My Pinky Promise

WHITE SUMMER

September 2006

Bianca’s POV

“Biancaaaaaa…” suara nenek dari kejauhan berlari kearahku. Aku menoleh dengan muram. Aku baru saja mengenakan pakaian hitam-hitamku dengan setengah nyawa. Dengan bersimbah air mata nenek memelukku dan menangis keras dibahuku. Sejujurnya aku lelah seperti ini. “Nek, tolong berhenti. Mereka tak akan kembali.” Bisikku lirih. Nenek melepaskan pelukannya namun kembali menangis saat menatapku. Mungkin dimata beliau aku terlihat sangat menyedihkan.

Nenek menghapus air matanya, kemudian menciumi pipiku, “Bi… nenek yang akan menjagamu.” Ujar beliau. Tapi aku menggeleng lemah, “Tidak. Aku akan berjuang sendirian. Aku akan mandiri.” Beliau tak berkata lagi dan hanya terus terisak mendengarkan keputusanku.

……

 

April 2014

Author’s POV

Drrtt… drrtt.. drrtt…

Bianca menggapai-gapai meja kecil disamping tempat tidurnya yang nayaman, dimana terletak ponselnya yang tengah bergetar, pertanda panggilan masuk. Dengan mata setengah terpejam Bianca yang sudah berhasil meraih ponselnya mengangkatnya tanpa melihat lebih dulu siapa peneleponnya. “Moshi moshi.” Sapa Bianca.

“Selamat pagi cucuku tersayang. Selamat ulang tahun. Semoga cucu nenek yang satu ini selalu sehat dan tidak pernah lupa pada janjinya.” Mendengar kalimat pembuka itu Bianca langsung waspada dan menggapai kesadarannya secara kilat. Dijauhkan ponselnya dari telinganya dan diperhatikannya dengan baik layar ponsel itu.  Hanzawa Granny. Cuma satu nama itu yang paling dia hindari selama ini. Bianca menghela nafasnya lalu kemudian menempelkan kembali ponselnya ke telinga. Menyiapkan diri mendengar berita apapun.

“Selamat pagi nenek. Terima kasih sudah mengucapkan sepagi ini. Ini masih jam 4 pagi loh nek.” Sindir Bianca. Terdengar suara tawa kecil dari ujung telepon. “Nenek tahu, sayang. Karena ada alasanlah nenek menelepon. Masih ingat janjimu sayang? Janji 8 tahun yang lalu. Soal pertunanganmu?” Bianca mendengus, tentu saja topic itu akan segera dibawa ke permukaan saat usianya genap menjadi perak. “Iya aku ingat nenek. Kenapa kah? Apakah hari ini pertunangannya akan dilaksanakan?” tanya Bianca. Lagi-lagi terdengar suara tawa kecil.

“Nenek bangga akan dirimu sayang. Ummm, hari ini pukul 4 sore, berdandanlah yang baik. Jemputlah calon suamimu di Horikoshi High School ya. Jangan sampai memalukan nenek dan keluarga Hanzawa loh. Jadi kau harus datang, menjemputnya dan membawanya ke rumah nenek. Kami para orang tua akan menunggu.” Hampir saja Bianca mengiyakan, “Eh tunggu dulu, Nek. Kenapa aku yang harus menjemputnya? Harusnya laki-laki dong yang menjempuku.”

Nenek tertawa sekali lagi, namun kali ini lebih keras, “Tentu saja kali ini berbeda. Kaulah yang harus menjemputnya. Mengerti sayang. Ja… sampai jumpa.” Sambungan diputus begitu saja. Bianca mendnegus dan membanting ponselnya di kasur karena kesal, “Ihhh apa-apaan ini. Masa aku yang harus menjemputnya.” Bianca kemudian menutup wajahnya dengan bantal putihnya.

……

 

November  2006

Bianca’s POV

Hari ini adalah hari keempatpuluh kedua orang tuaku meninggal dunia. Tepat hari ini nenek mengadakan peringatan kematian dan setelah usai acara tersebut, aku dipanggil mengunjungi ruang kerja beliau. Ruang kerja gaya kuno namun tetap terkesan classy itu nampak lebih sayu dari biasanya. Biasanya setidaknya ruangan dengan 3 buah rak tinggi berisi buku-buku koleksi almarhum kakek sekaligus milik nenek selalu nampak hangat dan membuatku betah disana. Tapi tidak hari ini. Hari ini instingku berkata sesuatu.

“Nak, nenek bermaksud menyampaikan wasiat ayahmu. Semua pembiayaanmu memang akan tetap diberikan oleh keluarga Hanzawa. Sebenarnya nenek masih mampu merawatmu. Kau bisa tinggal disini sampai kau merasa mampu hidup mandiri. Nenek ingin..”

“Aku akan tinggal sendiri diapartemenku sendiri nek. Aku bisa hidup sendiri.” Belum selesai nenek menyelesaikan kalimatnya aku sudah memotongnya. Beliau nampak menghela nafasnya, “Baiklah, nenek mengerti. Tapi satu hal Bianca. Nenek ingin kau berjanji, kau akan kembali dan meneruskan tradisi keluarga Hanzawa. Kau akan menjalani perjodohan. Dan selama menunggu masa perjodohanmu diusia 25 tahun, kau berkesempatan hidup mandiri diluar sana sesuai keinginanmu. Tapi setelah itu, kau harus kembali kesini.”

Aku terpengarah, tak mempercayai berita itu datang secepat ini. Aku memang mengetahui soal perjodohan itu, tapi aku benar-benar tak menyangka secepat ini. “Kenapa harus aku nek?” tanyaku. Nenek tersenyum hangat, “Karena, kakekmulah yang menetapkan kau harus menikah dengan koleganya. Nenek mengharapkan kau mengikuti tradisi keluarga Hanzwa seperti yang telah kami lakukan sebelumnya. Mengerti nak? Berjanjilah pada nenek.”

Air mataku luruh namun aku memilih menyembunyikannya. Aku mengangguk pelan, “Aku mengerti nek. Aku berjanji.” Ujarku sambil mengacungkan jari kelingking kananku.

…….

 

April 2014

Auhtor’s POV

Bianca memperhatikan halaman Horikoshi High School, mencari sosok calon tunangannya yang sama sekali tak diketahuinya berwujud seperti apa. Karena nenek sama sekali tak mau memberikannya petunjuk apapun mengenai calon tunangannya, hanya sebuah nama yang kini menjadi bekalnya. “Baiklah Lewis Jesse, siapapun kau cepatlah muncul dan kita selesaikan ini semua.” Gumam Bianca sambil melepaskan sabuk pengaman yang melingkar ditubuhnya.

Bianca membuka pintu mobil merahnya dan menguncinya dengan rapat. Melalui bayangannya dimobil dia mengecek sekali lagi penampilannya. Baju dress warna pink pucat selutut dipadu dengan sepatu flat warna senada dan rambutnya yang baru lewat sebahu berwarna kecoklatan dibiarkan tergerai dan tanpa menggunakan aksesoris apapun. Wajahnya pun tidak mengenakan make up yang tebal. Semua terlihat sederhana namun tidak memalukan seperti kata nenek.

Bianca berjalan mencapai kantor guru sekaligus mengenang masa dia SMA 8 tahun yang lalu. Mengingat bagaimana dia dulu tergila-gila dengan seseorang, senpainya di klub matematika, Kato Shigeaki. Tapi itu hanyalah sebagian kecil dari masa SMAnya. Karena dia memilih mengabaikan mengejar senpainya dan memilih berpacaran dengan orang lain. Bianca berbelok ke kanan ketika mencapai ujung koridor dan dia menemukan ruang guru yang masih sama dengan 8 tahun yang lalu. Dia menyiapkan diri sebelum masuk ke dalamnya.

“Selamat sore.” Sapa Bianca. Disana tersisa 4 orang guru laki-laki dan 7 orang guru perempuan, namun hanya 2 orang yang dikenalinya. “Asataga, Hanzawa Bianca?” sapa salah seorang guru senior yang dikenal Bianca. Bianca mengangguk dan tersenyum. “Selamat sore, Ishihara Sensei. Apa kabar? Lama tak berjumpa.” Sapa Bianca.

“Ini Hanzawa Bianca murid kelas A? Astaga, kau makin cantik, Hanzawa-chan.” Bianca menoleh dan kembali membungkukkan badannya, “Atsuka Sensei juga masih cantik seperti biasanya.” Puji Bianca tulus. Kediua guru senior itu terus berdecak kagum, “Apa yang membawamu kemari, Hanzawa chan? Apa yang bisa kami bantu.” Tanya Ishihara sensei. Bianca mengulas senyumnya. “Anoo, sensei, aku perlu menemui Lewis-san. Kudengar dia berada disini. Mungkinkah sedang mengajar?” tanya bIanca sambil memperhatikan 4 orang laki-laki yang menatapnya penasaran.

“Lewis? Siapa Lewis?” tanya Atsuka sensei. Bianca menoleh dan menatap raut bingung dari gurunya, “Eh? Tidak ada guru atau pegawai yang bernama Lewis Jesse disini?” tanya Bianca. Kedua gurunya hanya menggeleng, “Tidak ada yang namanya Lewis Jesse kalau diruangan guru. Tapi mungkin kau mencari Lewis Jesse murid kelas 3 A. Murid kami yang paling jenius.” Ujar Ishihara sensei, “Apa?” Bianca mau tak mau terkejut mendengar hal itu.

“Ah, kebetulan kau kemari Iwahashi. Tolong antarkan nona Hanzawa bertemu dengan Lewis ya.” Ujar Ishihara sensei pada seorang anak laki-laki yang baru masuk sambil membawa tumpukan buku berwarna coklat. “Tunggu Ishihara sensei, maksudnya apa disini hanya ada Lewis Jesse yang seorang murid? Benar-benar tidak ada pegawai apapun yang bernama Lewis Jesse?” tanya Bianca mulai panik. Dengan bingung Ishihara sensei dan Atsuka sensei hanya saling berpandangan kemudian dengan kompak menggeleng. “Hanzawa chan, disini hanya ada satu orang Lewis Jesse. Dan dialah murid kami.” Seketika tubuh Bianca melemas dan luruh tak sadarkan diri.

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
No comments yet