Seeing Your Smile

WHITE SUMMER

Mei 2014

SECOND DAY

Author’s POV

Bianca membuka matanya setelah dering ponselnya yang ketiga. Dia meraih ponsel putihnya dan mengintip siapa yang meneleponnya sepagi itu. Dahinya mengernyit saat sebuah nama berkedip-kedip dilayar ponselnya. Tanaka Juri calling..

Bianca menegakkan tubuhnya. Dia dapat merasakan bahwa rasa gugup itu masih muncul meskipun sudah lama Juri meninggalkannya secara sepihak. “Moshi moshi.” Sapa Bianca senatural mungkin. “Bi.. Ohayou.” Sapa suara diseberang. Bianca memejamkan matanya, air matanya menetes, suara itu pernah yang mengisi hari-harinya dulu. Selama bertahun-tahun dulu dia pernah setidaknya bahagia bersama Juri. “Emm.. Ohayou, Tanaka-kun.” Sapa Bianca yang lebih mirip bisikan. Terdengar suara tawa renyah dari mulut Juri.

“Bi, aku kembali.” Bianca menahan nafasnya. Tapi segera menguasai dirinya. “Kembali?” tanyanya meyakinkan. “Iya, aku kembali, Dulu itu aku pergi karena aku harus ke Canada. Kau apa kabar?”

Canada? Kembali? Pikiran Bianca kembali berputar-putar, “Umm aku baik-baik saja, Tanaka-kun.” Jawabnya. “Aku merindukanmu. Bisakah kita bertemu.” Bianca mematung, darahnya naik ke ubun-ubun.

“Kau!! Kau memutuu, kemudian menghilang bertahun-tahun dan sekarang tiba-tiba datang dan ingin bertemu? Apa-apan kau!” sergah Bianca. Dia yakin suaranya sudah cocok disebut teriakan dibanding dengan sergahan. Terdengar suara helaan nafas dari ujung telepon. “Aku mengerti kalau kau membenciku. Tapi kumohon, mungkin ini untuk yang terakhir kalinya.” Bianca sempurna menangis. Kenapa suara Juri sangat menyedihkan? Haruskah aku menurutinya? Haruskah aku menemuinya?

“Aku pikirkan lagi Juri.” Jawab Bianca akhirnya.

“Aku senang kau memanggilku ‘Juri’ lagi. Aku menunggumu Bi. Di café tempat pertama kita bertemu. Aku menunggumu hari ini sampai kau datang. Jadi, datanglah.”

“Aku mengerti.” Sambungan ditelepon ditutup dan Bianca menangis.

“Astaga, ada apa Bianca?” usara Mariya dari ambang pintu nampak terkejut  dan segera menghambur kearah Bianca, memeluknya dengan erat. “Ada apa, Bianca?” sekali lagi Mariya bertanya. Bianca menoleh kearah perempuan yang hampir dibencinya karena merebut Jesse-nya. Tapi dia mengurungkan itu semua karena Mariya terlalu baik untuk dibenci.

……

 

Jesse’s POV

Aku mendengarkan uraian ceritanya mengenai mantan kekasihnya yang mengajaknya bertemu kembali. Tanaka Juri. Nama itu kembali disebut oleh Bianca setelah sekian lama dia mencoba melupakan kenyataan kalau Tanaka meninggalkannya. Dia menangis memeluk Mariya, nampaknya cinta itu masih melekat erat dihatinya. Ada yang belum terselesaikan. Aku merasakan sesak didadaku, spontan aku meraih dadaku dan mengurutnya pelan.

Aku berjalan kembali kekamarku. Kemudian kepalaku terasa berputar dengan cepat. Aku meraih obatku dan mencoba meminumnya, tapi rasa sakit menyerang kepalaku lebih kuat. “Mariya!! Mariya!!!” teriakku. Dan aku tak ingat lagi.

……

 

Bianca’s POV

Mariya langsung melepaskan pelukannya padaku saat mendengar suara panggilan Jesse dari arah kamarnya. Raut wajah Mariya nampak sangat khawatir dan sedikit panik. Mariya berlari kearah kamarnya dengan Jesse. Dan aku ikut menghambur dibelakangnya. Pintu yang lupa ditutup membuatku bisa mengintip kamar mereka. Aku terkejut menatap kejadian didepanku. Tubuh Jesse yang lemas dan pucat tengah dipeluk oleh Mariya.

Nampak tangan Mariya tengah menggapai-gapai alat suntik dimeja kecil yang hanya berjarak satu kepalanya saat duduk, tapi karena sedang memeluk Jesse sepertinya dia nampak kesulitan. Kakiku kaku, hendak melangkah maju dan menolong tapi rasanya susah. Aku berjanji untuk tak pernah menginjak kamar itu. Mariya mulai panik, aku dapat merasakannya. Kemudian dia menoleh kearahku, “Bi, tolong ambilkan alat suntik itu.” Pintanya.

Dengan segera aku mengangguk. Mengabaikan janjiku pada Jesse. Aku menyerahkan kotak berisi beberapa jarum suntik dan botol obat yang masih tersegel rapih. Mariya dengan cekatan melepaskan segel jarum suntik dan obat warna merah jambu. Sekilas aku bisa membacanya, chemo apalah tak jelas. Tunggu, obat itu untuk apa? Kenapa disuntikkan pada Jesse?

“Mariya, itu.. itu…”

“Bi, tolong anggap ini tak pernah terjadi. sekarang kau pergilah menemui Juri-kun. Aku akan menjaga Jesse. Dia hanya butuh vitamin kok. Pergilah.” Entahlah, mendengar kalimat Mariya aku selalu menurut. Aku mengangguk dan meninggalkan kamar itu sesegera yang aku bisa.

……

 

Aku melangkah masuk kedalam café kecil bernama cataluna. Sebuah café dimana pertama kal aku menemukan dia, karena kesalahan pelayan café untuk mengantarkan pesanan kami aku jadi mengenalnya. Tanaka Juri.

Setelah membantu Mariya tadi dengan secepat mungkin aku mandi dan bersiap-siap menemui Juri. Entahlah, aku ini bodoh atau apa. Yang jelas aku memberinya kesempatan untuk bertemu denganku. Lagipula dia berkata ini untuk yang terakhir kalinya. Aku menatap berkeliling suasana café yang masih lengang. Hanya ada beberapa pengunjung, dan aku mencari-cari dimanakah Juri. Kalau saja dia tidak muncul berati genaplah, aku bodoh.

“Bianca!” seseorang memanggilku. Aku menoleh kearah pojokan café yang cukup tersembunyi karena ada tirai dari manik-manik warna pink pucat. Aku menyipitkan mataku, berusaha mengenali sosok yang memanggilku. Lalu dadaku mencelos. Itu Juri, tapi dia?

“Kemari Bi.” Tanggannya yang nampak kurus dan pucat melambai padaku. Aku menahan nafasku sambil berjalan menghampirinya. Saat mendekatinya, aku baru bisa mengenalinya dengan jelas, wajahnya begitu tirus dan pucat. Matanya cekung dan menghitam dilingkarnya. “Juri?” panggilku tercekat. Dia mengangguk kemudian menarikkan kursi dengan tangannya yang ringkih.

“Apa yang terjadi padamu?” tanyaku dengan emosi teraduk dan tertahan.

“Ssst… aku tak apa-apa. Hanya perlu berobat sedikit.” Ujarnya ringan. Aku mengangguk meskipun tak mempercayainya. Dia nampak sumringah menatapku dan menjulurkan buku menu. “Jadi, aku mendengar kau akan menikah, Bi. Siapa orangnya?” tanyanya. Aku terkejut namun berusaha menyembunyikan emosiku. Teringat Jesse dan yang terjadi tadi.

“Umm, tidak kok. Kau salah dengar.” Jawabku mencoba sesantai mungkin.

“Eee… aku mengerti kalau kau tak mau bercerita. Anyway, aku punya satu hadiah untukmu. Sebuah janji yang pernah aku ingkari.” Ujarnya sambil mengeluarkan satu kotak beludru warna biru. Hatiku menebak-nebak apa yang tersembunyi didalamnya. Dia mengulurkannya padaku, saat tangan kami bersentuhan karena aku menerima kotak itu, terasa kulitnya yang sedingin porselen.

“Kau baik-baik saja, Juri?” tanyaku. Dia mengangguk. “Bukalah.” Pintanya. Senyumnya terkembang. Aku membuka kotak itu dan menemukan seuntai kalung perak dengan liontin berbentuk bulan sabit. Aku ingat itu apa, itu adalah kalung rancangan Juri saat kami merayakan valentine. Malam itu dengan bangganya dia mengatakan akan membuat sendiri kalung itu dengan tangannya meskipun dia punya puluhan karyawan yang bisa saja disuruh untuk mengerjakannya.

Aku menahan air mataku. “Terima kasih sudah bersabar bersamaku hari ini Bi. Aku bahagia.” Ujarnya, kemudian dengan sekali gerakan dia memelukku. Rasanya pelukan itu aneh. Tubuhnya terasa ringkih dan pelukan itu bukan menghangatkan tapi terasa seperti perpisahan. Aku melepaskan pelukan itu dengan cepat. “Juri, katakan padaku, apa yang terjadi? apa kau sakit?” tanyaku.

Dia tersenyum kemudian mencubit kedua pipiku, kebiasaannya sejak dulu. “Aku akan meninggal dalam waktu dekat. Entah kapan, tapi yang jelas aku akan pergi. Aku mengidap leukemia, Bi. Karena itulah aku meninggalkanmu. Karena aku tak mau kau menemaniku. Tapi aku selalu teringat janjiku untuk membuatkanmu kalung itu, maka disinilah aku sekarang. Kembali dihadapanmu untuk memenuhi janjiku.” Ujarnya. Air mataku menitik perlahan. Dia tersenyum dan menghampusnya dengan jemarinya yang kurus.

“Tidak. Jangan menangis Bianca. Aku harap kau bahagia.”

……

 

Jesse’s POV

Sudah 3 jam dia mengurung diri dikamarnya. Sejak kembali tadi sore dari luar rumah, dia mengunci kamar yang ditempatinya. Tanpa menyapaku ataupun Mariya. Bianca seperti sengaja menarik diri dari siapapun. Aku menoleh pada Mariya yang hanya mengangkat bahunya tanda tak tahu. Saat jarum menginjak kearah angka sepuluh aku memberanikan diri mengetuk pintu kamarnya. “Bi.. kau belum makan. Makanlah. Atau nenek akan membunuhku.” Tak ada respon. Aku hampir memutar knob pintu kalau saja Mariya tak menahanku. Dia menggelengkan kepalanya.

“Mungkin Bianca melewati hari yang berat. Terlebih, tadi dia melihatmu pingsan.” Mataku terbelalak mendengar kalimat Mariya. Bianca melihatku? Itu tandanya..

Mariya menggeleng, “Dia masih tidak tahu. Tapi cepat atau lambat kau harus mengatakannya.” Mariya berjalan pergi kembali kedalam kamar. Aku menyandarkan tubuhku kepintu coklat itu. “Bi.. ada yang ingin aku bicarakan.” Masih tak ada respon.

“Kalau kau siap mendengarkan kalimat-kalimatku Bi, aku ada di teras. Jangan membuatku menunggu lebih lama ya, bi. Aku tak sanggup lama-lama diuar rumah.” Ujaru pelan. Berharap dia mendengarnya.

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
No comments yet