mengingat apa yang telah ia lakukan kepada Jiyool selama ini, Soojung masih belum dapat memercayakan sahabatnya di tangan Jongin. Terlebih dengan gejala bipolar yang dideritanya. Oh, Jiyool benar-benar bodoh.

“Omong-omong, apa aku sudah memberi tahu jenis kelamin bayiku?” tanya Jiyool kemudian dengan mata berbinar.

Soojung menggeleng cepat, “sama sekali belum. Kau sudah mengetahuinya?”

“Ya, kata Dokter Han, bayinya perempuan.”

Kedua mata Soojung melebar, tangannya bertepuk senang dengan kelopak mata yang mengerjap-ngerjap bersemangat. Ia menggeliat bahagia di tempat duduknya sembari menarik tangan Jiyool.

“Benarkah? Perempuan? Astaga, aku senang sekali, Jing!” pekik gadis itu, mendapat delikan tajam dari beberapa pengunjung restoran. Ia tak peduli, lagipula ia membayar makanan di sini, bersikap senang sedikit saja takkan membuat mereka mati.

“Kecilkan suaramu,” bisik Jiyool, memberikan beberapa bungkukkan kepada pengunjung yang merasa terusik.

“Sungguh, Jing, aku akan menjadikannya tuan putri saat ia lahir nanti. Oh, astaga, kau tak tahu betapa bahagianya aku mengatahui hal ini.” Ia menyeka setitik cairan bening yang mengintip di ekor matanya. Soojung tampak sangat senang dengan jenis kelamin bayi Jiyool. Ia harap Jongin juga bersikap seperti ini saat ia memberi tahu tentang jenis kelaminnya. Namun kendati lelaki itu memang tampak bahagia, Jiyool merasa seakan ada sesuatu yang menahannya dan berakhir hanya dengan memeluknya untuk melampiaskan rasa bahagia tersebut. Itu pun dengan diikuti rasa bersalah yang mendalam sehingga memintanya untuk tak menemuinya lagi.

Senyumnya lenyap, pikirannya sibuk dengan Jongin dan membuatnya sama sekali tak menghiraukan celoteh Soojung. Oh, Jongin memang sanggup mengacaukan segalanya. Namun ia pula sanggup membuatnya menjadi gadis paling bahagia di saat yang bersamaan. Ia tak tahu mengapa merasa bahagia jika pada kenyataannya masalah terlampau banyak menyambangi mereka.

 

(((*)))

 

Satu tas ransel besar tersampir pada bahu kiri Jiyool kala ia memasuki rumah mewah Jongin, disambut oleh Hyorin. J

Please Subscribe to read the full chapter
Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
suthchie #1
Chapter 22: Nice ending...
Kagum banget sama persahabatan mereka...
Walaupun banyak masalah berat yang mereka hadapi, tapi kekuatan persahabatan mereka tetap berakhir manis...
Untung juga kebahagian berpihak pada jongin jiyool...
suthchie #2
Chapter 21: ayah macam apa seperti tuan kim itu...
apa dia ngak takut bakal ditinggal kan orang disekitranya dan hanya hidup dengan kesendirian...
pantas saja jongin jadi seperti itu
suthchie #3
Chapter 20: ayah jiyool sungguh besar hati...
tapi masalahnya dengan sehun gimana
suthchie #4
Chapter 19: menakutkan juga sih kalo bakal ketahuan sama ayah jongin
suthchie #5
Chapter 18: ya ampunnn part ini bikin aku nangis bombai...
sumaph ngak berhenti mengalir
suthchie #6
Chapter 17: ya ampun... ternyata jongin semenderita itu...
suthchie #7
Chapter 16: walaupun hanya sebagai teman dengan sehun, itu sudah cukup...

wow... jadi jongin teman masa kecil jiyool ya...
suthchie #8
Chapter 15: kasihan banget si sehun...
padahal dia sudah berbeesar hati bakal nerima jiyool lagi, taip... yasudahlah
semoga dapat yang lebih baik ya hun
suthchie #9
Chapter 13: kok kadang kotak comments nya ngk muncul ya...

serius nih perempuan itu kakaknya bukan seseorang yang dulu pernah disukai
suthchie #10
Chapter 13: setidaknya jongin memberi kebahagiaan ke jiyool sesekali