My Little Groom

WHITE SUMMER

April 2014

Auhtor’s POV

Bianca membuka matanya dengan berat. Rasa pusing masih menghinggapinya. Tapi Bianca berusaha dengan keras mengerjap-ngerjapkan matanya. Lalu matanya menangkap bayangan seseorang yang tengah membungkuk didepannya dan memperhatikan wajah Bianca dengan jarak yang terlampau dekat. Dengan sekejap Bianca terbangun dan mendorong seseorang yang ternyata menggunakan seragam sekolah. Seseorang itu mengernyit kesakitan karena bahunya membentur dinding. “Tidak bisa lebih kencang lagi mendorongku huh? Biar sekalian aku menabrak jendela dan terlempar keluar?” sergah anak laki-laki itu.

Bianca langsung kesal mendengar sindirannya, “Lagipula kenapa kau menatapku seperti itu. Dasar !” mata anak laki-laki itu membulat, “? Hei aku tak melakukan apapun padamu ya. Aku hanya mengecekmu, yasudah kalau kau tak mau diperhatikan.” Ujar anak laki-laki itu sambil bergerak meninggalkan ruangan yang ternyata adalah ruang kesehatan Horikoshi High. Bianca memijat-mijat kepalanya karena masih kesal dengan anak laki-laki itu, namun seketika dia menyadari sesuatu saat matanya menangkap jarum jam dinding didepannya.

“Astaga. Aku harus mencari anak bodoh yang bernama Lewis Jesse itu.” Bianca segara bangun dari tempat tidur ruang kesehatan. Tidak ada siapapun disitu. Tentu saja, saat ini sudah menunjukkan pukul 6 sore, kemungkinan besar sudah tidak ada orang disana. Bianca berjalan keluar, mencari ruang kelas 3 A. Ruang kelasnya sekaligus ruang kelas calon tunangannya. Mengingat itu Bianca sebal sendiri. Bagaimana mungkin nenek akan menjodohkannya dengan seorang remaja berusia 18 tahun yang bahkan belum lulus SMA?

Bianca mencapai koridor yang sangat familiar diingatannya. Itu koridor dimana dia menerima pacar pertamanya. Bayangan sosok lelaki itu berkelbat dalam ingatannya, Yaotome Hikaru, laki-laki super ceria namun juga pintar yang menjadi tipe kesukaannya. Bianca mengulas senyumnya. Kenangan itu selalu tersimpan manis dalam ingatannya. Hanya beberapa langkah Bianca sudah berada persis didepan pintu ruang kelas 3 A. Tidak ada seorangpun disana, Bianca mendengus sebal, “Bukankah setidaknya dia harusnya menungguku? Bukankah harusnya dia tahu kalau aku akan menjemputnya?”

Kemudian Bianca berjalan menuju mobilnya terparkir. Memilih beralasan macam-macam pada neneknya.

Drrtt..drrtt… drrtt…

Kembali ponselnya bergetar. Bianca cepat-cepat mengeluarkan ponselnya dan menemukan nama neneknya dilayar ponselnya, “Moshi-moshi nenek.”

“Bianca dimana kau nak? Jesse-kun menunggumu disekolah.” Bianca menahan nafasnya.

“Ehhh?? Dia menungguku? Aku tak melihat seorangpun disini. Lagipula bagaimana mungkin nenek akan menjodohkanku dengan seorang bocah berusia 18 tahun.”

“Ssttt… hentikan protesmu. Sekarang cari Jesse-kun. Nenek dan kedua orang tua Jesse sedang menunggu kalian disini.” Sambungan diputus. Bianca mengeram kesal karena neneknya begitu tak mendengarnya. Kemudian dimasukkan ponselnya kedalam tasnya. Kemudian Bianca bergegas mencari calon tunangannya itu. Tapi tetaplah ia mencari kemanapun ia tak juga menemukan seseorang.

Tak! Tak!

Perlahan lampu sekolah mulai dinyalakan. Bianca mengeluarkan ponselnya untuk memastikan waktu, “Sudah hampir jam 7 malam dan aku belum menemukan bocah tengik itu. Dia menunggu dimana sih?” gumamnya kesal. Bianca mendudukkan dirinya disalah satu bangku taman sekolahnya.

Drrtt…drrtt….

Bianca dapat merasakan getaran dari ponselnya. Dengan segera dikeluarkan ponsel berwara putih itu. Dahi Bianca mengernyit saat menemukan sederet angka tanpa nama tengah memanggilnya. Tapi toh Bianca tetap mengangkatnya, “Moshi moshi.” Sapa Bianca ramah.

“Hei, kau belum juga muncul. Aku hampir mati kedinginan kalau kau tak muncul dalam waktu lima menit.” Ujar seseorang dari ujung telepon. Bianca makin bingung, “Hei, kau siapa?” tanya Bianca. Terdengar suara tawa dari ujung telepon.

“Lewis Jesse. Aku Jesse. Aku menunggumu disebelah mobilmu. Cepatlah kau datang. Aku sudah lapar.” Kemudian sambungan dimatikan. Bianca mendengus kesal. “Tidak hanya nenek tapi bocah tengik ini punya perangai yang sama.” Bianca memasukkan ponselnya kembali dan bergegas menuju tempat parkir dimana mobilnya berada. Namun langkahnya mendadak berhenti ketika mengetahui siapa yang berdiri disana.

Seseorang yang tingginya sangat tidak wajar untuk ukuran anak SMA, kira-kira hampir 190cm, berdiri menyandar dimobil merahnya yang terlihat sangat mungil dengan komposisi demikian. Bianca bergeming menatap seseorang itu. Hingga menit kesekian Bianca tetap mematung menatap sosok dihadapannya. Seseorang itu melipat kedua tangannya didepan dada dan menatap Bianca dengan senyuman yang lebih mirip seringai. Lalu seseorang itu mengeluarkan ponselnya dan meletakkan ditelinga.

Drrtt… drrtt… drrtt…

Bianca merasakan getaran ponselnya. Lalu dia mengeluarkannya kembali. Matanya membulat saat menatap layar ponselnya. Nomor yang sama dengan yang terakhir menghubunginya. Lewis Jesse. Bianca menelan ludahnya namun tetap memberanikan diri mengangkat ponselnya. “Moshi moshi.” Ujar Bianca gugup. “Sampai kapan kau mau mematung menatapku? Cepat kemari. Kita ditunggu nenek hanzawa.” Seperti terhipnotis Bianca dengan patuhnya mencapai mobilnya dan masuk kemudian menyalakannya.

“Matte. Kau mengingatku?” tanya seseorang yang tak lain adalah Jesse. Bianca menoleh kemudian mengangguk, “Kau tadi yang diruang kesehatan kan?” seketika raut Jesse berubah dari raut penasaran menjadi raut yang tak terdefinisikan, membuat Bianca merasa tidak aman. “Salah besar Hanzawa Bianca. Kau salah besar.” Bianca mematung. Apakah aku mengenalnya? Tapi dimana? Dia siapa? aku yakin ini pertama kalinya bertemu dengannya.

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
No comments yet