The First Rival

Like a Drama - versi Indonesia
Please Subscribe to read the full chapter

Sorry for Miss Typo n Hope you enjoy it~ ^^

 

...........

 

 

 

Suara dentingan logam kecil jatuh ke atas lantai, mur kecil itu sempat bergelinding menjauh dari kaki meja, tapi sebuah kaki lain menginjaknya dengan cepat, menghentikan pergerakan mur agar tak berpindah tempat terlalu jauh. Kaki itu terangkat ke sisi lain, dan tangan lain memungut mur kecil tersebut, mengembalikannya di atas meja. Di sisi sebuah laptop yang sudah terbongkar —terpisah dari keyboardnya.

 

"Hah...." suara helaan nafas lain terdengar begitu berat, dan sangat terpaksa. "Aku tak percaya aku melakukan ini semua sendiri."

 

"Berhentilah mengeluh Chansung. Dan cepat kerjakan kalau kau ingin segera selesai."

 

Chansung melirik sinis pada orang yang duduk di meja sebelah. "Ahjusshi! Kau seharusnya membantuku memperbaiki ini. Bukan malah menyuruhku untuk memperbaikinya sendiri."

 

"Yach! Bukannya kau sendiri yang bilang ingin segera selesai? Kalau aku yang memperbaikinya, kau harus menunggu selama tiga hari, karena aku masih punya banyak barang lain yang harus diperbaiki dulu," pria pemilik stan service itu menunjuk barang eletronik lain di atas mejanya. "Lagipula sejak dulu kau juga sering memperbaiki playstasion-mu sendiri kalau sedang rusak. Iya kan?"

 

"Itu lain cerita. Aku melakukannya untuk diriku sendiri, sementara ini—" Chansung tak melanjutkan kata-katanya. Mendadak kembali tergiang dalam pikirannya tentang perkataan Junho tadi siang.

 

"Apa pedulimu hah! Yang kau pedulikan hanya dirimu sendiri! Para gadis! Dan hal-hal tak berguna yang menyangkut tentang kesenanganmu seorang diri!"

 

Chansung mendesah pasrah mengingat perkelahian itu lagi. Dengan wajah cemberut kesal, Chansung kembali berkutat pada laptop di hadapannya, mengecek bagian apa saja yang perlu diganti atau tidak. Well, sejak SMP dia sudah mempelajari sendiri mengenai teknik komputer karena bagitu cintanya terhadap game.

 

Tapi baru semenit berlalu, ponsel Chansung bergetar, mengganggu kosentrasinya. Itu pesan, dari Yoona, menagih janji Chansung yang katanya ingin mengajak Yoona makan malam hari ini. Seketika itu Chansung baru mengingat pedekate yang ia lakukan pada siswi cantik Kirin tersebut.

 

Chansung segera berdiri dari duduknya. Namun baru selangkah menjauh dari kursi, matanya kembali terjatuh pada laptop di atas meja. Dan ucapan Junho kembali tergiang dalam pikirannya.

 

"Ini bukan tentang laptopku yang bisa diganti dengan gampang, Idiot! Aku harus menyelesaikan artikelku dan mengirimnya sebelum hari senin besok!"

 

Chansung lagi-lagi mendesah. Ia kembali duduk di tempatnya, Dengan wajah yang sangat murung, ia membalas pesan pada Yoona untuk meminta maaf. "Aku tak percaya aku mengorbankan malam minggu berhargaku demi ini," gumam Chansung, dengan wajah yang seperti ingin menangis di tempat.

 

"Kau!" Chansung melotot tajam sambil menunjuk foto Junho di ponselnya, seolah Junho adalah tersangka utama dalam sebuah kasus kejahatan. "Benar-benar harus membayar ini semua! Harus!" tekadnya dengan mata besar yang membara.

 

Ngomong-ngomong, foto Junho di ponsel Chansung itu adalah foto wajah Junho setengah badan yang sedang menangis di kamar mandi. Well, Chansung masih menyimpannya dengan baik rupanya. Entah dengan maksud apa.

 

.

 

.

 

.

 

.

 

.

 

Waktu itu, Kim Minjun masih berumur 14 tahun, berstatuskan pelajar tingkat 2 SMP. Masih teringat jelas dalam benak Minjun. Hari di mana tiba kehiduapannya yang dulu sangat membosankan, menjadi lebih berwana.

 

..........

 

"Minjunie...." Ibunya memanggilnya sambil tersenyum sumringah. Melambaikan tangan, memberikan isarat agar Minjun segera mendekatinya. "Kemari sayang,"

 

Minjun yang baru saja keluar dari ruang musik, berjalan menghampiri ibunya  di ruang tamu dengan langkah berat karena lelah. Semakin dekat, semakin jelas pula Minjun melihat kehadiran dua orang lain di ruang tamu tersebut. Satu wanita cantik yang tampak seumuran dengan ibunya sendiri, dan satu lagi namja yang juga tampak seumuran dengan Minjun, tapi lebih tinggi darinya.

 

Ibu Minjun dengan semangat menarik lengan Minjun untuk duduk di sebelahnya, memperkenalkan anak kesayangan satu-satunya dan juga kebanggannya itu pada tamu mereka. Setelah itu, ia balik memperkenalkan dua tamu itu pada Minjun. Wanita cantik yang sejak tadi tersenyum lembut itu adalah teman lama sekaligus sahabat Ibu Minjun. Dan namja di sebelahnya itu adalah anaknya, Ok Taecyeon.

 

"Mulai hari ini Taecyeon-ah akan pindah dan menginap di rumah kita. Kau harus akur dengannya yah?"

 

Taecyeon tersenyum lebar, sedikit membungkuk memberikan salam. Sementara Minjun hanya tersemyum kecil —terpaksa—, balas menatap datar ke arah Taecyeon.

 

........

 

"Kupikir kita akan satu sekolah."

 

Minjun yang sedang berkutat pada buku bacaan di tangannya, melirik sebentar ke arah pintu kamarnya, di mana Taecyeon baru saja datang sambil menenteng tas punggung sekolahnya. "Kau salah kamar, kamarmu di sebelah, bukan di sini," timpal Minjun mengingatkan.

 

Mengabaikan sindiran Minjun, Taecyeon malah berjalan masuk, menghampiri Minjun yang duduk bersandar pada ranjang, Taecyeon ikut duduk di sisi ranjang, dekat kaki Minjun yang berselonjoran. "Kau tidak pergi sekolah?" tanyanya heran.

 

"Aku ikut home-schooling," timpal Minjun tanpa minat, sambil membaca bukunya.

 

Taecyeon makin mengernyit heran. "Home-schooling? Untuk apa? Kau terlihat di rumah terus dan tidak pergi ke mana-mana."

 

"Justru karena aku harus berada di rumah terus, aku ikut Home-schooling."

 

"Mengapa kau harus selalu berada di rumah? Apa kau terkena penyakit langkah?"

 

"Tidakkah kau lihat kalau aku baik-baik saja?" Minjun bertanya balik, kali ini dia benar-benar merasa terganggu.

 

Taecyeon menggeleng. Masih dengan wajah herannya ia kembali bertanya. "Kalau bukan karena sakit, lalu kenapa? Kenapa kau diharuskan berada di rumah terus? Seperti dikurung saja,"

 

Minjun menutup bukunya dengan kasar, menimbulkan suara yang cukup keras. Tanpa sekalipun melirik ke arah Taecyeon, ia beranjak turun dari ranjang berjalan ke arah pintu kamar. "Sebentar lagi guru les pianisku akan datang. Aku harus siap-siap. Jadi tolong jangan ganggu aku lagi," ia berucap dengan nada datar, sambil tersenyum kecil. Mengusir Taecyeon dari kamarnya secara halus.

 

Taecyeon memandang aneh pada Minjun, karena pertanyaannya diabaikan begitu saja. Tapi ia tetap menurut, berjalan ke arah pintu kamar. Ketika ia melewati Minjun, Taecyeon menyempatkan diri untuk berucap pada Minjun dengan nada pelan, "Jangan tersenyum seperti itu, kau terlihat aneh."

 

Minjun tertegun, tapi ia tetap terdiam, tak membalas apapun.

 

.........

 

"Kau yakin dengan rencanamu ini?" Minjun bertanya dengan nada takut.

 

"Tenang saja, percayakan saja padaku," balas Taecyeon enteng.

 

"Tapi, Taec—" Minjun menarik kaos Taecyeon, menghentikan langkah Taecyeon yang sedang mengendap-ngendap. "Umma akan marah padaku kalau kita sampai ketahuan."

 

Taecyeon mendesah lelah mendapati keraguan Minjun. "Kau tak perlu khawatir, kalau pun nanti sampai ketahuan, aku yang akan bertanggung jawab." Taecyeon lalu kembali menatap ke depan, memperhatikan keadaan pos penjaga masion milik keluarga Minjun dari jauh. Berdasarkan pengamatan Taecyeon selama seminggu terakhir, satpam rumah ini akan meninggalkan pos saat waktu jam makan siang, membuat pos itu kosong dalam waktu lima menit.

 

Dan begitu Taecyeon melihat dua satpam itu berjalan keluar pos. Taecyeon segera meraih pergelangan tangan Minjun. "Ayo," bisiknya, memberikan aba-aba. Menuntut Minjun untuk berjalan cepat, namun hati-hati agar tak ketahuan dan menimbulkan suara, melalui gerbang masion keluarga Kim.

 

Minjun balas memegang erat tangan Taecyeon, jantungnya berpacu cepat, tak memungkiri bahwa adrenalinya meningkat. Merasa was-was jika saja mereka bisa ketahuan sebelum melewati gerbang tersebut. Ketika akhirnya terlewati, ditambah dengan lima langkah lebar lagi menjauhi depan pagar gerbang tersebut, tarikan Taecyeon semakin kencang. Mengajak Minjun untuk menambah kecepatannya, berlari sekencang yang mereka bisa.

 

Taecyeon tertawa terbahak-bahak di antara larinya, mau tak mau, Minjun yang menyamai langkah larinya juga ikut tertawa mendengar tawa Taecyeon, tak menyangka mereka berdua bisa melakukan hal segila ini. Membawa Minjun keluar dari 'sangkar'nya tanpa satupun pengawal berwajah sangar maupun kendaraan yang menemaninya, tak pernah sekalipun Minjun memikirkan kemungkinan hal ini bisa terjadi.

 

Setelah yakin mereka sudah cukup jauh dari kawasan masion keluarga Kim, dan halte bus di depan sudah terlihat dari jangkauan mata. Mereka menghentikan larinya, berganti dengan langkah yang lebih ringan. Tapi tautan tangan mereka tak juga terlepas, entah mereka sadar atau tidak.

 

"Kita tidak akan lama, kalau terlalu lama, Umma-mu akan sangat khawatir."

 

"Sekarang saja dia pasti sudah sangat khawatir saat tahu aku menghilang."

 

Taecyeon malah terkekeh kecil mendengar balasan Minjun. "Kalau begitu setelah sampai di kebun binatang nanti, kita sempatkan telepon umma-mu lewat telepon umum."

 

Minjun mengangguk mengiyakan. Taecyeon kembali menatap kedepan, tersenyum lebar, entah apa yang ia pikirkan, ia merasa bahagia sendiri. Mungkin karena ini pertama kalinya ia mengalami pengalaman yang bisa memacu adrenalinya sendiri.

 

Diam-diam, Minjun melirik Taecyeon di sampingnya. Sinar matahari siang yang belum meninggi, kebetulan menjadi background tersendiri, cahaya mentari putih hangat itu menyorot dari arah jam dua mereka, membuat wajah Taecyeon tampak lebih bercaya di mata Minjun. Garis wajahnya yang tampak tegas dan tampan, ditambah dengan senyuman menawan yang menampilkan lesung pipi kecil, membuat Minjun terpaku memandangnya, terpesona dalam diam.

 

Jantungnya kembali berdetak cepat, namun kali ini dalam arti lain. Minjun menahan nafas, segera memalingkan wajahnya begitu ia merasakan wajahnya memanas sendiri, seolah baru saja terbakar dari panasnya sinar matahari. Menyadari tautan tangan mereka masih bersatu, membuat Minjun menunduk malu, tersenyum penuh kebahagian.

 

Andai saja waktu itu bisa terulang.....

 

......

 

Suara tepuk tangan meriah di sekitarnya, membangunkan Minjun dari masa lalunya. Ia segera tersadar dengan keadaan sekitar, di mana kini ia duduk di antara bangku penonton konser K. Minjun menoleh ke sampingnya, mendapati bangku yang seharusnya ditempati Taecyeon, telah kosong oleh penghuninya.

 

Minjun tersenyum miris. Ia seharusnya sudah tahu hal ini pasti akan terjadi. Sejak awal Taecyeon hanya berniat ingin nonton bersama berdua dengan Wooyoung, bukan dirinya. Rasanya pasti akan aneh jika Taecyeon terus melanjutkan nonton bersama Minjun, karena itu ia meninggalkan konser, bahkan sebelum konsernya berakhir.

 

"Terima kasih sudah mau menyempatkan diri menonton konser kami, Aku mencintai kalian semua!" Song Samdong, atau yang memiliki nama panggung K itu, berseru di atas panggung, membuat suasana penonton semakin meriah. Ia tersenyum, dan kembali melanjutkan kata-katanya. "Hari ini ada sesuatu yang spesial dalam konser ini. Aku, memiliki teman dekat, yang saat ini sudah duduk di antara kalian semua. Oh no. Bukan teman spesial. Tidak usah cemburu," K tersenyum geli pada penggemarnya. "Hanya teman dekat, dan dia namja."

 

Minjun menghela nafas lelah, bukannya ia tak  ingin menghargai sang penyanyi, tapi mood-nya benar-benar buruk saat ini. Minjun memutuskan untuk segera meninggalkan konser saat itu juga. Tapi baru sepersekian detik Minjun mengangkat bokongnya dari tempat duduk—

 

"Namanya Ok Taecyeon."

 

Minjun menghentikan segala gerakannya. Tak salah lagi, ia  benar-benar mendengar nama itu disebut dari suara sound speaker gedung konser. Minjun kembali duduk di tempat, memandang sang artis di atas panggung dengan rasa penasaran.

 

"Jauh hari setelah ia tahu aku akan mengadakan konser di kota ini. Ia langsung menelponku, dan langsung meminta sebuah lagu untuk kunyanyikan di saat konser."

 

Sampai kalimat ini, rasanya Minjun sudah bisa menebak apa yang akan terjadi. Tanpa ia sadari, tangannya mulai gemetar sendiri.

 

"Katanya, lagu ini dipersembahkan untuk orang yang sangat spesial baginya."

 

Hati Minjun memberontak, menyuruhnya untuk segera pergi dari tempat ini. Tapi ia tak bisa. Bahkan hanya untuk sekedar berdiri, kakinya terasa begitu lemas.

 

"Orang spesial itu adalah orang yang duduk di sampingnya. Ooh... aku tak akan menyebutkan nama, karena yang satu ini hak privasi Taecyeon." K tersenyum penuh canda, berbeda jauh dengan Minjun yang menatapnya dengan nanar. Tanpa diberitahu pun, ia sudah tahu siapa orangnya.

 

"Oke, siapa pun itu. Tolong dengarkan lagu 'Maybe' yang akan kunyanyikan ini. Khusus untukmu, dari Ok Taecyeon."

 

Meski Minjun tahu Wooyoung tak hadir dalam konser ini. Tapi menyadari fakta bahwa Taecyeon sudah berniat sejauh ini, membuat hati Minjun teriris berkali lipat....

 

Sampai kapan ia akan terus tersakiti? Bahkan di saat orang yang menyakitinya itu, tak sadar dengan apa yang sudah ia lakukan. Parahnya lagi, seberapa banyak ia tersakiti, Minjun tak bisa berubah untuk membencinya, tak pernah bisa.

 

.

 

.

 

.

 

.

 

.

 

Bis kota itu berhenti di depan halte bis. Beberapa orang yang telah menunggu pun memasuki pintu bis yang sedang terbuka itu. Tak lama, pintu bis tertutup, dan melaju pergi, meninggalkan sosok Taecyeon yang seorang diri duduk di ujung bangku halte, merenung seorang diri.

 

Tangannya memegang ponselnya, membaca berulang kali pesan yang sempat ia kirimkan pada Wooyoung tempo hari lalu

 

Pastikan kau datang ke konser K bersamaku besok sabtu. Aku punya kejutan untukmu.

 

Tidakkah Wooyoung merasa penasaran dengan kejutan yang Taecyeon persiapkan selama ini? Walau rasa penasaran itu ada sedikit saja? Taecyeon bertanya-tanya dalam hati, merasa begitu kecewa dengan apa yang baru saja terjadi.

 

Sampai saat ini pun, Wooyoung tak menghubunginya. Bahkan hanya sekedar mengirim pesan untuk meminta maaf karena tak bisa menepati janjinya, belum juga Taecyeon terima.

 

Benarkah Wooyoung sama sekali tak peduli dengan perasaannya?

 

Taecyeon terus saja membisu, menatap miris pada jalanan kosong di hadapannya.

 

.

 

.

 

.

 

.

 

.

 

Wooyoung yang baru keluar dari kamar 23, bersandar pada pintu yang ia tutup dari luar. Pandangannya jatuh pada lantai yang ia pijak, tapi pikirannya berkenalana melayang pergi. Kembali tergiang dalam benaknya ketik

Please Subscribe to read the full chapter
Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
ruellovcr
#1
Chapter 11: bingung aku sama nichkhun sjksjakjskaj
ruellovcr
#2
Chapter 10: siapa yang nyebarin foto itu deh?? apa jangan2 ada hubungannya sama junho yang nangis?
ruellovcr
#3
Chapter 7: KSKSKSSSKS KACAU ToT
ruellovcr
#4
Chapter 5: chansung sama junho ini kayanya apa2 bisa dibawa ribut melulu ya wkwkwk

oh ya, aku jadi bingung sama nichkhun ... sejauh ini dia lebih milih siapa deh?
ruellovcr
#5
Chapter 4: aku kasian sama nichkhun, tapi kasian juga sama minjun :((
ruellovcr
#6
Chapter 3: baru di chapter ini aja udah gemesin huhuhu
taeckayforever #7
Chapter 3: INI TAUN 2020 DAN AKU BARU BACA, tidak ada harapan lanjut kah? ㅠ.ㅠ
diyoungie #8
Chapter 14: Hai thor, aku kembali di 2019 :) aku tau sih kalo kamu gak bakalan update ff ini, cuma lagi kangen aja sama mereka :')
Amaliaambar
#9
Chapter 14: Aaaaaaaaaaa fix aku baper maksimal paraaahhh, ceritanya ngena banget ih feelnya dapet bgt sumpaaahhhhhhh
aaaah update lg dong author-nim jngn bikin saya mati penasaran, walaupun udh lama update lah author-nim saya penasaran banget bangetan iniiiiii
diyoungie #10
hai thor, aku datang lagi untuk mengingatkan mu agar mengupdate ff ini haha ^^~~~