Some Secret

WHITE SUMMER

Oktober 2004

Author’s POV

Jesse mengikuti langkah-langkah besar kakek Hanzawa dan kekeknya yang akan pergi memancing. Dibahu Jesse dia memanggul satu tas berisi onigiri buatan neneknya yang menjadi bekal makan siang mereka. “Sa… kita duduk disini saja ya.” Ujar kakek Hanzawa sambil menghentikan langkahnya. Lalu menggelar kursi lipat yang sedari tadi dipanggulnya. Belum lagi kakeknya sendiri yang menyiapkan perlengkapan memancing. Sedangkan Jesse marapihkan tikar gulung untuknya duduk. Mereka bertiga duduk menunggu pancing kedua kakek dimakan oleh ikan.

“Jesse-kun.. ada satu rahasia dari cucuku yang harus kau tahu.” Ujar Kakek Hanzawa membuka pembicaraannya.

“Ne.. apa itu kek?” tanya Jesse penasaran.

“Cucuku itu tak akan membiarkan orang lain tahu kalau dia menangis. Ketahuilah, saat dia hanya diam saja itu tandanya dia sedang sedih dan terluka. Maka kau harus berhati-hati menjaganya nanti.”

“Hanzawaaa… bukankah Jesseku masih terlampau kecil?”

“Tidak Lewis. Dia sudah cukup pantas mengetahuinya. Jadi Jesse-kun, kau harus menjaganya dengan segenap hati dan jiwa raga serta pikiranmu. Mengerti.” Jesse mengangguk-angguk mengiyakan permintaan itu.

……

 

Mei 2014

Author’s POV

“Lewis-san, saya mau mengingatkan jadwal check up anda. Besok jam 10 pagi di Rumah Sakit Keio.” Ujar Terakawa Kiko, personal asisten Jesse. Sejak umur 16 tahun, Jesse sudah dibekali satu orang personal asisten untuk mengingatkannya banyak jadwal dan kegiatan yang tak mungkin diaturnya sendiri. Sesuai tradisi keluarga Lewis dikeluarga itu, anak laki-laki yang merupakan penerus perusahaan keluarga berhak mendapatkan pendidikan manajerial sejak usia 16 tahun. Dan mulai saat itulah Jesse mendapatkan pelajaran tambahan sekaligus mendapatkan personal asistennya.

“Aku mengerti. Ingatkan aku. Bagaimana jam sekolahku? Apa sudah diatur juga?” tanya Jesse sambil memeriksa laporan keuangan perusahaan yang baru diterimanya. Asisten yang bernama Terakawa Kiko itu mengangguk, “Saya sudah meminta keringanan izin untuk anda dari jam 9 pagi sampai jam 2 siang. Setelah itu anda bisa kembali keseklolah.” Jesse mengangguk-angguk. “Wakatta. Terima kasih, Terakawa-san.”

Perempuan muda itu melenggang pergi meninggalkan Jesse. Hari sudah menjelang pukul 9 malam dan seharian ini dia belum menghubungi Bianca. Diraihnya ponselnya dan dicarinya sebuah nama dan ditekannya tombol panggil. Terdengar nada sambung. “Moshi moshi.” Sebuah suara yang selalu dirindukannya.

“Aku merindukanmu, Bi.”

……

Jesse melangkah keluar setelah pakaian khusus medical check upnya telah dia lepas dari tubuhnya dan dia mengenakan kembali kemeja seragamnya. Dia tersenyum pada dokter Sakurai yang telah menyambutnya. Dia dokter kepercayaan keluarganya selama bertahun-tahun. “Jesse-kun, sebelumnya aku ingin menyampaikan kalau laporan kesehatanmu harus didengar juga oleh orang tuamu. Tapi aku sudah memberitahukan pada ibumu mengenai kondisi kesehatanmu. Beliau akan segera kembali ke sini untuk mendiskusikan pengobatan lebih lanjut.”

Jesse mengernyitkan dahinya, “Pengobatan? Ada apa sebenarnya?”

Dokter Sakurai nampak menarik nafasnya, seperti menyiapkan mentalnya. Dokter Sakurai mengeluarkan lembaran laporan dari sebuah map yang bernama Lewis Jesse, Jesse menggerakkan badannya lebih condong kearah meja Dokter Sakurai. Dokter Sakurai memaparkan lembaran hasil tes kesehatan Jesse ke mejanya menjadi beberapa bagian. “Secara keseluruhan semua terlihat baik Jesse-kun, namun kali ini kami menemukan hal yang berbeda. Ada indikasi kanker darah di sel darahmu. Sel darah putihmu mulai berkembang tak terkendali akibat serangan kanker. Seperti yang kita tahu, penyakit ini lebih banyak diturunkan dari orang tua pada anak meskipun ada yang disebabkan karena makanan.”

“Tentunya kita tak perlu mempertanyakan bagaimana pola makan dikeluargamu. Jadi kami menyempulkan, sel kanker ini sama dengan yang berada di tubuh mendiang ayahmu dulu. Atau penularan karena keturunan.” Dokter Sakurai menghentikan penjelasannya. Jesse menghempaskan bahunya disandaran kursi.

“Seberapa berbahaya?” tanya Jesse. Dokter Sakurai menatapnya prihatin kemudian mengeluarkan sebuah amplop. Menyerahkan pada Jesse, “Silahkan kau membacanya sendiri, Jesse-kun.”

……

 

Jesse’s POV

Brak!! Pintu kamarku menjeblak terbuka, ibuku berdiri disana dengan bersimbah air mata. “Jejekuuuuu….” Teriak ibu sambil berlari dan kemudian memelukku. Aku hanya diam mematung menatap lembaran kertas yang sudah aku remas karena kesal. Leukimia stadium 3. Sudah cukup ganas untuk diberi pengobatan.

Ibuku masih terisak dan memelukku sampai menit kesepuluh, “Bu, sudahlah.” Ujarku. Ibu akhirnya melepaskan pelukannya dan mencoba menghentikan tangisnya. Raut wajahnya yang mulai menua tapi selalu nampak segar dan cantik. Ibuku memang awet muda dan sangat pintar menjaga kesehatan tubuhnya. Beliau sangat rajin makan buah dan vegetarian pula. Terutama sejak kematian ayah, ibu jadi makin over protektif padaku dan nenek. Tapi ternyata ibu terlambat. Kanker itu sudha lebih dulu bersemayam ditubuhku.

“Bagaimana kau bisa menderita begini nak? Kau bahkan baru bertunangan.” Ujar beliau. Ya, aku baru bertunangan dengan Bianca. Bagaimana aku bisa lupa kalau aku punya tanggung jawab itu. Satu-satunya orang yang kucintai selain nenek dan ibuku. Bianca tak boleh tahu tentang ini. Aku meraih bahu ibuku, menatap mata beliau dengan intens, “Bu, jangan biarkan Bianca tahu. Nenek Hanzawa boleh tahu, tapi Bianca tidak. Bianca tak boleh tahu.” Ujarku.

Raut wajah ibuku berubah, “Kenapa tidak?” aku menggeleng, “Biar aku yang menyelesaikan dengannya.” Ujarku. Ibuku menutup mulutnya tanda tak bisa berkomentar apapun lagi. Beliau kembali memelukku. “Kenapa harus kau nak? Kenapa? Ayahmu jahat sekali meninggalkan kankernya padamu.”

“Hushhhh… ibu tak boleh berkata begitu. Aku sudah siap kok.” Ujarku lebih kepada menyakinkan diriku sendiri.

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
No comments yet