Chapter 09

Touch of Love
Please Subscribe to read the full chapter

 

Cahaya menyilaukan dari teriknya matahari menusuk retina mata Jiyool. Ia mengerjap beberapa kali, membiasakan matanya menerima sengatan panas tata surya. Bibir mungilnya mengeluarkan erangan pelan akibat rasa nyeri yang menyerang leher serta bahunya. Ia menegakkan tubuh sembari menggeliat, mencoba untuk mengendurkan otot-otot kakunya lantaran sudah lama tertidur dalam posisi duduk.

Ia menoleh ke sisi kiri serta kanan; koridor itu tampak lengang, tak ada satu murid pun yang melintas di sana. Tangan Jiyool terangkat untuk menatap arloji yang melingkar di pergelangannya, menyadari bahwa waktu rehat telah usai sekitar lima belas menit yang lalu. Itu berarti ia sudah tertidur di sini sekitar setengah jam lamanya.

Ingatan gadis tersebut melayang pada peristiwa sebelumnya. ia ingat kala Jongin menarik tangannya dan membawanya ke mari. Ia ingat bagaimana lelaki itu melingkarkan lengannya pada bahu Jiyool. Dan ia pula takkan melupakan perasaan hangat yang dikirmkan oleh sentuhan tangannya.

Lalu tubuhnya tersentak, napas Jiyool tercekat dengan jantung berdetak dua kali lipat lebih cepat dari biasanya. Ia panik seakan tak ingin kehilangan sosok Jongin. Kedua bola matanya menilik setiap sudut koridor, jika saja ia menangkap siluet tubuhnya. Namun hasilnya nihil. Kehadiran Jongin tak ia rasakan, melainkan sebuah jas seragam sekolah—yang Jiyool yakin adalah milik lelaki tersebut—membungkus tubuhnya.

Aroma maskulin yang tercium familier oleh Jiyool seakan membuktikannya. Jongin tidak meninggalkannya begitu saja, ia membiarkan Jiyool diselimuti oleh jas seragam sekolah miliknya. Gadis itu pula dapat merasakan lantai hangat di sisi kanannya, menandakan bahwa Jongin baru saja pergi.

Ia ingin mengejarnya, Jiyool ingin mengucapkan terima kasih dan mengembalikan jasnya. Ia ingin melihat wajah Jongin hanya untuk sekadar meyakinkan diri bahwa ini semua bukanlah mimpi. Sebuah asa menyelinap masuk melalui celah hatinya, memberikan cahaya redup pada ruang kelompong di dalam sana. Pikirannya mulai berkelana ke masa depan yang tak pernah terbersit dalam sebelumnya.

Namun Jiyool tak ingin kembali terluka. Ia teringat akan rumitnya Jongin. Ia tahu bagaimana pendirian Jongin yang kerap berubah-ubah. Barangkali saat ini lelaki itu bisa saja besikap baik dan peduli, tetapi tak seorang pun dapat memerediksi apa yang akan terjadi beberapa menit setelahnya. Dan asa itu pun lenyap tak berbekas.

Jiyool menenggelamkan wajah pada jas sergam Jongin, menghirup aroma menyejukkan yang menyebabkan ketenangan di hatinya. Ia berusaha keras untuk tak menumpahkan air mata, menyadari bahwa kenyataan tengah menantinya di depan sana. Perkara masih setia menggelayutinya. Dan perasaan nyaman yang diberikan oleh Jongin hanya bertahan sesaat. Mereka tak abadi, mereka tak membiarkan Jiyool memilikinya, karena ia tahu Jongin tak mungkin lagi memberikan semua itu kepadanya.

Tarikan napas berat yang tersendat-sendat seakan membuktikan bahwa ia masih belum siap keluar dari persembunyiannya. Ia masih ingin meringkuk di sini, merasakan sisa-sisa kehadiran Jongin dan menolak untuk menghadapi masalahnya. Namun Jiyool yakin, kini Soojung pasti tengah mencemaskannya. Maka dengan berat hati, gadis itu bangkit. Kakinya melangkah terseok-seok menyusuri koridor sepi menuju ruang kesehatan. Jiyool tak mungkin datang ke kelas dalam keadaan kacau seperti ini, terlebih ia sudah cukup terlambat untuk menghadiri kelas. Mungkin gadis itu akan mengirim pesan singkat kepada Soojung agar datang menjemputnya di ruangan Miss Seo saat pergantian jam pelajaran nanti.

 

(((*)))

 

“Kau tak nampak semakin baik.” Ujar Miss Seo, menilik wajah kucam Jiyool dengan kedua alis berjingkat tinggi. Ia menyibak rambut yang menutup sebagian wajahnya dan menyelipkannya ke belakang telinga.

Gadis itu tak menjawab, ia hanya menatap Miss Seo dengan pandangan kelompong. Pikirannya sedang berdebat apakah ia harus menumpahkan segalanya atau membiarkan hal ini menjadi rahasia. Bagaimanapun, Miss Seo adalah bagian dari sekolah. Ia bisa saja mengadukan Jiyool yang kini tengah berbadan dua, lalu pihak sekolah akan segera mendepaknya. Ia bahkan belum sempat mengikuti ujian akhir yang akan diadakan dalam sebulan dari sekarang.

Miss Seo menyadari kegamangan yang terpancar di wajah Jiyool. Ia mendekatkan tubuhnya, memegang tangan gadis tersebut seakan-akan meyakinkannya bahwa ia adalah orang yang tepat. Apapun masalah Jiyool, Miss Seo akan berusaha untuk memahaminya.

“Aku tahu kau sudah memeriksakan diri ke dokter, ‘kan?” ia kembali bersuara, lembut dan menenangkan di telinga Jiyool.

Gadis itu mengangguk samar sebagai jawaban. Nyaris tak kentara jika Miss Seo tak begitu memperhatikan.

“Lalu mereka mengatakan apa?”

Jiyool menunduk dalam. Ia menggigit bibirnya begitu keras, berusaha menahan diri agar tak menyuarakan pikiran. Matanya terpejam erat dan kedua jemarinya meremas ujung rok seragam. Melihat hal itu, Miss Seo pun tersadar bahwa sedang ada yang tidak beres. Jantungnya ikut berdebar kencang menunggu jawaban dari Jiyool.

“Miss Seo, apa aku bisa memercayaimu? Kau tak akan memberitahukan hal ini kepada siapapun, ‘kan?” tanya Jiyool lirih, suaranya bergetar.

“Te-tentu saja, aku akan mengunci mulutku. Aku hanya ingin membantumu, Jiyool,”

Atmosfer terasa makin pekat. Jiyool menarik napas dalam untuk menenangkan diri. Ia berusaha memastikan bahwa membiarkan Miss Seo mengetahui perihal kehamilannya takkan membawa bencana baru. Setidaknya, Jiyool sangat membutuhka sosok ibu seperti yang ditawarkan Miss Seo untuknya.

“Aku… ka-kata dokter aku… positif hamil.”

Hanya bisikan yang keluar, terdengar seperti angin lalu, namun telinga Miss Seo menangkap semuanya. Ia berjengit di duduknya dengan napas tercekat. Mata bulatnya menatap Jiyool tak percaya. Sebelum ini, ia tak pernah berpikir bahwa ternyata simptom aneh yang dialami Jiyool itu adalah reaksi dari perubahan hormon. Ia pikir Jiyool berbeda dari gadis-gadis lain. Tapi sisi lain dari dirinya tak ingin memercayai hal itu begitu saja. Setidaknya ia harus mendengar penjelasan dari gadis di hadapannya ini.

“Apa?” sejatinya, ia ingin memekik. Namun hanya lirihan lemah yang meluncur dari bibirnya.

Tangan Jiyool terangkat untuk menyurukkan wajah di balik telapak tangan. Ia menangis untuk yang ketiga kalinya setelah mengetahui kenyataan pahit ini sepekan lalu. Jiyool sudah berusaha bersikap kuat selama ini untuk dirinya sendiri. Ia tak memiliki siapa-siapa di pihaknya selain Soojung. Maka tentu gadis itu harus mencari penopangnya sendiri. Namun kini—di hadapan Miss Seo—Jiyool sama sekali tak dapat membangun kembali dinding pertahanannya. Ia sudah terlalu lelah dan mentalnya seakan jatuh ke dalam palung laut. Ia merasa kecil dan bukan siapa-siapa. Jiyool hanya dapat berharap bahwa Miss Seo takkan meninggalkannya juga kali ini.

“Aku hamil, umurnya sudah lima minggu dan aku diusir dari rumah. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan, aku takut.” Tangis Jiyool membuat seluruh tubuhnya bergetar. Sungguh, Jiyool sangat takut dengan apa yang sedang menantinya di depan sana. Ia tak memiliki apa-apa. Ia dibuang oleh kakaknya sendiri dan Jiyool tak yakin apakah ia mampu membiayai bayi ini setelah kelahirannya.

Tanpa disadari, kedua lengan Miss Seo telah menangkup tubuh kurus Jiyool. Ia memeluknya erat dan menemaninya menangis. Hatinya terasa begitu nyeri melihat kehancuran gadis ini. Ia sudah menganggap Jiyool seperti adiknya sendiri sejak gadis itu kerap menghuni ruangan kerjanya. Semuanya terjadi begitu saja dan tanpa sadar keduanya semakin dekat. Bagaimana mungkin ia tega memarahi perbuatannya dan mencampakkan Jiyool seperti yang dilakukan keluarga gadis tersebut?

“Astaga, Jiyool, kenapa ini bisa terjadi? Bagaimana mungkin mereka mengusirmu dari rumah?” ujar wanita lembut itu di tengah isakan simpatinya. Ia mengelus rambut panjang Jiyool dengan gerakan berulang-ulang. Memeluknya makin erat saat dirasanya tubuh Jiyool terguncang hebat oleh tangisannya sendiri.

Sekian menit lamanya, keduanya membiarkan suasana sunyi mendominasi ruangan. Miss Seo memberikan waktu bagi Jiyool hingga ia merasa lebih tenang. Meja pendek di depan sofa dipenuhi oleh gumpalan tisu.

“Siapa ayahnya?” tanya Miss Seo tiba-tiba, menyentak Jiyool. “Maksudku, dia juga seharusnya sudah tahu, ‘kan, tentang kehamilanmu?”

Gadis itu menggeleng pelan, teringat pada kejadian beberapa waktu lalu. “Aku belum memberitahukannya.”

“Kenapa? Dia harus tahu, Jiyool!”

Jiyool mengembuskan napas berat sebelum akhirnya menceritakan peristiwa sebenarnya serta latar belakang mengapa ia memilih untuk tak memberitahukan Jongin. Dan sebagai balasan, Miss Seo justru mengeluh tak sepaham dengan keputusan Jiyool. Kendati ia tahu maksud gadis itu, namun agaknya kesepakatan mereka sedikit konyol jika kini Jiyool harus mengenyam semuanya sendirian.

“Dia memancingmu, lalu mencampakkanmu setelah mendapatkan keinginannya dan sekarang kau masih mau melepaskannya dari tanggung jawab? Jiyool, orang sepertinya harus diberi pelajaran sekali-sekali. Kau harus memberitahunya!” paksa Miss Seo menggebu. Tentu ia tak bisa melihat Jiyool seperti ini.

“Bagaimana jika ia tak ingin melakukannya? Bagaimana jika ia tak peduli dengan tanggung jawabnya?”

Pertanyaan Jiyool berhasil membungkam mulut Miss Seo. Benar, semua takkan semudah kelihatannya. Jika lelaki tersebut bisa melakukan hal sekeji itu kepada gadis sepolos dan sebaik Jiyool, sudah pasti ia juga takkan segan melenyapkan janinnya.

“Aku tak dapat memahaminya. Terkadang ia bersikap seakan-akan aku adalah makhluk paling menjijikan. Ia sangat membenciku dan kurasa ia bisa saja menelanku bulat-bulat hanya dengan tatapannya. Tapi di lain waktu ia akan bersikap sangat baik seolah tak pernah terjadi apa-apa di antara kami. Seperti halnya tadi, ia meminjamkan bahunya untukku. Ia memelukku dan membiarkanku tidur diselimuti oleh jas seragamnya. Aku bingung.” Jelas Jiyool dengan pandangan menerawang.

“Siapa dia?” tanya Miss Seo penasaran. “Bukankah itu berarti dia juga salah satu murid di sekolah ini?”

“Sahabat Sehun.” Jawabnya lirih.

“Lebih tepatnya?”

Tak ada jawaban dari Jiyool. Gadis itu merasakan jantung yang seakan sedang berusaha memecahkan rongga dadanya. Hanya dengan menyebutkan nama lelaki itu pun telah membuatnya kehilangan kendali diri. Lalu apa yang harus dilakukannya nanti jika dirasa ia perlu mengabari tentang janin yang ia tinggalkan di dalam rahim Jiyool?

“Kim… Kim Jongin.”

Napas Miss Seo tercekat di tenggorkan. Oh, tentu ia tahu bocah itu. Seluruh penghuni sekolah pasti mengenalnya. Ayahnya adalah penyumbang dana terbesar untuk sekolah ini. Ia salah satu murid yang sering menjadi pembicaraan para guru lantaran sejak setahun belakangan nilai-nilainya menyusut drastis. Miss Seo tahu bahwa dulunya Jongin selalu berada dalam peringkat sepuluh besar. Namun sekarang, dua puluh besar pun ia tak masuk. Belum lagi ia kerap mendengar murid-murid perempuan lainnya selalu membicarakan Kim Jongin. Dan ia yakin bahwa reputasi playboy menempel lekat pada namanya.

“Jiyool, aku tidak salah dengar, ‘kan? Kim Jongin?”

“Ya, Kim Jongin.” Tegas Jiyool, berhasil menyentak Miss Seo dari keterkejutannya.

“Tidak mungkin…” gumam wanita itu masih dengan mata membeliak. Udara seakan menipis dalam sekejap, membuatnya harus membuka mulut lebih lebar lagi untuk membantu hidung mungilnya menyuplai oksigen.

“Kuharap itu juga tidak mungkin, tapi semua sudah terjadi. Sekarang aku sedang mengandung.”

Sesaat setelah Jiyool menyuarakan kalimatnya, Miss Seo pun hanya dapat menarik tangan gadis tersebut dan memeluknya sekali lagi. Sekonyong-konyong ia tak tahu bagaimana caranya menenangkan Jiyool. Masalahnya tak semudah yang ia bayangkan. Gadis di hadapannya ini sedang berurusan dengan Kim Jongin. Murid bermasalah yang selalu menggunakan kelebihannya untuk menghancurkan hidup orang lain. Ia sendiri tak yakin apakah nantinya lelaki tersebut akan bertanggung jawab pada bayi yang kini dikandung Jiyool.

Satu jam berlalu begitu cepat, bel tanda pergantian pelajaran pun berdering. Jiyool menegakkan tubuh dan membenarkan posisi duduknya di atas sofa. Sementara Miss Seo, ia kembali berkutat di meja kerjanya sejak beberapa menit lalu.

Mata Jiyool menatap lekat pintu ruang kesehatan, yakin bahwa tak lama lagi Soojung akan menerobos masuk dan mencari dirinya. Ia sudah mengirim pesam kepada sahabatnya itu, mendapat balasan satu menit kemudian dengan rentetan pertanyaan. Jiyool sengaja tak membalasnya lantaran ia tahu bahwa Soojung sedang berada di tengah-tengah pelajaran.

Benar saja dugaannya, sosok Soojung muncul dengan napas terengah-engah dan baju seragam yang tampak serampangan. Ia lantas menghampiri Jiyool, menariknya ke dalam pelukan dan mengistirahatkan kepalanya di bahu gadis itu. Pertama, ia merasa letih karena kelas mereka berada di lantai dua dan berjarak cukup renggang dari ruang kesehatan. Kedua, ia sudah kepalang panik dan kuatir jika saja Jongin melakukan sesuatu kepada sahabatnya. Soojung tidak buta, ia melihat Jongin yang menarik Jiyool keluar dari kafetaria sesaat setelah gadis itu tak dicampakkan oleh Sehun. Tentu Soojung ingin menghentikan mereka, namun ia terlampau terkejut untuk dapat bergerak cepat. Terlebih, ekspresi yang ditunjukkan Jongin bukanlah ekspresi yang biasa ia temui pada wajah lelaki itu. Tatapannya ke Jiyool begitu lembut, penuh perhatian dan kecemasan. Soojung sama sekali tak menemukan seringaian jahatnya, senyuman timpang itu seakan tak pernah bersarang di sana. Dan ketika kesadarannya sudah terkumpul penuh, ia baru menyadari bahwa ia kehilangan jejak mereka.

“Kau t

Please Subscribe to read the full chapter
Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
suthchie #1
Chapter 22: Nice ending...
Kagum banget sama persahabatan mereka...
Walaupun banyak masalah berat yang mereka hadapi, tapi kekuatan persahabatan mereka tetap berakhir manis...
Untung juga kebahagian berpihak pada jongin jiyool...
suthchie #2
Chapter 21: ayah macam apa seperti tuan kim itu...
apa dia ngak takut bakal ditinggal kan orang disekitranya dan hanya hidup dengan kesendirian...
pantas saja jongin jadi seperti itu
suthchie #3
Chapter 20: ayah jiyool sungguh besar hati...
tapi masalahnya dengan sehun gimana
suthchie #4
Chapter 19: menakutkan juga sih kalo bakal ketahuan sama ayah jongin
suthchie #5
Chapter 18: ya ampunnn part ini bikin aku nangis bombai...
sumaph ngak berhenti mengalir
suthchie #6
Chapter 17: ya ampun... ternyata jongin semenderita itu...
suthchie #7
Chapter 16: walaupun hanya sebagai teman dengan sehun, itu sudah cukup...

wow... jadi jongin teman masa kecil jiyool ya...
suthchie #8
Chapter 15: kasihan banget si sehun...
padahal dia sudah berbeesar hati bakal nerima jiyool lagi, taip... yasudahlah
semoga dapat yang lebih baik ya hun
suthchie #9
Chapter 13: kok kadang kotak comments nya ngk muncul ya...

serius nih perempuan itu kakaknya bukan seseorang yang dulu pernah disukai
suthchie #10
Chapter 13: setidaknya jongin memberi kebahagiaan ke jiyool sesekali