Move on

Like a Drama - versi Indonesia
Please Subscribe to read the full chapter

Sorry for Miss Typo n Hope you enjoy it~ ^^

Soundtrack :: 2PM - Don't you know

 

...........

 

"Mom. No mom. No!" anak laki-laki itu meronta, menahan kakinya pada pijakan lantai agar tubuh kecilnya yang masih berusia sembilan tahun itu, tidak ikut tertarik oleh kedua tangan yang menarik paksa tangannya. Tapi itu percuma saja, tubuhnya yang kalah besar tetap mampu terseret oleh wanita dewasa di hadapannya.

 

"Shut up!" wanita yang dipanggil ibu itu malah membentaknya. "Berhenti melawanku Nichkhun!"

 

Nichkhun kecil menggeleng. "No mom. Aku tidak akan berani melawanmu, aku hanya meminta sesuatu," belanya.

 

Seketika wanita itu berhenti menarik tangan Nichkhun kecil. Wanita itu menunduk, memberikan sebuah expresi wajah datar pada Nichkhunkecil , sehingga anak laki-laki berusia sembilan tahun itu sama sekali tidak bisa menebak apa yang ada dalam pikiran wanita itu.

 

"Kau meminta sesuatu?" tak ada lagi nada marah dalam suara wanita itu. Bahkan dia mulai tersenyum ramah pada Nichkhun kecil. "Apa yang kau minta sayang?"

 

Wajah Nichkhun kecil yang mendongak itu, mulai berbinar melihat reaksi ramah wanita itu, yang selalu ia sukai. "Aku hanya meminta jadwal pemotretan majalah untuk besok ditunda, mom. Karena aku sudah janji dengan teman-teman sekolahku untuk bermain sepak bola besok."

 

Sebuah tamparan yang tak pernah disangka Nichkhun kecil tiba-tiba mendarat di pipinya.

 

"Bohong! Itu sama saja kau sedang melawanku!" amarah wanita itu kembali naik.

 

Pipi Nichkhun kecil memerah, semerah matanya yang mulai berair, menatap tak percaya pada wajah wanita itu yang sudah tidak menampilkan keramahan lagi.

 

"Ayo masuk!" sekali lagi wanita itu menarik tangan kecil Nichkhun dengan kasar dan mendorong punggungnya untuk masuk ke dalam kamar yang gelap.

 

"No! Mom!" Nichkhun kecil hendak keluar, tapi pintu dengan cepat sudah ditutup rapat, dikunci dari luar. "Mom. Buka pintunya!" tangan Nichkhun yang kecil menarik-narik kenop pintu, yang sama sekali tak bisa menggerakan pintu. "Ku mohon. Mom. Bukan pintunya Mom."

 

"Sudah berapa kali kubilang. Berhenti memanggilku 'Mom'! Aku bukan ibu kandungmu!" suara wanita itu menyahut dari luar.

 

Tangis Nichkhun kecil berubah semakin pecah. "Kumohon, keluarkan aku dari sini Mom." Tapi Ia masih saja kekeh untuk memanggilnya ibu. "Di sini gelap. Tidak ada lampu. Aku takut..... Mom...."

 

"Itu hukumanmu. Dan sebaiknya kau biasakan dirimu dengan kegelapan. Itu juga akan menjadi bagian dalam kehidupanmu." suara langkah kaki sepatu hak tinggi yang digunakan wanita itu, terdengar menjauh. Sama sekali tidak mempedulikan suara tangis anak kecil beserta ketukan pintu dari kamar kosong yang ia kunci dari luar.

 

.

 

.

 

.

 

.

 

Nichkhun terbangun. Keningnya penuh dengan keringat dingin. Ia duduk di ranjangnya, menunduk sambil memijat pelipisnya.

 

"Kau baik-baik saja?" suara Minjun menyahut dari samping.

 

Nichkhun menoleh, melihat Minjun juga duduk di ranjangnya sendiri. Kening Nichkhun berkerut heran. "Apa aku baru saja membangunkanmu?" ia balik bertanya.

 

"Kau baru saja berteriak," suara Taecyeon malah menyahut dari ranjangnya, di samping ranjang Minjun. Ia tidak mau repot-repot untuk bangkit dari tidurnya, masih berbaring di atas ranjangnya. "Kau memanggil ibumu seperti anak kecil," sindir Taecyeon. "Mom, mom, don't go, please, mom—mh!" Taecyeon berhenti meledek ketika sebuah bantal terlempar tepat di wajahnya, dari Minjun.

 

Nichkhun terkekeh kecil —yang terdengar dipaksakan. "Tak apa Min, aku baik-baik saja."

 

"Kau yakin?" Minjun bertanya khawatir. Diam-diam Taecyeon cemberut kesal.

 

Nichkhun mengangguk singkat. Ia turun dari ranjangnya, dan beranjak mengambil salah satu swetter hitam panjangnya.

 

Minjun menatapnya heran. "Kau mau kemana?"

 

"Aku akan keluar untuk cari udara sebentar. Tiba-tiba aku tak mengantuk lagi."

 

"Tidak butuh teman untuk bicara?"

 

"Tidak Min, terima kasih."

 

"Pastikan kau pulang tidak dalam keadaan mabuk lagi," kali ini Taecyeon juga ikut menyahut.

 

Nichkhun yang baru saja membuka pintu kamar, terhenti. Ia menoleh, bertukar pandang dengan Taecyeon, sebelum akhirnya Nichkhun tersenyum miring, dalam arti mengejek. "Tenang saja, aku tak akan mencium Wooyoung lagi, yah setidaknya tidak dalam keadaan mabuk."

 

Taecyeon melotot. "Yach!" Ia melempar bantal ke arah pintu, tapi Nichkhun lebih cepat keluar kamar dan menutup pintu. Membuat bantal itu hanya bisa menghantam daun pintu. "Tch. Anak itu," Taecyeon mendesis kesal.

 

Terdengar suara derit ranjang lain, Taecyeon menoleh ke samping, melihat Minjun turun dari ranjangnya. Taecyeon berdecak kesal. "Berhentilah terus mengkhawatirkannya, nanti dia akan terus besar kepala."

 

Minjun menoleh, menautkan alis heran, tak mengerti pada Taecyeon. "Hah?"

 

"Dia itu sudah besar. Bukan anak kecil dan kau juga bukan orang tuanya."

 

"Apa yang kau bicarakan?"

 

"Tentu saja Nichkhun. Kau juga ingin keluar untuk menyusulnya kan?"

 

"Siapa bilang. Aku hanya ingin ke kamar mandi," bela Minjun sambil menunjuk pintu kamar mandi.

 

Taecyeon mengerjap. Minjun menatapnya aneh. Ada jeda sejenak yang mulai terasa canggung bagi Taecyeon sendiri, sebelum akhirnya ia memecahkannya dengan berdehem kecil. "Ehm, oke, ya sudah," gumamnya tak jelas dan kembali berbaring di ranjang, membalik badannya membelakangi Minjun sambil menyelimuti badannya sendiri.

 

Minjun hanya menatap Taecyeon dengan pandangan heran. Sama sekali tak bisa menebak apa yang ada dalam pikiran roommate-nya itu.

 

.

 

.

 

.

 

.

 

Waktu sudah menunjukkan jam setengah dua belas tengah malam. Tapi Wooyoung baru saja keluar dari gedung akademik sekolah Kirin. Berjalan seorang diri menuju gedung asrama namja. Ia menggunakan celana training hitam dengan kaos t-shirt putih dan jaket hodie abu-abu yang tak terkancing. Poni rambutnya terlihat agak kelimaks, basah karena keringat. Sesekali Wooyoung mengusap tengkuknya sambil menggerakkan kepala ke kanan dan ke kiri. Merenggangkan sedikit otot-ototnya.

 

Langkahnya tiba-tiba terhenti di tengah jalan, di jalan setapak, di pinggir lapangan hijau besar Kirin, di samping tiang lampu yang sedang menyala. Wooyoung berhenti, matanya tertuju pada Nichkhun yang juga berhenti dari langkahnya, yang tadi juga  sedang berjalan sendiri berlawanan arah dengan Wooyoung. Dengan jarak tujuh meter di hadapannya, Nichkhun berdiri diam di tempat, di bawah tiang lampu jalan yang lain, balas menatap Wooyoung dengan pandangan datar.

 

Sang artis itu menggunakan celana piyama abu-abu, dengan singlet putih dan swetter hitam panjang sampai setengah paha yang melapisi tubuh tegapnya. Tanpa sadar, keduanya tampak seperti sedang janjian menggunakan pakaian dengan warna yang nyaris sama.

 

Angin malam dari arah lapangan hijau, pelan-pelan melewati mereka, seolah menjadi kendaraan numpang lewat di antara keduanya yang tetap terdiam di tempat. Membuat ujung swetter hitam Nichkhun dan ujung hodie abu-abu Wooyoung sedikit melambai dalam keheningan.

 

Diam-diam Wooyoung tersenyum kecut dalam hati. Padahal baru saja ia berhasil mengenyahkan pikirannya dari namja yang selama ini selalu membuatnya pusing sendiri, dengan cara menyibukkan diri berlatih dance seorang diri di kelas sepi tadi. Tapi kenapa ia malah harus bertemu lagi dengan namja itu saat ia sudah ingin kembali ke kamarnya di gedung asrama? Seolah-olah Pencipta alam di atas sana menyuruhnya untuk tidak mencoba melupakan namja itu.

 

Wooyoung melirik ke samping sambil mendengus pelan, lelah dengan semua ini. Ia yang pertama memutuskan kontak mata di antara mereka. Ia juga yang bergerak pertama untuk melangkahkan kakinya. Memantapkan hati untuk berjalan melewati Nichkhun tanpa meliriknya lagi. Tapi kali ini suasana di sekitar mereka lebih berbeda dari sebelumnya. Itu karena sebelumnya, mereka selalu berpapasan di antara ramainya siswa-siswi di sekeliling, tapi kali ini, mereka bertemu diantara sepinya dan keheningan malam suasana luar gedung sekolah maupun asrama Kirin.

 

Tiap langkah mendekat yang diambil Wooyoung untuk berjalan melewati Nichkhun —yang masih berdiam diri di tempat— terasa lebih mencekam bagi Wooyoung sendiri. Pasalnya, meski Wooyoung mencoba untuk menatap lurus ke depan tanpa melirik Nichkhun, tapi Wooyoung bisa merasakan tatapan tajam Nichkhun yang terus tertuju lekat padanya, seolah-olah tatapan itu mampu mengkuliti Wooyoung di tempat.

 

Untungnya Wooyoung berhasil melewati Nichkhun dalam diam, tapi beberapa langkah kedepan setelah berpapasan dengannya, suara dalam Nichkhun di belakangnya, mampu menghentikan segala pergerakan Wooyoung.

 

"Dari mana kau?" sebuah pertanyaan simpel keluar dari bibir Nichkhun. Satu pertanyaan yang terkesan akrab, padahal mereka sudah tak pernah lagi berbicara selama hampir seminggu sejak kejadian di dalam kamar Nichkhun tempo hari lalu, sejak ia membuat Wooyoung menangis tanpa pernah mengatakan kata maaf setelahnya.

 

Tanpa menoleh ke belakang, Wooyoung membalas sambil tersenyum kecut, "Apa pedulimu?" Ia balas bertanya dengan nada sindiran yang terdengar agak menantang. "Berhenti pura-pura peduli padaku...." ada nada marah yang terpendam dalam suara Wooyoung.

 

"Jangan salah paham," nada suara Nichkhun masih terdengar datar seperti biasanya. "Bukannya aku ingin peduli padamu, aku hanya penasaran. Apa yang sudah kau lakukan sampai baru kembali ke asrama selarut ini?"

 

Wooyoung mendengus kesal, akhirnya memilih untuk menoleh ke belakang, memberikan tatapan menantang pada Nichkhun. "Kau sendiri, mau pergi ke mana malam-malam begini?" Wooyoung malah balik bertanya. "Tenang saja, aku sebenarnya juga tak peduli. Hanya penasaran." sindir Wooyoung membalikkan kata-kata Nichkhun.

 

Nichkhun hanya diam saja, menatap datar Wooyoung. Membuat Wooyoung semakin kesal ditempat karena sikap Nichkhun yang kembali pasif. Mengapa orang ini cepat sekali berubah-ubah? Tak ingin terus berdiam diri di sana, Wooyoung pun kembali berbalik. Kembali melanjutkan langkahnya menuju gedung asrama, ingin mengabaikan Nichkhun lagi, tapi lagi-lagi suara Nichkhun kembali mengurungkan niatnya.

 

"Aku tidak bisa tidur...." ada nada lelah yang terdengar dari suara pelan Nichkhun.

 

Langkah Wooyoung terhenti, ia terdiam, bertanya-tanya dalam hati dengan sikap Nichkhun yang selalu saja berubah-ubah dalam sekejap. Ada maksud apa tiba-tiba Nichkhun terkesan ingin mengajaknya bicara? Haruskah ia peduli? Wooyoung berkutat dalam pikirannya sendiri, menimbang langkah apa yang ia lakukan saat ini. Kembali melangkah ke depan menuju gedung asrama dan mengabaikan Nichkhun di belakangnya, atau......

 

Dan sekali lagi, Wooyoung mencoba menuruti kata hatinya, meski sebenarnya itu sangat bertantangan dengan komitmen dalam pikirannya. Dalam hati Wooyoung benar-benar merutuki dirinya yang kembali kalah dengan perasaannya sendiri.

 

Nichkhun berdiri diam saat melihat Wooyoung kembali berbalik menghadapnya. Tak ada ekspresi berarti apapun dalam wajah Nichkhun ketika melihat Wooyoung berjalan mendekatinya, seolah-olah Nichkhun sudah memprediksi hal ini pasti akan terjadi. Namun saat Wooyoung mengambil sebuah headset beserta mp3 kecil dari saku celana trainingnya, dan menyerahkan kedua benda tersebut di tangan Nichkhun, membuat Nichkhun menautkan alis tak mengerti.

 

"Untuk apa ini?"

 

"Ku pinjamkan ini agar kau bisa mendengarkan musik sambil nge-dance. Di lantai dasar gedung akademik,  kelas C4, tidak terkunci. Dan kau bisa leluasa ngedance di sana sampai kau lelah dan bisa tetidur. Itu cara ampuh yang selalu kulakukan saat tak bisa tidur dan banyak pikiran," seperti dikejar waktu, atau memang Wooyoung tak ingin berlama-lama di sana, sehingga tanpa menunggu tanggapan dari Nichkhun, Wooyoung segera berbalik, hendak meninggalkan Nichkhun lagi.

 

"Kau tidak ingin menemaniku?"

 

Dan untuk ketiga kalinya, langkah Wooyoung terhenti. Ia kembali menoleh, memberikan tatapan aneh pada Nichkhun. "Untuk apa aku melakukan hal itu?"

 

"Kau bilang kau menyukaiku?"

 

Wajah Wooyoung memerah untuk sesaat, dalam hati ia merasa harga dirinya diinjak mendengar Nichkhun mengucapkan hal tabu —bagi Wooyoung— itu dengan ringan tanpa beban. Seandainya Wooyoung lupa kalau Nichkhun itu lebih tua darinya, mungkin ia sudah membentaknya dengan kata 'Yach!' dengan tidak sopannya.

 

Wooyoung menengadah sambil menghembuskan nafas dari mulut, berusaha meredakan emosinya. Lalu menatap Nichkhun dengan pandangan kesal. "Geruae, kau benar. Tapi bukannya kau menyuruhku untuk berhenti menyukaimu? Dan setelah aku pikir panjang, aku sudah memutuskan hal itu. Aku sedang mencoba untuk—" Wooyoung menahan nafas sejenak. "—tidak menyukaimu lagi." Wooyoung melirik ke direksi lain, tak berani menatap Nichkhun yang balas menatapnya. "Aku sedang berusaha saat ini. Oke? Jadi kuharap kau jangan menggangguku lagi, agar itu bisa membantuku." Wooyoung akhirnya berbalik. Benar-benar pergi meninggalkan Nichkhun, yang akhirnya tak menyahut lagi untuk menghentikannya.

 

Dalam hati, Wooyoung merasa sedikit puas karena akhirnya ia bisa merasakan menjadi pihak yang 'meninggalkan', meski Wooyoung tahu, perasaan Nichkhun mungkin tidak akan sama dengan dirinya saat 'ditinggalkan'. Mungkin saat ini Nichkhun hanya mengedikkan bahu tak acuh mendengar keputusan Wooyoung barusan. Toh, Nichkhun tak memiliki perasaan terhadap Wooyoung, iya kan?

 

Langkah Wooyoung terhenti. Memikirkan hal itu membuat ia kembali tersenyum miris. Mungkin memang sudah seharusnya ia move on, meski akan terasa sakit di awalnya. Semoga saja Wooyoung berhasil melalui ini semua.

 

Yah, semoga saja...... Tuhan juga membantunya....

 

..... atau malah tidak.....

 

.

 

.

 

.

 

.

 

Saklar lampu kelas C4 itu menyala, Nichkhun melangkah masuk. Melihat beberapa kursi sudah diatur menepi, sehingga ada ruang luas di tengah kelas yang cukup digunakan untuk menari seluasa mungkin. Nichkhun bisa menebak kalau Wooyoung juga barusan menggunakan kelas ini.

 

.

 

Swetter hitam itu terlampir di salah satu kursi kelas, di bawah kursi ada sepasang sandal rumah. Suara langkah kaki telanjang tanpa alas kaki itu menghentak di atas lantai kelas. Seperti sa

Please Subscribe to read the full chapter
Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
ruellovcr
#1
Chapter 11: bingung aku sama nichkhun sjksjakjskaj
ruellovcr
#2
Chapter 10: siapa yang nyebarin foto itu deh?? apa jangan2 ada hubungannya sama junho yang nangis?
ruellovcr
#3
Chapter 7: KSKSKSSSKS KACAU ToT
ruellovcr
#4
Chapter 5: chansung sama junho ini kayanya apa2 bisa dibawa ribut melulu ya wkwkwk

oh ya, aku jadi bingung sama nichkhun ... sejauh ini dia lebih milih siapa deh?
ruellovcr
#5
Chapter 4: aku kasian sama nichkhun, tapi kasian juga sama minjun :((
ruellovcr
#6
Chapter 3: baru di chapter ini aja udah gemesin huhuhu
taeckayforever #7
Chapter 3: INI TAUN 2020 DAN AKU BARU BACA, tidak ada harapan lanjut kah? ㅠ.ㅠ
diyoungie #8
Chapter 14: Hai thor, aku kembali di 2019 :) aku tau sih kalo kamu gak bakalan update ff ini, cuma lagi kangen aja sama mereka :')
Amaliaambar
#9
Chapter 14: Aaaaaaaaaaa fix aku baper maksimal paraaahhh, ceritanya ngena banget ih feelnya dapet bgt sumpaaahhhhhhh
aaaah update lg dong author-nim jngn bikin saya mati penasaran, walaupun udh lama update lah author-nim saya penasaran banget bangetan iniiiiii
diyoungie #10
hai thor, aku datang lagi untuk mengingatkan mu agar mengupdate ff ini haha ^^~~~