First Meeting

Like a Drama - versi Indonesia
Please Subscribe to read the full chapter

Langkah kaki Junho menapak di koridor dengan tergesa-gesa. Sambil membawa sebuah map berisi lembaran-lembaran partitur dalam dekapannya. Ia harus cepat, sebelum Park seosangnim pulang ke rumahnya, Junho harus sudah menyerahkan hasil tugas spesial yang Park Seosangnim berikan padanya sejak seminggu lalu.

 

Semakin mendekati ruangan guru,  Junho semakin menpercepat langkahnya. Ia bahkan nyaris berlari kecil, sampai tidak bisa menghindar dari orang yang tiba-tiba saja muncul di tikungan. Tabrakan kecil pun tak bisa dihindari.

 

Tubuhya agak terpantul ke belakang, namun dengan langkah kaki sigap, Junho mundur dua langkah dan berhasil menjaga keseimbangannya untuk tetap berdiri. Untungnya lembaran partitur dalam dekapannya tidak terjatuh maupun terbang kemana-mana. Junho menghela nafas legah, baru saja ia ingin meminta maaf pada orang di hadapannya—

 

"Oh astaga! Bajuku...." namja tinggi di hadapannya itu sedang meratapi hem coklat yang ia kenakan, telah ternodai tumpahan coca cola —yang ia bawa— di bagian perutnya. Nodanya tidak mencolok karena warna baju dan air bersoda itu nyaris sama. Tapi tetap saja, itu terlihat basah.

 

"Maafkan aku. Aku benar-benar tidak sengaja." Junho membungkuk sopan, merasa bersalah, meski itu sedikit. Karena pikiran Junho saat ini dipenuhi oleh tugas yang harus ia segera serahkan pada Park seosangnim. Tanpa menunggu balasan dari namja tinggi di hadapannya, Junho kembali berjalan  melewatinya.

 

"Hei," tapi namja itu menahan lengannya dengan kasar. "Tidakkah kau merasa bersalah?" ketusnya kesal.

 

"Bukannya aku sudah minta maaf?" bela Junho tak mau kalah. Oh ayolah, ia harus segera pergi menemui Park seosangnim.

 

"Kata maaf saja tidaklah cukup. Kau tahu, bajuku ini sangat mahal."

 

Yang benar saja? Junho memutar matanya bosan, tak percaya kalau masih saja ada orang yang mempermasalahkan tentang barang-barang mahal. Kalau memang ingin barang mahal yang mereka beli tetap terlihat berharga dan sempurna, mengapa harus dipakai? Simpan saja terus di lemari, pasti barangnya akan tetap terlihat baru dan mahal, iya kan? Yah, setidaknya tidak sampai dimakan zaman.

 

Ngomong-ngomong tentang baju, Junho baru sadar namja di hadapannya ini tak menggenakan seragam sekolah, maupun baju formal layaknya seorang guru. Dan semakin Junho perhatikan, Junho semakin sadar. Namja di hadapannya ini adalah namja yang ia lihat tadi dari kelas atas, namja yang bersandar di samping sepeda motor di tepi lapangan, dan namja bodoh —menurut Junho— yang mau menghabiskan waktunya hanya untuk sekedar menggoda siswi yeoja Kirin yang sedang lewat. Pantas saja ia tampak menjaga penampilannya dan mempermasalahkan masalah kecil tentang noda kecil di baju. Biar Junho tebak, pasti namja itu tetap ingin terlihat sempurna di depan semua yeoja yang ingin ia goda. Hah, menggelikan.

 

Tunngu. Lee Junho! Sadarlah! Ini bukan waktunya untuk menilai orang lain —yang bahkan belum kau kenal—. Kau harus cepat menemui Park seosangnim sebelum beliau pulang ke rumah.

 

Junho segera merogoh saku blaster seragamnya, maupun saku celananya. Tapi ia sama sekali tak membawa sapu tangan maupun tissu. Tak kehilangan akal, Junho dengan terpaksa, melepas dasinya sendiri, menggulungnya dalam lipatan segiempat. Junho mengambil tangan namja tinggi itu —Chansung—, tanpa izin ia memberikan lipatan dasi itu di telapak tangan Chansung dengan paksa.

 

"Apa maksudnya ini?" jelas Chansung tak mengerti.

 

"Dengar, Aku benar-benar tidak sengaja menabrakmu tadi. Aku minta maaf," Junho mencoba untuk bersikap sopan, meski sebenarnya dia cukup kesal karena waktunya terhambat. "Aku tak membawa tissu atau saputangan. Kau bisa menggunakan dasiku itu untuk membersihkan noda di bajumu, lagipula noda colanya tak kentara, hanya perlu dikeringkan saja."

 

"Apa?" Chansung menatap Junho tak percaya. "Kau menyuruhku untuk membersihkannya sendiri?" nada suara Chansung terdengar mustahil seolah ia baru saja disuruh mengubah gendernya saat itu juga. "Bukannya seharusnya kau yang membersihkannya karena kau yang menabrakku?" sungutnya memaksa.

 

"Aku sedang terburu-terburu!" Junho menghentakkan sebelah kakinya kesal. Habis sudah kesabarannya. "Lagipula kau tak ada kerjaan kan? Daripada melakukan hal bodoh menggoda siswi Kirin, lebih baik kau bersihkan saja sebentar bajumu itu. Tanganmu juga baik-baik saja dan tidak cacat, jadi untuk apa aku membersihkannya? Dasar manja!" cibir Junho di akhir ucapannya.

 

Chansung menganga, melongo di tempat mendapati omelan Junho. Bukannya yang salah di sini adalah namja yang menabraknya itu. Mengapa malah dia yang balik dimarahi?

 

Junho memgambil kesempatan ini untuk segera berbalik dan lari secepat mungkin agar ia tak terlambat dengan tujuannya. Tak mempedulikan suara namja tinggi tadi yang meneriakinya dari belakang.

 

"Yach! Yach! Mau kemana kau!" melihat panggilannya sama sekali tidak digubris, dengan punggung Junho yang semakin menjauh dan hilang di ujung tikungan. Membuat Chansung semakin kesal.

 

Chansung mengumpat pelan. Lalu melihat lipatan dasi yang berada di tangannya. Berpikir sejenak, Chansung pun memcoba menggunakan lipatan dasi itu untuk mengusap noda di baju coklatnya. Tiga usapan, tak ada perubahan. Lima usapan, tetap sama. Chansung tersadar.

 

"Sial." Ia membanting dasi itu ke lantai. "Aku dikerjai!" sungutnya tak terima. Sebelah tangan Chansung yang tak memegang kaleng cola, bertolak pinggang. Mengangkat kepalanya ke atas sambil menghembuskan nafas lewat mulut, menahan amarahnya. Baru saja Chansung melangkahi dasi itu, ia terhenti.

 

Menatap penuh kebencian pada dasi itu di lantai, seolah ia sedang menatap pemiliknya. Chansung melempar sisa kaleng colanya di tempat sampah terdekat, dan beralih memungut dasi tersebut dari lantai. "Lihat saja nanti. Kalau aku bertemu dengannya lagi." Chansung membuka gulungan dasi itu, memelintirnya erat dengan kedua tangannya. "Akan kuikat kakinya biar dia tak bisa lari kemana-mana!" desisnya dengan gigi bergemulutuk "Dan akan kuberikan ia pelajaran. Awas saja nanti!" sumpahnya dengan mata besar yang membara penuh akan kilatan dendam.

 

.

 

.

 

.

 

.

 

"Terima kasih sudah mau membantuku." Minjun sedikit membungkuk.

 

"Tak masalah." Wooyoung tersenyum kecil.

 

Suasana canggung diantara keduanya bahkan tak juga hilang setibanya mereka di depan kantor kepsek.

 

"Eumm..." Wooyoung menggaruk pipinya, kikuk. "...kalau begitu, aku pergi," pamitnya.

 

"Ya," Minjun mengangguk, kali ini ia yang tersenyum melihat tingkah lucu Wooyoung. "Sampai jumpa lagi."

 

Wooyoung ikut tersenyum, kali ini lebih lebar, terlihat seperti senyuman kekanakan. "Ndeh." ia mengangguk singkat, lalu berbalik pergi.

 

Sepeninggalan Wooyoung, Minjun berbalik menghadap pintu kepsek. Wajahnya berubah tegang. Menarik nafas panjang sejenak, ia mengetuk daun pintu tiga kali. Suara berat seorang pria di balik ruangan menyahut, menyuruhnya masuk.

 

Menelan ludah sekali, jelas Minjun gugup. Tapi ia memberanikan diri untuk membuka pintu. Memasuki ruangan sambil menarik koper dibelakangnya, dan juga boneka panda yang berada dalam lipatan tangannya. Tak lupa ia menutup  pintu di belakangnya.

 

Pria berumuran empat puluhan tahun itu masih berkutak di balik mejanya dengan beberapa dokumen sekolah. Kacamata baca persegi bertengger di tengah hidungnya. Sebelah tangannya mengangkat lembaran kertas, sementara tangan lain sibuk memberi tanda tangan pada lembaran lain yang berada di atas mejanya.

 

Minjun tetap berdiri di tempat, di depan pintu tanpa ingin melangkah lebih dekat lagi. Tak merasa resah maupun kesal karena kehadirannya masih juga belum diperhatikan.

 

"Siapa? Ada perlu apa?" tanya sang kepala sekolah tanpa sedetikpun melirik ke arah Minjun. Masih sibuk dengan dokumennya sendiri. Alisnya lalu bertaut heran karena detik berlalu tanpa ada jawaban dari orang yang baru saja masuk ke kantornya. Ia pun mengangkat kepalanya dari lembaran kertas di atas meja. "Siapa—" Hendak mengulang pertanyaan, namun yang terjadi malah matanya yang membulat, melebar terkejut dengan mulut yang menganga. "Astaga. Apa yang—" Sang kepala sekolah langsung berdiri dari tempat duduknya, tak sanggup melanjutkan perkataannya, terlalu terkejut dengan sosok yang berdiri di hadapannya.

 

Minjun mengusap lengannya kikuk.  "Hai appa..." ia tersenyum kaku. "...lama tidak bertemu."

 

.

 

.

 

.

 

.

 

"Sembilan belas, dua puluh,  dua puluh satu," Chansung membaca tiap nomor pintu kamar asrama yang ia lewati.  "....dua puluh dua....dan.... Binggo! Dua puluh tiga!" Chansung pun tersenyum senang mendapati kamar asrama yang akan ia tempati.

 

Sambil membawa tas kulit punggung hitam, Chansung membuka pintu kamar dengan kunci yang sudah diberikan padanya dari kantor guru. Kamar itu masih sepi, ada tiga ranjang single yang tersusun terpisah dengan perantara meja nakas kecil, dengan tiap kepala ranjang menempel pada sisi dinding barat. Dua ranjang sudah tertata rapi dengan seprei unik masing-masing.

 

Satu ranjang yang dekat pintu keluar dengan seprei bercorak kartun anak ayam kuning, ranjang tengah dengan seprei bercorak kartun chibi Harry potter yang menunggani sapu lidi, dan satu ranjag tersisa tanpa seprei di dekat jendela luar gedung asrama.  Menandakan ranjang polos  tanpa seprei itu milik Chansung.

 

Chansung sempat berpikir kalau mungkin ia salah masuk ke dalam kamar anak kecil, jika saja ia tak melihat koper dan barang bawaannya sudah berada di samping ranjang polos, yang artinya para pesuruhnya sudah mengantarkannya bahkan sebelum Chansung tiba di kamarnya sendiri.

 

Chansung berjalan mendekati ranjang, meletakkan tas punggungnya di samping ranjang, sederet dengan kopernya. Ia berjalan menghampiri jendela kecil kamar yang berbentuk persegi. Menyibak gorden birunya. Matanya meratapi gedung seberang yang dibatasi luasnya lapangan  hijau. "Sayangnya jarak asrama namja  dan yeoja terlalu jauh," Chansung cemberut kesal.

 

Ia menghela nafas pasrah.  "Setidaknya gedung akademik pelajaran kami tidak terpisah dengan yeoja. Ini lebih baik daripada sekolah khusus pria." Chansung tersenyum, mencoba menghibur dirinya sendiri.

 

"Jah, saatnya mandi dulu, lalu membereskan barang-barang." Chansung mengambil perlengkapan mandinya dari dalam tas. Lalu berjalan menghampiri pintu lain di sisi ruangan  yang Chansung yakini adalah kamar mandi dalam ruangan tersebut. Seperti gambar dalam brosur promosi sekolah asrama Kirin yang ia lihat sebelumnya.

 

Tak lama setelah bunyi shower terdengar, pintu kamar terbuka dari luar. Wooyoung memasuki kamarnya sambil melempar asal tas ranselnya di atas ranjang. Mendengar air shower di balik kamar mandi, membuat Wooyoung mendesah.

 

"Aissh... Junho lagi-lagi mendahuluiku," gumamnya kesal mengira Junho yang berada dalam kamar mandi. Menunggu Junho selesai mandi sama saja dengan membuang waktu lama dengan percuma. Tanpa berpikir lama lagi, Wooyoung berbalik meninggalkan kamar. Berniat numpang mandi di kamar sebelah, seperti biasa. Entah sengaja atau memang ia lagi-lagi lupa, Wooyoung pergi tanpa membawa perlengkapan mandinya.

 

"Hyung..." kepala Wooyoung nongol di balik pintu kamar yang tak terkunci itu. "Taecyeon hyung..."

 

Masih belum ada jawaban apapun. Ternyata memang tak ada orang di dalam kamar. Sedikit bingung karena tumben Taecyeon meninggalkan kamar tanpa dikunci. Wooyoung memasuki kamar tersebut tanpa sungkan, karena memang ia sudah terbiasa dengan suasana kamar hyung-nya.

 

"Hyung, aku numpang di kamar mandimu lagi yah?" ia berseru entah pada siapa. "Oke, terimakasih hyung," dan Wooyoung membalasnya sendiri seolah ia sudah tahu jawabannya. Ia terkikih geli sendiri sambil berjalan memasuki kamar mandi. Tanpa mau ambil pusing mengenai seprei merah yang baru terpasang pada salah satu ranjang baru yang berada di dekat jendela.

Please Subscribe to read the full chapter
Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
ruellovcr
#1
Chapter 11: bingung aku sama nichkhun sjksjakjskaj
ruellovcr
#2
Chapter 10: siapa yang nyebarin foto itu deh?? apa jangan2 ada hubungannya sama junho yang nangis?
ruellovcr
#3
Chapter 7: KSKSKSSSKS KACAU ToT
ruellovcr
#4
Chapter 5: chansung sama junho ini kayanya apa2 bisa dibawa ribut melulu ya wkwkwk

oh ya, aku jadi bingung sama nichkhun ... sejauh ini dia lebih milih siapa deh?
ruellovcr
#5
Chapter 4: aku kasian sama nichkhun, tapi kasian juga sama minjun :((
ruellovcr
#6
Chapter 3: baru di chapter ini aja udah gemesin huhuhu
taeckayforever #7
Chapter 3: INI TAUN 2020 DAN AKU BARU BACA, tidak ada harapan lanjut kah? ㅠ.ㅠ
diyoungie #8
Chapter 14: Hai thor, aku kembali di 2019 :) aku tau sih kalo kamu gak bakalan update ff ini, cuma lagi kangen aja sama mereka :')
Amaliaambar
#9
Chapter 14: Aaaaaaaaaaa fix aku baper maksimal paraaahhh, ceritanya ngena banget ih feelnya dapet bgt sumpaaahhhhhhh
aaaah update lg dong author-nim jngn bikin saya mati penasaran, walaupun udh lama update lah author-nim saya penasaran banget bangetan iniiiiii
diyoungie #10
hai thor, aku datang lagi untuk mengingatkan mu agar mengupdate ff ini haha ^^~~~