Chapter 10

Touch of Love
Please Subscribe to read the full chapter

 

Bel tanda akhir pelajaran telah berbunyi sepuluh menit yang lalu, kini sekolah mulai tampak lengang. Hanya segelintir siswa masih berada di dalam gedung, bersiap untuk kembali ke rumah masing-masing. Sementara Jiyool hanya berdiri di sisi loker Jongin, menunggu kemunculan lelaki tersebut. Ia tak tahu apa yang membuat Jongin tak kunjung tiba untuk menyimpan buku-buku pentingnya di dalam loker. Barangkali ia sedang mengikuti pelajaran tambahan mengingat nilainya akhir-akhir ini menurun drastis dan ia butuh bimbingan untuk membantunya melalui ujian akhir nanti.

Sekian menit kembali berlalu, Jiyool masih setia berdiri di sana. Ia memeluk perut ratanya untuk menahan rasa lapar. Berharap Jongin akan segera hadir dan menyingkirkan perasaan mengganggu dalam hatinya. Melenyapkan segala kekuatiran dengan senyumannya.

Dari kejauhan, ia mendengar suara langkah kaki yang merapat ke arahnya. Kepala Jiyool terangkat, mendapati sosok jangkung Jongin kini tengah melangkah sembari membawa beberapa buku tebal di tangan kanan. Ia belum menyadari presensi Jiyool, matanya menatap lantai—tampak kelompong. Seolah-olah ada banyak hal yang sedang menantinya setelah ia keluar dari gedung sekolah ini.

Jiyool menegakan tubuh, ia dapat merasakan degupan jantungnya yang memompa aliran darah dengan kencang. Berdesir melalui setiap pembuluh nadinya dan membuat wajahnya semerah kepiting rebus. Ia pula dapat merasakan telapak tangannya yang basah oleh keringat. Rasa gugup dahsyat tiba-tiba menghantam dirinya membabi-buta, menyebabkan getaran hebat mengambil kendali tubuhnya.

Jaraknya kian mendekat, Jiyool dapat melihat wajah tirus Jongin dengan jelas. Langkah lelaki itu terhenti manakala ia menyadari kehadiran orang lain di sana. Kepalanya mendongak cepat dengan mata membeliak—tak menyangka bahwa Jiyool kini tengah berdiri di sisi lokernya.

Mereka sama-sama mematung. Tatapan mata keduanya memiliki koneksi yang begitu kuat sehingga masing-masing dari mereka dapat membaca arti dari pancarannya. Gugup, ketakutan, gelisah, dan masih banyak lagi yang tak bisa disebutkan dengan pasti. Degup jantung keduanya terdengar berirama kendati hitungannya tak bisa dikatakan normal.

Atmosfer terasa begitu pekat, Jiyool berusaha mengendalikan diri. Kendati menghirup udara pun harus dengan usaha keras, namun gadis itu tetap mempertahankan gerak-gerik tubuhnya agar tampak normal. Ia mengeluarkan dehaman pelan—mencari suaranya yang sejak tadi menguap entah kemana. Jongin tersentak; mengusap tengkuknya dengan wajah datar dan berusaha mengabaikan eksistensi Jiyool.

Ia melanjutkan langkah, melewati gadis itu hingga akhirnya tiba di depan loker. Tangannya bergerak cepat untuk menyimpan buku-bukunya di dalam sana. Suasana terasa begitu canggung dan Jiyool tak tahu harus melakukan apa. Ia menggigit bibir bawahnya beberapa kali, tak menghiraukan rasa perih. Dorongan dalam dirinya begitu kuat untuk menyebutkan nama Jongin, hanya saja ketakutannya lebih mendominasi. Ia tak tampak bersahabat hari ini. Jiyool sudah tahu ini akan terjadi, mengingat sikap aneh Jongin, seharusnya hal ini tak begitu mengejutkannya.

Namun kini ia justru merasa tak ingin mengatakan segalanya. Ia ingin berbalik dan meninggalkan Jongin. Ingin menyusul Soojung dan memeluk sahabatnya itu. Ia ingin menangis.

“Jongin…” panggilnya, setelah berdebat dengan pikirannya. Suara Jiyool terdengar lirih—bergetar dan lemah. Kakinya terasa lemas dan kapan saja ia bisa terjatuh jika gadis itu tak mengerahkan seluruh sisa tenaga yang ia miliki.

Jongin menutup pintu loker dengan sekali sentakan. Ia membalikan tubuh dan membalas panggilan Jiyool dengan, “apa?”

“Ada sesuatu yang harus kukatakan.”

Gadis itu menatap kedua manik cokelat di hadapannya. Dua pasang mata yang tampak tak tertarik pada kehadirannya, berusaha menghindari tatapan matanya dengan melempar seringaian angkuh yang membuatnya mual. Jantung Jiyool berdegup begitu cepat, rasa takut dan gugup bercampur dengan perasaan lainnya yang tak terdefinisi seakan memakan setiap inci tubuhnya. Ia dapat merasakan getaran samar menjalar melalui ujung-ujung jemari kedua kakinya.

“Aku tidak punya waktu, sebaiknya kau—”

“Aku hamil.”

Entah keberanian dari mana yang datang sehingga membuat mulutnya mengucapkan dua kata terkutuk tersebut. Ia tahu reaksi apa yang selanjutnya akan ia dapatkan setelah melihat perubahan raut wajah Jongin. Kedua alisnya menyatu dengan bibir menipis. Ia tampak terkejut untuk beberapa saat, membiarkan keheningan lebih mendominasi selama beberapa sekon. Namun semua itu berubah tatkala Jiyool menyadari aura mencekik di sekitarnya. Segalanya bak kilatan cahaya meteor di langit malam.

“Apa maksudmu?” intonasi suara Jongin meninggi ketika ia menanyakan frasa itu kepada Jiyool. Keningnya semakin mengerut dengan wajah memerah. Kedua tangannya mengepal kuat di sisi-sisi tubuhnya hingga Jiyool pikir ia bisa saja menelannya bulat-bulat saat ini juga. Namun ia berjuang untuk mengesampingkan rasa takutnya. Ia mencurahkan seluruh tenaga yang ia punya untuk mengucapkan kembali kalimat itu.

“Kubilang aku hamil, Kim Jongin, apa kau tuli?”

Kendatipun suara Jiyool bergetar ketika ia mengulangi kalimatnya, namun matanya berkilat penuh keberanian. Ia akan menghadapi apa yang harus dihadapi. Setidaknya ini demi janin malang yang kini tertanam dalam kandungannya.

Jongin berjalan beberapa langkah mendekati Jiyool hingga dirinya tersudut pada dinding di belakangnya. Kepala gadis itu agak menunduk, namun ia tak memutus koneksi mata mereka. Wajah Jongin mendekat—Jiyool dapat merasakan napas hangat lelaki tersebut, membuat tengkuknya terasa dingin oleh kedekatan mereka.

“Jangan lancang untuk menghancurkan hidupku, Kang Jiyool.”

Suaranya rendah dan dalam, penuh dengan penekanan di setiap kata yang ia ucapkan. Matanya masih berkilat marah, seakan menguliti Jiyool hidup-hidup serta memberikan rasa tidak nyaman dalam hatinya. Dan lagi, Jiyool merasa mual. Entah itu akibat perubahan hormon yang dialaminya atau perasaan cemas dan gugup karena kemarahan Jongin yang begitu nyata.

“Kuperingatkan kau, aku tak pernah memiliki anak dari siapapun. Dan dengar kata-kataku dengan baik, aku tak akan menikahimu dan tidak akan pernah!”

Jongin menghantam dinding yang hanya berjarak beberapa inci dari sisi kiri kepala Jiyool, ia lantas berbalik dan meninggalkan gadis itu di sana. Sendirian sembari memeluk perut ratanya sebagai gerakan refleks dari tindakan Jongin tadi untuk melindungi kehidupan lain di dalam sana. Ia menangis—kali ini ia tak menahannya lagi—untuk kesempatan ini ia tak ingin menahan diri. Perasaan menyesal seakan menghantam tubuhnya berkali-kali, mengutuk perbuatan yang telah mereka lakukan pada malam itu.  

 

(((*)))

 

Jiyool tiba di rumah Soojung ketika hari menjelang malam, mendapati tatapan bingung dari Nyonya Jung ketika ia menangkap kedua mata bulatnya yang membengkak. Hidung Jiyool memerah, wajahnya pun pucat. Ia berusaha untuk menyunggingkan sebuah senyuman agar ibu Soojung tak curiga.

“Kau baik-baik saja, Jiyool?” tanya wanita paruh baya tersebut.

“Aku… hanya sedikit tidak sehat. Kurasa aku tidak ikut makan malam.” Balasnya dengan suara sengau. Ia membungkukan tubuh, lantas meninggalkan Nyonya Jung yang masih berdiri dengan tatapan penuh tanda tanya.

Jiyool membuka pintu kamar Soojung sepelan yang ia bisa. Berharap sahabatnya itu kini sedang keluar atau di kamar mandi, setidaknya ia memiliki waktu untuk menenangkan diri terlebih dahulu sebelum Soojung membanjirinya dengan berbagai pertanyaan. Namun harapannya sama sekali tak terpenuhi lantaran di hadapannya, Soojung tengah mengeringkan rambut basahnya menggunakan handuk. Ia mengenakan kaus oblong serta celana pendek biru, matanya terbeliak lebar setelah mendapati sosok Jiyool yang tampak mengenaskan.

“Demi Tuhan, Jiyool, apa yang terjadi padamu?” pekik gadis itu, membuang handuknya ke sembarang tempat dan berlari menghampiri sahabatnya.

“A-aku…”

“Katakan padaku!” ujarnya tegas dengan mata memicing. Ia tahu bahwa Jiyool akan mengatakan kebohongan padanya dan Soojung sudah muak dengan semua itu.

Jiyool menutup mulutnya rapat-rapat, berusaha menahan gemuruh hebat dalam hatinya, berusaha menahan cairan bening tersebut agar tak melinang dari matanya yang perih. Namun tanpa disadari, rangkulan Soojung justru membuat dinding pertahanannya runtuh. Bibirnya melengkung ke bawah serta getaran tubuhnya seakan menyentak Soojung. Ia menuntun Jiyool menuju ke tempat tidur, mendudukannya di sana, lantas memeluknya dengan erat. Membiarkan gadis itu menangis hingga ia tenang dan siap untuk menceritakan segalanya.

“Aku memberitahunya,” gumam Jiyool setelah sekian menit tangisnya mereda.

Napas Soojung tercekat. Ia mencengkram seprai tempat tidur, ia tahu apa yang terjadi tanpa perlu Jiyool mengatakannya. Tetapi ia ingin mendengarnya, setidaknya ia akan tahu lebih jelas lagi, dan barangkali Soojung akan membuat rencana untuk memberikan pelajaran kepada laki-laki itu. Kali ini ia takkan menahan segala amarahnya, ia akan melampiaskan semua itu dan bila perlu ia bersedia menghancurkan wajah Jongin hingga tak berbentuk.

“Dia memperingatkanku untuk tidak menghancurkan hidupnya, tapi aku sama sekali tidak menghancurkan hidupnya, Soojung, dia yang menghancurkan hidupku. Dia yang menjebakku, dia yang menghamiliku, lalu sekarang dia bilang aku yang menghancurkan hidupnya? Lelucon macam apa ini?”

Napas Jiyool tersendat-sendat. Ia memegang dadanya untuk menenangkan diri. Emosinya sudah tak dapat dibendung lagi; sudah terlalu banyak hal yang ia simpan sendiri dan kini semuanya meluap begitu saja. Bahkan pelukan Soojung tak dapat menenangkannya.

Ia membutuhkan ayahnya, ia ingin mendengar kata-kata penguat dari Minhyuk, dan ia ingin ibunya. Apa yang harus ia lakukan sekarang? Jiyool sudah terlalu berharap bahwa Jongin akan mempertanggung jawabkan segalanya. Ia sudah kelewat yakin jika sikap manis Jongin adalah pertanda dari perubahannya. Namun yang ia dapati sekarang bahkan lebih menyakitkan dari segala masalah yang telah ia hadapi.

“Brengsek! Aku tidak akan melepaskannya!” gumam Soojung. Nadanya rendah dan tajam, penuh kebencian.

“Apa yang akan kaulakukan?” tanya Jiyool, menggenggam pergelangan tangan gadis itu.

“Memberinya pelajaran. Dia melampaui batas, Jing, ini tidak bisa dibiarkan.”

Sejatinya, Jiyool ingin melarang Soojung untuk melakukan itu. Namun suara kecil di dalam hatinya mengatakan bahwa Jongin pantas mendapatkannya. Ia ingin melihat Soojung memberikannya beberapa pelajaran agar ia mengerti apa itu tanggung jawab. Tetapi kembali lagi, ia juga merasa tidak tega.

“Kau tak bisa melarangku lagi, Jing. Aku benar-benar akan mematahkan lehernya!”

 

(((*)))

 

Jongin kembali lenyap. Batang hidungnya sama sekali tak kelihatan selama lima hari belakangan. Sementara Soojung—dalam waktu lima hari tersebut—ia selalu menunggu kemunculan Jongin. Tak ada alasan baginya untuk mengabaikan ketidakhadiran lelaki itu. Ia sudah berjanji pada Jiyool—atau lebih tepatnya kepada dirinya sendiri—untuk memberi sedikit pelajaran padanya.

Setelah pengakuan Jiyool nyaris sepekan lalu, ia makin tampak murung. Ia menyibukkan diri dengan buku-buku pelajaran, melupakan vitamin yang harus diminum dengan teratur jika tak diingatkan Soojung, memilih untuk lebih tertutup dan tak banyak berbagi tentang perasaannya. Soojung sampai tak paham dengan jalan pikirannya kali ini. Ia tak bisa lagi menebak apa yang akan dilakukan Jiyool setelah ia mengetahui bahwa Jongin takkan mengambil tanggung jawabnya untuk janin itu.

“Ayolah, Jing, kau tidak sarapan pagi tadi. Aku tak mau terjadi sesuatu padamu.” Paksa Soojung, mencoba meyakinkan Jiyool untuk pergi bersamanya ke kafetaria.

“Aku tidak lapar, dan lagipula aku harus mempersiapkan diri untuk tes nanti.” Balasnya, masih fokus pada buku di hadapannya.

Soojung menghela napas keras, tak tahu cara seperti apa lagi yang akan ia gunakan agar Jiyool mau mengisi perutnya kosongnya. Ia tak hanya cemas pada keadaan Jiyool, namun kesehatan janin itu tak kalah penting. Jika terjadi sesuatu pada Jiyool serta janinnya, maka Soojung tak akan memaafkan dirinya sendiri lantaran tak dapat mengurus sahabatnya dengan baik. Untuk saat ini, ia menganggap Jiyool adalah tanggung jawabnya. Karena setelah ia pikir ulang—jika bukan dirinya—siapa lagi yang akan memperhatikan gadis itu? Ia sudah tak memiliki siapa-siapa, bahkan Sehun dan Jongin men

Please Subscribe to read the full chapter
Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
suthchie #1
Chapter 22: Nice ending...
Kagum banget sama persahabatan mereka...
Walaupun banyak masalah berat yang mereka hadapi, tapi kekuatan persahabatan mereka tetap berakhir manis...
Untung juga kebahagian berpihak pada jongin jiyool...
suthchie #2
Chapter 21: ayah macam apa seperti tuan kim itu...
apa dia ngak takut bakal ditinggal kan orang disekitranya dan hanya hidup dengan kesendirian...
pantas saja jongin jadi seperti itu
suthchie #3
Chapter 20: ayah jiyool sungguh besar hati...
tapi masalahnya dengan sehun gimana
suthchie #4
Chapter 19: menakutkan juga sih kalo bakal ketahuan sama ayah jongin
suthchie #5
Chapter 18: ya ampunnn part ini bikin aku nangis bombai...
sumaph ngak berhenti mengalir
suthchie #6
Chapter 17: ya ampun... ternyata jongin semenderita itu...
suthchie #7
Chapter 16: walaupun hanya sebagai teman dengan sehun, itu sudah cukup...

wow... jadi jongin teman masa kecil jiyool ya...
suthchie #8
Chapter 15: kasihan banget si sehun...
padahal dia sudah berbeesar hati bakal nerima jiyool lagi, taip... yasudahlah
semoga dapat yang lebih baik ya hun
suthchie #9
Chapter 13: kok kadang kotak comments nya ngk muncul ya...

serius nih perempuan itu kakaknya bukan seseorang yang dulu pernah disukai
suthchie #10
Chapter 13: setidaknya jongin memberi kebahagiaan ke jiyool sesekali