Chapter 15

Touch of Love
Please Subscribe to read the full chapter

 

Nama lengkapnya Kim Hyorin, wanita berkulit gelap yang belakangan diketahui adalah kakak Jongin. Ia ceria, ia banyak omong, ia mengemban tugas sebagai seorang mahasiswi yang mendalami Bisnis Internasional di Hawaii Pacific University, dan ia termasuk salah satu mahasiswi terbaik. Bukan maksud hati ingin merampas posisi yang telah ditetapkan untuk Jongin oleh ayah mereka, namun Hyorin berpendapat jikalau Jongin tak dapat memenuhi standar seorang pemegang saham utama yang telah ditetapkan perusahaan, maka Hyorin-lah hendak mengambil alih untuk sementara waktu. Wanita itu sangat menyayangi adiknya, karena menurutnya hanya Jongin-lah satu-satunya keluarga yang ia miliki—mereka sudah tak menganggap Tuan Kim sebagai ayah. Terdengar durhaka memang, tetapi bisakah keduanya tetap bersikap normal setelah apa yang ia lakukan selama ini?

Pandangan wanita itu beralih pada kalender yang terpajang rapi di atas meja belajar Jongin. Matanya memicing untuk menajamkan penglihatan. Ia hanya memiliki waktu satu bulan untuk membenahi segalanya. Satu bulan yang singkat untuk membantu Jongin melalui semua ini sebelum ayahnya kembali.

Lalu tatapan matanya kembali tertumbuk pada sosok Jongin yang tengah terlelap di atas selonjoran kakinya. Raut lelaki tersebut tampak begitu damai. Terkadang Hyorin menangkap senyum samar pada bibir penuhnya. Kelegaan membasuh sekujur tubuhnya, ia senang bukan main karena dapat berjempu dengan Jongin kembali. Kendati banyak pengorbanan yang harus ia lakukan.

Dalam kurun waktu dua pekan, Hyorin berusaha menuntaskan segala tugas-tugas yang sepatutnya rampung pada bulan berikutnya. Ia membutuhkan banyak waktu untuk meyakinkan rektor di kampusnya agar tak mengadukan kepada ayahnya bahwa ia telah kembali ke Seoul. Karena memang pada kenyataannya, pria paruh baya tersebut sudah meminta agar pihak kampus selalu memberitakan tentang keadaan serta perkembangan Hyorin di sana.

“Kkamjjong…” gumamnya dengan pandangan hampa, tanpa sadar telah mengusik tidur sang Adik.

Lelaki tersebut membuka matanya dengan perlahan, sedikit memicing akibat sinar matahari yang seakan menusuk retina. Ia menguap lebar, tersenyum manakala mendapati wajah Hyorin yang masih belum menyadari bahwa Jongin telah terjaga.

“Noona,” panggilnya serak.

“Oh, kau terbangun?”

“Kau memanggilku?”

Hyorin memiringkan kepala dengan kening mengernyit. “Aku tak bermaksud membangunkanmu.”

“Lalu apa?”

“Aku… hanya sedang memikirkan, di mana gelang itu? Seingatku kau selalu mengenakannya.”

Kebas. Jongin merasakan kebas di sekujur tubuhnya kala sang Kakak menyinggung gelang yang ia lucutkan sejak setahun belakangan. Apa gunanya mengenakan gelang tersebut jika hanya memberikan goresan luka pada hatinya?

“Kusimpan di lemari.” Jawabnya singkat, berusaha bangkit dan menyandarkan tubuh di kepala tempat tidur.

Hyorin mendesah pelan, “kupikir kau—”

“Dia juga sudah tak mengenakannya lagi.”

Lalu kembali sunyi. Tak ada yang membuka suara setelah Jongin menyela ucapan Hyorin. Ia tak ingin kian diingatkan oleh kenangan masa lalu, lantaran dengan demikian ia pula akan semakin sulit untuk melepaskannya. Asa Jongin hanyalah melupakan segala yang sudah terjadi dengan bantuan si Kakak.

Hyorin memberikan anggukan kecil. Ia tersenyum miris sembari mengacak rambut Jongin.

“Tidak apa-apa, semua akan kembali normal. Percayalah padaku.”

 

(((*)))

 

Sehari, sepekan, hingga menjadi dua pekan terlampaui bak kilatan cahaya meteor di langit malam. Mereka melalui ujian akhir dengan lancar. Jiyool serta Soojung mendapatkan surat kelulusan mereka. Sehun mengirimkannya pesan singkat dan mengatakan bahwa ia pun berhasil lulus dengan nilai memuaskan. Lelaki tersebut berencana melanjutkan perguruan tingginya di Universitas Seoul. Kendati ayahnya menolak keras oleh keputusan anak semata wayangnya tersebut, namun ia bersikeras untuk tak meninggalkan Seoul. Kehidupannya di sini, teman-temannya di sini, dan gadis yang masih mengisi hatinya juga menetap di sini. Tentu Sehun tahu bahwa Jiyool telah menolak beasiswa yang ia dapatkan. Itu sebabnya ia masih bertahan di sini dengan harapan bahwa; jika hatinya sudah merasa lebih siap, ia akan mencoba untuk memulai segalanya dari awal. Ia ingin dapat menerima Jiyool apa adanya—menjadi ayah dari bayinya. Sehun harap hari itu lekas tiba dan mengijinkan dirinya kembali bersatu dengan gadis yang ia cintai.

Upacara kelulusan berjalan dengan mulus. Murid-murid berprestasi maju satu per satu ke atas panggung untuk menyampaikan pidato kelulusan mereka—termasuk Sehun dan Jiyool. Bahkan yang lebih mencengangkan, Jongin pun ikut maju ke depan. Ia masuk dalam barisan sepuluh besar dari hasil ujiannya, yang mana hal itu membuat guru-guru serta murid-murid lainnya cukup terperangah. Kendati demikian, ia tak banyak berbicara. Ia hanya mengucapkan terima kasih kepada para guru dan teman-temannya, serta Kim Hyorin.

Jiyool tak mengenal siapa itu Kim Hyorin. Jauh di dalam lubuk dasar hatinya, perih seakan menggerogoti tiap ruang yang tersisa. Membuatnya semakin lapang dan kelompang, penuh borok yang barangkali membutuhkan waktu lama untuk dipulihkan. Asumsinya, Kim Hyorin adalah gadis bertubuh mungil yang kini dikencani Jongin. Namun jika ditilik kembali, sudah sepekan terakhir ia tak mendapati keduanya bersama. Apakah mereka sudah berakhir?

Soojung menyadarinya. Ia menangkap wajah kecewa Jiyool kala Jongin menyebutkan nama perempuan lain. Sama halnya dengan Jiyool, ia pun merasa kecewa. Bukan lantaran Jongin yang memiliki wanita lain, melainkan lantaran Jiyool yang harus menanggung ini semua akibat perasaannya sendiri. Menyukai lelaki brengsek seperti Jongin bukanlah pilihan, namun Jiyool sendiri tak dapat mengatur hatinya. Barangkali itu hanya sekadar rasa suka sesaat dikarenakan ia tengah mengandung bayi Jongin, namun bagaimana jika perasaannya melenceng jauh dari perkiraan Soojung? Bagaimana jika ternyata yang Jiyool maksud itu adalah cinta dan bukannya suka? Tentu semua akan menjadi kian memelik.

Ia menggenggam jemari Jiyool, dibalas dengan senyuman lemah oleh gadis tersebut. Seakan-akan ingin menunjukkan bahwa dirinya baik-baik saja. Namun tahukah Jiyool bahwa matanya mengatakan hal sebaliknya? Ia tidak baik, ia terluka. Ia terluka oleh rasa takutnya dan ia pula terluka oleh Jongin. Tak dapat dipungkiri, Soojung pun ikut merasakan luka Jiyool.

Selepas beberapa pidato terakhir, upacara kelulusan pun usai. Murid-murid beranjak dari tempat mereka. Mata Jiyool bergerak liar mencari sosok Jongin. Dapat. Lelaki itu tengah melangkah menuju pintu keluar. Jiyool menarik lengan Soojung dan berbisik pada telinganya.

“Aku akan segera kembali. Jangan ikuti aku!” Ujarnya cepat, lantas separuh berlari guna menyusul sosok Jongin yang makin jauh.

Napasnya ketang, jantungnya berdengap dua kali lipat dari biasanya, segala bentuk emosi membadai di dalam hatinya. Ini kesempatan terakhirnya. Ini adalah hari terakhir sebelum ia tak dapat menemui Jongin lagi. Setelahnya, Jiyool takkan bisa melihat wajah datarnya, mata teduhnya, dan kulit gelapnya. Jiyool akan kehilangan sosok ayah dari bayinya. Ia akan menjalankan hidupnya tanpa eksistensi Jongin. Ia akan membuka lembaran baru dan melupakan segala kenangan lampau yang masih meninggalkan kesan menyedihkan dalam kehidupannya.

Lelaki itu melangkah ke arah perpustakaan lama yang sudah tak digunakan. Tepat berada di sisi gedung sekolah. Jiyool tak tahu apa yang akan Jongin lakukan di sana, namun tatkala ia tiba, ia mendapati lelaki tersebut tengah berdiri tegak—menatap ke arah langit. Jiyool mengikuti arah pandangnya—tak mendapati apa-apa kecuali gumpalan awan putih yang mendekorasi birunya langit. Tata surya tampak begitu terik—menurut ramalan cuaca, hujan tak akan mengguyur permukaan Seoul hari ini.

Dengan langkah ragu, Jiyool menyambangi Jongin. Ia menggigit bibirnya gugup, berusaha meredakan debaran jantung yang seakan memalu dadanya. Tangannya gemetar, kakinya gemetar, rambut-rambut halus di tengkuknya seakan terkena sengatan listrik. Ia menyentuh pundak Jongin, membuat lelaki tersebut berjengit dan memutar tumit dengan mata membeliak. Tampak keterkejutan memenuhi ekspresi wajahnya. Kedua bibir penuhnya tak mengatup.

Mereka bersitatap cukup lama. Detik berlalu, menit berlalu, hingga kemudian Jiyool berdeham dan mengeluarkan sesuatu dari tas punggungnya; jas seragam Jongin. Jas yang ia pinjamkan untuk menyelimuti tubuh Jiyool kala itu. Senyuman samar terpatri pada wajah manisnya. Ia menyodorkan seragam tersebut ke arah Jongin.

“Maaf aku terlambat mengembalikannya. Terima kasih banyak sudah menemaniku waktu itu.” Ujar Jiyool lembut.

Jongin tersentak. Ia meraih seragam miliknya dan tanpa sengaja menyentuh jemari lentik Jiyool. Kehangatan menjalar hanya oleh sentuhan ringan. Jongin merasa tenang, sesuatu melingkupi hatinya dengan kesejukan tak terdefinisi. Matanya menatap lurus manik Jiyool, seakan terhipnotis olehnya—ia tak dapat menatap yang lainnya kecuali dua pasang iris indah tersebut.

“Aku senang kau tak selalu bersikap dingin padaku. Dengan itu saja sudah cukup membuktikan bahwa kau tak seperti orang yang kukira selama ini.” Tambah Jiyool, yang mana kalimatnya itu membuat lidah Jongin menjadi kelu. Lidahnya tak bertulang, namun tampaknya kini ia sama sekali tak dapat menggerakannya. Suaranya lenyap ditelan oleh keterkejutannya sendiri. Ia tak menyangka bahwa Jiyool akan mengatakan hal itu.

“Dan, Jongin, jaga dirimu baik-baik. Terima kasih karena sudah memberikan tanggung jawab besar untukku. Dengan begitu aku dapat belajar untuk menjadi lebih dewasa. Aku tak bermaksud menyinggungmu, aku hanya ingin mengucapkan terima kasihku. Terima kasih banyak.”

Tangan Jiyool mengelus perut bagian bawah yang kini agak menonjol. Tak begitu kentara memang, mungkin orang-orang masih belum melihat perubahan apapun. Namun saat mata Jongin terfokus pada tonjolan samar itu, ia dapat melihat kehidupan di sana. Bayinya bersarang di sana. Bayinya sedang menanti waktu kelahirannya. Bayinya akan aman bersama Jiyool dan bukan dirinya.

Kali ini senyuman lebar yang tersungging pada wajah gadis itu. Tampak begitu tulus hingga membuat jantung Jongin seolah melompat dari rongganya. Ia sangat cantik, bak malaikat dengan sinarnya yang menyilaukan. Kira-kira seperti itu definisi Jongin terhadap senyuman lebar Jiyool.

Kepalanya merunduk. Ia tampak ragu apakah akan berbalik dan meninggalkan Jongin, atau tetap diam lebih lama lagi untuk menikmati sisa waktu mereka. Namun suara kecil dalam hatinya memaksanya untuk pergi. Ia tak tahu apa yang akan terjadi pada dirinya jika ia berada di sana lebih lama lagi. Ia tak bisa mencegah hal-hal yang tak sepatutnya ia rasakan dalam kondisi mereka sekarang.

Hingga akhirnya kaki Jiyool melangkah mundur. Satu, dua, dan tiga langkah telah memciptakan jarak kesenjangan lapang di antara mereka. Tubuhnya berbalik, hendak meninggalkan Jongin tanpa berniat menahan diri, namun terhenti kala Jongin memanggil namanya. Suaranya parau. Ia terdengar rapuh, pedih di hati Jiyool.

Mereka kembali bersitatap. Pancaran sedih nampak jelas di kedua mata Jongin. Ia menggenggam jas seragam sekolahnya dengan erat. Tangannya gemetar, mencari tenaga yang menguap entah ke mana. Dehaman beberapa kali meluncur melalui celah bibirnya.

“Jiyool,” panggilnya sekali lagi—kali ini begitu lirih, “jaga bayi kita dengan baik.”

Sesaat selepas kalimat itu terucap, jantung Jiyool serasa tertohok. Keras dan tepat sasaran. Napasnya berat, pandangannya kabur oleh air mata. Di sana, Jongin berdiri dengan senyuman tulus. Usahanya berhasil, ia berhasil mengumpulkan tenaganya dan memberikan Jiyool yang terbaik untuk perpisahan mereka.

Gadis itu mengangguk. Ia mengerjap beberapa kali hingga linangan pertama menuruni salah satu pipinya. “Aku akan menjaganya dengan baik,”

Setelahnya, ia kembali memutar tubuh dan kali ini benar-benar meninggalkan Jongin. Meninggalkan segalanya. Segala hal yang barangkali tak dapat benar-benar ia tinggalkan. Namun biarlah waktu yang memulihkan. Waktu yang akan menghapus dan waktu yang akan membantunya. Prosesnya takkan mudah, Jiyool paham. Namun kendati demikian, ia mau mencoba. Demi kebaikan mereka berdua. Dan Jiyool harap demi bayi mereka juga.

 

(((*)))

 

Pandangannya tertumbuk pada sosok Jiyool yang berlari tergesa-gesa keluar gedung. Kening Sehun mengernyit, ia berusaha menyusul langkahnya. Kendati ia sempat kehilangan jejaknya, namun setelah mengitari gedung sekolah hingga akhirnya tiba di perpustakaan lama, senyuman terkembang lebar pada wajahnya. Ia hendak menghampiri Jiyool, namun mengurungkan niat kala tatapannya menangkap sosok lain di sana.

Sehun dapat melihat dengan jelas parasnya. Tentu ia mengenal orang tersebut. Perasaannya teras aneh, seoalah-olah sesuatu akan terjadi—mengingat riwayat hubungan mereka yang tak baik. Tepat ketika ia hendak memanggil nama Jiyool, tenggorkannya tiba-tiba seakan tersumbat. Mulutnya terbungkam oleh pandangan di sana.

Jongin menatap Jiyool dengan cara yang berbeda. Ada kedamaian di sana, ada kesan sejuk yang membekas, namun ada pula kesedihan yang terpancar jelas. Ia bukan Kim Jongin yang Sehun kenal. Kim Jongin yang selalu menggebu-gebu dan tempramental. Ia seperti sulutan api redup di tengah-tengah rimbunnya pepohonan hutan. Ia tak bercahaya.

Sehun menyembunyikan tubuhnya

Please Subscribe to read the full chapter
Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
suthchie #1
Chapter 22: Nice ending...
Kagum banget sama persahabatan mereka...
Walaupun banyak masalah berat yang mereka hadapi, tapi kekuatan persahabatan mereka tetap berakhir manis...
Untung juga kebahagian berpihak pada jongin jiyool...
suthchie #2
Chapter 21: ayah macam apa seperti tuan kim itu...
apa dia ngak takut bakal ditinggal kan orang disekitranya dan hanya hidup dengan kesendirian...
pantas saja jongin jadi seperti itu
suthchie #3
Chapter 20: ayah jiyool sungguh besar hati...
tapi masalahnya dengan sehun gimana
suthchie #4
Chapter 19: menakutkan juga sih kalo bakal ketahuan sama ayah jongin
suthchie #5
Chapter 18: ya ampunnn part ini bikin aku nangis bombai...
sumaph ngak berhenti mengalir
suthchie #6
Chapter 17: ya ampun... ternyata jongin semenderita itu...
suthchie #7
Chapter 16: walaupun hanya sebagai teman dengan sehun, itu sudah cukup...

wow... jadi jongin teman masa kecil jiyool ya...
suthchie #8
Chapter 15: kasihan banget si sehun...
padahal dia sudah berbeesar hati bakal nerima jiyool lagi, taip... yasudahlah
semoga dapat yang lebih baik ya hun
suthchie #9
Chapter 13: kok kadang kotak comments nya ngk muncul ya...

serius nih perempuan itu kakaknya bukan seseorang yang dulu pernah disukai
suthchie #10
Chapter 13: setidaknya jongin memberi kebahagiaan ke jiyool sesekali