I Want To Stay Beside You Forever

WHITE SUMMER

Agustus 2008

Jesse’s POV

Aku memasuki ruang kelas sekolah minggu yang diajar oleh Bianca. Aku menghafalnya. Aku mengetahui semua jadwalnya. Karena aku selalu memperhatikannya. Kakiku melangkah masuk dan menemukan dia berdiri disana sambil mengajari anak-anak seusiaku membuat kerajinan tangan. Aku merapatkan maskerku. Mencoba menyelinap masuk.

“Hei, apa kau anak baru?” itu suaranya dan dia barusan menyapaku. Aku membalik badanku dan menemukan dia sudah dibelakangku. Kami sama tinggi dan dari jarak sedekat ini aku dapat melihat dengan jelas manik matanya yang kecoklatan dan menyerupai bunga matahari. Dia tersenyum kearahku. Aku mengangguk, suaraku tak keluar sama sekali. “Sou… silahkan duduk. Siapa namamu?” tanyanya.

Aku berdeham sebentar, “Jesse. Lewis Jesse.” Ujarku. “Baiklah Jesse-kun. Kau nanti tanya yang lain ya kalau ada yang tak kau mengerti, atau boleh bertanya padaku.” Aku hanya balas mengangguk. Dia berjalan kembali kedepan kelas dan mulai menerangkan. Aku menarik nafasku dan menghelanya, ini caraku berinteraksi dengannya.

……

 

Mei 2014

Bianca’s POV

Aku terbangun dengan mataku yang teras berat. Tentu saja mataku menjadi bengkak karena menangis semalaman. Semalam begitu Jesse dan ‘kekasih’nya meninggalkanku aku langsung berlari menuju lobby dan tanpa mempedulikan apapun, bahkan pertanyaan nenek sampai detik ini tak kujawab. Begitu turun dari mobil aku langsung kembali kekamarku dirumah nenek. Mengunci semalaman atau bahkan sudah seharian. Aku melirik jam dinding, waktu sudah menunjukkan pukul 12 siang. Kurasa aku melewatkan sarapan.

Aku mencuci mukaku dan mengaplikasikan pelembab dan krim mata untuk mengurangi kantung mata yang membesar. Aku menarik celana pendek warna biru tua dan kaus tanpa lengan warna pink. Barulah kemudian aku turun dari kamarku yang terletak dilantai dua. Aku lapar. Mendekati ruang makan keluarga aku mendengar nenek tengah berbincang-bincang dengan seseorang. Aku mengenali suara lawan bicara nenek.

“Jadi, selesaikan baik-baik Jesse-kun. Apapun keputusanmu, nenek yakin kau tahu mana yang terbaik buat kalian berdua, terutama Bianca. Tapi apakah tidak boleh Bianca mengetahuinya?”

“Tidak nek. Dia tidak boleh tahu apapun tentangku. Aku ingin nenek dan yang lainnya bekerja sama dengan baik. Jangan beritahukan Bianca.”

“Baiklah nenek mengerti.”

Aku mendengarnya dengan jelas. Ada satu hal yang disembunyikan oleh Jesse dariku dan sepertinya mendengar dari isi pembicaraan tadi seharusnya semua orang tahu kecuali dirinya. aku menarik nafasku. Kemudian setelah kekuatanku terkumpul aku masuk kedalam ruang makan. “Selamat siang, nek.” Sapaku sambil mencoba bersikap setenang mungkin.

Aku dapat merasakan mata Jesse mengikutiku tapi aku mencoba mengabaikannya. Aku meraih nasi dan daging asap serta tumis brokoli. Menyendokkannya kemulutku dan makan dalam diam. Dia masih mengawasiku, begitupun dengan nenek. Nenek hanya menatapku dan Jesse bergantian, kemudian aku mendengar beliau menghela nafasnya, lalu terdengar denting sendok dan garpu diletakkan diatas piring, aku melirik nenek. “Nenek tinggalkan kalian berdua. Bicaralah baik-baik.” Kemudian beliau beranjak meninggalkan kami berdua.

Aku meneruskan makanku mengabaikan kalau saat ini persis sama dengan kejadian waktu dia melamarku. Déjà vu. Dia menatapku. “Maaf soal semalam. Sejujurnya aku mencintai Mariya. Aku bertemu dengannya lebih dulu sebelum perjodohan ini. Awalnya aku menolak perjodohan ini, karena aku mencintai Mariya. Tapi saat melihatmu maka aku memohon pada nenekmu untuk melanjutkan perjodohan ini. Tapi diluar dugaanku, aku tak bisa lepas dari Mariya. Aku sangat mencintainya.” Aku menahan nafasku mendengar penjelasannya.

Aku menatapnya langsung kemanik matanya. Berharap menemukan sesuatu, entah apa itu, yang jelas sebuah alasan agar aku bisa balas mencampakkannya. Toh aku juga baru bertemu dengannya. Seharusnya itu mudah. Tapi entah kenapa tidak bisa. Aku merasa dia menyembunyikan sesuatu, seperti apa yang kucuri dengar tadi. Aku memejamkan mataku, aku menyerah disini. Haruskah aku bertahan? Biasanya aku tak pernah mempertahankan sesuatu. Termasuk ketika dulu Juri meninggalkanku tiba-tiba. Apakah kali ini aku bisa mencoba mempertahankannya? Siapa tahu dia bisa kembali untukku.

Aku menekan kuat semua ego dan rasa marahku. “Kau mau kita bagaimana?” tanyaku akhirnya. Dia menatapku dengan ekspresi yang tak kutahu apa artinya. “Kita selesaikan semua disini Bianca. Maaf aku tak bisa melanjutkan perjodohan atau pertunangan ini.” Air mataku luruh seiring dengan kalimatnya yang berakhir. “Wakatta. Aku mengerti. Tapi boleh aku minta satu hal darimu?” ujarku akhirnya. “Apapun.” Jawabnya.

“Biarkan aku merasakan tinggal bersamamu selama satu minggu. Dimulai besok.” Ujarku. Dia nampak kaget namun segera menguasai dirinya. “Boleh. Tapi aku tinggal bersama Mariya di rumah kami yang baru mulai hari ini.” Jawabnya. Rasanya hatiku kembali hancur berkeping-keping mendengar kalimatnya. Belum lama aku mendengar permintaannya membatalkan perjodohan dan pertunangannya denganku. Padahal dia sendiri yang menawarkan semua mimpi masa depan itu. Aku tak dapat mengendalikan diriku untuk tidak menangis.

Tapi dia bergeming didepannya hanya menatapku yang meluruhkan segenap air mata yang kusimpan.

……

 

FIRST DAY

Jesse’s POV

Aku membukakan pintu rumahku, menerima kehadiran Bianca didepanku dengan koper warna pink dan pakaian kasualnya. Celana jeans pendek dengan kaos putih yang kebesaran. Rambutnya digelung keatas. Dia melepaskan kacamata coklat yang dikenakannya ternyata untuk menyemnunyikan matanya yang bengkak, dia pasti habis menangis semalaman. “Konichiwa. Maaf aku terlambat.” Ujarnya. Aku mengangguk.

“Ah, Bianca datang.” Ujar Mariya Yo dari belakangku. “Masuklah Bi.” Dia masuk sambil menarik kopernya kedalam rumahku. Dia nampak langsung akrab dengan Mariya, karena mereka langsung membicarakan soal perabotan rumah dan masakan yang sedang dimasak oleh Mariya. Aku menahan rasa sakit dihati serta sekujur tubuhku.

Hatiku sakit manakala melihatnya begitu tegar padahal aku begitu jahat padanya. Aku ingat semalam dia menangis setelah aku mengabulkan permintaannya untuk tinggal bersamaku selama satu minggu. Aku yang nelangsa hanya menatapnya saat dia meluruhkan air matanya. Dadaku yang sesak dan keinginan memeluknya yang mati-matian kutahan. Semalam kulewati dengan menenggelamkan diriku di bak mandi air panas, berharap dengan begitu aku dapat mengurangi rasa bersalahku.

Aku mengalihkan pandanganku, memfokuskan alam pikiranku pada sosok itu, “Bi, dengar. Kau boleh menempati bagian rumah ini yang mana saja kecuali kamar utama. Karena itu tempat yang paling privat antara aku dengan Mariya. Kau berjanji?” ujarku akhirnya. Dia menoleh dan menatapku bergantian dengan Mariya, Mariya mengulas senyumnya kemudian mengangguk pada Bianca. Bianca ikut tersnyum, “Wakatta. Kenapa sih kau cerewet sekali. Bukankah aku memang tamu disini.” Jawabnya. Aku dapat merasakan penekanan pada kata tamu yang diucapkannya.

Aku menarik nafasku, “Sesukamulah, Bi.”

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
No comments yet