PART 5 – WRONG PERSON

THEY SAID YOU ARE MY MOTHER

Miyoung’s POV

“Saem Mi!!!” teriak muridku begitu bersemangat, aku menghentikan gerakanku, kemudian meletakkan kembali motor matic milikku dan melepas helm yang kukenakan, aku berjalan menghampiri murid favoritku. Aku tersenyum dan melambaikan tanganku kearahnya. “Belum dijemput, Nak?” tanyaku. Dia menggeleng kemudian terlihat murung. “Kenapa, Teya?” tanyaku.

Dia kemudian duduk dibangku dan memangku dagunya dengan kedua telapak tangannya. “Appa harusnya menjemput Teya untuk menemani Teya les piano. Appa berjanji kali ini akan sekalian membelikan Teya buku baru. Tapi Appa belum datang.” Ujarnya lesu. Aku tersenyum kemudian duduk disampingnya dan merengkuhnya. “Teya ingat nomor ponsel, Appa? Mungkin Saem bisa bantu menelepon.” Ujarku memberikan saran.

Mata bulatnya kemudian terlihat sumringah dan bersemangat, “Ne, Saem. Nomornya 010-888-107-706.” Ujarnya. Aku menekan panel-panel angka dilayar sentuhku, nomornya sangat familiar sekali.

“Ne.. Yobboseyo… Maaf apakah ini ayah dari Teya, Zhang Teya.”

Ya betul. Ada apa dengan Teya?” suara diseberang sangat familiar ditelingaku, dan dia terdengar cemas.

“Ah… aniyo. Saya Saem Mi, wali kelas Teya. Saat ini saya menemani Teya. Katanya dia menunggu anda.”

Ah, astaga saya lupa. Saya sedang mengejar meeting. Bisakah anda mengantarkannya di gedung Wufan Groups, di daerah Gangnam?” aku menghela nafas. Bisa-bisanya dia meminta tolong padaku, memangnya dia pikir aku tak ada acara.

“Eh, maaf tadi anda bilang di Wufan Groups?” tanyaku memastikan, jika disitu maka tak masalah bagiku, karena Kris menungguku setelah meeting dengan kliennya jam 11. Kami akan makan bersama.

Ah ne. Benar di Wufan Groups, bisakah? Saya harus mengejar meeting Karena rekan bisnis saya ada janji saat makan siang, saya harus menemuinya sebelum itu. Maaf. Tolong saya.

“Ne, Arraso. Nanti saya antar Teya kemana?” tanyaku.

Nanti titipkan saja ke bagian resepsionis, saya akan meminta bantuan mereka untuk mengawasinya. Ah jeongmal khamsahamnida.” Ujarnya begitu bersemangat.

“Ah ne. Cheonmanayo.”

Sambungan terputus, Teya menatapku dengan tatapan penuh rasa ingin tahu. “Nak, Appa sepertinya harus mengejar meeting yang mendadak sebelum jam makan siang, jadi sepertinya Saem harus mengantarmu kesana karena Saem kebetulan juga akan ke gedung yang sama.” Jelasku. Teya tampak kecewa.

“Ayo, Nak. Atau Teya mau menunggu disini?” tanyaku memberikan pilihan. Dia menggeleng, “Teya ikut Saem saja.” Ujarnya.

***

 

“Maaf, Nyonya. Apa anda Saem Mi dan ini Teya, putri Mr. Zhang?” Tanya seorang resepsionis bahkan sebelum aku bertanya. Aku mengangguk, “Ah ne. Betul sekali. Kutebak Mr.Zhang sudah menginstruksikan untuk menjaga putrinya. Dimana Mr.Zhang?” resepsionis itu tersenyum, “Mr.Zhang sedang meeting saat ini. Anda bisa menunggu bersama Nona Teya disofa itu atau bila anda ada keperluan Mr.Zhang berpesan tidak apa-apa jika anda pergi terlebih dahulu.” Ujarnya.

Aku melirik Teya yang masih menggenggam erat tasku, tatapannya sedih, “Saem, Teya takut.” Katanya lirih, aku menghela nafasku. Toh, Kris belum menelepon, jadi mungkin masih lama meetingnya. “Tidak kok. Saya akan menemani Teya. Terima kasih.”

“Sama-sama, Nyonya. Mau disiapkan teh dan kue?” tawarnya, aku tersenyum dan mengangguk, “Terima kasih. Kalau ada coklat hangat untuk Teya, ya.” Jawabku. “Baik, mohon ditunggu.”

***

 

35 menit sudaH berlalu. Aku masih menemani Teya menunggu ayahnya, Teya  yang kini menggambar menggunakan crayonnya. Aku meliriknya, “Hei,Teya menggambar apa?” tanyaku. Teya tersenyum kemudian menunjukkan gambarnya, “Ini Teya dan Appa, kami sedang berlibur ke pantai. Kata Appa, eomma Teya sangat menyukai pohon-pohon dijalan menuju pantai itu. Eomma juga menyukai pantai. Suatu ketika Teya ingin ke pantai favorit eomma lagi.” Ujarnya bersemangat.

Aku tersenyum dengan rasa hati yang seperti teriris-iris berkali-kali. Rasanya menyakitkan mengetahui bahwa muridku yang paling cemerlang dan ceria ini sudah kehilangan ibunya bahkan sejak kecil, sekecil ini. Aku merengkuhnya kemudian mendaratkan kecupan dan meninggalkan bentuk bibir pinkish dipipi tembamnya. “Saem sayang Teya?” tanyanya polos. Aku mengangguk.

“Lebih sayang Teya atau jimin?” tanyanya. Aku tertawa kecil, dia membandingkan dirinya dengan Jimin, muridku yang lain yang pintar bernyanyi dan baru minggu lalu kuhadiahkan sebuah syal atas keberhasilannya meraih juara satu lomba menyanyi. “Tentu lebih sayang Teya dong.” Ujarku. Teya menggeleng, “Tapi Saem tak pernah membelikan Teya apapun.” Ujarnya, jadi kau cemburu, nak?

“Teya, dengarkan Saem. Kenapa Saem membelikan syal untuk Jimin, karena Saem tau, kedua orang tua Jimin tidak punya cukup uang untuk membelikan Jimin sehelai Syal baru, sedangkan sebentar lagi cuaca akan lebih dingin, nah Saem memutuskan membelikannya satu sekalian memberinya ucapan selamat untuk keberhasilannya meraih juara satu lomba menyanyi.” Jelasku. Mata bulat Teya kemudian berair dan sepasang tangan kecilnya merengkuhku.

“Maafkan Teya, Saem.” Ujarnya. Aku mengangguk-angguk, “Percayalah sayang, selalu banyak rahasia dibalik semua fakta disekitar kita. Jangan cepat cemburu pada orang lain ya, Nak.” Ujarku. Dia mengangguk-angguk.

Drrrttttt drrrttt. Ponselku bergetar, tanda telepon masuk. Krs Wu calling….

“Yobboseyo. Ne, aku sudah berada dikantormu. Ne?? aku kelantai 17? Tapi aku…. Ah, arraso. Chamkaman… Teya, Nak, bolehkah Saem meninggalkan Teya? Teya berani disini sendiri? Nanti Saem akan SMS appa memberitahukan Teya disini menunggu. Bagaimana? Saem harus bertemu seseorang, Nak.”

“Arraso Saem. Tidak apa-apa. Teya sudah berani.”

“Teya!!!” suara seseorang dari kejauhan baru keluar Lift. Aku melirik Teya, “Ayah Teya?” Teya mengangguk, “Ne Saem.”

“Baiklah, Saem tinggal ya.” Ujarku sambil bergegas meraih handbagku dan menuju kearah lift yang diinstruksikan Kris via telepon.

***

 

Yixing’s POV

Aku melihat seorang perempuan menggunakan dress coklat selutut dibalut long coat warna coklat tua. Meraih handbagnya kemudian bergegas menuju lift eksekutif sambil masih menempelkan ponselnya ditelinganya. Dia baru meninggalkan putriku, Teya.

“Itu Saem Mi, Nak?” tanyaku. Teya mengangguk sambil membereskan buku dan crayonnya. Aku melirik sekali lagi kearah perempuan itu, dia menoleh sebentar. Wajahnya sangat familiar. Perempuan itu tersenyum kearahku. Senyum itu…

“Miyoung!!!” panggilku keras-keras. Tak salah lagi…

Aku mengejar perempuan itu sampai Lift eksekutif yang menjadi tujuannya. Tepat sebelum menutup, aku menangkap seorang perempuan dengan long coat warna coklat tua, “Miyoung…” panggilku lirih. Perempuan itu menoleh kearahku.

“Ne, maaf?”

Aku terbelalak, ternyata memang halusinasiku. “Maaf Saem, saya pikir anda seseorang yang saya kenal. Maaf sekali lagi Saem. Terima kasih sudah menjaga Teya.” Ujarku cepat-cepat kemudian segera pergi menghampiri Teya yang pasti kebingungan karena aku tiba-tiba berlari.

 

(flashback)

“Kenapa sih Oppa menyukaiku?” tanyanya. Dia masih belum menjawap pertanyaanku yang memintanya untuk menjadi pacarku. Aku diam ragu-ragu menjawab. Sumpah, aku juga tidak tahu kenapa aku bisa begini sukanya dengamu.

“Kau tau, kita tidak bisa memilih untuk jatuh cinta pada siapa. Minggu lalu aku menemukan seroang gadis berkepang dua turun dari sepeda pinknya, menyelamatkan seekor anak kucing dari atas pohon tanpa mempertimbangkan keselamatannya. Dan minggu lalu itu, aku mencoba menolongnya saat dia hampir terjatuh. Aku menatap mata coklatnya yang bulat menatapku. Pipinya memerah karena malu, kemudian dengan menunduk dia mengucap terima kasih.Aku tak sempat berkenalan dengannya, tapi aku sempat melihat name tagnya, namanya Jang Miyoung. Dan sejak itulah aku jatuh cinta padamu.” Jawabku.

Pipinya memerah menahan malu. Kemudian samar-samar dia mengangguk dan menerima uluran bunga Daisy dariku. “Jawabannya iya, kan?” tanyaku memastikan. Sekali lagi dia hanya mengangguk dan memberikan senyuman termanis yang pernah aku lihat.

Aku jatuh cinta berkali-kali karena senyumnya.

(flashback end)

***

 

Miyoung’s POV

Aku keluar dari toilet dekat lift eksekutif. Dandananku sudah rapih, tadi aku ragu saat hendak masuk lift karena itulah aku memutuskan masuk toilet terlebih dahulu. Tunggu, tadi sepertinya ada yang memanggil namaku. Aku memeriksa disekitarku, siapa tahu ada orang yang aku kenal diluar sana namun aku mengacuhkannya. Tak kutemukan orang lain selain seorang satpam yang tersenyum kearahku.

“Mrs.Jang, anda sudah ditunggu Mr.Wu diatas.” Ujar seorang perempuan yang menggunakan long coat coklat yang sama persis dengan yang aku kenakan, muncul dari arah lobby. Aku tersenyum kearahnya. “Terima kasih, Nona Miyoung. Menyenangkan sekali selain  anda memiliki nama yang sama dengan saya, bahkan long coat anda sama dengan saya.” Candaku sambil mengedipkan sebelah mataku.

Aku mengenal sekretaris Kris yang ternyata memiliki nama yang sama denganku, dan bahkan kita lahir ditahun yang sama. Dan tak heran jika kami punya kegemaran yang sama. Dan aku bersahabat dengannya. “Well, apa kabar Kim Jongdae?” tanyaku pada  Miyoung tepat saat pintu lift tertutup. Dia tersipu, mereka baru menikah tiga bulan yang lalu, dan aku menghadirinya. “Baik Mrs.Jang, dia sedang membantu Mr.Wu menyelesaikan  agreement denga Park Holdings.” Ujarnya. Aku manggut-manggut memahami maksudnya.

Kim Jongdae, suami dari Im Miyoung, adalah salah satu dari 5 pengacara perusahaan Kris yang mengurus urusan agreement dibidang textile, Karena perusahaan Kris tidak hanya bergerak disatu bidang saja. Aku mengenal Jongdae, dan beberapa kali bertemu, namun keempat pengacara lainnya aku tak pernah tahu.

“Silahkan Mrs.Jang. Mr.Wu menunggu didalam.”

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
riezaimar #1
sediiih... tapi gw suka kris nya bahagia...:)