Chapter 07

Touch of Love
Please Subscribe to read the full chapter

 

Pada rabu pagi, Soojung serta Jiyool menghubungi pihak sekolah dan mengatakan bahwa mereka tak dapat menghadiri proses belajar-mengajar hari itu. Dan kini keduanya tengah terduduk di ruang tunggu sebuah klinik, menunggu nama Jiyool dipanggil. Tentu saja ia tak mengatakan bahwa mereka memiliki janji temu dengan dokter kandungan. Dan alibi yang paling tepat adalah; acara keluarga yang tak bisa dihindari. Cukup klise, namun hanya itu yang terbersit di benak Soojung kala ia menghabiskan satu jam lamanya untuk menemukan sebuah alasan.

Jemari Jiyool saling bertaut di atas pangkuannya, tak berani mengangkat kepala—takut jika mendapati wajah seseorang yang ia kenal. Jawaban apa yang harus ia berikan nanti jika mereka bertanya perihal kunjungannya ke klinik kandungan seperti ini? Belum lagi ia merasa mentalnya masih belum siap untuk menghadapi kenyataan berikutnya. Kepastian yang selama ini masih menjadi tanda tanya samar di dalam benaknya.

Tak lama kemudian, waktu yang ditakutkan Jiyool akhirnya tiba. Seorang suster memanggil namanya dan mempersilakannya masuk ke dalam ruang periksa. Namun ia masih terpaku di tempat—seakan-akan bokongnya menempel erat pada permukaan kursi. Jiyool harap waktu berhenti dan lantai di bawahnya terbelah untuk menelan dirinya hidup-hidup. Ia tak ingin masuk ke dalam sana.

Melihat ketidakyakinan sang Sahabat, Soojung pun berdiri dari duduknya dan menarik kedua bahu Jiyool untuk mengikuti langkahnya. Ia tak mengucapkan sepatah katapun, namun tatapannya mencoba untuk meyakinkan Jiyool bahwa segalanya akan berjalan dengan baik. Tak ada yang perlu ditakuti karena ia akan selalu berada di sana untuk menopangnya.

Tak memiliki pilihan lain, Jiyool akhirnya menggamit lengan Soojung dan bersama-sama memasuki pintu bercat putih tersebut. Di dalam, mereka disambut oleh senyuman ramah seorang dokter wanita yang berusia sekitar di pertengahan tiga puluhan. Matanya sipit dengan kulit putih pucat, namun memiliki aura menenangkan yang membuat atmosfer tegang di sekitar mereka sedikit terkikis.

“Halo, Soojung, apa kabar?” tanyanya lembut, mengenali wajah familier Soojung.

Gadis itu membalas senyuman si Dokter sebelum akhirnya menjawab, “Baik, lama tidak bertemu, Dokter Han.”

“Ada apa? Kakakmu mengandung lagi?”

Kepala Dokter Han mendongak untuk mencari sosok mungil Sooyeon, namun tak didapatinya mantan pasiennya tersebut. Keningnya mengerut manakala ia mendapati Soojung berdiri canggung sembari menggaruk tengkuk. Lalu mata Dokter Han beralih pada Jiyool yang sejak tadi hanya menatapnya dalam diam dengan jantung berdebar kencang, seakan-akan dapat memecahkan rongga dadanya.

“Oh, maaf, silakan duduk.” Ujarnya cepat setelah tersadar ia belum mempersilakan keduanya.

Soojung menarik bangku untuk Jiyool, lalu menarik bangkunya sendiri. Untuk beberapa sekon lamanya, ketiganya masih membisu, atau lebih tepatnya kedua gadis itu bingung harus mengawalinya dari mana. Ini pertama kalinya bagi Jiyool, sementara Soojung juga tak pernah berada dalam situasi seperti ini sebelumnya.

“Jadi, ada yang bisa kubantu? Kau memiliki keluhan?” Dokter Han kembali memecah keheningan, menyebabkan Jiyool berjengit dari duduknya.

“Te-temanku… ingin memeriksakan sesuatu.” Jawab Soojung, berusaha menghindari mata Dokter Han.

“Ya, tentu saja. Tapi bisa kau jelaskan apa yang ingin diperiksa?”

Jiyool menggigit bibir bawahnya sembari berdeham beberapa kali, mencari suaranya yang menguap akibat rasa gugup. Mata Dokter Han kembali tertumbuk pada sosok payah Jiyool. Dan gadis itu kini sedang berusaha keras untuk tak tampak ciut, mengesampingkan rasa takut serta malunya.

“Mm… sudah beberapa minggu ini aku tak mendapatkan tamu bulananku, lalu sekitar tiga atau empat hari yang lalu aku membeli alat tes kehamilan dan mengeceknya. Dua kali kucoba dan hasilnya tetap sama.” Jiyool berhenti, meneliti mimik wajah Dokter Han yang tak berubah sama sekali. Ia tetap tampak tenang dan tak ada tatapan intimidasi darinya.

“Apa hasil dari tes itu?” tanyanya lembut.

“Dua garis.” Ia memejamkan mata manakala dua kata tersebut keluar dari bibir mungilnya. Jiyool dapat merasakan getaran yang merambat dari ujung jemari kaki, menjalar keseluruh tubuhnya. Perut gadis itu terasa seakan diaduk kasar, hingga lambungnya membuat pergerakan aneh yang acap kali ia rasakan akhir-akhir ini.

Ia membuka mata setelah mendengar tarikan napas panjang Dokter Han. Kedua jemarinya bertaut sembari menyunggingkan senyum simpul. Ia memberikan Jiyool sebuah alat tes yang bentuknya nyaris sama seperti yang ia beli bersama Soojung kemarin dulu, lalu memintanya mengetes urin—lagi—dan memberikan hasilnya kepada seorang suster di depan ruang periksa.

Gadis itu menurut. Ditemani oleh Soojung, ia mengetes urin untuk yang ketiga kalinya. Dan tanpa melihat hasil yang muncul, Jiyool memberikan benda tersebut kepada suster yang dimaksud Dokter Han. Mereka kembali terduduk di ruang tunggu selama sekitar dua puluh menit hingga nama Jiyool dipanggil kembali.

“Jadi, Jiyool, bagaimana jika kau berbaring di sana agar aku dapat memeriksamu?”

Sesuai dengan instruksi wanita tersebut, Jiyool mengangkat bajunya dan membiarkan Dokter Han mengoles semacam gel ke permukaan perut ratanya. Ia meraih sebuah alat yang tersambung oleh kabel pada sebuah mesin bermonitor. Jiyool menarik napas dalam, mengembuskannya secara perlahan—seperti yang diperintahkan Dokter Han. Ia terus mengulangi hal itu sampai akhirnya tangan si Dokter berhenti pada area bawah perutnya. Dan di sana, Jiyool melihat sebuah gumpalan titik kecil pada layar monitor. Ia berdenyut-denyut, menghasilkan bunyi lemah yang tak asing lagi di telinganya. Persis sama seperti yang ia dengar satu tahun lalu ketika menemani Soojung mengantar Sooyeon kemari.

“Oh, sepertinya bayimu sehat, Jiyool-ssi. Usianya sudah memasuki empat minggu, sesuai dengan perhitungan komputer.” Ujar Dokter Han bersemangat. Matanya tak lepas menatap layar, sama halnya dengan Jiyool. Ia masih tak memercayai penglihatannya. Di dalam sana memang benar-benar ada kehidupan lain. Janin itu tertanam dan tumbuh, tepat di dalam perutnya. Bayinya. Darah dagingnya. Dan darah daging Jongin.

Jiyool dapat merasakan selaput bening yang menggenangi pelupuk matanya. Ia mengusap cairan itu beberapa kali untuk menghalau aliran di pipinya. Tangan Soojung terulur, menggenggam jemari Jiyool dengan erat. Ia sendiri tak bisa mengucapkan apa-apa. Seolah-olah sudah kehabisan kata-kata dan hanya memiliki ekspresi wajah untuk menyampaikan perasaannya saat ini. Sejak kehamilan pertama Sooyeon, ia selalu merasa luar biasa setiap kali melihat sosok kecil tersebut serta mendengarkan bunyi detak jantungnya. Namun kini, Soojung tak tahu harus merasa seperti apa. Ini benar-benar di luar ekspektasinya.

Setelah Dokter Han membersihkan gel di perut Jiyool, mereka pun kembali duduk di bangku masing-masing. Wanita itu membaca sebuah kertas keterangan yang sudah ada di meja kerjanya sejak tadi. Menarik napas dalam, lantas menatap Jiyool dengan pandangan abstrak. Ia tahu sejak awal bahwa bayi ini hasil dari ketidaksengajaan. Mengingat usia Soojung yang masih remaja, tampkanya Dokter Han sudah menyadari apa yang sedang terjadi pada teman gadis itu.

“Baiklah, sesuai tes yang kaulakukan tadi, di sini tertulis bahwa kau positif mengandung. Ditambah dengan hasil USG, semuanya sudah jelas. Kandunganmu baru berusia 4 minggu, akan memasuki lima dalam waktu dekat. Semuanya sehat, detak jantungnya juga normal. Tapi tampaknya kondisimu sedang tidak baik. Apa kau makan dengan teratur? Istirahatmu cukup? Kau tak melakukan aktifitas berat, ‘kan?” jelas Dokter Han dengan pertanyaan beruntun yang membuat Jiyool bingung dengan jawabannya.

“A-aku… tidak, aku tidak bisa makan dengan teratur karena selalu merasa mual. Dan terkadang mengalami insomnia hingga merasa begitu mengantuk di pagi hari. Aku hanya bisa beristirahat sebentar di ruang kesehatan sekolah. Lalu untuk aktifitas lain, beberapa hari terakhir aku mulai mengikuti kegiatan olah raga lagi untuk pengambilan nilai akhir.” Balas gadis itu, gemetar.

Dokter Han mengangguk mengerti. Ia meraih batang pena dan menuliskan resep vitamin untuk Jiyool tanpa banyak bicara. Sementara Soojung hanya dapat menatap sang Sahabat dengan pandangan simpati. Mendapati Jiyool yang kini sedang menatap lurus ke arah tangan Dokter Han yang tengah menulis resep, dengan kening mengernyit. Ia beberapa kali membuka mulutnya seakan ingin mengucapkan sesuatu, namun terkatup kembali. Hingga ketika Dokter Han akan menyerahkan resep vitamin tersebut, sebuah kalimat yang tak pernah terbersit di kepala Soojung meluncur begitu saja dari bibir Jiyool.

“Bagaimana jika aku ingin menggugurkannya?”

Sunyi. Tak ada suara yang keluar dari ketiganya. Mereka menatap Jiyool, terpekur, kendati hal itu tak terlalu mengejutkan Dokter Han. Ia sudah sering mendapatkan pasien dengan kasus yang mirip seperti milik Jiyool. Dan tak jarang pula dari mereka yang meminta jalan aborsi sebagai satu-satunya pilihan.

“Tentu saja bisa,” ujarnya sembari menganggukkan kepala. “Sesuai dengan peraturan negara, setiap klinik dan rumah sakit diijinkan melakukan praktik aborsi jika si Ibu adalah korban pemerkosaan atau dalam pengaruh alkohol dan janinnya berusia di bawah dua belas minggu. Tapi Jiyool, aku tak bisa langsung menyetujuinya. Kau tahu, itu sebuah kehidupan yang akan kaurenggut. Terlebih, kau masih punya delapan minggu untuk berpikir ulang. Jika memang keputusanmu sudah bulat, kau bisa kembali ke sini dan melakukan prosedurnya.”

Dokter Han mengambil sebuah kertas dari dalam lemari dokumen di sisi meja kerjanya, lalu menyerahkan kertas tersebut kepada Jiyool.

“Kau simpan surat ini dan tanda tangani jika keputusanmu sudah sangat matang. Ingat, kau hanya punya delapan minggu.”

Jiyool meraih surat yang diberikan Dokter Han, membaca setiap kalimat yang tercetak rapi di atas sana. Sudah jelas bahwa itu adalah surat keterangan persetujuan dari orang yang bersangkutan untuk melakukan prosedur aborsi. Mata Jiyool tertumbuk lekat pada setiap deret katanya. Ia merasa mual, benar-benar mual hingga tak dapat ditahan lagi. Seakan-akan janin di dalam kandungan gadis itu tahu apa yang sedang ia pikirkan dan berusaha untuk mengalihkannya. Tanpa sempat ia sadari, kakinya sudah melangkah cepat meninggalkan ruangan Dokter Han menuju kamar kecil umum di ujung koridor. Ia memegang sisian toilet dan memuntahkan seluruh isi lambungnya.

 

(((*)))

 

“Kau yakin dengan keputusanmu?” tanya Soojung ketika ketika keduanya berada di kamar gadis tersebut.

Tak ada jawaban dari Jiyool, pikirannya masih melayang entah kemana. Matanya menatap kosong keluar jendela, mengenang kejadian beberapa jam yang lalu. Ia mendengar detak jantung bayinya. Ia melihat sosok gumpalan kecil yang bersarang di dalam rahimnya. Dan Jiyool sendiri tak yakin apa yang ia rasakan selama melalui semua proses itu. Apakah ia bahagia? Apakah ia tersentuh? Atau apakah ia sangat menyesali kehadiran janin ini di waktu yang tidak tepat?

Jangankan Soojung dan Dokter Han, Jiyool pun terkejut mengapa ia bisa meminta Dokter Han untuk menggugurkan janin tersebut. Barangkali lantaran terlalu banyak hal yang memenuhi ruang dalam kepalanya. Ia takut jika Minhyuk dan ayahnya tahu, Jiyool tak ingin melepaskan Sehun, dan ia tidak bisa menyia-nyiakan masa depannya begitu saja. Ia sudah menunggu lama untuk mencapai tahap ini, mengeluarkan banyak keringat dan kerja keras. Merenggut masa kecilnya untuk dihabiskan dengan belajar dan belajar.

“Jing, apa kau yakin?” tanya Soojung sekali lagi karena tak urung ada jawaban dari Jiyool.

Gadis itu tersentak, menatap Soojung dengan mata bulatnya seakan-akan baru kali ini ia mendengar suara sang Sahabat. Jiyool mengerjap beberapa kali dengan wajah tolol, membuat Soojung mendengus kesal.

“Kubilang, kau yakin dengan keputusanmu tadi?”

Baru saja ia memikirkan tentang keputusan tersebut dan sekarang Soojung sedang menanyakannya? Tentu Jiyool tak punya jawaban. Ia sendiri tidak tahu.

“Itu memang kesalahan, aku mengerti. Tapi… saat ini dia hidup di dalam sana. Dia memiliki detak jantung, dia juga tidak tahu apa salahnya. Kau tega membunuhnya begitu saja?”

Soojung kembali bersuara, menampar Jiyool pelak—tepat sasaran. Rongga dadanya seolah-olah menyempit, menjepit paru-paru serta jantungnya, memperkecil saluran udara dan menghambat aliran darahnya. Jiyool berusaha untuk menenangkan diri, ia mengambil napas dalam lalu mengembuskannya perlahan. Namun tak juga merasa tenang. Perasaan bersalah seakan mengguyur seluruh tubuhnya.

“Aku tak memiliki opsi.” Ujar Jiyool sambil merunduk. Ia menekuk kedua lututnya dan memeluknya dengan erat. Menyembunyikan wajah di sana untuk menghindari tatapan Soojung.

“Tentu saja kau punya. Semua orang punya pilihan, Jiyool.” Tegas gadis itu dengan nada frustasi.

Namun Jiyool menjawabnya dengan gelengan pelan serta gumaman tak jelas yang meluncur dari bibir mungilnya. Soojung tak dapat mendengarnya, namun ia yakin bahwa Jiyool sedang mengulangi kalimatnya tadi.

“Dengar, aku tahu ini tak mudah. Pilihan pertama, jalan keluar satu-satunya memang menggugurkan janin itu. Tapi kau juga masih punya satu pilihan,” ia berhenti sejenak untuk mengambil napas kemudian melanjutkan, “jangan gugurkan dan hadapi semua. Mungkin jika aku berada di posisimu, aku akan memikirkan hal yang sama. Tapi aku tetap akan memilih pilihan kedua. Biar bagaimanapun janin itu adalah tanggung jawabmu. Kau yang membuatnya ada di dalam sana—”

Jiyool mengangkat kepalanya cepat ketika ia mendengar ucapan Soojung, menatap sang Sahabat dengan pandangan tak terima. Jiyool sadar ini memang salahnya, tapi tentu ia tak akan hamil jika ini hanya salahnya sendiri. Bagaimana dengan Jongin?

“—Baiklah, kau dan si Brengsek itu yang membuatnya. Mungkin selama ini dia

Please Subscribe to read the full chapter
Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
suthchie #1
Chapter 22: Nice ending...
Kagum banget sama persahabatan mereka...
Walaupun banyak masalah berat yang mereka hadapi, tapi kekuatan persahabatan mereka tetap berakhir manis...
Untung juga kebahagian berpihak pada jongin jiyool...
suthchie #2
Chapter 21: ayah macam apa seperti tuan kim itu...
apa dia ngak takut bakal ditinggal kan orang disekitranya dan hanya hidup dengan kesendirian...
pantas saja jongin jadi seperti itu
suthchie #3
Chapter 20: ayah jiyool sungguh besar hati...
tapi masalahnya dengan sehun gimana
suthchie #4
Chapter 19: menakutkan juga sih kalo bakal ketahuan sama ayah jongin
suthchie #5
Chapter 18: ya ampunnn part ini bikin aku nangis bombai...
sumaph ngak berhenti mengalir
suthchie #6
Chapter 17: ya ampun... ternyata jongin semenderita itu...
suthchie #7
Chapter 16: walaupun hanya sebagai teman dengan sehun, itu sudah cukup...

wow... jadi jongin teman masa kecil jiyool ya...
suthchie #8
Chapter 15: kasihan banget si sehun...
padahal dia sudah berbeesar hati bakal nerima jiyool lagi, taip... yasudahlah
semoga dapat yang lebih baik ya hun
suthchie #9
Chapter 13: kok kadang kotak comments nya ngk muncul ya...

serius nih perempuan itu kakaknya bukan seseorang yang dulu pernah disukai
suthchie #10
Chapter 13: setidaknya jongin memberi kebahagiaan ke jiyool sesekali