Approved

WHITE SUMMER

Desember 2001

Jesse’s POV

“Neechan, aku mencintaimu.” Ujarku sambil menyerahkan seikat mawar putih yang aku beli tadi ditoko bunga langganan ibuku. Aku harus menabung selama satu bulan untuk mendapatkan seikat bunga ini. Dan hari ini, aku harus berani mengungkapkan perasaanku pada dia. Seperti yang kulihat di dorama televisi tiap sore. Anak perempuan didepanku menatapku bingung. Tapi kemudian dia tersenyum sambil meraih buket bunga ditanganku dan memelukku, ditambah dia mengecup keningku.

“Jeje-kun… kau tahu artinya cinta apa?” tanyanya, aku menggeleng. Aku pernah bertanya pada ibu dan ayah, tapi keduanya tak pernah menjawabku. “Memang artinya apa?” tanyaku. Dia memegang tanganku erat, membuat jantungku berdetak aneh. Aku ingin menghentikan detakan dijantungku.

“Cinta itu adalah memberi tanpa mengharapkan balasan, mengorbankan apapun yang kita punya untuk membuat orang lain bahagia. Bagaimana, apa Jeje-kun sudah mengerti?” tanyanya. Meskipun sulit kupahami aku tetap saja mengangguk. Dia tersenyum kemudian membelai puncak kepalaku, “Kalau kita masih kecil, kita tidak boleh mengatakan cinta. Harus menunggu besar dulu baru boleh mengatakan cinta.” Tambahnya. Aku bersemangat mendengar penjelasannya, “Jadi harus berapa tahun lagi?” tanyaku. Dia diam dan nampak berpikir.

“12 atau 13 tahun lagi, Jeje-kun pasti sudah boleh mengatakan cinta.” Ujarnya. Aku tersenyum. 12 atau 13 tahun seharusnya tidak lama bukan? Satu tahun kan berisi 12 bulan. Tentunya akan cepat menunggu 12 atau 13 tahun lagi.

“Baiklah. 12 atau 13 tahun lagi, Neechan akan menungguku kan?” tanyaku. Dia mengangguk sambil terus membelai puncak kepalaku, “Ummm.. aku akan menunggumu Jeje-kun.” Jawabnya. Aku menjulurkan kelingkingku, “Berjanji ya Neechan.” Dia tersenyum kemudian mengulurkan kelingkingnya sendiri dan menautkannya dengan milikku, “Iya, aku berjanji.”

……

 

April 2014

Author’s POV

Sudah hampir dua minggu Bianca dan Jesse bertemu dan diberitahukan kalau mereka akan menjalani proses perjodohan. Malam ini Bianca dan Jesse sedang makan malam bersama dengan nenek Hanzawa. Sedangkan kedua orang tua Jesse yang sedang business trip ke Paris tidak dapat hadir disana. Jadilah mereka bertiga duduk berhadap-hadapan didepan sang nenek dan makan dalam diam. “Jadi, kapan kalian memutuskan untuk mengdakan pesta pertunangan? Jangan khawatir soal kelulusan Jesse, Bianca, semua akan berjalan dengan baik. Jesse sangat cocok denganmu.”

Bianca hanya mendengus pada makanannya. Sejujurnya, Bianca merasa tidak nyaman berada disana. Namun dia tidak bisa mengelak lagii dari undangan makan malam bersama nenek dan keluarga Lewis. “Aku belum siap, Nek.” Ujar Bianca akhirnya. Nenek meletakkan sendok dan garpunya yang digunakan untuk makan Risotto. “Kenapa?” tanya nenek. Bianca ikut meletakkan sendok dan garpunya, “Bukankah sudah jelas? Dia masih SMA nek. Aku malu kalau harus bertunangan dengannya.”

Nenek nampak tersenyum, “Lihatlah Jesse-kun, inilah kenapa nenek dulu ragu dengan permintaanmu. Cucu nenek sendiri meragukan dirimu. Bagaimana kau bisa teramat yakin dengan permintaanmu huh? Kalau bukan karena janji dengan almarhum kakekmu tentu nenek tak akan mengabulkan permintaanmu.” Ujar nenek dengan lembut. Berbeda dengan esensi kalimatnya  yang terkesan tegas. Bianca menoleh kearah neneknya dan bergantian menatap Jesse didepannya.  Permintaan? Pikirnya.

Jesse tersenyum kemudian meletakkan sendok dan garpunya searah jarum jam lima, tanda kalau dia mengakhiri makannya. “Nek, boleh kami berdua berbicara sebentar?” tanya Jesse seolah meminta izin. Nenek Hanzawa. Nenek tersenyum sambil membersihkan mulutnya dengan serbet yang tersedia, “Silahkan Jesse-kun, nenek mempercayakan semuanya padamu.” Mata Bianca membulat, sejujurnya dia tidak mengerti apa yang terjadi. Nenek kemudian beranjak dari kursinya, “Sa… bicaralah kalian disini. Nenek mau mengecek beberapa berkas.” Begitu setelah kalimatnya selesai, nenek Hanzawa langsung meninggalkan ruang makan.

Jesse menatap Bianca dengan intens sambil melipat kedua tangannya, sedangkan sebaliknya Biacanca nampak merasa tidak nyaman dipandangi demikian. “Kau mau bicara apa?” tanya Bianca seketus yang dia bisa. Dia tak mu terlhat seperti perempuan yang mudah ditindas. Jesse menyeringai kecil kemudian tersenyum, dia bangkit dari kursinya dan menghampiri Bianca. Bianca hampir saja berdiri kalau saja dia tidak kaget dengan tingkah laku Jesse berikutnya. Jesse berlutut dengan kaki kirinya disamping kursi Bianca duduk. Seperti nampak siap untuk menyatakan sesuatu.

Dari Jas abu-abu Jesse, Jesse mengeluarkan sebuah kotak kecil dari beludru. Kemudian membukanya didepan Bianca. Nampak disana sebuah cincin berbentuk ukiran lambang infinity atau yang berarti tidak terbatas. Bianca mengerjap-ngerjapkan matanya, tidak mempercayai dengan apa yang dilakukan seseorang yang dianggapnya sebagai bocah yang manja dan menyebalkan. “Menikahlah denganku, Hanzawa Bi.” Ujar Jesse lembut.

Tes! Air mata Bianca mau tak mau menetes begitu mendengar satu kalimat itu. Dia begitu sangat ingin dilamar dengan cara yang paling sederhana sekalipun. Tapi kekasihnya yang bernama Yaotome Hikaru tak pernah melakukannya, bahkan meninggalkannya satu minggu yang lalu. Bianca menahan nafasnya berusaha menahan air matanya. Karena Bianca tak kunjung bereaksi, Jesse meraih jemari Bianca dan menyematkan cincin yang dibawanya di jari manis tangan kanan Bianca. “Aku tahu aku belum lulus SMA. Aku masih punya banyak tanggung jawab. Tapi aku bersedia mengambil tanggung jawab untuk menjagamu dan membahagiakanmu. Melindungimu, tak pernah membiarkan hatimu kesepian dan yang paling penting menjadikan dirimu yang pertama dan yang terakhir untukku.”

Bianca tak dapat lagi membendung air matanya. Air matanya begitu deras mengalir dipipinya. Bagi Bianca tak pernah ada yang menjanjikannya masa depan yang masih buram didepan matanya. Janji itu malah datang dari seorang anak yang tak sekalipun pernah dipikirkannya. Anak laki-laki yang baru ditemuinya dua minggu yang lalu. Anak laki-laki yang bahkan belum genap berusia 18 tahun. Bianca menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya, menangis keras. Jesse segera bangkit dari posisinya dan bergerak merengkuh Bianca.

Tubuh kecil Bianca begitu tenggelam dipelukan tubuh Jesse yang sangat jangkung dan cukup kekar. Bianca terus menangis disana dan perlahan dia berani memeluk Jesse. Jesse membelai pelan punggung Bianca. Sentuhan dari Jesse membuat Bianca seakan-akan tersadar, kemudian dengan cepat Bianca mendorong tubuh Jesse, melepaskan pelukannya. Membuat Jesse sedikit mundur kebelakang. “Kau hobi sekali mendorong tubuhku huh?” sindir Jesse, namun dia tetap tersenyum, membuat Bianca sedikit merasa bersalah.

“Kenapa kau mau menerima perjodohan ini?” tanya Bianca. Jesse tersenyum kembali, “Tidakkah kau dengar dari perkataan nenek tadi? Aku yang meminta perjodohan ini denganmu. kedua kakek kita berjanji untuk menjodohkan anak cucunya. Namun seperti yang kau tahu Ayahku dan Ayahmu terlahir sebagai putra tunggal sehingga turunlah perjodohan itu pada putra dan putri mereka. Ternyata kita terlahir terpaut sangat jauh sehingga seharusnya kewajiban itu menurun menjadi salah satu putra dan putri kita nantinya. Aku mengetahui fakta ini bertahun yang lalu, lalu aku memutuskan menemui mendiang  kakekku dan nenekmu, memintamu menjadi istriku. Dan kedua orang tuamu menyetujuinya.” Ujar Jesse.

Bianca tak habis pikir, namun dia memilih terus bertanya, “Kenapa? Kenapa kau memutuskan memilihku?” Jesse berjalan mendekati Bianca, meraih kembali jemari Bianca dan memberikan kecupan hangat dipunggung tangan kanannya, “Karena aku mencintaimu. Tidak cukupkah itu?” ujar Jesse lembut. Bianca memejamkan matanya, “Apa kita pernah bertemu sebelumnya?” tanyanya kemudian. Jesse menganggukkan kepalanya, “Ya, dulu sekali. Tapi nampaknya kau melupakannya. Tidak apa-apa. Aku akan mengisi memorimu dengan memori tentangku yang baru.”

Bianca terdiam, “Tapi kau belum lulus SMA.” Ujar Bianca akhirnya, sejujurnya dia hanya mencari penyangkalan apapun agar dia ada alasan untuk menolak Jesse. “Sudah kukatakan bukan kalau aku siap mengambil tanggung jawab ini. Aku bersedia.”

“Tapi…” kalimat Bianca berhenti menggantung karena Jesse mengunci bibirnya dengan ciuman yang hangat. Bianca memejamkan matanya dan perlahan membalasnya. Beberapa detik kemudian mereka saling melepaskan diri. Jesse nampak tersenyum puas, “Katakan kau tak menyukaiku!” perintah Jesse sambil mengusap pipi Bianca yang sempurna memerah. Mau tidak mau Bianca tersipu dengan perilaku Jesse padanya, kemudian Bianca menangkap tangan Jesse dengan tangan kanannya yang sudah lebih dulu tersemat cincin dari Jesse.

“Ummm… secara fisik kau sih tipeku ya. Tapi kau kann masih SMA.” Ujar Bianca sambil mengerucutkan bibirnya. Jesse tergelak sambil mencubit pipi Bianca, “Kau lucu kalau merajuk.” Ujarnya kemudian Jesse membawa Bianca dalam pelukannya. Bianca akhirnya memasrahkan dirinya, sejak mengetahui Jesse adalah orang yang dijodohkan dengannya sebenarnya dia bukannya tidak menyukai Jesse. Malah dia bersyukur orang itu adalah Jesse, orang yang sesuai kriterianya. Perlahan dan dengan malu-malu, Bianca membalas pelukan Jesse dengan hangat.

“Ajari aku untuk mencintaimu, Jesse-kun.” Bisiknya.

Dikejauhan, Nenek Hanzawa tersenyum setelah mencuri dengar obrolan kedua cucunya. Kini dia setidaknya bisa bernafas lega.

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
No comments yet