Storm Rage You On

WHITE SUMMER

Maret 2012

Jesse’s POV

“Ayah…” panggilku lirih didepan tubuh ayahku yang lemah. Beliau sudah tak mampu meresponku lagi. Usiaku baru 16 tahun, dan baru satu bulan yang lalu ayah memberikan kepercayaan padaku untuk meneruskan perusahaannya dibantu oleh ibu. Rasanya baru kemarin usiaku menginjak 15 tahun dan ayah menghadiahiku sebuah mobil. Bahkan rasanya seperti mimpi saat ayah menepuk bahuku saat kakekku dan kakek Hanzawa memberikan restunya untuk perjodohanku dengan Bianca. Tapi kini ayah terbaring lemah. Sangat lemah.

“Honey… kalau kau ingin pergi, pergilah, jangan takut dan jangan khawatir soal kami. Kami akan baik-baik saja.” Begitu kalimat yang aku dengar dari ibuku ditelinga ayah. Sedangkan nenekku hanya menepuk-nepuk pelan tangan ayahku yang ditusuk selang infuse.

“Pergilah nak. Ayahmu menunggu.” Begitu kata nenek akhirnya. Tes! Air mataku sempurna luruh. Kedua perempuan terhebat yang aku cintai begitu tegar menghadapi kepergian orang mereka kasihi. Aku penasaran, siapakah nanti yang akan mengantarkan kepergianku. Apakah dia Bianca? Orang yang bertahun-tahun dijodohkan denganku? Sebuah nama yang menjadi cinta pertamaku. Apakah dia akan setegar ibu dan nenek?

Mata ayah perlahan terbuka, tangannya melambaikan kearahku, pertanda beliau ingin aku mendekat. Aku mendekatkan telingaku ke ujung bibir ayah. Dia membisikiku sesuatu.

……

 

Mei 2014

Jesse’s POV

Jangan pernah membiarkan Bianca menangisimu, Nak.

Kalimat ayah padaku untuk yang terakhir kalinya kembali terngiang ditelingaku. Sudah dua minggu sejak aku menerima kabar mengenai penyakit leukemia di darahku, dan selama dua minggu pula aku menghindari Bianca. Berapa kalipun dia menelepon dan mengirim banyak pesan dan email aku tetap menghiraukannya. Mengabaikannya. Berharap dia bisa membenciku.

Tok! Tok! Tok!

Pintu kamarku diketuk. Aku bangkit dan bergegas membukanya. Aku menemukan seseorang yang paling ingin aku temui sedang berdiri diambang pintu kamarku. Bagaimana ibu bisa membiarkan dia masuk sedangkan aku sudah berpesan kalau untuk sementara aku ingin menghindarinya. Dia menatapku penuh kerinduan, aku tahu itu. Dia ingin memelukku, aku juga merasakannya. Wajahnya hampir memangis tapi dia tetap menahannya, inilah yang membuat hatiku seperti teriris.

Dia bergerak kearahku, mengulurkan tangannya, mencoba meraihku dalam pelukannya. Aku bergerak mundur. Aku harus menghindarinya!

“Aku sedang flu.” Ujarku dingin sambil berpura-pura membersit hidungku yang sebenarnya tidak apa-apa. Dia tersenyum kemudian dia mengeluarkan sapu tangan kain warna merah dari dalam tasnya dan menyerahkan padaku.

“Sudah minum obat?” aku mengangguk.

“Sudah makan?” aku mengangguk lagi.

“Apa kau baik-baik saja?” aku hampir menggeleng menjawab pertanyaan itu, tapi kemudian aku segera menganggukkan kepalaku. Meskipun aku tak baik-baik saja dua minggu ini karena tubuhku melemah aku harus mengatakan aku tidak apa-apa. Aku sungguh harus menjadi tidak apa-apa.

“Kuantar kau kedokter ya.” Aku menggeleng kuat.

“Aku baik-baik saja. Kau pulanglah.” Wajahnya membeku. Senyumnya menghilang. “Kalau begitu aku pulang. Kau cepat sembuh, aku merindukanmu.” Kemudian dia berbalik pergi setelah menunggu responku yang tak kunjung kuberikan. Aku tak mau memberikannya respon karena aku takut. Aku takut tak bisa melepaskan dia.

……

 

Hari ini adalah hari kelima belas setelah aku dinyatakan mengidap leukemia. Aku diharuskan cek up penyakitku setiap satu minggu sekali. Aku sudah mengundurkan diri dari sekolah karena proses pengobatanku harus kujalani setiap hari. Dan hari ini adalah jadwalku melakukan kemoterapi yang pertama kali. Rumah Sakit Keio merupakan rumah sakit yang terbaik yang pernah aku bayangkan. Mereka sangat menjaga rahasia pasien dan berbagai hal lainnya.

Aku melemparkan senyum pada Dokter Sakurai dan Dokter Mariya, yang merupakan ahli dalam bidang kanker.  Mereka membantuku merebahkan diriku dalam tempat tidur. Rasanya aku benar-benar melemah hanya dalam hitungan hari. Puluhan butir obat yang kuminum tiap hari rasanya tidak memberikan efek apa-apa selain rasa lelah dan mual yang menyerangku.

Proses Kemoterapi berjalan 3 jam lamanya juga tak dapat memberikan efek yang signifikan. Aku dapat merasakan sakit kepala yang luar biasa dan rasa terbakar disekujur tubuhku. Belum lagi rasa mual yang membuatku tak nyaman untuk makan dan bahkan minum sekalipun, untuk itulah aku dibantu infuse ditangan kiriku. Aku menutup mataku. jadi seperti inilah rasanya sekarat. Dokter Mariya mengawasiku selama beberapa saat, mengecek tekanan darah, kondisi mata dan akhirnya mengecek jalannya infusku.

Sebuah ide menggumpal diotak dan kerongkonganku. Ide tergila dan terjahat yang pernah aku punya.

……

 

Bianca’s POV

Hari ini, adalah hari senin. Hari kelima belas kalau mau menghitung sejak terakhir Jesse menghentikan kebiasaannya mengirimiku pesan atau sekedar meneleponku. Hari kelima belas sejak dia mengabaikan semua telepon dan pesanku.  Hari ke 25 sejak pertunanganku dengannya. Hari ini adalah hari selasa terakhir bulan Mei tahun ini. Entahlah, aku mulai lelah menghitungnya. Yang jelas hari ini aku menemani nenek untuk berbelanja keperluan pesta ulang tahun nenek yang ke-68. Beliau tengah memilih piring-piring cantik untuk mengisi meja-meja penganan. Sedangkan aku menatap tanpa nyawa deretan gelas penuh pola.

“Nek, Bi ke toko buku dulu ya. Bi bosan.” Ujarku. Nenek hanya tersenyum dan melambaikan tangannya. Aku tersenyum dan berbalik menuju toko buku yang tak jauh dariku berada. Kakiku seperti lebih bersemangat saat aku berada dalam toko buku. Bergerak menuju deretan buku dongeng anak-anak. Sejak dulu aku menyukai anak-anak. Sepertinya dunia anak-anak adalah pelarianku yang terbaik. Dunia anak-anak memberikanku ruang untuk sekedar melepaskan penat.

Aku meraih sebuah buku dan membacanya. Menenggelamkan diriku.

Sudah hampir dua jam aku berdiri tanpa lelah sambil membaca buku karangan Dr. Seuss. Aku seperti terhanyut dan terbawa dalam petualangan Bellaluna si kelelawar. Drrtt… drrtt… drrtt…. Ponselku bergetar dan itu telepon dari nenek. Aku segera menggeser panel jawabku. “Moshi moshi, nenek.”

”Kau dimana sayang? Nenek sudah dilobby nih.”

“Ah, baiklah nek. Aku akan segera kesana.” Sambungan diputus. Aku segera membayar buku yang aku baca tadi dan membawanya pulang. Baru beberapa langkah aku keluar dari toko buku itu kakiku mendadak berhenti. Tepatnya otak dan hatiku menyuruhnya demikian, tepat setelah sepasang mataku menangkap sosok itu. Aku kemudian meyakinkan diriku dengan bergerak kearahnya. Itu memang benar dia.

“Jesse!” panggilku. Dia yang berjalan membelakangiku berhenti dan menoleh. Tangannya sempurna memeluk seorang gadis yang tingginya semampai. Gadis itu juga ikut menoleh. Aku memperhatikan dengan seksama. Gadis yang semampai berbadan langsing, parasnya cantik dan unik, rambutnya legam dengan kulit yang putih. Gadis itu mengenakan baju merah hanya sebatas paha dan tanpa lengan. Rambutnya yang sepinggang dibiarkan terurai dan bergelombang cantik. Riasannya cukup natural namun bibirnya dengan berani terpulas warna merah.

Aku menghela nafasku, jelas sekali dibandingkan denganku dia jauh lebih cantik dan seksi. Semua lelaki disekitar kami memandanginya. Jesse menatapku tidak suka. Pandangan apa itu? Bukankah harusnya aku yang marah? Tapi aku tak akan mempermalukan diriku disini, aku tak perlu marah-marah disini. Aku mengulas senyumku. “Jesse-kun, lama tak bertemu. Ini siapa? pacarmu?” tanyaku.

Gadis berbaju merah itu menoleh padaku dengan wajah tersinggung. “Aku calon istrinya.” Ujarnya. Aku kaget mendengar jawaban itu. Tapi aku tetap berdiri tegak dan tersenyum. “Benarkah? Setahuku 3 minggu yang lalu kami bertunangan.” Ujarku sambil mengangkat tanganku yang tersemat cincin dari Jesse. Gadis itu menoleh kearah jesse. Gadis yang kutebak jauh lebih tua dari Jesse itu hanya mendelik kesal namun berlalu pergi. Dan tanpa berkata apapun Jesse meninggalkanku sendirian.

Aku merasa seperti pecundang. Dan rasanya sakit sekali.

……

 

Desember 2010

Author’s POV

Seorang anak laki-laki yang masih mengenakan seragam SMP sedang memandangi gadis berusia 20 tahunan sedang merangkai bunga disebuah toko bunga. Malam ini malam natal, anak laki-laki itu tahu gadis itu akan mengambil jatah lemburnya malam ini karena tak ada orang yang menunggunya dirumah. Gadis itu tinggal sendirian dirumah sejak meninggalnya kedua orang tuanya 4 tahun yang lalu.

Anak laki-laki itu tersenyum sambil mengingat betapa dia bangga dengan gadis yang sebenarnya terlahir dikalangan berada namun memilih hidup mandiri. Anak laki-laki itu tahu kalau gadis itu mengambil beberapa pekerjaan paruh waktu. Mulai dari perajin buka di toko bunga, lalu pelayan di kedai minuman hingga menjadi pelayan disalah satu kedai pizza. Semua dilaluinya dengan senang hati. Karena tak ada orang yang menunggunya dirumah jadi gadis itu nampaknya memutuskan untuk menyibukkan diri.

Anak laki-laki itu juga tahu kalau setiap minggu, sepulang dari gereja gadis itu akan mengajar disekolah minggu atau menjadi sukarelawan di panti asuhan. Menemani belasan anak-anak yang tak seberuntung dirinya. mungkin juga gadis itu merasa dia bagian dari panti asuhan itu. Siapa tahu. Anak laki-laki itu merapatkan matelnya, meniup kedua tangannya dan kemudian bergerak menghampiri gadis itu dan toko yang dijaganya.

“Selamat malam, ada yang bisa saya bantu?” tanya gadis itu sembari tersenyum. Anak laki-laki itu mengangguk sambil menyerahkan dua lembar uang seribu yen, “Tolong rangkaikan mawar putih untukku.”

“Ah manis sekali. Sebentar ya.” Gadis itu menghilang. Anak laki-laki itu tahu, hanya sebatas itulah yang mampu dilakukannya. Membeli sebuket bunga sebagai alasan berbicara dengannya. Membeli sebuket bunga untuk membantunya.

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
No comments yet