Chapter 14

Touch of Love
Please Subscribe to read the full chapter

 

Akhir pekan, waktu yang sudah dinanti-nantikan Jiyool akhirnya tiba. Kendati sejatinya ia tak ingin bersantai, namun apa yang dapat dilakukan seorang ibu hamil seperti dirinya? Kini tubuhnya terasa mudah lelah, terkadang ia merasa tak ingin mengikuti pelajaran tambahan di sekolah saat dirasanya seluruh otot tubuh menolak untuk berkompromi. Namun kala teringat dengan ujian yang akan dilaksanakan pekan depan, mau tak mau Jiyool harus memaksakan diri.

Ia menggeliat di tempat tidur—meregangkan ototnya yang kaku—kemudian menatap langit-langit kamar dengan pandangan kelompang. Ia merasa tak ingin keluar dari dalam selimut, ia ingin menghabiskan waktunya di dalam kamar dan bermalas-malasan. Namun suara gaduh yang berasal dari arah ruang tamu seakan memaksa matanya untuk membuka lebar. Kening Jiyool mengerut bingung. Ia bangkit dari tidurnya, berjalan ke arah cermin di sudut kamar untuk memeriksa penampilan sebelum akhirnya keluar.

Di sana, ia menemukan Minhyuk tengah berbicara dengan salah seorang lelaki berseragam serta mengenakan topi. Tampaknya ia sedang menanda tangani sesuatu yang diberikan oleh petugas pria tersebut. Sementara dua orang lainnya tengah sibuk menggotong sebuah tempat tidur bayi dan berbagai bingkisan yang berisi mainan serta perlengkapan bayi.

Jiyool tercengang, mulutnya tak dapat terkatup rapat, matanya membeliak lebar—terfokus pada tempat tidur yang kini ditempatkan di tengah-tengah ruang tamu. Ia tersentak kala Minhyuk menutup pintu dengan helaan napas, berhasil menarik atensi Jiyool.

“Oh, kau sudah bangun?” ujarnya sembari menghampiri sang Adik.

Jiyool mengangguk pelan, tatapannya masih tampak kosong.

“Kau yang membeli semua ini?”

“Ti-tidak! Siapa yang membelinya? Ayah?”

“Aku tidak yakin Ayah yang membeli semuanya. Kau tahu, dia lebih memilih untuk mengirit dan mengeluarkan uang saat kelahiran bayimu sudah dekat. Kupikir kau yang membelinya.”

Gadis itu menggeleng cepat. Dari mana ia bisa mendapatkan uang dalam waktu singkat untuk membelikan perlengkapan bayinya? Bahkan ia yakin, untuk tempat tidurnya, itu adalah kualitas terbaik. Terbukti dari berat dan halusnya kayu yang digunakan, sampai-sampai membutuhkan dua orang untuk mengangkutnya.

“Lalu siapa? Aku sudah menelepon Soojung dan dia bilang tak pernah membeli semua ini kecuali kaus bayi yang ia beli bersamamu waktu itu.”

Wajah Jiyool memucat. Ia bergegas menghampiri bingkisan serta tempat tidur bayinya dan memeriksa jika orang itu meninggalkan sebuah pesan di sana. Namun nihil, Jiyool sama sekali tak menemukan sesuatu.

Minhyuk mengernyitkan kening melihat tingkah sang Adik. Ia ikut berdiri di sisinya dan membongkar barang-barang di sana.

“Apa yang kaucari?” tanya Minhyuk tanpa menghentikan gerakan tangannya.

“Kupikir dia meninggalkan sebuah pesan, tapi sepertinya tidak.”

“Dia? Kau tahu orangnya?”

Jiyool membisu. Ia berusaha menyembunyikan wajahnya di balik helaian rambut. Tentu saja ia tahu, ia ingat betul dengan ucapan Jongin semalam.

‘Oh, aku lupa. Besok pagi pesananku akan tiba di rumahmu.’

Kalimat itu berkumandang di dalam kepalanya, begitu pula dengan kerlingan mata Jongin. Kedua pipinya bersemu, membuat hidungnya menjadi kembang-kempis akibat napas yang memburu. Oh astaga, Jiyool benar-benar tak bisa menyembunyikan perasaannya lagi. Namun tentu ia harus mengesampingkan semua itu, mengingat kesepakatan yang sudah mereka buat. Ia tak ingin kian terjerumus oleh kebodohannya sendiri.

“Jing?” Minhyuk mengguncang bahu Jiyool, mengakibatkan lonjakan kaget yang membuat kakinya terbentur tungkai tempat tidur.

“Kau tahu siapa yang yang mengirim semua ini?”

Jiyool menggigit bibirnya. Ia tak ingin memberitahu Minhyuk. Bagaimana jika tanpa sadar ia justru membeberkan identitas ayah bayinya? Bagaimana jika Minhyuk tahu dan mengambil tindakan gegabah seperti yang ia lakukan kepada Sehun?

“Katakan, Jing,” suaranya rendah, penuh penekanan. Dan sebagai Kang Jiyool yang biasanya, ia tentu tak berani membantah perintah Minhyuk.

“Dia… ayah bayiku.” Jawabnya lirih, berhasil membuat Minhyuk tercekat.

“Ayah bayimu? Kupikir dia—” matanya melebar, “jangan bilang semalam kau pergi dengannya?”

“A-aku…” Jiyool tak dapat melanjutkan kalimat. Ia kehabisan kata-kata, ia gugup, ia takut. Ia tak ingin Minhyuk menyakiti Jongin jika lelaki itu mengetahui kebenarannya, karena menurutnya, perkara dengan Jongin telah usai.

Helaan keras menluncur dari bibir tipis Minhyuk. Ia memegang bahu Jiyool berusaha menenangkan kepanikan gadis tersebut. Memaksa matanya agar bertemu dengan kedua manik cokelat miliknya—yang mana Jiyool menuruti keinginannya.

“Tidak apa-apa jika kau tak ingin cerita. Aku menghargai keputusanmu yang tak ingin identitas laki-laki brengsek itu diketahui. Lagipula memang lebih baik seperti itu jika kau tak mau melihatku membusuk di penjara.”

Senyuman kecil terpeta pada wajah Jiyool setelah mendengar candaan sang Kakak. Setidaknya Minhyuk mulai belajar untuk menerima segalanya dan tak begitu menekannya.

 

(((*)))

 

Senin pagi di sekolah, Jiyool sama sekali tak dapat berkonsentrasi pada pelajaran yang tengah diterangkan Lee Sonsaengnim. Itu dikarenakan Soojung yang tak henti-hentinya menanyakan perihal kiriman akhir pekan yang diterima Jiyool. Ia sama sekali belum menceritakan tentang kencannya dengan Jongin—Jiyool tak siap menerima rantaian pertanyaan yang ia sendiri tak yakin apakah ia mampu menjawabnya. Namun hal itu tak kunjung membuat Soojung mengatupkan bibir. Beberapa kali mendapat teguran dari Lee Sonsaengnim hingga akhirnya guru wanita berkaca mata itu menghukum keduanya untuk tidak mendapatkan waktu istirahat pertama. Ugh, Jiyool benci ini. Tetapi tidak bagi Soojung, karena itu artinya sahabatnya tersebut tak bisa menghindari pertanyaannya lagi.

Tepat ketika bel berbunyi, keduanya melangkah menuju ruang kesehatan seperti yang diperintahkan Lee Sonsaengnim. Guru itu menyuruhnya untuk menjadi sukarelawan di sana dan tak diijinkan keluar sebelum bel berakhirnya waktu rehat berbunyi. Itu artinya tak ada kafetaria dan tidak ada makan bagi Jiyool serta Soojung. Mengingat kini ia tak sendiri lagi, tentu Jiyool kerap merasa lapar. Ia membuat catatan di dalam benaknya agar meminta Soojung untuk membayar kerugian yang sudah ia sebabkan. Tentu saja dengan mentraktirnya di restoran Jepang favorit Jiyool.

Deritan suara halus dari daun pintu yang didorong Soojung menyentak kepala Miss Seo untuk memeriksa siapa orang yang telah mengusik pekerjaannya. Rautnya melembut kala mendapati sosok Soojung serta Jiyool yang muncul di sana. Ia berdeham pelan, menyuruh keduanya masuk dan duduk di sofa di tengah-tengah ruangan.

“Aku sudah menerima pesan dari Lee Sonsaengnim. Dan apa yang kalian lakukan selama pelajaran?” tanya wanita itu sembari bangkit dari meja kerjanya dan menghampiri dua murid yang kini sedang menerima hukuman mereka.

Jiyool mendelik ke arah Soojung. Selama ia bersekolah di sini, Jiyool memang jarang mendapat hukuman. Tetapi sekalinya ia menerima hal itu, tentu penyebabnya adalah Soojung. Tak perlu dipertanyakan lagi, para guru pun sudah maklum, namun mereka masih harus tetap menghukum Jiyool lantaran ia pula ikut menyebabkan keributan di kelas.

“Sudah kuduga.” Desah Miss Seo sembari tersenyum geli kepada Soojung, “kalian beruntung Lee Sonsaengnim memilih ruang kesehatan sebagai tempat penahanan kalian. Dan kebetulan juga aku sedang tidak banyak pekerjaan, jadi kau bisa bersantai-santai. Oh, Jiyool, bagaimana kandunganmu? Kau sudah jarang mengunjungiku lagi.”

Jiyool menoleh dan mendapati wajah sedih Miss Seo. Ia jadi merasa bersalah. Niatnya memang ingin menghindari wanita itu karena ia masih belum siap membeberkan segalanya. Jujur, penolakan Jongin beberapa minggu lalu masih melukai hatinya. Tentu Jiyool tak ingin membuka luka yang mulai memulih.

Ia meyentuh perutnya sebelum akhirnya menjawab, “semuanya sehat, dia tumbuh dengan baik. Maafkan aku karena tak pernah berkunjung kemari lagi. Meski ruangan kerjamu terkadang membuatku sedikit tergoda, tapi dalam waktu dekat ujian akhir akan segera dimulai. Aku tak ingin terlalu sering absen.”

“Benar, kau tak boleh tertinggal pelajaran.” Ujar Miss Seo. “Lalu, ceritakan padaku apa saja yang sudah terjadi selama kau tak kemari.”

Jiyool menggigit bibir bawahnya. Ia melirik Soojung serta Miss Seo yang kini sedang menunggu jawabannya. Sungguh, Jiyool harap ia memiliki kekuatan magis untuk menghilang atau menghapus ingatan kedua orang ini agar mereka tak selalu menanyakannya lagi. Ia sama sekali tak dapat berkelit kali ini, jadi dengan berat hati Jiyool pun mulai menceritakan segalanya dari awal. Tentang penolakan Jongin, tentang keputusannya untuk tak menggugurkan kandungan, tak luput pula tentang kencan mereka pada akhir pekan lalu seusai sekolah. Kendati Soojung sudah mendengar semuanya, namun ia tetap mendengarkannya. Sesekali menganggukan kepala saat Miss Seo menatapnya untuk menanyakan kebenaran dari cerita Jiyool.

Tetapi tidak bagi cerita terakhirnya. Kedua orang tersebut sama-sama tak percaya mengenai kencan mereka. Bahkan Soojung berkali-kali menyela ucapan Jiyool hanya untuk menanyakan bahwa ia tak sedang delusional saat itu.

Lalu tiba pada topik bingkisan serta tempat tidur bayi. Miss Seo sampai harus mengguncang bahu Jiyool.

“Kau yakin itu Jongin yang mengirimnya? Maksudku, Kim Jongin, ayah dari bayimu?” tanya wanita itu dengan mata membeliak lebar.

Jiyool mengangguk mantap, “sangat yakin. Pada saat kencan ia mengatakan bahwa pagi esok pesanannya akan tiba di rumahku.”

Sesaat, suasana menjadi sunyi. Soojung menatap lantai dengan pandangan kosong. Miss Seo mengerjapkan mata beberapa kali, masih tak memercayai pendengarannya. Jelas-jelas telinganya tidak sedang bermasalah. Namun mengingat saat ini mereka sedang membicarakan Kim Jongin, Jiyool cukup maklum jika kedua orang tersebut masih sulit memercayainya.

 

(((*)))

 

“Jongin, awas!”

Belum sempat lelaki itu bereaksi pada dengkingan Sehun, sebuah bola menghantam wajahnya cukup keras. Tubuhnya oleng hingga ia terjerembab ke atas tanah. Penglihatannya berputar, permukaan kulit wajahnya terasa panas. Teman-temannya mulai berkerumun dan Sehun segera memegang kedua sisi wajah Jongin untuk memastikan kondisinya.

“Ya Tuhan, hidungmu berdarah!” pekiknya terkejut.

Jongin mengangkat tangan untuk menyeka leleha

Please Subscribe to read the full chapter
Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
suthchie #1
Chapter 22: Nice ending...
Kagum banget sama persahabatan mereka...
Walaupun banyak masalah berat yang mereka hadapi, tapi kekuatan persahabatan mereka tetap berakhir manis...
Untung juga kebahagian berpihak pada jongin jiyool...
suthchie #2
Chapter 21: ayah macam apa seperti tuan kim itu...
apa dia ngak takut bakal ditinggal kan orang disekitranya dan hanya hidup dengan kesendirian...
pantas saja jongin jadi seperti itu
suthchie #3
Chapter 20: ayah jiyool sungguh besar hati...
tapi masalahnya dengan sehun gimana
suthchie #4
Chapter 19: menakutkan juga sih kalo bakal ketahuan sama ayah jongin
suthchie #5
Chapter 18: ya ampunnn part ini bikin aku nangis bombai...
sumaph ngak berhenti mengalir
suthchie #6
Chapter 17: ya ampun... ternyata jongin semenderita itu...
suthchie #7
Chapter 16: walaupun hanya sebagai teman dengan sehun, itu sudah cukup...

wow... jadi jongin teman masa kecil jiyool ya...
suthchie #8
Chapter 15: kasihan banget si sehun...
padahal dia sudah berbeesar hati bakal nerima jiyool lagi, taip... yasudahlah
semoga dapat yang lebih baik ya hun
suthchie #9
Chapter 13: kok kadang kotak comments nya ngk muncul ya...

serius nih perempuan itu kakaknya bukan seseorang yang dulu pernah disukai
suthchie #10
Chapter 13: setidaknya jongin memberi kebahagiaan ke jiyool sesekali