Chapter 01

Touch of Love
Please Subscribe to read the full chapter

 

Musim semi tahun ini tidaklah semenarik tahun sebelumnya, namun tentu saja tak begitu membosankan pula. Berita mengejutkan dan yang paling membuat Jiyool terkejut adalah ketika awal tahun ini Jung Soojung—sahabatnya sejak ia duduk di bangku SMP—tiba-tiba memberitahunya bahwa ia sudah resmi menjadi calon saudara iparnya. Benar, gadis cerewet tersebut akhirnya mendapatkan hati Minhyuk setelah bertahun-tahun lamanya mengidamkan lelaki itu untuk menjadi kekasihnya.

Kendati mulanya Jiyool sedikit tak rela jika sang Kakak tersayang berakhir di tangan si Cerewet Soojung, namun ia ikut merasa bahagia jika keduanya pun demikian. Agaknya benar apa yang ia dengar selama ini. Terkadang cinta memang tak rasional, cinta tak dapat ditebak, dan cinta tak membutuhkan syarat apapun. Sama halnya dengan dirinya dan Sehun yang telah menjalani hubungan selama…

“Jing, aku ingin merayakan hari jadi kita yang pertama.”

Kepala Jiyool menoleh manakala ia mendengar suara merdu lelaki tersebut. Seakan menyanyikannya sebuah lagu pengantar tidur yang dapat menenangkan hatinya kendati ia dalam keadaan tersudut sekalipun.

Jiyool memutar kedua bola matanya. “Hei, itu masih dua bulan lagi, tak perlu terburu-buru.”

“Tapi tetap saja, kita harus mempersiapkannya sejak sekarang. Mengatur segalanya tak cukup hanya dengan waktu singkat.” Balas Sehun dengan bibir mengerucut.

Jiyool tersenyum gemas. Ia mencubit pipi kiri Sehun dengan hidung mengerut, membuat lelaki tersebut meringik pelan.

“Apa kau sedang mempersiapkan pesta pernikahan kita?” ujarnya dengan nada jenaka.

Kedua sudut bibir Sehun tertarik ke atas, membentuk seringaian nakal yang membuat pipi Jiyool bersemu merah. Ia memutus kontak mata mereka dan berpura-pura menyibukkan diri dengan menulis sesuatu di bukunya.

“Kau sudah tidak sabar rupanya. Baiklah, ayo kita menikah setelah lulus. Tunggu, hari kelulusan kapan, ya? Oh, tiga bulan dari sekarang!”

Sesaat setelah frasa itu meluncur dari bibir Sehun, gulungan buku tebal tiba-tiba saja menghantam kepalanya. Membuat matanya berkedip lucu selama beberapa kali dengan kening mengerut kesakitan. Ia mengusap sisi kepala yang dipukul Jiyool.

“Ah, kenapa kau selalu memukulku, sih? Aku tidak bisa membayangkan bagaimana jadinya setelah kita menikah nanti. Mungkin kau bisa saja membunuhku.” Ujarnya kesal.

Jiyool hanya dapat mencibir, masih berkelit dari tatapan Sehun akibat topik sensitif yang masih saja keluar dari mulutnya. Sejatinya gadis itu merasa senang Sehun membicarakan hal tersebut. Hanya saja waktunya memang sedang tidak tepat. Bagaimana mungkin ia membicarakan masa depan yang masih belum pasti kebenarannya? Mereka masih delapan belas tahun, mereka pula masih duduk di tahun akhir masa SMA. Jiyool sedang menunggu pengumuman beasiswa setelah ia mengikuti tes untuk menuntut ilmu di luar negeri dua bulan yang lalu. Jadi tentu saja ia akan menolak mentah-mentah lamaran Sehun jika lelaki tersebut masih saja nekat ingin melamarnya.

“itu tidak akan terjadi, setidaknya tidak dalam waktu dekat ini.” Gumam Jiyool, berusaha mengucapkannya sepelan mungkin agar Sehun tak menangkapnya.

Namun salah, ia mendengar dengan sangat jelas. Sehun melirik Jiyool sembari mengembuskan napas berat. Ia tahu impian Jiyool, ia tahu apa yang membuat Jiyool sangat ingin mewujudkan impian tersebut. Dan tak ada seorangpun yang dapat mencegahnya. Gadis itu telah berjuang sekeras yang ia bisa untuk mendapatkan beasiswa di sekolah ini. Ia mempertahankan peringkatnya di kelas yang tak pernah ke luar dari tiga besar. Dan ia pun selalu berada di tingkat lima besar dari seluruh siswa. Hal itu pula yang membuat Sehun bangga menjadi kekasihnya. Ia mendapatkan Kang Jiyool, gadis cerdas yang selalu menjadi inspirasinya.

Kendati mungkin tak banyak murid yang menyukainya, itu disebabkan oleh status sosial Jiyool yang berbeda serta otak encernya sehingga menjadi murid kesayangan para guru, membuat murid-murid yang lain merasa iri. Tak jarang pula mereka menyudutkan Jiyool, melemparkan lelucon memalukan untuknya, dan mengusiknya setiap ada kesempatan. Namun Sehun tak pernah membiarkan hal itu terjadi sejak ia mengenal Jiyool. Ketika dua tahun yang lalu ia berakhir di kelas yang sama dengan gadis yang telah berhasil menarik atensinnya sejak awal pertemuan itu, Sehun berjanji kepadanya untuk selalu memberikannya perlindungan—dalam situasi apapun—ia akan memastikan tak ada satu orang pun yang dapat menyakiti kekasihnya. Barangkali ia terkesan seperti kekasih yang posesif, namun itu hanyalah cara Sehun membentenginya.

“Jing, apa kau tiak ingin memikirkannya lagi? Maksudku untuk beasiswa itu, bagaimana jika kauambil beasiswa untuk Universitas Seoul?” tanya Sehun, meraih jemari Jiyool dan menggenggamnya erat. Menghantarkan rasa hangat yang merambat ke seluruh tubuh Jiyool melalui ujung jari-jemarinya.

Gadis itu menggeleng pelan. “Kau tahu aku menginginkan beasiswa itu sudah sejak lama. Setidaknya Ibu bisa bangga melihatku dari atas sana.”

Pada hakikatnya, melanjutkan pendidikan ke luar negeri bukanlah mimpi Jiyool. Tatkala ia berusia enam tahun, ia sempat bermimpi menjadi seorang putri kerajaan yang akan menikahi pangeran tampan berkuda putih dan hidup bahagia selamanya di sebuah kastil mewah. Lalu manakala usianya menginjak delapan tahun, ia sempat berangan-angan menjadi seorang penyanyi, berada dalam sebuah grup dan menunjukkan bakatnya ke banyak orang. Seiring dengan bertambahnya umur, pandangan gadis itu mulai bersalin. Ia ingin membuat keluarganya bangga, setidaknya pekerjaan sebagai desainer pakaian terkenal akan sangat menjanjikan dan dapat bertahan sampai ia tua nanti. Namun mimpi-mimpi itu punah layaknya gumpalan abu yang terembus angin kala sang Ibu divonis kanker darah stadium akhir ketika umurnya menginjak dua belas tahun.

Si Jiyool Kecil kehilangan intensinya, di usianya yang masih belia, ia harus bergiliran dengan kakaknya—Kang Minhyuk—untuk merawat sang ibu ketika ayahnya harus pergi bekerja. Namun suatu ketika, wanita ringkih tersebut berkata kepada Jiyool, dengan suaranya yang lirih dan seulas senyuman paling tulus yang pernah Jiyool lihat kala itu. Matanya berbinar penuh harap, penuh kasih sayang seorang ibu. Tangan dinginnya dengan gemetar menangkup pipi merah Jiyool.

“Sejak dulu—sejak Ibu melahirkanmu—tubuh mungilmu begitu lemah karena kau lahir prematur. Dokter bilang, peluang hidupmu tak sampai lima puluh persen. Ayahmu sudah mempersiapkan diri untuk yang terburuk. Namun Ibu tidak, aku tahu kau akan menjadi bayi yang sehat dan pintar nantinya. Kau akan menyelamatkan banyak kehidupan, kau akan membantu banyak orang, kau akan menjadi Kang Jiyool yang kuat.” Kata-katanya terhenti karena ia harus menarik napas dalam, mengerahkan seluruh tenaga yang ia miliki untuk melanjutkan kalimatnya. “Mungkin ini hanya mimpi Ibu saat muda yang tak bisa kuwujudkan. Tapi Ibu harap kau bisa meneruskannya, Jiyool. Ibu ingin kau menyembuhkan orang-orang yang sakit seperti Ibu, mereka membutuhkan orang sepertimu untuk memberikan harapan kepada mereka. Dan Ibu yakin kaulah orang yang tepat.”

Itu adalah pesan terakhir yang disampaikan ibunya, lalu keesokan harinya—ketika Jiyool pulang sekolah—ia mendapati ayahnya terduduk di depan teras rumah mereka dengan kepala menunduk. Ia menyurukkan wajah di balik telapak tangan, tampak frustasi. Jiyoung sangat tahu bahwa sesuatu tengah terjadi pada ibunya, maka ia melesat ke dalam rumah dan menemui pemandangan paling menyedihkan—Minhyuk, yang selama ini tak pernah menangis, yang selalu tampak tegar di depan Jiyool, yang selalu menghiburnya di tengah-tengah keterpurukannya, saat itu ia bukanlah apa-apa. Kedua lengannya melekap tubuh kaku sang ibu, menangis seakan tak ada hari esok. Sementara Jiyool tak tahu reaksi apa yang harus ia tunjukkan. Ia hanya terpaku di tempat, memutar ulang pesan-pesan terakhir wanita tersebut. Lalu seketika itu pula, sesuatu dalam dirinya merasa tergelitik, terdorong untuk mewujudkan angan-angan sang Ibu. Dan hingga detik ini, Jiyool masih berusaha untuk merealisasikannya. Ia memilih universitas terbaik yang dapat membimbingnya untuk menjadi seorang dokter unggul. Hanya itu satu-satunya impian Jiyool dan tak satu orang pun dapat menghalanginya.

Deringan bel sekolah seakan melempar keduanya dari pikiran masing-masing. Sehun menatap jam yang tergantung di dinding kelas, tepat menunjukkan pukul sembilan pagi. Itu artinya pelajaran pertama akan segera dimulai.

Di ambang pintu kelas, ia mendapati sosok Soojung tengah berjalan ke arah mereka dengan bibir mengerucut sembari mengibas-ngibaskan tangan, memberi isyarat agar Sehun segera hengkang dari tempat duduknya.

“Ck, kau selalu mencuri bangkuku setiap pagi.” Omel gadis tersebut.

Sehun memberikannya senyuman kecil sebelum akhirnya kembali menatap Jiyool. Ia menangkup kedua pipi Jiyool dan memberikannya kecupan di kening.

“Sampai bertemu nanti.” Ujarnya, lantas bangkit dari tempat duduk Soojung dan kembali ke kelas. Sayangnya, Seuhun tidak sekelas dengan Jiyool di tahun ketiga mereka di SMA. Kendati ia merasa kecut, namun hal itu tak urung membuat hubungan keduanya merenggang.

“Jing, kenapa wajahmu begitu?” tanya Soojung dengan kening mengernyit.

Jiyool menggeleng pelan, memberikan senyuman menenangkan agar Soojung tak terlalu khawatir padanya. Ia tahu bagaimana sahabatnya ini akan memberondonginya dengan beribu pertanyaan.

“Aku baik-baik saja, hanya sedikit lelah karena harus menyelesaikan pekerjaan rumah semalaman suntuk.” Dustanya tanpa menatap mata Soojung, takut jika gadis itu dapat membacanya.

“Oh, PR dari Hong Sonsaengnim? Hah, aku sudah menyelesaikan semuanya. Minhyuk Oppa membantuku mengerjakannya kemarin.” Ujar gadis itu bangga karena memiliki kekasih pintar seperti Minhyuk.

“Ya, kau memang beruntung karena sudah mengencani kakakku. Semenjak kalian berpacaran, ulanganmu tak pernah gagal, ‘kan,” sindir Jiyool dengan seringaian mengejek.

“Aish, aku tahu kau masih belum rela kalau sekarang kami berpacaran. Tapi, Jiyool, kau harus mulai belajar untuk menerima semuanya, karena cepat atau lambat aku akan menjadi kakak iparmu!” Soojung menyelipkan rambut panjangnya ke belakang daun telinga dengan penuh percaya diri, membuat Jiyool memasang mimik seperti akan muntah.

“Omong-omong, akhir pekan nanti Jongin mengadakan pesta di rumahnya dan ia mengundangku. Aku sudah meminta Minhyuk Oppa agar ikut tapi dia sedang banyak tugas kuliah. Aku tahu Sehun pasti datang, apa kau akan datang juga?”

Jiyool menelengkan kepalanya dengan kedua alis berjingkat tinggi. Tampaknya Soojung sedang kehilangan akal sehatnya. Tentu jawabannya sudah pasti tidak. Sejak awal ia pun tahu bahwa hubungan Jiyool dan Jongin memang tidak baik. Sejatinya Jiyool tak tahu duduk permasalahannya, namun sejak mula-mula Sehun memperkenalkan sahabatnya itu, Jongin sudah menunjukan gelagat tidak suka padanya. Dan hingga kini, keduanya akan selalu berakhir dengan perdebatan setiap kali mereka bersemuka. Jiyool benar-benar membenci Kim Jongin. Lelaki yang hanya bisa mempermainkan hati para gadis dan selalu menghambur-hamburkan harta orangtuanya hanya untuk mengadakan pesta liar.

Ini memang bukan pertama kalinya Soojung diundang dan ia pula sudah sering mengunjungi pesta-pesta sejenis ini. Namun belakangan—sejak ia berpacaran dengan Minhyuk lebih tepatnya—gadis itu membatasi diri. Tentu saja ia ingin tampak baik di mata sang Kekasih.

“Ayolah, Jing, hanya sekali ini saja.” Ia menangkupkan kedua tangan di depan wajah, berharap Jiyoung akan menyetujuinya. Tamun tetap mendapatkan gelengan kepala.

“Jing, aku sudah jarang mengunjungi pesta-pesta-pesta seperti ini sejak berpacaran dengan Minhyuk Oppa, dan jika aku pergi sendiri itu pasti akan sangat membosankan. Lagipula Sehun pasti ikut, dia akan menjagamu.” Rayunya lagi, tak menyerah.

“Tidak!” jawab Jiyool tegas. “Kau bisa tidak usah datang saja, ‘kan?”

“Tapi aku sudah berjan

Please Subscribe to read the full chapter
Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
suthchie #1
Chapter 22: Nice ending...
Kagum banget sama persahabatan mereka...
Walaupun banyak masalah berat yang mereka hadapi, tapi kekuatan persahabatan mereka tetap berakhir manis...
Untung juga kebahagian berpihak pada jongin jiyool...
suthchie #2
Chapter 21: ayah macam apa seperti tuan kim itu...
apa dia ngak takut bakal ditinggal kan orang disekitranya dan hanya hidup dengan kesendirian...
pantas saja jongin jadi seperti itu
suthchie #3
Chapter 20: ayah jiyool sungguh besar hati...
tapi masalahnya dengan sehun gimana
suthchie #4
Chapter 19: menakutkan juga sih kalo bakal ketahuan sama ayah jongin
suthchie #5
Chapter 18: ya ampunnn part ini bikin aku nangis bombai...
sumaph ngak berhenti mengalir
suthchie #6
Chapter 17: ya ampun... ternyata jongin semenderita itu...
suthchie #7
Chapter 16: walaupun hanya sebagai teman dengan sehun, itu sudah cukup...

wow... jadi jongin teman masa kecil jiyool ya...
suthchie #8
Chapter 15: kasihan banget si sehun...
padahal dia sudah berbeesar hati bakal nerima jiyool lagi, taip... yasudahlah
semoga dapat yang lebih baik ya hun
suthchie #9
Chapter 13: kok kadang kotak comments nya ngk muncul ya...

serius nih perempuan itu kakaknya bukan seseorang yang dulu pernah disukai
suthchie #10
Chapter 13: setidaknya jongin memberi kebahagiaan ke jiyool sesekali