Stolen First Kiss

WHITE SUMMER

Februari 2001

Jesse’s POV

Aku menyeka air mataku yang berkali-kali keluar karena luka robek di kaki kiriku. Rasanya pedih dan membuatku makin membenci tempat angkuh dan menyeramkan ini. Kedua orang tuaku pasti tak mungkin bisa menemukanku di hamparan pepohonan lebat halaman rumah keluarga besar Hanzawa. Aku mulai ketakutan seandainya saja tak ada yang lewat menolongku. Bagaimana jika aku mati disini karena kehabisan darah? Bagaimana kedua orang tuaku jika tidak kunjung menemukanku? Apakah mereka akhirnya lega karena anak bandel seperti aku lenyap dari hadapan mereka.

“Astaga!! Apa yang kau lakukan disini?” seorang perempuan yang sepertinya hanya berbeda 6 atau 7 tahun menatapku. Dipelukannya dia membawa beraneka jenis bunga. Bajunya putih berkilau. Mataku menyipit berusaha melukiskan wajahnya, terlalu terang, yang entah dari mana cahaya menyilaukan itu. Anak perempuan it uterus mendekatiku, “Asataga!! Apa yang terjadi padamu?” begitulah tanyanya begitu dia hanya berjarak sekian sentimeter denganku. Bunga-bunga yang dipeluknya jatuh berserakan. Kemudian dengan sigap dia merobek baju putihnya yang panjang kemudian membalut lukaku yang menganga.

Aku menatapnya lekat-lekat. Berusaha menyimpan sebanyak mungkin memori gambaran wajahnya. Jantungku berdegub sangat kencang. Tanpa sadar aku sudah menyentuh dadaku sendiri. Dia menyadari tingkahku dan menoleh, “Kau tak apa-apa? Apa yang kau rasakan? Apakah ada bagian lain yang sakit?” tanyanya. Aku hanya menggeleng lemah sambil tangan kiriku menunjuk kaki kiriku. Dia tersenyum. “Tenanglah, aku sudah membalut lukanya untuk sementara. Kita hentikan laju darahnya. Ayo kubantu kau berjalan. Kau sanggup berdiri?” dia kembali bertanya.

Aku berusaha mengangkat tubuhku, tapi aku tak bisa melakukannya. Aku kembali jatuh terduduk. Lalu aku mendengar suaranya tertawa kecil. “Tentu saja kau tak bisa bangun ya. Sini aku gendong.” Kemudian dia menarikku dan meletakkanku dipunggungnya. Bahkan aku sendiri dapat merasakan wajahku memerah karena malu. Ini pertama kalinya seorang perempuan selain ibuku menyentuhku. Aku menyembunyikan wajahku dibahunya. Dia terkikik geli. Namun tetap menggendongku  dan berjalan menuju ke rumah besar Hanzawa.

“Siapa namamu?” tanyanya begitu dia meletakkan aku dikursi teras yang nyaman. Aku menatapnya, dan aku yakin wajahku memerah saat itu, “Jeje. Namaku Jeje.” Jawabku malu-malu. “Astaga Jeje!!!” aku mendengar suara ibuku, aku menoleh dan kemudian tangisku pecah kembali. Semua orang langsung mengerubungiku, aku sudah tak mengenali siapa saja mereka. Aku hanya melihat ibuku dan sayup-sayup suara ayah yang berkata, “Terima kasih Bianca-chan.” Namanya Bianca.

……

April 2014

Author’s POV

Jesse sesekali melirik Bianca yang tengah menyetir. Karena bosan akhirnya Jesse memutuskan untuk menutup matanya pura-pura tidur. Sedangkan Bianca, mencuri-curi melirik anak laki-laki disebelahnya. Hampir saja Bianca berteriak marah karena anak laki-laki itu justru tertidur saat dia menyetir. “Ish, dasar bocah tengik. Bagaimana bisa dia tidur disaat seperti ini?” gumam Bianca. Tapi yang tak diketahui Bianca adalah Jesse masih sadar, dan seulas senyum merekah disudut bibirnya.

“Jadi aku tak lebih dari bocah tengik huh?” ujar Jesse singkat. Bianca otomatis mengerem mendadak, “Kau mendengarku?” seru Bianca. “Hei hei… bisa hati-hati tidak sih menyetirnya. Aku masih perjaka dan aku tak mau mati muda apalagi karena kau!” ujar Jesse ketus. Bianca membuang muka dan kembali menyjalankan mobilnya. Mengacuhkan anak laki-laki yang kini masih menatapnya. Bianca melirik anak itu yang masih saja menatapnya.

“Apa???” tanya Bianca ketus. Anak laki-laki itu hanya menyeringai kemudian membuang muka dan memilih menatap jalanan disampingnya. “Kau tak ingat padaku?” tanya Jesse sekali lagi pada Bianca. Sejujurnya dia penasaran bagaimana mungkin Bianca tak mengenalinya sama sekali. Bianca menoleh sekilas, masih bingung dengan pertanyaan Jesse yang dilontarkan untuk kedua kalinya. Dalam benak Bianca, dia mencoba memilah-milah memorinya, siapa tahu dia menemukan satu saja ingatan tentang anak laki-laki bernama Jesse. Kemudian Bianca menghembuskan nafasnya.

“Aku tak ingat kita pernah bertemu sebelum ini.” Ujar Bianca akhirnya. Jesse menoleh kemudian menyeringai kecil. “Hentikan mobilnya!” perintah Jesse. Bianca menoleh dengan penuh tanda tanya diraut wajahnya. Namun dia tetap menghentikan mobil yang dikemudikannya. Dengan gerakan cepat Jesse meraih bahu Bianca dan menghadapkan pada dirinya. takut-takut Bianca menatap sorot mata Jesse. “Kau.. kau mau apa?” tanya Bianca. Jesse tersenyum singkat, “Mengingatkanmu siapa aku.”

Dengan tanpa peringatan Jesse sudah menempelkan bibirnya pada Bianca.

……

 

April 2001

Jesse’s POV

“Neechannnn….” Dengan bersemangat aku memanggil gadis malaikat yang menolongku waktu itu. Semenjak kejadian itu, aku menjadi sering kerumah keluarga Hanzawa. Menikmati saat-saat bermain ditemani oleh Bianca. Dia sangat dewasa dan menyenangkan sekali. Langkah lariku berhenti saat menemukan orang yang aku cari tengah tertidur dikursi ayun panjang dari rotan. Matanya terpejam dengan buku dipangkuannya. Dia tentu kelelahan belajar.

Aku tersenyum kemudian ikut duduk disampingnya. Menyandarkan kepalaku dilengannya. Nafasnya terdengar lembut dan berirama. Dia pasti sangat lelah. Aku membelai rambut panjangnya yang berwarna kecoklatan sebahu. Aku tersenyum malu-malu karena melakukannya. Saat aku melihat bibirnya, aku teringat sebuah film yang kalu lihat. Katanya kalau kau mencintai seseorang maka kau akan mencium bibirnya. Dengan dada yang berdetak amat keras aku mendekatkan wajahku ke wajahnya. Lalu dengan kilat aku menempelkan bibirku kepadanya.

Aku mencurinya. Ciuman pertamanya.

…..

 

April 2014

Bianca’s POV

Aku segera mendorong tubuh anak laki-laki yang bernama Jesse kemudian menampar pipinya dengan keras. “Turun kau dari mobilku sekarang!” perintahku. Aku tak peduli dengan perjodohan atau nenek sekalipun. Aku benci seseorang yang tak menghargaiku. Dan dengan menciumku seperti barusan bukankah itu tandanya dia tak menghargaiku. Perlahan air mataku menitik. Itu bukan ciuman pertamaku, tapi rasanya menyedihkan sekali jika yang melakukannya adalah anak laki-laki kurang ajar ini. “Keluar kau sekarang!” tambahku saat dia masih saja bergeming. Kulit pipinya yang memerah sangat kontras dengan kulitnya yang lain.

Dia melepaskan sabuk pengaman dalam diam dan kemudian beranjak keluar dari mobilku. Tanpa berkata sepatah katapun. Menyebalkan!

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
No comments yet